Oleh: Mujtahid*
MECERMATI kejahatan dalam konstelasi nasional pada akhir-akhir ini, agaknya kita masih menaruh tanda tanya besar terhadap keseriusan pemerintah dalam menangani tindak korupsi. Indikasi tersebut masih terus menguat, serta belum ada upaya tegas dari pemerintah atau badan tertentu, yang ingin menghukum pelaku kejahatan kelas kakap itu. Pemerintah hanya berani menangkapi tersangka korupsi kelas “daerah” yang hanya beberapa milyar saja.
Padahal, sangat ironi sesungguhnya bahwa peta penduduk bangsa kita adalah sebagian besar adalah pemeluk agama yang fanatik. Tidak diragukan lagi, bahwa kadar agama mereka sesungguhya telah berbudaya dan sekaligus melekat pada sendi-sendi kehidupan. Lebih dari itu, jumlah agamawan bangsa kita juga tidak diragukan jumlah kuantitasnya. Bukan suatu impian yang kosong, ternyata dalam ha-hal tertentu unsur simbol agama terseret dalan kerangkan kehidupan pemerintahan. Namun kondisi yang sekarang kita rasakan bersama, ternyata tingkat kejahatahan ditingkat pemerintah semakin menggila dan tidak terbendung lagi.
Selama beberapa dekade tarakhir ini, bangsa kita terjangkit penyakit korupsi yang luar biasa. Pada tingkat pemerintahan sampai daerah, nampaknya tingkat korupsi masih terus berlanjut. Tindakan yang tak bermoral ini belum ada upaya yang efektif untuk mengatasi tidakan tersebut.
Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia adalah negara yang lunak. Meskipun sebagian para pejabat pemerintah pernah bertindak korup ternyata masih juga diperkenankan menjabat di pemerintahan. Padahal, sesungguhnya seorang yang pernah cacat sosial, maka sepatutnya tidak diperkenankan lagi menjabat kekuasaan.
Selama kurang lebih tiga dekade Indonesia termasuk dalam golongan negara yang korup. Indonesia termasuk negara korup yang menempati rangking atas, nomor 86 dari 90 negara. Betapa korupnya negeri ini. Tidak ada ungkapan lain yang cocok bagi bangsa ini kecuali negeri yang kotor dan rapuh sistemnya.
Indonesia juga masuk lima besar negara yang paling korup (CPI-Coruption perception index), dan The Straits Times menyebut sebagai nomor tiga paling korup dari 99 negara. Hal ini tentu perlu langkah sistematis untuk menanggulanginya. Penanganan yang dilakukan secara parsial dan tidak melibatkan komponen bangsa justru akan mengakibatkan semakin resistensinya korupsi di Indonesia.
Meskipun kita tahu bahwa korupsi juga terjadi dihampir negara lain, namun Indonesia merupakan negara yang terparah. Dampak yang diakibatkan oleh korupsi semakin kita rasakan. Krisis ekonomi, politik, moral dan sebagainya juga berawal dari penyalahgunaan wewenang jabatan. Sehingga kerusakan struktural luar biasa hebatnya. Sangat sulit bagi bangsa kita untuk menyembuhkan budaya ini dari penyakit yang kronis ini.
Salah satu dampak yang bisa kita rasakan pada saat ini adalah ekonomi menjadi high cost, pegambilan kebijakan yang salah dapat mengakibatkan tidak efesien dalam penggunaan sumber daya. Dan sekaligus terjadinya kebocoran yang besar dari anggaran belanja negara/daerah.
Strategi Penaggulangan
Untuk Menyusun strategi penanggulangi korupsi memang tidak mudah, butuh kemahiran dan keuletan dalam menyusun jurus-jurus yang mematikan. Anggapan sementara arang, menyatakan bahwa tindak korupsi bisa ditindak melalui jalur hukum dan diasingkan serta tidak lagi diberi kesempatan untuk menjabat di suatu badan atau bidang pemerintahan.
Namun ada beberapa manajemen untuk menanggulangi korupsi tersebut. sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudiran Ail (2001), bahwa pertama adalah good will pemerintah. Yakni berkaitan dengan komitmen pemerintah dalam melakukan penanggulangan korupsi secara mendasar, termasuk ketegasan dalam melakukan penindakannya. Karena tanpa ketegasan tersebut, adanya good will ini mustahil korupsi akan bisa diberantas.
Kedua, perlu dibentuknya badan khusus. Badan ini harus terdiri dari orang-orang yang profesional dan berpengalaman dalam menangani dan menyelesaikan masalah tindakan korupsi. Dan tidak kalah pentingnya adalah memiliki integritas moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga badan ini tidak terkesan mengada-ada. Di samping tugas tersebut, tugas selanjutnya adalah menampung informasi dari masyarakat yang kemudian diteruskan dengan menindak lanjuti dari indikasi melakuakn tindakan korupsi. Pelaksanaannya harus transparan dan dapat diketahui oleh publik dengan catatan masih memperhatikan koredor hak-hak azasi manusia.
Ketiga, adanya strategi nasional (integritas) mengenai upaya penanggulangan korupsi. Strategi ini harus komprehensif dan terintegrasi, yang meliputi jangka pendek yang berupa tindakan hukum dengan lebih tegas dan konsisten. Hal ini bertujuan untuk melakukan “shock therapy” bagi para pelaku serta peringatan bagi petensial offender.
Keempat, perlu adanya revisi perundang-undangan. Hal ini diharapkan menjadi bahan pijakan bagi penegak hukum dalam melakukan pembarantasan korupsi. Subtansi yang perlu direvisi berkenaan dengan acaman pidana bagi pelaku.
Kelima, adanya dukungan dan peran dari masyarakat. Pemberatasan korupsi perlu partisipasi masyarakat dan sekaligus peran aktifnya di dalam memberikan informasi tentang terjadinya korupsi. Dengan kata lain, peran publik dalam hal ini adalah melakukan pengawasan terhadap wakil-wakilnya yang sedang duduk di setiap lembaga atau bidang tertentu.
Terakhir, perlu ditingkatkan kewaspadaan. Strategi yang terakhir ini perlu diusahakan sedemikian rupa sehingga tindakan kejahatan korupsi dapat diminimalisir. Bentuk pengawasan ini mulai dari tingkat atas sampai bawah. Sehingga pengawasan ini adalah pengawasan sistem. Dengan pengawasan sistem, maka upaya untuk melakukan korupsi akan mudah terdeteksi dan tertangkap.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang.
Rabu, 31 Maret 2010
Selasa, 30 Maret 2010
Kewarganegaraan, Kebangsaan dan Kerakyatan
Mujtahid*
SELAMA beberapa dekade, perpolitikan Indonesia telah mengalami pasang surut dan belum menemukan sistem yang signifikan terhadap perkembangan bangsa. Eksperimentasi politik selalu dilakukan setiap pergantian rejim sebagai upaya rekonstruksi pemerintahan. Silih berganti kekuasaan selalu menunjukkan sebuah tatanan sistem pemerintahan yang tidak menentu serta pada batas-batas tertentu semakin menambah rawan eksistensi pemerintah. Selama pergantian rejim nampaknya belum ada sebuah atmosfir politik yang memberikan ruang kondusif bagi tumbuhnya budaya demokrasi, sikap egaliterian, prinsip kewarganegaraan, kebangsaan dan kerakyatan.
Akibatnya, korban demokrasi tidak terelakkan lagi ketika politik dalam keadaan tidak stabil. Spekulasi elit politik membikin bingung bagi para warga. Pergantian rejim berusaha mencari sebuah sistem pemerintahan yang tepat dan cocok bagi bangsa ini. Warga hanya bisa menyaksikan para elit politik dalam memainkan peranannya untuk mengatasi perubahan itu.
Sebagaimana tujuan bangsa ini didirikan, para pendiri bangsa bersepakat bahwa mereka ingin membentuk sebuah negara merdeka dan berdaulat. Negara merdeka dan berdaulat tentu meletakkan prinsip-prinsip dasar yang harus ditegakkan. Salah satu prinsip dasar terpenting adalah terwujudnya prinsip kewarganegaraan (citizenship).
Demokratisasi merupakan salah satu cerminan dari prinsip kewarganegaraan dalam satu kesatuan yang utuh. Demokrasi tidak akan pernah memberikan kesempatan atau ruang gerak munculnya sekterianisme dan partikularisme dalam wacana dan praksis politik. Demokratisasi berjalan secara murni, holistik yang mampu menembus segala aspek kehidupan bangsa. Karena itu, demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi tersalurnya aspirasi dan partisipasi masyarakat, yang merupakan satu komponen bangsa yang memiliki hak dalam menyampaikan ide dan gagasannya itu.
Sebagaimana cita-cita bangsa ini didirikan, Indonesia adalah negara merdeka, berdaulat dan berideologi Pancasila. Semangat kebangsaan kita terejawantahkan dalam jiwa Pancasila. Pancasila mengandung muatan yang cukup luas dan mendalam yang mampu menyentuh segala aspek kebutuhan manusia, baik lahir maupun batin. Sedangkan demokrasi merupakan roda untuk mendorong jalannya ideologi itu ditengah-tengah masyarakat untuk mengantarkan warga pada kehidupan yang sejahtera dan tidak ada intervensi yang terencana dari mana pun.
Kalau kita menengok kembali sejarah masa lalu, semangat kewarganegaraan pernah diperjuangkan oleh Mohammad Hatta, ketika beliau menolak argumentasi Prof. Soetomo mengenai konsep integralistik. Namun pada waktu itu, kewarganegaraan hanya dipahami secara legalistik semata-mata. Makna dan artikulasi dari kewarganegaraan belum pernah dicoba sebagai salah satu alternatif perpolitikan selama tiga dekade tersebut. Dan kalaupun muncul, hanya pada kulit luarnya belaka.
Di saat negara yang sedang dirudung krisis dan konflik sosial berkepanjangan seperti sekarang ini, maka wacana kewarganegaraan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi permasalahan serius tersebut. Beban negara yang ditanggung sangat berat ini kalau tidak segera mendapat solusi yang tepat, juga akan menambah kerawanan konflik, yang sewaktu-waktu dikhawatirkan bisa meledak. Konflik tersebut apabila dibiarkan secara terus menerus dapat mengawatirkan rawannya perpecahan bangsa (disintegrasi bangsa). Seperti yang telah terjadi pada wilayah Timtim. Dan nampaknya masih ada wilayah yang menghendaki untuk memperoleh perlakuan “demokrasi seluas-luasnya”. Seperti Papua, Aceh, dan wilayah lainnya.
Prinsip kewarganegaraan barangkali dapat menjadi “senjata pamungkas” untuk mengatasi problem yang dihadapi bangsa ini. Karena prinsip kewarganegaraan berkaitan dengan model dan sistem pemerintahan. Kewarganegaraan memiliki nilai-nilai dan visi tentang keutamaan publik, dan hubungannya dengan semua anggota masyarakat. Di samping itu, prinsip kewarganegaraan lahir dalam dimensi-dimensi legal formal, hak-hak dasar (rights) dan pemahaman subyektif sebagai anggota warga.
Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, tentu warganegara (citizen) mendapat ruang yang layak untuk mengekspresikan semua keinginan baiknya dalam membangun negara yang beradab. Kemandirian masyarakat dapat diukur dengan tingkat besarnya aspirasi dan partisipasi yang mereka berikan. Inilah barangkali kekuatan untuk menjaga kesatuan bangsa dan pada akhirnya dapat menuju sebuah tatanan masyarakat madani (civil society).
Dalam konteks perpolitikan sekarang, pemerintah harus berusaha menunjukkan jati dirinya sebagai pengayom dan penyalur aspirasi yang tumbuh mengkristal di dalam masyarakat. Kepentingan pemerintah merupakan representasi dari akumulasi kepentingan atau keikutsertaan warga. Monopoli pemerintah (kekuasaan) tidak lagi disediakan bagi para elit pengusa. Penguasa adalah abdi warga dan semua kebijakan dan aturan harus sesuai keinginan warga, serta tunduk pada konstitusi hukum.
Semangat kewarganegaraan sesungguhnya menekankan pentingnya hak-hak dasar (rights) sebagai landasannya serta partisipasi aktif dalam mendukung kemandirian bangsa. Demokratisasi juga menghendaki adanya partisipasi warga negara untuk membentuk demokrasi yang kokoh (strong democracy). Dengan semangat kewarganegaraan, maka demokrasi akan dapat berjalan secara baik dan pada akhirnya membawa pada perubahan yang berarti. Demokrasi menjadi penting karena terbukanya warganegara untuk memperoleh hak-hak kultural, seperti kesamaan gender (equality gender), hak-hak politik, hak-hak sosial, hak-hak sipil dan masih banyak lagi hak-hak yang diperoleh.
Lebih jauh lagi, prinsip kewarganegaraan akan ikut membantu menyurutkan ancaman-ancaman disintegrasi bangsa yang muncul sebagai konsekuensi masyarakat plularistis. Sebab dengan landasan kewarganegaraan, maka akan diperoleh semacam arena yang lebih inklusif di dalam masyarakat. Kewarganegaraan, menjadi titik tolak bersama karena ia tidak lagi memberikan privilese-privilese kepada pribadi atau kelompok tertentu. Dengan demikian, sebuah proses politik yang demokratis mendapat landasan yang kokoh sehingga tidak hanya prosedural belaka tetapi sustantive karena didukung oleh pelaku-pelaku yang aktif.
Kebangsaan dan Kerakyatan
Seperti yang dicita-citakan oleh tokoh pendiri bangsa, bahwa negara ini lahir atas dasar semangat kebangsaan dan kerakyatan. Semangat kebangsan dan kerakyatan ini bisa diformulasikan dalam setiap perilaku dan tindakan individu, kelompok, atau organisasi. Semua yang merasa menjadi “warganegara” dituntut memiliki kesadaran kebangsaan dan kerakyatan sebagai wujud cinta kemerdekaan yang diidam-idamkan bersama.
Semangat kebangsaan berarti “cinta persaudaraan atau kesatuan hati”. Membangun semangat bangsa adalah “membangunkan manusia” dari segala bentuk pembodohan, penindasan dan kekerasan. Kemerdekaan tidak terletak pada “tangan dan kaki” manusia melainkan pada jantung hatinya. Karena itu, kedamaian dan persatuan adalah kekuatan manusia dan bangsa itu sendiri. Membangkitkan rasa persatuan membutuhkan konsep sadar diri yang dilandasi sikap keterbukaan dan loyalitas yang tinggi. Keterbukaan berarti menghargai setiap pendapat dan ide yang dikemukakan oleh siapapun, meskipun berbeda sama sekali. Belajar “berbeda” memang sulit dan membutuhkan kesadaran tinggi.
Kalau kita tengok perjuangan yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini, maka kita akan memperoleh sebuah inspirasi baru bahwa “pengorbanan” dan ’ketulusan” yang dilakukannya adalah demi tegaknya bangsa tampa pamrih. Sifat ketulusan seperti ini jarang diwarisi oleh elit politik, penguasa dalam memnagun dan mencerdaskan bangsa ini. Mereka lebih mementingkan individu dan koleganya daripada kepentingan bangsa dan rakyatnya.
Sementara itu, semangat kerakyatan sesungguhnya mempunyai dimensi kemanusian yang tinggi dalam menghormati derajat manusia, dan memihak atau memperhatikan keinginan serta tanggap terhadap aspirasi yang dikemukakan oleh rakyat. Membela kehormatan bangsa berarti harus mengakui dan menghargai setiap jerih payah usaha rakyat dalam mengembangkan dan memperjuangkan bangsa ini sekecil apapun. Karena itu, kerakyatan bisa dijadikan alternatif dalam memecahkan persoalan dan krisis yang melilit bangsa ini.
Bangsa ini terdiri dari berbagai elemen yang berbeda-beda harus terwakili dan tersentuh ketika membuat ketentuan dan kebijakan serta selanjutnya disosialisasikan kepada seluruh wilayah kelompok masyarakat. Rakyat bisa merasakan hasil pemerintahan. Upaya pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan dan keselamatan rakyat. Hal ini penting karena selama ini rakyat kurang diperhatikan pemerintah. Eksistensi bangsa terletak pada pemberdayaan kewarganegaraan, kebangsaan dan kerakyatan. Inilah fenomena penting yang dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran, renungan dalam menetapkan kinerja pemerintahan.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
SELAMA beberapa dekade, perpolitikan Indonesia telah mengalami pasang surut dan belum menemukan sistem yang signifikan terhadap perkembangan bangsa. Eksperimentasi politik selalu dilakukan setiap pergantian rejim sebagai upaya rekonstruksi pemerintahan. Silih berganti kekuasaan selalu menunjukkan sebuah tatanan sistem pemerintahan yang tidak menentu serta pada batas-batas tertentu semakin menambah rawan eksistensi pemerintah. Selama pergantian rejim nampaknya belum ada sebuah atmosfir politik yang memberikan ruang kondusif bagi tumbuhnya budaya demokrasi, sikap egaliterian, prinsip kewarganegaraan, kebangsaan dan kerakyatan.
Akibatnya, korban demokrasi tidak terelakkan lagi ketika politik dalam keadaan tidak stabil. Spekulasi elit politik membikin bingung bagi para warga. Pergantian rejim berusaha mencari sebuah sistem pemerintahan yang tepat dan cocok bagi bangsa ini. Warga hanya bisa menyaksikan para elit politik dalam memainkan peranannya untuk mengatasi perubahan itu.
Sebagaimana tujuan bangsa ini didirikan, para pendiri bangsa bersepakat bahwa mereka ingin membentuk sebuah negara merdeka dan berdaulat. Negara merdeka dan berdaulat tentu meletakkan prinsip-prinsip dasar yang harus ditegakkan. Salah satu prinsip dasar terpenting adalah terwujudnya prinsip kewarganegaraan (citizenship).
Demokratisasi merupakan salah satu cerminan dari prinsip kewarganegaraan dalam satu kesatuan yang utuh. Demokrasi tidak akan pernah memberikan kesempatan atau ruang gerak munculnya sekterianisme dan partikularisme dalam wacana dan praksis politik. Demokratisasi berjalan secara murni, holistik yang mampu menembus segala aspek kehidupan bangsa. Karena itu, demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi tersalurnya aspirasi dan partisipasi masyarakat, yang merupakan satu komponen bangsa yang memiliki hak dalam menyampaikan ide dan gagasannya itu.
Sebagaimana cita-cita bangsa ini didirikan, Indonesia adalah negara merdeka, berdaulat dan berideologi Pancasila. Semangat kebangsaan kita terejawantahkan dalam jiwa Pancasila. Pancasila mengandung muatan yang cukup luas dan mendalam yang mampu menyentuh segala aspek kebutuhan manusia, baik lahir maupun batin. Sedangkan demokrasi merupakan roda untuk mendorong jalannya ideologi itu ditengah-tengah masyarakat untuk mengantarkan warga pada kehidupan yang sejahtera dan tidak ada intervensi yang terencana dari mana pun.
Kalau kita menengok kembali sejarah masa lalu, semangat kewarganegaraan pernah diperjuangkan oleh Mohammad Hatta, ketika beliau menolak argumentasi Prof. Soetomo mengenai konsep integralistik. Namun pada waktu itu, kewarganegaraan hanya dipahami secara legalistik semata-mata. Makna dan artikulasi dari kewarganegaraan belum pernah dicoba sebagai salah satu alternatif perpolitikan selama tiga dekade tersebut. Dan kalaupun muncul, hanya pada kulit luarnya belaka.
Di saat negara yang sedang dirudung krisis dan konflik sosial berkepanjangan seperti sekarang ini, maka wacana kewarganegaraan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi permasalahan serius tersebut. Beban negara yang ditanggung sangat berat ini kalau tidak segera mendapat solusi yang tepat, juga akan menambah kerawanan konflik, yang sewaktu-waktu dikhawatirkan bisa meledak. Konflik tersebut apabila dibiarkan secara terus menerus dapat mengawatirkan rawannya perpecahan bangsa (disintegrasi bangsa). Seperti yang telah terjadi pada wilayah Timtim. Dan nampaknya masih ada wilayah yang menghendaki untuk memperoleh perlakuan “demokrasi seluas-luasnya”. Seperti Papua, Aceh, dan wilayah lainnya.
Prinsip kewarganegaraan barangkali dapat menjadi “senjata pamungkas” untuk mengatasi problem yang dihadapi bangsa ini. Karena prinsip kewarganegaraan berkaitan dengan model dan sistem pemerintahan. Kewarganegaraan memiliki nilai-nilai dan visi tentang keutamaan publik, dan hubungannya dengan semua anggota masyarakat. Di samping itu, prinsip kewarganegaraan lahir dalam dimensi-dimensi legal formal, hak-hak dasar (rights) dan pemahaman subyektif sebagai anggota warga.
Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, tentu warganegara (citizen) mendapat ruang yang layak untuk mengekspresikan semua keinginan baiknya dalam membangun negara yang beradab. Kemandirian masyarakat dapat diukur dengan tingkat besarnya aspirasi dan partisipasi yang mereka berikan. Inilah barangkali kekuatan untuk menjaga kesatuan bangsa dan pada akhirnya dapat menuju sebuah tatanan masyarakat madani (civil society).
Dalam konteks perpolitikan sekarang, pemerintah harus berusaha menunjukkan jati dirinya sebagai pengayom dan penyalur aspirasi yang tumbuh mengkristal di dalam masyarakat. Kepentingan pemerintah merupakan representasi dari akumulasi kepentingan atau keikutsertaan warga. Monopoli pemerintah (kekuasaan) tidak lagi disediakan bagi para elit pengusa. Penguasa adalah abdi warga dan semua kebijakan dan aturan harus sesuai keinginan warga, serta tunduk pada konstitusi hukum.
Semangat kewarganegaraan sesungguhnya menekankan pentingnya hak-hak dasar (rights) sebagai landasannya serta partisipasi aktif dalam mendukung kemandirian bangsa. Demokratisasi juga menghendaki adanya partisipasi warga negara untuk membentuk demokrasi yang kokoh (strong democracy). Dengan semangat kewarganegaraan, maka demokrasi akan dapat berjalan secara baik dan pada akhirnya membawa pada perubahan yang berarti. Demokrasi menjadi penting karena terbukanya warganegara untuk memperoleh hak-hak kultural, seperti kesamaan gender (equality gender), hak-hak politik, hak-hak sosial, hak-hak sipil dan masih banyak lagi hak-hak yang diperoleh.
Lebih jauh lagi, prinsip kewarganegaraan akan ikut membantu menyurutkan ancaman-ancaman disintegrasi bangsa yang muncul sebagai konsekuensi masyarakat plularistis. Sebab dengan landasan kewarganegaraan, maka akan diperoleh semacam arena yang lebih inklusif di dalam masyarakat. Kewarganegaraan, menjadi titik tolak bersama karena ia tidak lagi memberikan privilese-privilese kepada pribadi atau kelompok tertentu. Dengan demikian, sebuah proses politik yang demokratis mendapat landasan yang kokoh sehingga tidak hanya prosedural belaka tetapi sustantive karena didukung oleh pelaku-pelaku yang aktif.
Kebangsaan dan Kerakyatan
Seperti yang dicita-citakan oleh tokoh pendiri bangsa, bahwa negara ini lahir atas dasar semangat kebangsaan dan kerakyatan. Semangat kebangsan dan kerakyatan ini bisa diformulasikan dalam setiap perilaku dan tindakan individu, kelompok, atau organisasi. Semua yang merasa menjadi “warganegara” dituntut memiliki kesadaran kebangsaan dan kerakyatan sebagai wujud cinta kemerdekaan yang diidam-idamkan bersama.
Semangat kebangsaan berarti “cinta persaudaraan atau kesatuan hati”. Membangun semangat bangsa adalah “membangunkan manusia” dari segala bentuk pembodohan, penindasan dan kekerasan. Kemerdekaan tidak terletak pada “tangan dan kaki” manusia melainkan pada jantung hatinya. Karena itu, kedamaian dan persatuan adalah kekuatan manusia dan bangsa itu sendiri. Membangkitkan rasa persatuan membutuhkan konsep sadar diri yang dilandasi sikap keterbukaan dan loyalitas yang tinggi. Keterbukaan berarti menghargai setiap pendapat dan ide yang dikemukakan oleh siapapun, meskipun berbeda sama sekali. Belajar “berbeda” memang sulit dan membutuhkan kesadaran tinggi.
Kalau kita tengok perjuangan yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini, maka kita akan memperoleh sebuah inspirasi baru bahwa “pengorbanan” dan ’ketulusan” yang dilakukannya adalah demi tegaknya bangsa tampa pamrih. Sifat ketulusan seperti ini jarang diwarisi oleh elit politik, penguasa dalam memnagun dan mencerdaskan bangsa ini. Mereka lebih mementingkan individu dan koleganya daripada kepentingan bangsa dan rakyatnya.
Sementara itu, semangat kerakyatan sesungguhnya mempunyai dimensi kemanusian yang tinggi dalam menghormati derajat manusia, dan memihak atau memperhatikan keinginan serta tanggap terhadap aspirasi yang dikemukakan oleh rakyat. Membela kehormatan bangsa berarti harus mengakui dan menghargai setiap jerih payah usaha rakyat dalam mengembangkan dan memperjuangkan bangsa ini sekecil apapun. Karena itu, kerakyatan bisa dijadikan alternatif dalam memecahkan persoalan dan krisis yang melilit bangsa ini.
Bangsa ini terdiri dari berbagai elemen yang berbeda-beda harus terwakili dan tersentuh ketika membuat ketentuan dan kebijakan serta selanjutnya disosialisasikan kepada seluruh wilayah kelompok masyarakat. Rakyat bisa merasakan hasil pemerintahan. Upaya pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan dan keselamatan rakyat. Hal ini penting karena selama ini rakyat kurang diperhatikan pemerintah. Eksistensi bangsa terletak pada pemberdayaan kewarganegaraan, kebangsaan dan kerakyatan. Inilah fenomena penting yang dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran, renungan dalam menetapkan kinerja pemerintahan.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
Senin, 29 Maret 2010
Perumusan Kurikulum dalam Otonomi Daerah
Mujtahid*
SALAH satu tuntutan penting dalam otonomi daerah (otda) kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan adalah perlunya perumusan ulang kurikulum. Hal ini merupakan upaya konstruktif dalam rangka menyikapi berbagai kebutuhan dan kemungkinan guna meningkatkan kemandirian di bidang pendidikan pada era mendatang. Sebagai sebuah acuan proses pengajaran, kurikulum merupakan kunci utama yang akan membentuk dan mengantarkan peserta didik untuk menyandang predikat yang lebih baik.
Istilah kurikulum biasa dipergunakan dalam dunia atletik curere yang berarti “berlari”. Istilah ini erat hubungannya dengan kata curier (kurir) yang berarti penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Seorang kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai suatu jarak yang harus ditempuh (Nasution, 1980). Istilah tersebut kemudian mengalami perpindahan arti, dari dunia atlitik ke dunia pendidikan. Sebagai misal pengertian kurikulum yang tercantum dalam Webter’s Internaional Dictionary; Curriculum: course; a specified fixed course of study , as in a scholl or college, as one leading to a degree. Kurikulum kemudian diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang ditempuh atau dikuasai untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah. Di samping itu, kurikulum juga diartikan sebagai rencana yang sengaja dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan.
Dari sejumlah pengertian di atas, pengertian kurikulum memang agak susah dapat diartikan dengan satu makna, bahkan defenisi tersebut memiliki banyak arti. Tetapi dari beberapa pengertian tersebut, ada satu kata akhir sebagai kata kunci yaitu tercapainya tujuan tertentu dalam pendidikan.
Perumusan Ulang
Pemberlakuan Otda pada masing-masing Pemda Tingkat II merupakan kesempatan yang cukup baik dalam mengembangkan peran pendidikan sesuai dengan kekayaan aneka ragam budaya dan potensi yang terkandung di dalamnya. Sebagai sebuah konsekwensi logis, pendidikan yang selama ini tersentralisasi tentu dalam perjalannya nanti akan berbeda. Karena itu, agenda yang perlu dilakukan adalah perumusan ulang dan meninjau kembali muatan lokal tentang tujuan kurikulum.
Perumusan tujuan kurikulum pada umumnya didasarkan pada konsep-konsep sifat belajar, pelajar, dan masyarakat. Mc. Neil (1997) mengemukakan adanya empat konsep yang mempengaruhi pengembangan kurikulum dewasa ini, yaitu Pertama, kurikulum yang dikembangkan atas dasar pandangan humanis. Kurikulum ini cenderung merumuskan tujuan pendidikan dengan menekankan pada kebutuhan individual demi pertumbuhan dan integritas personal.
Kedua, perumusan kurikulum yang dikembangkan atas dasar pandangan rekonstruksi sosial. Artinya, bahwa tujuan kurikulum merupakan penekanan pada pembaharuan masyarakat dan kebudayaan. Tamatan pendidikan diharapkan menjadi masyarakat yang mampu melakukan inovasi dan pembaruan terhadap masyarakat dan kebudayaan. Demikian pula halnya dengan pandangan-pandangan yang lain, terdapat perbedaan penekanan tujuan.
Ketiga, perumusan terhadap teknologi institusional. Tujuan pengembangan kurikulum adalah mengurutkan tujuan-tujuan pengajaran secara sistematis logis sehingga siswa dapat mengembangkan ketrampilan dan pengetahuannya secara saling berhubungan sepanjang tahun. Aspek pengembangan kurikulum jenis ini biasanya menghasilkan skope (cakupan, luas) dan urutan, struktur, pengembangan urutan, atau organisasi kurikulum yang lain.
Keempat, adanya perumusan terhadap penyeleksian bahan kurikulum. Dalam penyeleksian bahan kurikulum harus dibentuk team yang membahas dan menyusun bahan secara keseluruhan. Team pengembang harus memformulasikan seluruh aspek, yaitu yang meliputi tujuan (goals, objectives), urutan, bahan metode, dan evaluasi.
Dari keempat deskripsi konsep di atas, perlu catat tebal-tebal bahwa kurikulum dalam otda sangat berkaitan dengan pengembangan kedaerahan. Sehingga dapat dipastikan bahwa muatan lokal akan sangat relevan dengan pengembangan kurikulum masa depan. Muatan lokal diasumsikan sebagai media untuk menambah khazanah pengetahuan siswa tentang kenyataan lingkungan dan potensi yang terdapat di daerah.
Unsur yang terdapat dalam mutan lokal antara lain lingkungan alam yang meliputi: pantai, dataran rendah termasuk di dalamnya daerah aliran aliran sungai, dataran tinggi,dan pegunungan atau gunung. Pola lingkungan sosial dan budaya meliputi; perikanan darat atau perikanan laut, peternakan, persawahan, perladangan dan perkebunan, perdagangan, termasuk di dalamnya jasa, produksi industri kecil, termasuk di dalamnya industri rumah tangga dan industri kerajinan, indutri besar, dan pariwisata
Impelementasi dari muatan lokal ini mengacu pada dasar dan landasan yang telah ditetapkan pemerintah. Yakni Landasan Idiil, Landasan Hukum, Landasan Teori dan landasan demografik.
Berdasarkan landasan teori dan demografik bahwa: Pertama, tingkat kemampuan berfikir siswa usia Sekolah Dasar adalah dari konkrit ke absrak. Oleh sebab itu, dalam penyampaian bahan kepada siswa Sekolah Dasar harus diawali dengan pengenalan hal yang ada disekitarnya. Menurut konsep asimilasi Jeans Piaget (1972) bahwa sesuatu yang baru haruslah dipelajari berdasarkan apa yang telah dimiliki oleh peserta didik. Penerapan gagasan baru dengan bantuan gagasan atau pengetahuan yang telah ada ini sebenarnya telah dikemukakan oleh John Freieddrich Herbart yang dikenal dengan istilah appersepsi.
Kedua, pada dasarnya anak-anak usia Sekolah Dasar memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar akan segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, mereka selalu akan gembira bila dilibatkan secara mental, fisik, dan sosialnya dalam mempelajari sesuatu. Mereka akan gembira bila diberi kesempatan untuk mempelajari lingkungan sekitarnya yang penuh sumber belajar.
Ketiga, Indonesia adalah negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan memiliki beraneka ragam adat istiadat, tatacara dan tatakrama pergaulan, seni dan budaya serta kondisi alam dan sosial yang juga beraneka ragam. Untuk melestarikannya perlu melalui program pendidikan dengan tujuan menjaga keutuhan lingkungan sosial, alam dan budaya peserta didik sedini mungkin.
Keanekagaraman inilah yang harus menjadi bahan pertimbangan untuk merumuskan ulang kurikulum yang lebih baik dan menarik bagi pengembangan pendidikan masa depan. Tanpa upaya demikian, pendidikan dalam Otda akan kehilangan peran strategisnya di dalam menerapkan cita-cita otonomi pendidikan.
*)Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
SALAH satu tuntutan penting dalam otonomi daerah (otda) kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan adalah perlunya perumusan ulang kurikulum. Hal ini merupakan upaya konstruktif dalam rangka menyikapi berbagai kebutuhan dan kemungkinan guna meningkatkan kemandirian di bidang pendidikan pada era mendatang. Sebagai sebuah acuan proses pengajaran, kurikulum merupakan kunci utama yang akan membentuk dan mengantarkan peserta didik untuk menyandang predikat yang lebih baik.
Istilah kurikulum biasa dipergunakan dalam dunia atletik curere yang berarti “berlari”. Istilah ini erat hubungannya dengan kata curier (kurir) yang berarti penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Seorang kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai suatu jarak yang harus ditempuh (Nasution, 1980). Istilah tersebut kemudian mengalami perpindahan arti, dari dunia atlitik ke dunia pendidikan. Sebagai misal pengertian kurikulum yang tercantum dalam Webter’s Internaional Dictionary; Curriculum: course; a specified fixed course of study , as in a scholl or college, as one leading to a degree. Kurikulum kemudian diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang ditempuh atau dikuasai untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah. Di samping itu, kurikulum juga diartikan sebagai rencana yang sengaja dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan.
Dari sejumlah pengertian di atas, pengertian kurikulum memang agak susah dapat diartikan dengan satu makna, bahkan defenisi tersebut memiliki banyak arti. Tetapi dari beberapa pengertian tersebut, ada satu kata akhir sebagai kata kunci yaitu tercapainya tujuan tertentu dalam pendidikan.
Perumusan Ulang
Pemberlakuan Otda pada masing-masing Pemda Tingkat II merupakan kesempatan yang cukup baik dalam mengembangkan peran pendidikan sesuai dengan kekayaan aneka ragam budaya dan potensi yang terkandung di dalamnya. Sebagai sebuah konsekwensi logis, pendidikan yang selama ini tersentralisasi tentu dalam perjalannya nanti akan berbeda. Karena itu, agenda yang perlu dilakukan adalah perumusan ulang dan meninjau kembali muatan lokal tentang tujuan kurikulum.
Perumusan tujuan kurikulum pada umumnya didasarkan pada konsep-konsep sifat belajar, pelajar, dan masyarakat. Mc. Neil (1997) mengemukakan adanya empat konsep yang mempengaruhi pengembangan kurikulum dewasa ini, yaitu Pertama, kurikulum yang dikembangkan atas dasar pandangan humanis. Kurikulum ini cenderung merumuskan tujuan pendidikan dengan menekankan pada kebutuhan individual demi pertumbuhan dan integritas personal.
Kedua, perumusan kurikulum yang dikembangkan atas dasar pandangan rekonstruksi sosial. Artinya, bahwa tujuan kurikulum merupakan penekanan pada pembaharuan masyarakat dan kebudayaan. Tamatan pendidikan diharapkan menjadi masyarakat yang mampu melakukan inovasi dan pembaruan terhadap masyarakat dan kebudayaan. Demikian pula halnya dengan pandangan-pandangan yang lain, terdapat perbedaan penekanan tujuan.
Ketiga, perumusan terhadap teknologi institusional. Tujuan pengembangan kurikulum adalah mengurutkan tujuan-tujuan pengajaran secara sistematis logis sehingga siswa dapat mengembangkan ketrampilan dan pengetahuannya secara saling berhubungan sepanjang tahun. Aspek pengembangan kurikulum jenis ini biasanya menghasilkan skope (cakupan, luas) dan urutan, struktur, pengembangan urutan, atau organisasi kurikulum yang lain.
Keempat, adanya perumusan terhadap penyeleksian bahan kurikulum. Dalam penyeleksian bahan kurikulum harus dibentuk team yang membahas dan menyusun bahan secara keseluruhan. Team pengembang harus memformulasikan seluruh aspek, yaitu yang meliputi tujuan (goals, objectives), urutan, bahan metode, dan evaluasi.
Dari keempat deskripsi konsep di atas, perlu catat tebal-tebal bahwa kurikulum dalam otda sangat berkaitan dengan pengembangan kedaerahan. Sehingga dapat dipastikan bahwa muatan lokal akan sangat relevan dengan pengembangan kurikulum masa depan. Muatan lokal diasumsikan sebagai media untuk menambah khazanah pengetahuan siswa tentang kenyataan lingkungan dan potensi yang terdapat di daerah.
Unsur yang terdapat dalam mutan lokal antara lain lingkungan alam yang meliputi: pantai, dataran rendah termasuk di dalamnya daerah aliran aliran sungai, dataran tinggi,dan pegunungan atau gunung. Pola lingkungan sosial dan budaya meliputi; perikanan darat atau perikanan laut, peternakan, persawahan, perladangan dan perkebunan, perdagangan, termasuk di dalamnya jasa, produksi industri kecil, termasuk di dalamnya industri rumah tangga dan industri kerajinan, indutri besar, dan pariwisata
Impelementasi dari muatan lokal ini mengacu pada dasar dan landasan yang telah ditetapkan pemerintah. Yakni Landasan Idiil, Landasan Hukum, Landasan Teori dan landasan demografik.
Berdasarkan landasan teori dan demografik bahwa: Pertama, tingkat kemampuan berfikir siswa usia Sekolah Dasar adalah dari konkrit ke absrak. Oleh sebab itu, dalam penyampaian bahan kepada siswa Sekolah Dasar harus diawali dengan pengenalan hal yang ada disekitarnya. Menurut konsep asimilasi Jeans Piaget (1972) bahwa sesuatu yang baru haruslah dipelajari berdasarkan apa yang telah dimiliki oleh peserta didik. Penerapan gagasan baru dengan bantuan gagasan atau pengetahuan yang telah ada ini sebenarnya telah dikemukakan oleh John Freieddrich Herbart yang dikenal dengan istilah appersepsi.
Kedua, pada dasarnya anak-anak usia Sekolah Dasar memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar akan segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, mereka selalu akan gembira bila dilibatkan secara mental, fisik, dan sosialnya dalam mempelajari sesuatu. Mereka akan gembira bila diberi kesempatan untuk mempelajari lingkungan sekitarnya yang penuh sumber belajar.
Ketiga, Indonesia adalah negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan memiliki beraneka ragam adat istiadat, tatacara dan tatakrama pergaulan, seni dan budaya serta kondisi alam dan sosial yang juga beraneka ragam. Untuk melestarikannya perlu melalui program pendidikan dengan tujuan menjaga keutuhan lingkungan sosial, alam dan budaya peserta didik sedini mungkin.
Keanekagaraman inilah yang harus menjadi bahan pertimbangan untuk merumuskan ulang kurikulum yang lebih baik dan menarik bagi pengembangan pendidikan masa depan. Tanpa upaya demikian, pendidikan dalam Otda akan kehilangan peran strategisnya di dalam menerapkan cita-cita otonomi pendidikan.
*)Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Minggu, 28 Maret 2010
Menggali Kearifan dari Profesor Energi
Mujtahid*
SANG surya adalah satu, untuk bumi. Energi memainkan peran besar untuk kemajuan ekonomi dunia. Oleh sebab itu, keadilan energi adalah tema yang sangat penting untuk diperjuangkan (Prof. TM Soelaiman)
Salah seorang di antara profesor yang lahir di Indonesia, TM Soelaiman merupakan tokoh yang memiliki kearifan dan keilmuan yang sangat luas. Romantika seorang profesor ini banyak meninggalkan gagasan-gagasan, ide-ide, bahkan obsesi-obsesi yang perlu kita teladani, sekaligus berupaya untuk merealisaikan visi-visinya demi kemajuan bangsa.
Dalam sebuah buku biografi, Soelaiman dikenal sebagai ilmuan (saintis) yang handal dan ulet. Berkawan Matahari, Romantika Seorang Profesor adalah judul buku yang terbit 2003 yang ditulis Soelaiman. Dalam catatan pinggir karya itu dijelaskan bahwa Soelaiman adalah seorang saintis yang telah menemukan ‘sesuatu’ yang sebelumnya dicari-cari oleh Albeth Einstein, yakni sebagai pakar atau ilmuan energi.
Sosok Soelaiman yang sebenarnya adalah figur guru besar yang tak mudah ditandingi kepiawiannya dalam memperkenalkan pikiran-pikiran yang revolusif, serta semangatnya yang tangguh tak kenal kata menyerah untuk menjual visi-visinya itu. Ketika mengawali kariernya di suatu Universitas tertua di Indonesia (ITB), dia dikenal sebagai seorang pendiri utama Masjid Salman di ITB, dia juga seorang intelektual Muslim yang tawadhu’ dan berani menampilkan dirinya secara terbuka, selain itu dia sebagai seniman ahli melukis dan puisi.
Sebagai ilmuan di bidang energi, Soelaiman menampilkan dirinya dengan semangat yang gigih untuk memperjuangkan konsep-konsep pengembangan energi yang terbarukan (Renewable Energy). Bahkan beliaulah yang merintis kerjasama antara BPPT dengan program pengkajian sumber daya energi laut melalui proyek OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) di Pulau Bali. Dengan sikap dan visionernya, dia mempromosikan dan memprakarsai Konversi Energi Panas Laut OTEC yang merupakan wujud pengalamannya yang diperoleh dari Washington.
Sungguh sangat tepat, jika buku “otobiografi” ini diberi judul “Berkawan Matahari”. Sebab matahari (sang surya) merupakan sumber energi. Sebagai energi, matahari memainkan peran besar untuk kemajuan ekonomi dunia. Oleh karena itu, percikan ide-ide TM Soelaiman, cenderung menekankan bahwa keadilan energi adalah tema yang sangat penting untuk diperjuangkan.
Tanpa energi, bagaimana wujud kehidupan? Bahkan sulit membayangkan bumi tanpa matahari. “Sang surya” adalah tolak segala kehidupan. Di tingkat dunia, ekonomi nyaris dikendalikan oleh energi, bukankah krisis energi pernah terjadi dan sempat membuat enonomi beberapa negara layu? Bukankah organisasi negara-negara penghasil dan pengekspor minyak OPEC memainkan peran penting untuk ekonomi? Demikian ungkapan TM Soelaiman dalam mengawali salah satu tulisannya dalam buku ini.
TM Soelaiman menyadari bahwa di negeri pertiwi ini masih hidup dibawah gelap, dalam arti sebenarnya. Sementara tanah air kita telah dikenal oleh dunia, sebagai negara yang memiliki sumberdaya energi yang melimpah. Tetapi, orang yang berada di negeri ini masih sedikit yang tahu akan hal itu, kata Soelaiman. Padahal, bukankah matahari tak berhenti bersinar, dengan lautan luas yang biru, dan semuanya adalah sumber terbarukan yang bersih? Sementara di Amerika, satu rumah bisa mengkonsumsi listrik 10 rumah di kota-kota pulau Jawa.
Perjuangan Soelaiman tiada henti untuk memiliki Jurusan Energi di ITB, tetapi tak seorangpun ada yang mendukung. Namun akhirnya, beliau menawarkan idenya tersebut ke Universitas Trisakti, Jakarta dan di sanalah dia disambut dengan respons positif. Setelah beberapa lama, dia melahirkan dua buah karya mengenai energi. Hasil upaya dari profesor ini akhirnya di warisi oleh para mahasiswa Trisakti. Mereka menciptakan pendingin interior mobil bertenaga surya yang tetap beroperasi bila mesin mobil mati saat parkir, mereka dapat memanfatkan limbah berupa serbuk gergaji dari prabrik penggergajian kayu menjadi pembangkit tenaga listrik.
Setelah melihat keberhasilan mahasiswa di Trisakti, kemudian ITB baru tergerak untuk memulai berpikir tentang energi. Bahkan sekitar tahun 1980-an, Universitas Sriwijaya Palembang telah mengangkat Soelaiman sebagai Koordinator Pembangunan Laboratorium Energi. Ketenaran selanjutnya, dia banyak di undang sebagai “dosen tamu” untuk memberi kuliah di berbagai Universitas, baik berada dalam maupun luar negeri.
Revolusi pemikiran TM Soelaiman perlu kita gali dan selayaknya patut kita eksplorasi kembali, guna mengobati krisis multidimensional saat ini, khususnya krisis pablik figur ilmuan yang memiliki kematangan intelektual, spiritual dan moral. Dia sangat pantas jika berkawan dengan matahari, karena diusianya yang sudah tiga perempat abad masih bekerja dengan penuh semangat dan bahkan dia selalu mengharap bertemu matahari lebih lama lagi, yakni untuk berkarya.
Meneladani visi-visi dan sosok TM Soelaiman profesor yang satu ini, kita akan terdorong untuk menggali peluang-peluang pengembangan sumberdaya energi yang bebas dari pencemaran, dan mewujudkan semberdaya energi yang ramah lingkungan.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
SANG surya adalah satu, untuk bumi. Energi memainkan peran besar untuk kemajuan ekonomi dunia. Oleh sebab itu, keadilan energi adalah tema yang sangat penting untuk diperjuangkan (Prof. TM Soelaiman)
Salah seorang di antara profesor yang lahir di Indonesia, TM Soelaiman merupakan tokoh yang memiliki kearifan dan keilmuan yang sangat luas. Romantika seorang profesor ini banyak meninggalkan gagasan-gagasan, ide-ide, bahkan obsesi-obsesi yang perlu kita teladani, sekaligus berupaya untuk merealisaikan visi-visinya demi kemajuan bangsa.
Dalam sebuah buku biografi, Soelaiman dikenal sebagai ilmuan (saintis) yang handal dan ulet. Berkawan Matahari, Romantika Seorang Profesor adalah judul buku yang terbit 2003 yang ditulis Soelaiman. Dalam catatan pinggir karya itu dijelaskan bahwa Soelaiman adalah seorang saintis yang telah menemukan ‘sesuatu’ yang sebelumnya dicari-cari oleh Albeth Einstein, yakni sebagai pakar atau ilmuan energi.
Sosok Soelaiman yang sebenarnya adalah figur guru besar yang tak mudah ditandingi kepiawiannya dalam memperkenalkan pikiran-pikiran yang revolusif, serta semangatnya yang tangguh tak kenal kata menyerah untuk menjual visi-visinya itu. Ketika mengawali kariernya di suatu Universitas tertua di Indonesia (ITB), dia dikenal sebagai seorang pendiri utama Masjid Salman di ITB, dia juga seorang intelektual Muslim yang tawadhu’ dan berani menampilkan dirinya secara terbuka, selain itu dia sebagai seniman ahli melukis dan puisi.
Sebagai ilmuan di bidang energi, Soelaiman menampilkan dirinya dengan semangat yang gigih untuk memperjuangkan konsep-konsep pengembangan energi yang terbarukan (Renewable Energy). Bahkan beliaulah yang merintis kerjasama antara BPPT dengan program pengkajian sumber daya energi laut melalui proyek OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) di Pulau Bali. Dengan sikap dan visionernya, dia mempromosikan dan memprakarsai Konversi Energi Panas Laut OTEC yang merupakan wujud pengalamannya yang diperoleh dari Washington.
Sungguh sangat tepat, jika buku “otobiografi” ini diberi judul “Berkawan Matahari”. Sebab matahari (sang surya) merupakan sumber energi. Sebagai energi, matahari memainkan peran besar untuk kemajuan ekonomi dunia. Oleh karena itu, percikan ide-ide TM Soelaiman, cenderung menekankan bahwa keadilan energi adalah tema yang sangat penting untuk diperjuangkan.
Tanpa energi, bagaimana wujud kehidupan? Bahkan sulit membayangkan bumi tanpa matahari. “Sang surya” adalah tolak segala kehidupan. Di tingkat dunia, ekonomi nyaris dikendalikan oleh energi, bukankah krisis energi pernah terjadi dan sempat membuat enonomi beberapa negara layu? Bukankah organisasi negara-negara penghasil dan pengekspor minyak OPEC memainkan peran penting untuk ekonomi? Demikian ungkapan TM Soelaiman dalam mengawali salah satu tulisannya dalam buku ini.
TM Soelaiman menyadari bahwa di negeri pertiwi ini masih hidup dibawah gelap, dalam arti sebenarnya. Sementara tanah air kita telah dikenal oleh dunia, sebagai negara yang memiliki sumberdaya energi yang melimpah. Tetapi, orang yang berada di negeri ini masih sedikit yang tahu akan hal itu, kata Soelaiman. Padahal, bukankah matahari tak berhenti bersinar, dengan lautan luas yang biru, dan semuanya adalah sumber terbarukan yang bersih? Sementara di Amerika, satu rumah bisa mengkonsumsi listrik 10 rumah di kota-kota pulau Jawa.
Perjuangan Soelaiman tiada henti untuk memiliki Jurusan Energi di ITB, tetapi tak seorangpun ada yang mendukung. Namun akhirnya, beliau menawarkan idenya tersebut ke Universitas Trisakti, Jakarta dan di sanalah dia disambut dengan respons positif. Setelah beberapa lama, dia melahirkan dua buah karya mengenai energi. Hasil upaya dari profesor ini akhirnya di warisi oleh para mahasiswa Trisakti. Mereka menciptakan pendingin interior mobil bertenaga surya yang tetap beroperasi bila mesin mobil mati saat parkir, mereka dapat memanfatkan limbah berupa serbuk gergaji dari prabrik penggergajian kayu menjadi pembangkit tenaga listrik.
Setelah melihat keberhasilan mahasiswa di Trisakti, kemudian ITB baru tergerak untuk memulai berpikir tentang energi. Bahkan sekitar tahun 1980-an, Universitas Sriwijaya Palembang telah mengangkat Soelaiman sebagai Koordinator Pembangunan Laboratorium Energi. Ketenaran selanjutnya, dia banyak di undang sebagai “dosen tamu” untuk memberi kuliah di berbagai Universitas, baik berada dalam maupun luar negeri.
Revolusi pemikiran TM Soelaiman perlu kita gali dan selayaknya patut kita eksplorasi kembali, guna mengobati krisis multidimensional saat ini, khususnya krisis pablik figur ilmuan yang memiliki kematangan intelektual, spiritual dan moral. Dia sangat pantas jika berkawan dengan matahari, karena diusianya yang sudah tiga perempat abad masih bekerja dengan penuh semangat dan bahkan dia selalu mengharap bertemu matahari lebih lama lagi, yakni untuk berkarya.
Meneladani visi-visi dan sosok TM Soelaiman profesor yang satu ini, kita akan terdorong untuk menggali peluang-peluang pengembangan sumberdaya energi yang bebas dari pencemaran, dan mewujudkan semberdaya energi yang ramah lingkungan.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Sabtu, 27 Maret 2010
Filsafat Hikmah Mulla Shadra
Mujtahid*
DALAM peta sejarah sosial Islam, Mulla Shadra –pencetus mazhab “al-Hikmah al-Muta’aliyah” (Filsafat Hikmah)- diakui oleh para cendikiawan Muslim sebagai salah seorang filosof Muslim terbesar pada jamannya. Sebab jika kita membuka lembar sejarah, Mulla Shadra hidup pada abad pertengahan, yang menurut sebagian orang terutama Barat, menandainya dengan sebutan abad statis (jumud), taqlid atau kemunduran.
Dinamika pemikiran filsafat pada abad pertengahan merupakan bentuk kemajuan tersendiri. Namun sayangnya, hal ini tidak menjadi referensi yang cukup- untuk tidak menyebut paling utama- dalam melihat dinamika sejarah intelektual Muslim. Mungkin, karena wacana yang lebih terlihat dan nampak kepermukaann adalah aspek politik, sosial atau keagamaan. Namun, untuk menilai kebenaran sejarah yang sesungguhnya, dalam hal ini Mulla Shadra menjadi pioner intelektual dan meninggalkan pengaruh yang tidak kalah dengan para filosof pendahulunya, seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan sebagainya.
Murtadha Mutahhari pernah menulis buku berjudul ”Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra” (2002). Karya itu sangat “padat dan berisi”. Meskipun sepintas sangat singkat, namun bobot substansinya sangat berwibawa, bahkan tidak kalah dengan buku-buku filsafat Islam lainnya. Kehadiran Mulla Shadra sebagai filosof, hampir mewarnai pemikiran sesudahnya, atau bahkan sampai sekarang relung-relung denyut nadinya masih dicari dan dikaji setiap orang. Tidak berlebihan, jika profil semisal Murtadha Muthahhari, sangat mengagumi ide-ide yang memuaskan, baik secara ruhani maupun intelektual (argumentatif).
Di samping sebagai filosof, Mulla Shadra juga dikenal memiliki keunggulan ilmu di bidang tafsir, hadits, dan gnosis (`irfan). Berbagai karya dan tulisannya dapat kita jumpai di perpustakaan, yang menjadi sumber rujukan yang paling utama, selain buku-buku filsafat Islam yang lain. Shadra tergolong pemikir yang energik dalam menuangkan gagasan-gagasan, terutama disiplin ilmu-ilmu tradisonal Islam.
Dalam spektrum pemikiran filsafat Islam, sosok Mulla Shadra dikenal sebagai penghubung yang mempertemukan aliran pemikiran yang berkembang di kalangan Muslim, yakni tradisi Aristotelian cum Neoplatonis yang diwakili figur al-Farabi (872-950 M) dan Ibn Sina (980-1037), filsafat Illuminasi Suhrawardi Kalam (teologi dialektis) yang pada saat itu memasuki tahap filosofisnya melalui figur Nashir al-Din al-Thusi (w.1273).
Haidar Baqir dalam pengantar buku ini, menjelaskan bahwa terdapat empat aliran yang melatar-belakangi munculnya Filsafat Hikmah, di antaranya: pertama, pendekatan teologi dialektik (‘ilmu kalam), pendekatan paripatetisme (Masysya`iyyah), pendekatan illuminisme (Israqiyyah) dan pendekatan sufisme/teosofi ( tashawwuf atau Irfani), khususnya yang dikembangkan oleh Ibn `Arabi (hlm.15).
Sebagai pengagum Mulla Shadra, Muthahhari (penulis buku ini) mengakui bahwa Filsafat Hikmah (Hikmat Muta`aliyah) berupaya memadukan metode-metode wawasan spiritual dengan metode-metode deduksi filosofis. Untuk mencapai kebenaran yang hakiki, kata Muthahhari, harus melebur metode-metode pencerah (illumination) ruhani dan perenungan intelektual. Seperti yang dikemukakan Baqir di atas, bahwa Filsafat Hikmah berusaha menyatukan empat aliran yang berbeda-beda. Melalui filsafat hikmat ini menawarkan sebuah jalan keluar yang sangat argumentatif.
Lebih jauh lagi, filsafat Mulla Shadra disinyalir oleh pemikir sesudahnya memiliki kedalaman khas, yang tidak mudah dijangkau oleh setiap manusia, termasuk oleh pemikir Barat. Sedemikian canggihnya filsafat ini sampai-sampai kalangan Barat tidak mudah untuk bisa menelaahnya secara cermat, kata Muthahhari. Lebih lanjut, Muthahhari mengungkapkan bahwa uraian filosofis Mulla Shadra sulit tertandingi, baik dari kalangan filosof dan pemikir dunia Islam sendiri, maupun dari kalangan filosof Timur dan Barat sekalipun.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
DALAM peta sejarah sosial Islam, Mulla Shadra –pencetus mazhab “al-Hikmah al-Muta’aliyah” (Filsafat Hikmah)- diakui oleh para cendikiawan Muslim sebagai salah seorang filosof Muslim terbesar pada jamannya. Sebab jika kita membuka lembar sejarah, Mulla Shadra hidup pada abad pertengahan, yang menurut sebagian orang terutama Barat, menandainya dengan sebutan abad statis (jumud), taqlid atau kemunduran.
Dinamika pemikiran filsafat pada abad pertengahan merupakan bentuk kemajuan tersendiri. Namun sayangnya, hal ini tidak menjadi referensi yang cukup- untuk tidak menyebut paling utama- dalam melihat dinamika sejarah intelektual Muslim. Mungkin, karena wacana yang lebih terlihat dan nampak kepermukaann adalah aspek politik, sosial atau keagamaan. Namun, untuk menilai kebenaran sejarah yang sesungguhnya, dalam hal ini Mulla Shadra menjadi pioner intelektual dan meninggalkan pengaruh yang tidak kalah dengan para filosof pendahulunya, seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan sebagainya.
Murtadha Mutahhari pernah menulis buku berjudul ”Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra” (2002). Karya itu sangat “padat dan berisi”. Meskipun sepintas sangat singkat, namun bobot substansinya sangat berwibawa, bahkan tidak kalah dengan buku-buku filsafat Islam lainnya. Kehadiran Mulla Shadra sebagai filosof, hampir mewarnai pemikiran sesudahnya, atau bahkan sampai sekarang relung-relung denyut nadinya masih dicari dan dikaji setiap orang. Tidak berlebihan, jika profil semisal Murtadha Muthahhari, sangat mengagumi ide-ide yang memuaskan, baik secara ruhani maupun intelektual (argumentatif).
Di samping sebagai filosof, Mulla Shadra juga dikenal memiliki keunggulan ilmu di bidang tafsir, hadits, dan gnosis (`irfan). Berbagai karya dan tulisannya dapat kita jumpai di perpustakaan, yang menjadi sumber rujukan yang paling utama, selain buku-buku filsafat Islam yang lain. Shadra tergolong pemikir yang energik dalam menuangkan gagasan-gagasan, terutama disiplin ilmu-ilmu tradisonal Islam.
Dalam spektrum pemikiran filsafat Islam, sosok Mulla Shadra dikenal sebagai penghubung yang mempertemukan aliran pemikiran yang berkembang di kalangan Muslim, yakni tradisi Aristotelian cum Neoplatonis yang diwakili figur al-Farabi (872-950 M) dan Ibn Sina (980-1037), filsafat Illuminasi Suhrawardi Kalam (teologi dialektis) yang pada saat itu memasuki tahap filosofisnya melalui figur Nashir al-Din al-Thusi (w.1273).
Haidar Baqir dalam pengantar buku ini, menjelaskan bahwa terdapat empat aliran yang melatar-belakangi munculnya Filsafat Hikmah, di antaranya: pertama, pendekatan teologi dialektik (‘ilmu kalam), pendekatan paripatetisme (Masysya`iyyah), pendekatan illuminisme (Israqiyyah) dan pendekatan sufisme/teosofi ( tashawwuf atau Irfani), khususnya yang dikembangkan oleh Ibn `Arabi (hlm.15).
Sebagai pengagum Mulla Shadra, Muthahhari (penulis buku ini) mengakui bahwa Filsafat Hikmah (Hikmat Muta`aliyah) berupaya memadukan metode-metode wawasan spiritual dengan metode-metode deduksi filosofis. Untuk mencapai kebenaran yang hakiki, kata Muthahhari, harus melebur metode-metode pencerah (illumination) ruhani dan perenungan intelektual. Seperti yang dikemukakan Baqir di atas, bahwa Filsafat Hikmah berusaha menyatukan empat aliran yang berbeda-beda. Melalui filsafat hikmat ini menawarkan sebuah jalan keluar yang sangat argumentatif.
Lebih jauh lagi, filsafat Mulla Shadra disinyalir oleh pemikir sesudahnya memiliki kedalaman khas, yang tidak mudah dijangkau oleh setiap manusia, termasuk oleh pemikir Barat. Sedemikian canggihnya filsafat ini sampai-sampai kalangan Barat tidak mudah untuk bisa menelaahnya secara cermat, kata Muthahhari. Lebih lanjut, Muthahhari mengungkapkan bahwa uraian filosofis Mulla Shadra sulit tertandingi, baik dari kalangan filosof dan pemikir dunia Islam sendiri, maupun dari kalangan filosof Timur dan Barat sekalipun.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Jumat, 26 Maret 2010
Mengenal Karakteristik Filsafat Islam
Mujtahid*
TAMPILNYA filsafat Islam di arena pemikiran merupakan hasil interaksi agama Islam dengan faktor ekstern. Faktor ekstern yang dimaksud adalah budaya dan tradisi non Islam yang sepanjang sejarah diwakili oleh Eropa dibelahan Barat, serta India, Iran, dan Cina di belahan Timur.
Kalau kita lacak dalan khazanah Islam, buku-buku yang menguraikan ihwal filsafat Islam, memang sudah cukup banyak ditulis. Akan tetapi hampir selalu saja terkesan adanya beberapa aspek yang terasa kurang puas. Akhirnya, setiap karya seperti itu memuat daftar panjang istilah-istilah filsafat Islam yang patut di dihargai dan harus apresiasi secara mendalam.
Haidar Bagir tidak mau ketinggalan, ia pernah menghadirkan sebuah karya yang dijuduli “Buku Saku Filsafat Islam” (2005), yang sekalipun dinamai “saku” namun buku tersebut cukup memadahi untuk mengantarkan kita memahami filsafat Islam secara holistik. Islam sebagai sebuah sumber peradaban, dipandang ikut meletakkan “prosesi batu pertama” bangunan budaya dan peradaban modern yang saat ini berkembang pesat di Barat. Di abad pertengahan itulah Islam merupakan juru ‘penyelamat’ bagi peradaban Yunani, Persia dan Romawi dengan cara menerjemahkannya ke dalam bahasa dan tradisi Islam.
Kemajuan Islam era pertengahan tidak saja mewarisi pengetahuan Yunani-Romawi, akan tetapi telah memodifikasi dan menyempurnakan pengetahuan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil usaha kreatif cendikiawan muslim seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi, al-Razi dan setelahnya, selain mengadopsi kekayaan pengetahuan mereka, juga melahirkan teori dan pengetahuan orisinil yang sama sekali baru.
Peradaban Yunani, Persia dan Romawi jelas menyumbangkan peradaban yang sangat berharga bagi Islam. Peradaban Zoroastrian (Sassanian) telah mencapai puncak renaisan kebudayaannya pada abad ke enam, sebelum Islam datang di tanah Arab. Hal ini yang kemudian menjadi pembawa obor bagi peradaban Barat, bersama-sama membawa sebuah sinkronisme kreatif baru pemikiran ilmiah dan filosofis Yunani, Hebrew, India (Hindu), Syirian, dan Zoroaster.
Pusat urat syarafnya berada di akademi terbesar pada masa itu, yaitu Akademi Jundi Shapur, di Persia bagian Tenggara. Bahkan bukan itu saja, setelah lahirnya Islam dan penaklukan Persia oleh orang-orang Arab, perkembangan kebudayaan terpenting dalam Islam, misalnya bidang sains, teknologi, matematika, logika, filsafat, kimia, musik, etika, geografi, bahkan teologi dan sastra, adalah kontribusi pemikir dan cendikiawan Persia yang pada permulaan Abad-abad Islam telah menulis dalam bahasa Arab dan atas nama Islam.
Filsafat Islam memiliki karakteristik sekaligus sebagai keunikan tersendiri. Setidaknya, terdapat tiga karakteristik yang dapat kita diketemukan dalam khazanah ini, yaitu peripatetisme (Masysya’iyyah), iluminasi (Israqiyyah) dan teosofi transenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Ketiga karakteristik tersebut sudah sering dikaji oleh para sarjana muslim.
Filsafat peripatetisme adalah paham kelanjutan dari pengaruh ide-ide Aristotelian yang bersifat diskursif-demontrasional. Corak dari Aristotelian yaitu hylomorfisme, suatu paham yang cenderung bersifat material. Peripatetisme dimulai sejak al-Kindi, yang melewati antara lain, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Thufail dan Ibn Bajjah hingga Ibn Rusyd. Mungkin, hanya Ibn Rusyd saja yang agak berani membersihkan Aristotelianisme dari Neo-Platonisme.
Filsafat iluminasi (Israqiyyah) berbicara mengenai suatu kilatan-mendadak dalam bentuk pemahaman atau ilham sebagai suatu arus cahaya. Asal mulanya, teori ini berakar dari pola-pola Platonik, yang selama periode Hellenistik dan Romawi aliran ini diserap dan tergabungkan dalam pikiran Kristiani dan Yahudi.
Tokoh yang ternama dalam corak filsafat iluminasi yaitu Surawardi. Sebagai pencetus paham iluminasi, dia telah membuka jalan suatu dialog dengan wacana-wacana dan upaya-upaya religius atau mistis dalam dunia ilmiah. Dia juga termasuk filosof yang meyakini adanya perennial wisdom. Sebuah jalan kebenaran yang dijadikan ukuran adalah pengalaman “intuitif” yang kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis-rasional.
Sementara filsafat hikmah di perkenalkan oleh Mulla Shadra. Dia membangun aliran baru filsafat dengan semangat untuk mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum muslim. Yakni tradisi Aristotelian cum Neo platonis yang diwakili figur-figur al-Farabi dan Ibn Sina, filsafat Israqiyyah, pemikiran Irfani Ibn ‘Arabi, serta tradisi kalam (teologi dialektis).
Filsafat hikmah cenderung berbicara masalah esensi (wujud), sehingga sering disebut-sebut sebagai eksistensialisme Islam. Aliran ini mempercayai bahwa pengetahuan diperoleh tidak melalui penalaran rasional, tetapi hanya melalui sejenis intuisi, yakni penyaksian bathin (syuhud, inner witnessing), cita rasa (dzauq, tasting), pencerahan (hudhur, presence).
Menurut Muthahhari, seorang pengagum Mulla Shadra yang juga menulis buku tentang “Filsafat Hikmah; Pengantar Pemikiran Mulla Shadra” mengakui bahwa Filsafat Hikmah (Hikmat Muta`aliyah) berupaya memadukan metode-metode wawasan spiritual dengan metode-metode deduksi filosofis. Untuk mencapai kebenaran yang hakiki, harus melebur metode-metode pencerah (illumination) ruhani dan perenungan intelektual. Seperti yang dikemukakan Baqir dalam buku ini, bahwa Filsafat Hikmah berusaha menyatukan empat aliran yang berbeda-beda. Melalui filsafat hikmat ini menawarkan sebuah jalan keluar yang sangat argumentatif.
Haidar Bagir sebagaimana yang diulas pada karya di atas, id berusaha memotret secara gamblang babakan kronologis sejarah filsafat Islam dan aliran-alirannya. Tak hanya itu, dia juga menghadirkan bahwa filsafat Islam bukanlah “pengetahuan absurd”, tetapi ia memiliki manfaat yang begitu besar bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Filsafat Islam dapat menjadi diagnosis atas ragam persoalan kemanusiaan. Karena hakikat dari filsafat itu adalah menjawab dan memecahkan setiap problem manusiawi yang secara kodrati pasti tidak bisa lepas dari permasalahan.
Kehadiran filsafat, menurut Bagir, berpotensi untuk membantu penyelesaian problem-problem dasar kemanusiaan. Bahkan, dikatakan bahwa filsafat bisa menyelesaikan problem-problem konkret dalam kehidupan manusia. Mengingat, berbagai krisis yang tengah kita hadapi saat ini bermula dari—setidaknya berkorelasi dengan-- krisis persepsi yang terjadi dibenak kita.
Dengan berpijak kembali kepada filsafat Islam, diharapkan bisa meretaskan pengetahuan dan kearifan religus yang bernilai tinggi. Akar-akar persoalan modernitas yang menyeret manusia ke dalam dunia “tanpa wajah” dapat disadarkan lewat penelusuran filsafat Islam. Atas dasar itulah filsafat perlu dihadirkan kembali sebagai sebuah cara pandang dunia di mata umat Islam.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malili Malang
TAMPILNYA filsafat Islam di arena pemikiran merupakan hasil interaksi agama Islam dengan faktor ekstern. Faktor ekstern yang dimaksud adalah budaya dan tradisi non Islam yang sepanjang sejarah diwakili oleh Eropa dibelahan Barat, serta India, Iran, dan Cina di belahan Timur.
Kalau kita lacak dalan khazanah Islam, buku-buku yang menguraikan ihwal filsafat Islam, memang sudah cukup banyak ditulis. Akan tetapi hampir selalu saja terkesan adanya beberapa aspek yang terasa kurang puas. Akhirnya, setiap karya seperti itu memuat daftar panjang istilah-istilah filsafat Islam yang patut di dihargai dan harus apresiasi secara mendalam.
Haidar Bagir tidak mau ketinggalan, ia pernah menghadirkan sebuah karya yang dijuduli “Buku Saku Filsafat Islam” (2005), yang sekalipun dinamai “saku” namun buku tersebut cukup memadahi untuk mengantarkan kita memahami filsafat Islam secara holistik. Islam sebagai sebuah sumber peradaban, dipandang ikut meletakkan “prosesi batu pertama” bangunan budaya dan peradaban modern yang saat ini berkembang pesat di Barat. Di abad pertengahan itulah Islam merupakan juru ‘penyelamat’ bagi peradaban Yunani, Persia dan Romawi dengan cara menerjemahkannya ke dalam bahasa dan tradisi Islam.
Kemajuan Islam era pertengahan tidak saja mewarisi pengetahuan Yunani-Romawi, akan tetapi telah memodifikasi dan menyempurnakan pengetahuan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil usaha kreatif cendikiawan muslim seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi, al-Razi dan setelahnya, selain mengadopsi kekayaan pengetahuan mereka, juga melahirkan teori dan pengetahuan orisinil yang sama sekali baru.
Peradaban Yunani, Persia dan Romawi jelas menyumbangkan peradaban yang sangat berharga bagi Islam. Peradaban Zoroastrian (Sassanian) telah mencapai puncak renaisan kebudayaannya pada abad ke enam, sebelum Islam datang di tanah Arab. Hal ini yang kemudian menjadi pembawa obor bagi peradaban Barat, bersama-sama membawa sebuah sinkronisme kreatif baru pemikiran ilmiah dan filosofis Yunani, Hebrew, India (Hindu), Syirian, dan Zoroaster.
Pusat urat syarafnya berada di akademi terbesar pada masa itu, yaitu Akademi Jundi Shapur, di Persia bagian Tenggara. Bahkan bukan itu saja, setelah lahirnya Islam dan penaklukan Persia oleh orang-orang Arab, perkembangan kebudayaan terpenting dalam Islam, misalnya bidang sains, teknologi, matematika, logika, filsafat, kimia, musik, etika, geografi, bahkan teologi dan sastra, adalah kontribusi pemikir dan cendikiawan Persia yang pada permulaan Abad-abad Islam telah menulis dalam bahasa Arab dan atas nama Islam.
Filsafat Islam memiliki karakteristik sekaligus sebagai keunikan tersendiri. Setidaknya, terdapat tiga karakteristik yang dapat kita diketemukan dalam khazanah ini, yaitu peripatetisme (Masysya’iyyah), iluminasi (Israqiyyah) dan teosofi transenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Ketiga karakteristik tersebut sudah sering dikaji oleh para sarjana muslim.
Filsafat peripatetisme adalah paham kelanjutan dari pengaruh ide-ide Aristotelian yang bersifat diskursif-demontrasional. Corak dari Aristotelian yaitu hylomorfisme, suatu paham yang cenderung bersifat material. Peripatetisme dimulai sejak al-Kindi, yang melewati antara lain, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Thufail dan Ibn Bajjah hingga Ibn Rusyd. Mungkin, hanya Ibn Rusyd saja yang agak berani membersihkan Aristotelianisme dari Neo-Platonisme.
Filsafat iluminasi (Israqiyyah) berbicara mengenai suatu kilatan-mendadak dalam bentuk pemahaman atau ilham sebagai suatu arus cahaya. Asal mulanya, teori ini berakar dari pola-pola Platonik, yang selama periode Hellenistik dan Romawi aliran ini diserap dan tergabungkan dalam pikiran Kristiani dan Yahudi.
Tokoh yang ternama dalam corak filsafat iluminasi yaitu Surawardi. Sebagai pencetus paham iluminasi, dia telah membuka jalan suatu dialog dengan wacana-wacana dan upaya-upaya religius atau mistis dalam dunia ilmiah. Dia juga termasuk filosof yang meyakini adanya perennial wisdom. Sebuah jalan kebenaran yang dijadikan ukuran adalah pengalaman “intuitif” yang kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis-rasional.
Sementara filsafat hikmah di perkenalkan oleh Mulla Shadra. Dia membangun aliran baru filsafat dengan semangat untuk mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum muslim. Yakni tradisi Aristotelian cum Neo platonis yang diwakili figur-figur al-Farabi dan Ibn Sina, filsafat Israqiyyah, pemikiran Irfani Ibn ‘Arabi, serta tradisi kalam (teologi dialektis).
Filsafat hikmah cenderung berbicara masalah esensi (wujud), sehingga sering disebut-sebut sebagai eksistensialisme Islam. Aliran ini mempercayai bahwa pengetahuan diperoleh tidak melalui penalaran rasional, tetapi hanya melalui sejenis intuisi, yakni penyaksian bathin (syuhud, inner witnessing), cita rasa (dzauq, tasting), pencerahan (hudhur, presence).
Menurut Muthahhari, seorang pengagum Mulla Shadra yang juga menulis buku tentang “Filsafat Hikmah; Pengantar Pemikiran Mulla Shadra” mengakui bahwa Filsafat Hikmah (Hikmat Muta`aliyah) berupaya memadukan metode-metode wawasan spiritual dengan metode-metode deduksi filosofis. Untuk mencapai kebenaran yang hakiki, harus melebur metode-metode pencerah (illumination) ruhani dan perenungan intelektual. Seperti yang dikemukakan Baqir dalam buku ini, bahwa Filsafat Hikmah berusaha menyatukan empat aliran yang berbeda-beda. Melalui filsafat hikmat ini menawarkan sebuah jalan keluar yang sangat argumentatif.
Haidar Bagir sebagaimana yang diulas pada karya di atas, id berusaha memotret secara gamblang babakan kronologis sejarah filsafat Islam dan aliran-alirannya. Tak hanya itu, dia juga menghadirkan bahwa filsafat Islam bukanlah “pengetahuan absurd”, tetapi ia memiliki manfaat yang begitu besar bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Filsafat Islam dapat menjadi diagnosis atas ragam persoalan kemanusiaan. Karena hakikat dari filsafat itu adalah menjawab dan memecahkan setiap problem manusiawi yang secara kodrati pasti tidak bisa lepas dari permasalahan.
Kehadiran filsafat, menurut Bagir, berpotensi untuk membantu penyelesaian problem-problem dasar kemanusiaan. Bahkan, dikatakan bahwa filsafat bisa menyelesaikan problem-problem konkret dalam kehidupan manusia. Mengingat, berbagai krisis yang tengah kita hadapi saat ini bermula dari—setidaknya berkorelasi dengan-- krisis persepsi yang terjadi dibenak kita.
Dengan berpijak kembali kepada filsafat Islam, diharapkan bisa meretaskan pengetahuan dan kearifan religus yang bernilai tinggi. Akar-akar persoalan modernitas yang menyeret manusia ke dalam dunia “tanpa wajah” dapat disadarkan lewat penelusuran filsafat Islam. Atas dasar itulah filsafat perlu dihadirkan kembali sebagai sebuah cara pandang dunia di mata umat Islam.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malili Malang
Kamis, 25 Maret 2010
Sabar dan Murah Hati
Mujtahid
SALAH satu senjata untuk menggapai “kemenangan” adalah sabar. Secara etimologis, sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena semata-mata mengharap ridha Allah. Sabar dan murah hati merupakan salah satu sifat orang cerdik yang menjadi perhiasan yang paling baik untuk mengurangi kesulitan.
Menurut al-Ghazali, sabar merupakan ciri khas manusia, binatang dan malaikat tidak memerlukan sabar. Binatang tidak sabar, karena ia tunduk dan dikendalikan oleh hawa nafsu. Malaikat tidak sabar, kerana ia senantiasa tunduk pada dzat kesuciannya. Berbeda dengan manusia, ia dibekali dua sifat yang saling tarik-menarik, antara kesucian (fithrah) dan kegelapan (dzulm), sehingga ia harus mengeluarkan jurus baru, yakni bersabar dan murah hati.
Menurut Ibn Abi Dunya, dalam buku yang berjudul “Menjinakkan Marah dan Benci” mencoba memberikan nasihat-nasihat (tausiyah) kepada kaum Muslim untuk membekali hidup ini dengan sabar dan murah hati. Tidak ada nilai yang berharga bagi manusia, kalau kesabaran dan bermurah hati itu hilang. Bermodal dari kedua hal itulah seorang dapat menuai kesuksesan menjalani kehidupan ini.
Ibn Abi Dunya adalah seorang ulama yang hidup pada dinasti Umayyah, suatu dinasti yang dikenal “Golden Age of Islam” (era kejayaan, keemasan Islam). Kepakaran dan kautamaannya mengantarkan ia menjadi pendidik di lingkungan istana. Selain dikenal sebagai pendidik, ia adalah penulis buku-buku tentang kezuhudan dan kelembutan hati.
Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini, dengan berbagai keutamaan, di antaranya kesabaran dan murah hati (hilm). Rasulullah menegaskan bahwa kesabaran dan kemurahhatian dapat membawa manfaat di dunia dan menghasilkan pahala berlimpah di akhirat. Menurut Ibn Abi Dunya, sabar dan murah hati merupakan puncak keutamaan, sumber kebaikan, dan pokok ketentraman hidup manusia.
Sabar terkait erat dengan akhlaq. Begitu pula dengan murah hati. Kedua hal ini menjadi nilai penting untuk mempertajam dan memupuk kepribadian akhlaq seseorang. Kedua nilai pokok ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, kapan dan di mana pun tetap diperlukan. Sedemikian pentingnya, Rasulullah mengilustrasikan bahwa sebagai salah satu bentuk akhlaq individu, menjadi ukuran kualitas iman seseorang. Seperti dalam sabdanya: “orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya” (HR. Tirmidzi).
Relasi antara sabar dan akhlaq adalah relasi yang mengikat. Seseorang tidak bisa dikatakan berakhlaq apabila dirinya tidak punya kesabaran. Sehingga relasi ini menjadi kunci utama keberadaan akhlaq seseorang. Artinya, sesuatu yang berkaitan dengan tingkah laku, tabiat serta perangai seseorang harus dikendalikan dengan sabar. Menurut Ibn Abi Dunya, tidak ada sinergi positif yang lebih baik melebihi sinergi kecerdasan emosional (sabar) dan kecerdasan intelektual. Yang mengendalikan akal dan perbuatan adalah sabar dan murah hati, akhir dari suatu urusan adalah sabar, dan sebaik-baik perbuatan adalah memaafkan.
Marah dan benci adalah lawan dari kesabaran dan murah hati. Menjinakkan marah dan benci hanya cukup dengan sabar dan murah hati. Sebab, jika marah dan benci menyelimuti manusia, maka bencana pasti tak dapat dihindarkan. Kemarahan dan kebencian, kata Ibn Abi Dunya, hanya dapat diobati dengan sabar dan murah hati. Lebih dari itu, al-Qur’an sendiri, sebagai kitab rujukan yang utama, memberi peringatan; “apabila mereka marah, mereka memberi maaf” (QS. 42:37).
Dengan sabar dan murah hati, seorang akan terangkat derajat kemulyaannya, baik di sisi Allah, maupun di sisi manusia. Sifat sabar dan murah hati senantiasa membuat hidup seseorang menjadi indah dan sejuk, menjadi lapang dan luas, serta semua terasa menjadi nikmat apa yh dihadapi di dunia ini.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
SALAH satu senjata untuk menggapai “kemenangan” adalah sabar. Secara etimologis, sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena semata-mata mengharap ridha Allah. Sabar dan murah hati merupakan salah satu sifat orang cerdik yang menjadi perhiasan yang paling baik untuk mengurangi kesulitan.
Menurut al-Ghazali, sabar merupakan ciri khas manusia, binatang dan malaikat tidak memerlukan sabar. Binatang tidak sabar, karena ia tunduk dan dikendalikan oleh hawa nafsu. Malaikat tidak sabar, kerana ia senantiasa tunduk pada dzat kesuciannya. Berbeda dengan manusia, ia dibekali dua sifat yang saling tarik-menarik, antara kesucian (fithrah) dan kegelapan (dzulm), sehingga ia harus mengeluarkan jurus baru, yakni bersabar dan murah hati.
Menurut Ibn Abi Dunya, dalam buku yang berjudul “Menjinakkan Marah dan Benci” mencoba memberikan nasihat-nasihat (tausiyah) kepada kaum Muslim untuk membekali hidup ini dengan sabar dan murah hati. Tidak ada nilai yang berharga bagi manusia, kalau kesabaran dan bermurah hati itu hilang. Bermodal dari kedua hal itulah seorang dapat menuai kesuksesan menjalani kehidupan ini.
Ibn Abi Dunya adalah seorang ulama yang hidup pada dinasti Umayyah, suatu dinasti yang dikenal “Golden Age of Islam” (era kejayaan, keemasan Islam). Kepakaran dan kautamaannya mengantarkan ia menjadi pendidik di lingkungan istana. Selain dikenal sebagai pendidik, ia adalah penulis buku-buku tentang kezuhudan dan kelembutan hati.
Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini, dengan berbagai keutamaan, di antaranya kesabaran dan murah hati (hilm). Rasulullah menegaskan bahwa kesabaran dan kemurahhatian dapat membawa manfaat di dunia dan menghasilkan pahala berlimpah di akhirat. Menurut Ibn Abi Dunya, sabar dan murah hati merupakan puncak keutamaan, sumber kebaikan, dan pokok ketentraman hidup manusia.
Sabar terkait erat dengan akhlaq. Begitu pula dengan murah hati. Kedua hal ini menjadi nilai penting untuk mempertajam dan memupuk kepribadian akhlaq seseorang. Kedua nilai pokok ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, kapan dan di mana pun tetap diperlukan. Sedemikian pentingnya, Rasulullah mengilustrasikan bahwa sebagai salah satu bentuk akhlaq individu, menjadi ukuran kualitas iman seseorang. Seperti dalam sabdanya: “orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya” (HR. Tirmidzi).
Relasi antara sabar dan akhlaq adalah relasi yang mengikat. Seseorang tidak bisa dikatakan berakhlaq apabila dirinya tidak punya kesabaran. Sehingga relasi ini menjadi kunci utama keberadaan akhlaq seseorang. Artinya, sesuatu yang berkaitan dengan tingkah laku, tabiat serta perangai seseorang harus dikendalikan dengan sabar. Menurut Ibn Abi Dunya, tidak ada sinergi positif yang lebih baik melebihi sinergi kecerdasan emosional (sabar) dan kecerdasan intelektual. Yang mengendalikan akal dan perbuatan adalah sabar dan murah hati, akhir dari suatu urusan adalah sabar, dan sebaik-baik perbuatan adalah memaafkan.
Marah dan benci adalah lawan dari kesabaran dan murah hati. Menjinakkan marah dan benci hanya cukup dengan sabar dan murah hati. Sebab, jika marah dan benci menyelimuti manusia, maka bencana pasti tak dapat dihindarkan. Kemarahan dan kebencian, kata Ibn Abi Dunya, hanya dapat diobati dengan sabar dan murah hati. Lebih dari itu, al-Qur’an sendiri, sebagai kitab rujukan yang utama, memberi peringatan; “apabila mereka marah, mereka memberi maaf” (QS. 42:37).
Dengan sabar dan murah hati, seorang akan terangkat derajat kemulyaannya, baik di sisi Allah, maupun di sisi manusia. Sifat sabar dan murah hati senantiasa membuat hidup seseorang menjadi indah dan sejuk, menjadi lapang dan luas, serta semua terasa menjadi nikmat apa yh dihadapi di dunia ini.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
Rabu, 24 Maret 2010
Positioning Ala Hermawan Kartajaya
Mujtahid
SETIAP usaha, apapun jenisnya pasti ingin sukses. Tapi, sukses belum saja cukup, karena banyak hal yang harus dipikirkan, tak terkecuali adalah positioning. Istilah positioning, dalam arena kompetisi marketing sering disebut sebagai strategi untuk memenangi dan menguasai benak pelanggan melalui produk yang ditawarkan.
Hermawan Kartajaya mendefinisikan positioning sebagai “the strategy to lead your customer credbly”, yaitu upaya mengarahkan pelanggan Anda secara kredibel. Jadi positioning itu tak lain adalah upaya kita untuk membangun dan mendapatkan kepercayaan di mata pelanggan. Tak salah, jika muncul sebuah kaidah “semakin kredibel Anda di mata pelanggan, maka semakin kukuh pula positioning Anda”.
Di mata pangsa pasar (customer), positioning sangat menentukan produk, merek, dan perusahaan Anda. Positioning seperti yang dikemukakan Michael Porter, merupakan core (intinya) strategi. Maksudnya yaitu upaya untuk menghasilkan posisi yang unik dan valuable bagi pelanggan. Upaya ini sangat menentukan awal hingga akhir dari strategi marketing perusahaan Anda.
Di saat kerasnya persaingan produk yang dihasilkan oleh perusahaan, menuntut kita agar bermain cantik dan meraih simpatik sebaik-baiknya dari pelanggan. Di sinilah pentingnya positioning itu dibangun. Sebab, sebaik apa pun kualitas produk anda, kalau pelanggan tidak mengenal informasi yang cukup, apalagi produk baru, maka produk Anda akan sia-sia. Selain itu, persaingan (perang) merek juga bak jamur di musim hujan, bahkan sering terjadi “tubrukan” secara frontal satu sama lain. Karenanya, positioning akan memposisikan citra merek produk tetap terjaga.
Dalam hal ini, Kartajaya menyontohkan persaingan merek sabun Lux vs Lifebuoy. Jika Anda nendengar sabun lux, apa yang ada di kepala anda? Pasti foto Tamara Bleszynski, Dian Sastro, atau Mariana Renata. Wajar saja karena Lux memposisikan diri sebagai sabunnya para bintang. Lalu, jika Anda mendengar Lifebuoy, bayangan apa yang ada di kepala Anda? Pasti tak akan jauh-jauh dari kata sehat atau keluarga karena memang lifebuoy adalah sabun kesehatan untuk seluruh anggota keluarga.
Seperti yang terkafer dalam karya Kartajaya, ia menawarkan empat kiat jitu agar positioning Anda tetap efektif. Pertama, positioning Anda haruslah dipersepsi secara positif oleh para pelanggan dan menjadi reason to buy mereka. Artinya, positioning Anda adalah mendeskripsikan value di mata pelanggan. Value yang di maksud adalah “keunggulan” produk yang Anda dimiliki, sehingga value akan menjadi bekal untuk memutuskan mereka membeli produk Anda. Intinya, positioning Anda terletak pada value yang menjadi reason to buy bagi customer.
Kedua, positioning mencerminkan kekuatan dan keunggulan kompetitif perusahaan. Maksudnya, jangan sampai Anda merumuskan positioning, tapi tidak bisa melakukannya. Banyak produk hancur karena setelah rumusan positioning tidak sesuai dengan kenyataannya. Ini justru berbahaya, bahkan bisa membunuh karakter Anda sendiri. Yang jelas jangan sampai terjadi over-promise under promise. Jika sampai terjadi, pelanggan akan mengecap Anda sebagai tukang bohong, hancurlah kredibilitas Anda di mata pelanggan.
Ketiga, positioning itu mencerminkan “keunikan”, yang berarti dengan mudah mendiferensiasikan (membedakan) diri dari para kompetitor. Cara seperti ini sangat efektif di dunia pasar. Karena positioning Anda akan sulit ditiru (diduplikat) oleh pesaing Anda. Dari positioning ini akan mengangkat citra Anda dan sekaligus akan menjaga sutainable lebih lama lagi. Contoh ini bisa Anda amati dari dunia periklanan, meraka pasti mencari hal-hal yang “unik” sekaligus menempatkan sifat itu menjadi pembeda dari kompetisi lainnya.
Keempat, positioning harus berkelanjutan dan selalu relevan dengan berbagai perubahan dalam lingkungan bisnis, seperti perubahan persaingan, perilaku pelanggan, perubahan sosial budaya, dan sebagainya. Jika positioning Anda merasa tidak relevan dengan kondisi lingkungan, maka Anda harus segera merubahnya (repositioning) agar tidak di cap kuno.
Dari keempat kiat di atas, sampai saat ini positioning masih dipahami sebagai cara yang efektif dalam membangun citra Anda di mata pelanggan. Karenanya, positioning akan menempatkan usaha Anda lebih dikenal pelanggan. Jika terjadi demikian, maka Anda termasuk berhasil dalam membangun kesan, image, di benak konsumen, bahwa produk Anda layak dipercaya dan kompeten.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
SETIAP usaha, apapun jenisnya pasti ingin sukses. Tapi, sukses belum saja cukup, karena banyak hal yang harus dipikirkan, tak terkecuali adalah positioning. Istilah positioning, dalam arena kompetisi marketing sering disebut sebagai strategi untuk memenangi dan menguasai benak pelanggan melalui produk yang ditawarkan.
Hermawan Kartajaya mendefinisikan positioning sebagai “the strategy to lead your customer credbly”, yaitu upaya mengarahkan pelanggan Anda secara kredibel. Jadi positioning itu tak lain adalah upaya kita untuk membangun dan mendapatkan kepercayaan di mata pelanggan. Tak salah, jika muncul sebuah kaidah “semakin kredibel Anda di mata pelanggan, maka semakin kukuh pula positioning Anda”.
Di mata pangsa pasar (customer), positioning sangat menentukan produk, merek, dan perusahaan Anda. Positioning seperti yang dikemukakan Michael Porter, merupakan core (intinya) strategi. Maksudnya yaitu upaya untuk menghasilkan posisi yang unik dan valuable bagi pelanggan. Upaya ini sangat menentukan awal hingga akhir dari strategi marketing perusahaan Anda.
Di saat kerasnya persaingan produk yang dihasilkan oleh perusahaan, menuntut kita agar bermain cantik dan meraih simpatik sebaik-baiknya dari pelanggan. Di sinilah pentingnya positioning itu dibangun. Sebab, sebaik apa pun kualitas produk anda, kalau pelanggan tidak mengenal informasi yang cukup, apalagi produk baru, maka produk Anda akan sia-sia. Selain itu, persaingan (perang) merek juga bak jamur di musim hujan, bahkan sering terjadi “tubrukan” secara frontal satu sama lain. Karenanya, positioning akan memposisikan citra merek produk tetap terjaga.
Dalam hal ini, Kartajaya menyontohkan persaingan merek sabun Lux vs Lifebuoy. Jika Anda nendengar sabun lux, apa yang ada di kepala anda? Pasti foto Tamara Bleszynski, Dian Sastro, atau Mariana Renata. Wajar saja karena Lux memposisikan diri sebagai sabunnya para bintang. Lalu, jika Anda mendengar Lifebuoy, bayangan apa yang ada di kepala Anda? Pasti tak akan jauh-jauh dari kata sehat atau keluarga karena memang lifebuoy adalah sabun kesehatan untuk seluruh anggota keluarga.
Seperti yang terkafer dalam karya Kartajaya, ia menawarkan empat kiat jitu agar positioning Anda tetap efektif. Pertama, positioning Anda haruslah dipersepsi secara positif oleh para pelanggan dan menjadi reason to buy mereka. Artinya, positioning Anda adalah mendeskripsikan value di mata pelanggan. Value yang di maksud adalah “keunggulan” produk yang Anda dimiliki, sehingga value akan menjadi bekal untuk memutuskan mereka membeli produk Anda. Intinya, positioning Anda terletak pada value yang menjadi reason to buy bagi customer.
Kedua, positioning mencerminkan kekuatan dan keunggulan kompetitif perusahaan. Maksudnya, jangan sampai Anda merumuskan positioning, tapi tidak bisa melakukannya. Banyak produk hancur karena setelah rumusan positioning tidak sesuai dengan kenyataannya. Ini justru berbahaya, bahkan bisa membunuh karakter Anda sendiri. Yang jelas jangan sampai terjadi over-promise under promise. Jika sampai terjadi, pelanggan akan mengecap Anda sebagai tukang bohong, hancurlah kredibilitas Anda di mata pelanggan.
Ketiga, positioning itu mencerminkan “keunikan”, yang berarti dengan mudah mendiferensiasikan (membedakan) diri dari para kompetitor. Cara seperti ini sangat efektif di dunia pasar. Karena positioning Anda akan sulit ditiru (diduplikat) oleh pesaing Anda. Dari positioning ini akan mengangkat citra Anda dan sekaligus akan menjaga sutainable lebih lama lagi. Contoh ini bisa Anda amati dari dunia periklanan, meraka pasti mencari hal-hal yang “unik” sekaligus menempatkan sifat itu menjadi pembeda dari kompetisi lainnya.
Keempat, positioning harus berkelanjutan dan selalu relevan dengan berbagai perubahan dalam lingkungan bisnis, seperti perubahan persaingan, perilaku pelanggan, perubahan sosial budaya, dan sebagainya. Jika positioning Anda merasa tidak relevan dengan kondisi lingkungan, maka Anda harus segera merubahnya (repositioning) agar tidak di cap kuno.
Dari keempat kiat di atas, sampai saat ini positioning masih dipahami sebagai cara yang efektif dalam membangun citra Anda di mata pelanggan. Karenanya, positioning akan menempatkan usaha Anda lebih dikenal pelanggan. Jika terjadi demikian, maka Anda termasuk berhasil dalam membangun kesan, image, di benak konsumen, bahwa produk Anda layak dipercaya dan kompeten.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
Selasa, 23 Maret 2010
Kisah Pendaki Menuju Puncak Everest
Mujtahid
EVEREST merupakan salah satu gunung bersejarah yang beberapa kali pernah menggemparkan dunia. Gempar, karena gunung yang hingga ratusan tahun sulit tertaklukkan para pendaki, akhirnya bisa dicapai. Selain itu, gempar karena gunung tersebut telah merenggut puluhan jiwa pendaki yang mencoba menaklukannya. Gunung yang memiliki ketinggian hingga 29.028 kaki dengan cuaca yang mematikan dapat ditaklukkan oleh berbagai tim ekspedisi, tak terkecuali oleh tim Jon Krakauer.
Everest terletak di perbatasan Nepal dan Tibet, yang menjulang bagaikan piramid tiga sisi terbetuk dari es yang mengilat dan batu berwarna gelap yang carut-marut. Puncak XV-begitulah nama sebelumnya-, menjadi sesuatu yang sangat penting. Hampir setiap musim, para pendaki dari berbagai benua ingin mencoba menaklukkannya. Nama Everest diambil dari nama seorang gubernur pengukuran untuk wilayah India, yakni Sir George Everest. Setelah Everest dinobatkan sebagai gunung tertinggi di bumi, orang-orang memutuskan bahwa Everest layak didaki.
Setelah penjelajah Amerika, Robert Peary, menaklukkan Kutub Utara pada 1909 dan Ronald Amundsen memimpin para penjelajah Norwergia menaklukkan Kutub Selatan pada 1911, Everest –yang dijuluki Kutup Ketiga- menjadi objek yang paling menarik dalam dunia penjelajahan. Mencapai puncaknya, kata Gunther O Dyrenfurth-seorang pendaki ternama dan pencatat sejarah pendakian Himalaya- seperti yang dikutip Krakauer, menyatakan “merupakan upaya manusia yang bersifat mendunia, sebuah sasaran yang layak diraih, apapun risiko dan kerugian yang harus dihadapi”.
Dari data himpuan Sikhdar pada tahun 1852, Everest telah merenggut 24 orang korban, dari 15 tim ekspedisi, dan rentang 101 tahun, sebelum akhirnya Everest berhasil ditaklukkan. Menurut pakar geologi, Everest sebenarnya bukanlah gunung yang indah. Namun keanggunan arsitektural yang dimiliki Everest itu diimbangi dengan massanya yang besar dan menakjubkan.
Pada 1924, Everest-kurang 900 kaki dari puncak- dapat ditaklukkan tim ekspedisi dari Inggris, Edward Felix Norton. Prestasi itu benar-benar menakjubkan dan mungkin tak tertandingi hingga dua puluh sembilan tahun kemudian. Namun, tak lama kemudian, mereka berusaha kembali menuju puncak. Hingga akhirnya Mallory-tokoh utama di balik tim ekspedisi pertama- yang menaklukkan Everest, bahkan namanya sering dikaitkan dengan Everest. Pada fase ini, setiap pendaki yang ingin menuju puncak Everest hanya diperkenankan dari Tibet wilayah jalur Utara.
Setelah itu, mulai 1949 hingga sekarang, jalur Selatan (Nepal) mulai dibuka. Para pencinta pendaki mulai mengalihkan perhatian mereka ke jalur selatan puncak Himalaya itu. Pada musim semi 1953, sebuah tim ekspedisi besar dari Inggris, menjadi tim ekspedisi ketiga yang berusaha menaklukkan Everest dari wilayah Nepal dalam waktu selama dua setengah bulan. Hillary dan Tenzing adalah menjadi orang pertama ygberdiri dipuncak gunung Everest pada 1953.
Dengan jalur berbeda sebelumnya, puncak Everest kembali ditaklukkan pada 1963, oleh Tom Horbein, seorang dokter dari Missouri, dan Willi Unsoeld, seorang profesor teologi dari Oregon, melalui wilayah tepi Barat gunung. Jalur ini disinyalir sebagai jalur yang paling berat dilalui, dan dinobatkan sebagai prestasi terbesar dalam dunia pendakian gunung.
Everest di mata pendaki, merupakan tantangan sekaligus kehormatan. Karena tak semua pendaki dapat melakukannya, bahkan tergolong pendaki elit saja yang mampu mengukir prestasi ke sana. Pendaki yang sampai puncak Everest termasuk pendaki yang elit dan cenderung dikomersialkan. Hal inilah yang menyedot perhatian Krakauer untuk mencobanya. Ia ingin menjadi pendaki elit seperti orang-orang sebelumnya. Inspirasinya itu baru terwujud pada 1996.
Ajang komersial pendaki gunung Everest menjadi tak terelekkan. Karena disamping biaya perizinan yang cukup mahal, juga perlu ada jaminan khusus yang menyengkut persedian bahan dan keselamatan yang relatif tinggi. Mendaki Everest tidak hanya mengandalkan “bonek” (modal nekat) dan khayalan belaka, seperti yang terbenak para pendaki tradisional.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
EVEREST merupakan salah satu gunung bersejarah yang beberapa kali pernah menggemparkan dunia. Gempar, karena gunung yang hingga ratusan tahun sulit tertaklukkan para pendaki, akhirnya bisa dicapai. Selain itu, gempar karena gunung tersebut telah merenggut puluhan jiwa pendaki yang mencoba menaklukannya. Gunung yang memiliki ketinggian hingga 29.028 kaki dengan cuaca yang mematikan dapat ditaklukkan oleh berbagai tim ekspedisi, tak terkecuali oleh tim Jon Krakauer.
Everest terletak di perbatasan Nepal dan Tibet, yang menjulang bagaikan piramid tiga sisi terbetuk dari es yang mengilat dan batu berwarna gelap yang carut-marut. Puncak XV-begitulah nama sebelumnya-, menjadi sesuatu yang sangat penting. Hampir setiap musim, para pendaki dari berbagai benua ingin mencoba menaklukkannya. Nama Everest diambil dari nama seorang gubernur pengukuran untuk wilayah India, yakni Sir George Everest. Setelah Everest dinobatkan sebagai gunung tertinggi di bumi, orang-orang memutuskan bahwa Everest layak didaki.
Setelah penjelajah Amerika, Robert Peary, menaklukkan Kutub Utara pada 1909 dan Ronald Amundsen memimpin para penjelajah Norwergia menaklukkan Kutub Selatan pada 1911, Everest –yang dijuluki Kutup Ketiga- menjadi objek yang paling menarik dalam dunia penjelajahan. Mencapai puncaknya, kata Gunther O Dyrenfurth-seorang pendaki ternama dan pencatat sejarah pendakian Himalaya- seperti yang dikutip Krakauer, menyatakan “merupakan upaya manusia yang bersifat mendunia, sebuah sasaran yang layak diraih, apapun risiko dan kerugian yang harus dihadapi”.
Dari data himpuan Sikhdar pada tahun 1852, Everest telah merenggut 24 orang korban, dari 15 tim ekspedisi, dan rentang 101 tahun, sebelum akhirnya Everest berhasil ditaklukkan. Menurut pakar geologi, Everest sebenarnya bukanlah gunung yang indah. Namun keanggunan arsitektural yang dimiliki Everest itu diimbangi dengan massanya yang besar dan menakjubkan.
Pada 1924, Everest-kurang 900 kaki dari puncak- dapat ditaklukkan tim ekspedisi dari Inggris, Edward Felix Norton. Prestasi itu benar-benar menakjubkan dan mungkin tak tertandingi hingga dua puluh sembilan tahun kemudian. Namun, tak lama kemudian, mereka berusaha kembali menuju puncak. Hingga akhirnya Mallory-tokoh utama di balik tim ekspedisi pertama- yang menaklukkan Everest, bahkan namanya sering dikaitkan dengan Everest. Pada fase ini, setiap pendaki yang ingin menuju puncak Everest hanya diperkenankan dari Tibet wilayah jalur Utara.
Setelah itu, mulai 1949 hingga sekarang, jalur Selatan (Nepal) mulai dibuka. Para pencinta pendaki mulai mengalihkan perhatian mereka ke jalur selatan puncak Himalaya itu. Pada musim semi 1953, sebuah tim ekspedisi besar dari Inggris, menjadi tim ekspedisi ketiga yang berusaha menaklukkan Everest dari wilayah Nepal dalam waktu selama dua setengah bulan. Hillary dan Tenzing adalah menjadi orang pertama ygberdiri dipuncak gunung Everest pada 1953.
Dengan jalur berbeda sebelumnya, puncak Everest kembali ditaklukkan pada 1963, oleh Tom Horbein, seorang dokter dari Missouri, dan Willi Unsoeld, seorang profesor teologi dari Oregon, melalui wilayah tepi Barat gunung. Jalur ini disinyalir sebagai jalur yang paling berat dilalui, dan dinobatkan sebagai prestasi terbesar dalam dunia pendakian gunung.
Everest di mata pendaki, merupakan tantangan sekaligus kehormatan. Karena tak semua pendaki dapat melakukannya, bahkan tergolong pendaki elit saja yang mampu mengukir prestasi ke sana. Pendaki yang sampai puncak Everest termasuk pendaki yang elit dan cenderung dikomersialkan. Hal inilah yang menyedot perhatian Krakauer untuk mencobanya. Ia ingin menjadi pendaki elit seperti orang-orang sebelumnya. Inspirasinya itu baru terwujud pada 1996.
Ajang komersial pendaki gunung Everest menjadi tak terelekkan. Karena disamping biaya perizinan yang cukup mahal, juga perlu ada jaminan khusus yang menyengkut persedian bahan dan keselamatan yang relatif tinggi. Mendaki Everest tidak hanya mengandalkan “bonek” (modal nekat) dan khayalan belaka, seperti yang terbenak para pendaki tradisional.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
Senin, 22 Maret 2010
Membedah Krisis Sejarah Muslim
Mujtahid
“ISLAM adalah agama yang memiliki sense sejarah yang sangat kuat”, demikianlah kata Bernard Lewis dalam bukunya, Historians of the Middle East. Agama Islam diakui sebagai inti yang pokok dari kepribadian dan harga diri setiap muslim. Maka pengetahuan tentang agama Islam, mutlak diperlukan untuk memberikan penilaian terhadap krisis sejarah Muslim, yang mempengaruhi peta sejarah politik umat Islam belakangan ini.
Sejarah Islam merupakan hasil interpretasi dan rekonstruksi masa lalu yang bersumber pada fakta dan memiliki makna atau arti. Sehingga mengulas sejarah harus pandai mengkait-kaitkan antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Namun dari masing-masing dimensi tersebut harus terdapat keterkaitan erat dan saling menguatkan satu sama lain.
Kini, hadir kembali sebuah interpretasi baru tentang sejarah Islam. M. Ayoub dalam bukunya yang berjudul “The Crisis of Muslim History” (2004) menyuguhkan fakta mengenai krisis sejarah Muslim. Terutama dalam perdebatan apakah Nabi itu seorang kepala negara atau bukan, ketika berada di Madinah. Begitu pula dengan sistem kekhilafahan yang dianggap sebagai sistem “semi otokrasi”. Masalah ini sempat menjadi perdebatan pro-kontra yang begitu panjang dan melelahkan, seperti gagasan Al-Maududi bertolak belakang dengan Ali Abdur Razik.
Tetapi, modal utama yang penting adalah mereka sama-sama berpegang teguh pada landasan al-Qur’an dan Sunnah. Jadi jelas bahwa ada dua interpretasi mengenai sistem sosio politik dalam sejarah Muslim, bahwa pada satu pihak, ia mengarahkan tatanan sistem politik itu berakar pada sumber wahyu, sementara di lain pihak, ia menghendaki bahwa sistem politik itu bukan terkait dengan masalah wahyu.
Memang, agak aneh kiranya kalau dikatakan, bahwa dalam Islam persoalan-pertama-tama timbul adalah soal politik dan bukan soal teologi. Ketika Nabi wafat 623 M, sama sekali beliau tidak mengisyaratkan mengenai bentuk dan model pemerintahan. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah waktu itu, sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara, ketimbang harus mengubur jenazah Nabi. Di sinilah format pertama bentukan kaum Muslim sendiri ketika menggantikan tugas Nabi sebagai pemimpin negara waktu itu, dengan sebutan khilafah. Tugas sebagai Nabi atau Rasul, Nabi tentu tidak dapat digantikan.
Melihat kenyataan di atas, M. Ayoub berusaha mengkritisi kembali sejarah Muslim seperti yang dibangun oleh sejarawan Muslim masa silam. Sebab mempelajari pengetahuan sejarah bukan saja penting, tetapi keharusan bagi ummat Islam untuk mengetahui esensi dan eksistensi kepribadian Muslim itu sendiri. Perbedaan-perbedaan interpretasi sejarah itu adalah hal wajar yang justru menjadikan Islam dapat berkembang secara dinamis.
Meski karya sejarah Muslim telah banyak bertebaran, tapi karya M. Ayoub ini lebih terfokus pada masalah hubungan antara agama dan politik, terutama masa-masa pembentukan dalam sejarah Muslim. Melalui karya ini, Ayoub memberikan konstribusi bagi umat Islam dalam melihat krisis politik dan sosio keagamaan pasca wafatnya Nabi. Seperti yang terpaparkan dalam sejarah munculnya teologi/ilmu kalam, bahwa perpecahan terjadi ketika masa khalifah Usman ibn Affan hingga masa Ali Ibn Abi Thalib. Di sinilah letak krisis sejarah Muslim itu.
Pertimbangan dalam mengusung calon pemimpin lebih dikaitkan dengan simbol-simbol indentitas, seperti faktor keturunan atau suku, kesenioran, dan kedekatan dengan Nabi dan lain sebagainya. Sementara pertimbangan “profesional” belum tampak mengemuka waktu itu. Hal ini terlihat secara nyata pada keempat masa khalifah memimpin masyarakat Madinah.
Jadi, catatan kritis yang dikemukakan M. Ayoub adalah bukan hal yang mengada-ada, tetapi justru menambahkan informasi yang belum terpaparkan secara terbuka oleh sejarawan sebelumnya, dan memang, menulis sejarah tidak bisa sekali jadi, tetapi tetap membuka selebar-lebarnya peluang koreksi secara terus menerus supaya lebih sempurna.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
“ISLAM adalah agama yang memiliki sense sejarah yang sangat kuat”, demikianlah kata Bernard Lewis dalam bukunya, Historians of the Middle East. Agama Islam diakui sebagai inti yang pokok dari kepribadian dan harga diri setiap muslim. Maka pengetahuan tentang agama Islam, mutlak diperlukan untuk memberikan penilaian terhadap krisis sejarah Muslim, yang mempengaruhi peta sejarah politik umat Islam belakangan ini.
Sejarah Islam merupakan hasil interpretasi dan rekonstruksi masa lalu yang bersumber pada fakta dan memiliki makna atau arti. Sehingga mengulas sejarah harus pandai mengkait-kaitkan antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Namun dari masing-masing dimensi tersebut harus terdapat keterkaitan erat dan saling menguatkan satu sama lain.
Kini, hadir kembali sebuah interpretasi baru tentang sejarah Islam. M. Ayoub dalam bukunya yang berjudul “The Crisis of Muslim History” (2004) menyuguhkan fakta mengenai krisis sejarah Muslim. Terutama dalam perdebatan apakah Nabi itu seorang kepala negara atau bukan, ketika berada di Madinah. Begitu pula dengan sistem kekhilafahan yang dianggap sebagai sistem “semi otokrasi”. Masalah ini sempat menjadi perdebatan pro-kontra yang begitu panjang dan melelahkan, seperti gagasan Al-Maududi bertolak belakang dengan Ali Abdur Razik.
Tetapi, modal utama yang penting adalah mereka sama-sama berpegang teguh pada landasan al-Qur’an dan Sunnah. Jadi jelas bahwa ada dua interpretasi mengenai sistem sosio politik dalam sejarah Muslim, bahwa pada satu pihak, ia mengarahkan tatanan sistem politik itu berakar pada sumber wahyu, sementara di lain pihak, ia menghendaki bahwa sistem politik itu bukan terkait dengan masalah wahyu.
Memang, agak aneh kiranya kalau dikatakan, bahwa dalam Islam persoalan-pertama-tama timbul adalah soal politik dan bukan soal teologi. Ketika Nabi wafat 623 M, sama sekali beliau tidak mengisyaratkan mengenai bentuk dan model pemerintahan. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah waktu itu, sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara, ketimbang harus mengubur jenazah Nabi. Di sinilah format pertama bentukan kaum Muslim sendiri ketika menggantikan tugas Nabi sebagai pemimpin negara waktu itu, dengan sebutan khilafah. Tugas sebagai Nabi atau Rasul, Nabi tentu tidak dapat digantikan.
Melihat kenyataan di atas, M. Ayoub berusaha mengkritisi kembali sejarah Muslim seperti yang dibangun oleh sejarawan Muslim masa silam. Sebab mempelajari pengetahuan sejarah bukan saja penting, tetapi keharusan bagi ummat Islam untuk mengetahui esensi dan eksistensi kepribadian Muslim itu sendiri. Perbedaan-perbedaan interpretasi sejarah itu adalah hal wajar yang justru menjadikan Islam dapat berkembang secara dinamis.
Meski karya sejarah Muslim telah banyak bertebaran, tapi karya M. Ayoub ini lebih terfokus pada masalah hubungan antara agama dan politik, terutama masa-masa pembentukan dalam sejarah Muslim. Melalui karya ini, Ayoub memberikan konstribusi bagi umat Islam dalam melihat krisis politik dan sosio keagamaan pasca wafatnya Nabi. Seperti yang terpaparkan dalam sejarah munculnya teologi/ilmu kalam, bahwa perpecahan terjadi ketika masa khalifah Usman ibn Affan hingga masa Ali Ibn Abi Thalib. Di sinilah letak krisis sejarah Muslim itu.
Pertimbangan dalam mengusung calon pemimpin lebih dikaitkan dengan simbol-simbol indentitas, seperti faktor keturunan atau suku, kesenioran, dan kedekatan dengan Nabi dan lain sebagainya. Sementara pertimbangan “profesional” belum tampak mengemuka waktu itu. Hal ini terlihat secara nyata pada keempat masa khalifah memimpin masyarakat Madinah.
Jadi, catatan kritis yang dikemukakan M. Ayoub adalah bukan hal yang mengada-ada, tetapi justru menambahkan informasi yang belum terpaparkan secara terbuka oleh sejarawan sebelumnya, dan memang, menulis sejarah tidak bisa sekali jadi, tetapi tetap membuka selebar-lebarnya peluang koreksi secara terus menerus supaya lebih sempurna.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Minggu, 21 Maret 2010
Menyapa Tuhan Lewat Sains
Mujtahid
SEJAK tiga abad yang lalu, ketika Isac Newton membacakan bukunya yang berjudul Principhiae Philosophiae Matematica, di depan Royal Society of London, perkembangan sains melesat tajam. Tak kalah populernya, Charles Darwin memunculkan The Origin of Species pada abad 19, yang melahirkan konsep evolusi makhluk hidup, karya ini sekaligus mempertajam pemisahan perkembangan iptek dengan pemahaman keagamaan.
Namun pada dekade terakahir ini, hubungan sains dan agama menguat kembali. Hal ini terutama menyangkut soal temuan-temuan ilmiah oleh para sarjana muslim. Setelah sekian lama, sains dipandang mengancam keberadaan agama pada satu sisi, dan agama dipandang sebagai penghambat perkembangan sains di sisi lain, akhirnya dapat di pertemukan kembali melalui interpretasi yang sehat baik pada teks-teks kitab suci maupun lewat dimensi alam semesta ini.
Kekhawatiaran dan kecurigaan yang berlebihan terhadap saintis modern itu sesungguhnya terlalu berlebihan. Sebab, sains tidak akan pernah menjerumuskan manusia, sebagai kreator yang mengendalikan sains. Sains yang terbentuk pasti juga akan tunduk pada pemiliknya. Hanya saja, persoalan yang terjadi adalah pelaku itu sendiri yang menyalahgunakan sains.
Sebagai tanda bangkitnya kesadaran dan perhatian kaum muslim terhadap dunia sains, Mehdi Golshani (2004) menyuguhkan sebuah interpretasi bahwa semua bentuk ciptaan Tuhan di alam semesta ini adalah sebuah jalan untuk menuju Tuhan. Seperti yang tersurat salah satu karyanya yang berjudul “Melacak Jejak Tuhan Dalam Sains”. Mehdi Golshani secara lugas memberikan pembacaan ayat-ayat Tuhan melalui sains modern.
Dalam Islam, Tuhan menurunkan pengetahuan (sumber informasi) kepada manusia melalui dua kategori. Kategori pertama, yaitu pengetahuan itu lewat wahyu yang sifatnya “given” dan dalam bentuk kata verbal. Pengetahuan ini berupa ayat suci al-Qur’an yang menjadi rujukan dan doktrin ajaran yang menyemangati kualitas hidup manusia ke jalan yang lurus. Sementara ketegori yang kedua, yaitu pengetahuan yang berasal dari hamparan alam semesta (kauniyah). Sumber pengetahuan kauniyah termasuk ‘‘adah al-alam” yang berhubungan dengan fungsi dan kemanfaatan alam ini diciptakan untuk manusia. Dua pengetahuan ini sama-sama menjadi perantara manusia untuk meyakini bahwa Tuhan itu benar-benar eksis.
Dari sumber teks-teks normatif, Islam sangat menjunjung tinggi serta menghargai pengetahuan. Bahkan salah satu ‘kualitas ibadah’ seseorang dapat dilihat dari segi kesalehan dan kualitas keilmuannya. Islam sendiri tidak membeda-bedakan antara sains yang umum maupun keagamaan. Kedua-duanya merupakan media manusia dalam melacak jejak Tuhan yang menurunkan-Nya. Jadi, untuk menuju Tuhan, tidak mesti pakai pengetahuan keagamaan, pengetahuan umum juga bisa. Dengan begitu, berarti Islam tidak menyediakan ruang terjadinya dikotomi sains.
Islam menghargai bahwa pencarian sains merupakan bentuk ibadah. Dari sudut ajaran Islam yang paling dalam sering diungkapkan bahwa “mencari ilmu adalah wajib bagi muslim mulai lahir hingga akhir ajal”. Tak kalah menariknya, kaum muslim dianjurkan mencari ilmu sampai ke negeri Cina, bahkan di kaum musyrik sekalipun. Jelas sekali, bahwa Islam menempatkan sains itu sebagai puncak dari sesuatu yang Tuhan anugerahkan kepada manusia. Pantas jika “jejak Tuhan” itu dapat di lacak dalam sains.
Cara menyapa Tuhan bukan hanya melewati jalan ritual. Namun, pengkajian sains pada hakikatnya metode lain untuk mendekat Tuhan. Metode ini pasti melakukan eksperimentasi, obserbasi, penalaran teoritis, intuisi untuk membuka seluk beluk alam semesta ini. Terlebih, alam sampai saat ini, masih menjadi lahan strategis yang bisa digali secara terus-menerus dan tiada habis. Karenanya, kejayaan peradaban Islam masa silam, kata Golshani, bukan semata-mata dilandasai ajaran normatif, tetapi karena ada semangat dan motivasi yang tinggi mencari ilmu-ilmu kealaman dan matematis yang Tuhan sediakan di muka bumi ini.
Kesadaran dan perhatian terhadap pengkajian sains oleh sarjana muslim terus bergulir. Hasil temuan-temuan mereka semakin menambah tingkat “kedekatan” kaum muslim dengan Tuhan. Selama ini, sains yang didominasi oleh temuan para saintis modern telah merenggangkan hubungan sains dengan agama, sekarang menjadi semakin mengukuhkan bahwa keduanya saling terjadi keteraturan.
Konteks keteraturan merupakan hal yang dikehendaki Tuhan. Sebab, diri Tuhan selalu bisa menjelma dengan apa yang Ia ciptakan, termasuk pada alam. Jadi dengan penguasaan sains, berati mendorong penguatan spiritualitas pada level yang tinggi. Bahkan, Golshani mengaskan bahwa sains dapat membawa ilmuan kepada Tuhan, jika sains ditafsirkan dalam kerangka metafisis yang tepat.
Sebagai seorang fisikawan, Golshani menggunakan penalarannya untuk menafsirkan sains ke dalam kerangka metafisis Islami. Upaya kreatif ini tentu berbeda dengan sebagian pemikir yang sering mencocok-cocokkan “keterkaitan” antara dimensi wahyu dengan dimensi alam. Usaha seperti itu, kata Golshani, merupakan kerja yang tanggung dan kurang percaya diri.
Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
SEJAK tiga abad yang lalu, ketika Isac Newton membacakan bukunya yang berjudul Principhiae Philosophiae Matematica, di depan Royal Society of London, perkembangan sains melesat tajam. Tak kalah populernya, Charles Darwin memunculkan The Origin of Species pada abad 19, yang melahirkan konsep evolusi makhluk hidup, karya ini sekaligus mempertajam pemisahan perkembangan iptek dengan pemahaman keagamaan.
Namun pada dekade terakahir ini, hubungan sains dan agama menguat kembali. Hal ini terutama menyangkut soal temuan-temuan ilmiah oleh para sarjana muslim. Setelah sekian lama, sains dipandang mengancam keberadaan agama pada satu sisi, dan agama dipandang sebagai penghambat perkembangan sains di sisi lain, akhirnya dapat di pertemukan kembali melalui interpretasi yang sehat baik pada teks-teks kitab suci maupun lewat dimensi alam semesta ini.
Kekhawatiaran dan kecurigaan yang berlebihan terhadap saintis modern itu sesungguhnya terlalu berlebihan. Sebab, sains tidak akan pernah menjerumuskan manusia, sebagai kreator yang mengendalikan sains. Sains yang terbentuk pasti juga akan tunduk pada pemiliknya. Hanya saja, persoalan yang terjadi adalah pelaku itu sendiri yang menyalahgunakan sains.
Sebagai tanda bangkitnya kesadaran dan perhatian kaum muslim terhadap dunia sains, Mehdi Golshani (2004) menyuguhkan sebuah interpretasi bahwa semua bentuk ciptaan Tuhan di alam semesta ini adalah sebuah jalan untuk menuju Tuhan. Seperti yang tersurat salah satu karyanya yang berjudul “Melacak Jejak Tuhan Dalam Sains”. Mehdi Golshani secara lugas memberikan pembacaan ayat-ayat Tuhan melalui sains modern.
Dalam Islam, Tuhan menurunkan pengetahuan (sumber informasi) kepada manusia melalui dua kategori. Kategori pertama, yaitu pengetahuan itu lewat wahyu yang sifatnya “given” dan dalam bentuk kata verbal. Pengetahuan ini berupa ayat suci al-Qur’an yang menjadi rujukan dan doktrin ajaran yang menyemangati kualitas hidup manusia ke jalan yang lurus. Sementara ketegori yang kedua, yaitu pengetahuan yang berasal dari hamparan alam semesta (kauniyah). Sumber pengetahuan kauniyah termasuk ‘‘adah al-alam” yang berhubungan dengan fungsi dan kemanfaatan alam ini diciptakan untuk manusia. Dua pengetahuan ini sama-sama menjadi perantara manusia untuk meyakini bahwa Tuhan itu benar-benar eksis.
Dari sumber teks-teks normatif, Islam sangat menjunjung tinggi serta menghargai pengetahuan. Bahkan salah satu ‘kualitas ibadah’ seseorang dapat dilihat dari segi kesalehan dan kualitas keilmuannya. Islam sendiri tidak membeda-bedakan antara sains yang umum maupun keagamaan. Kedua-duanya merupakan media manusia dalam melacak jejak Tuhan yang menurunkan-Nya. Jadi, untuk menuju Tuhan, tidak mesti pakai pengetahuan keagamaan, pengetahuan umum juga bisa. Dengan begitu, berarti Islam tidak menyediakan ruang terjadinya dikotomi sains.
Islam menghargai bahwa pencarian sains merupakan bentuk ibadah. Dari sudut ajaran Islam yang paling dalam sering diungkapkan bahwa “mencari ilmu adalah wajib bagi muslim mulai lahir hingga akhir ajal”. Tak kalah menariknya, kaum muslim dianjurkan mencari ilmu sampai ke negeri Cina, bahkan di kaum musyrik sekalipun. Jelas sekali, bahwa Islam menempatkan sains itu sebagai puncak dari sesuatu yang Tuhan anugerahkan kepada manusia. Pantas jika “jejak Tuhan” itu dapat di lacak dalam sains.
Cara menyapa Tuhan bukan hanya melewati jalan ritual. Namun, pengkajian sains pada hakikatnya metode lain untuk mendekat Tuhan. Metode ini pasti melakukan eksperimentasi, obserbasi, penalaran teoritis, intuisi untuk membuka seluk beluk alam semesta ini. Terlebih, alam sampai saat ini, masih menjadi lahan strategis yang bisa digali secara terus-menerus dan tiada habis. Karenanya, kejayaan peradaban Islam masa silam, kata Golshani, bukan semata-mata dilandasai ajaran normatif, tetapi karena ada semangat dan motivasi yang tinggi mencari ilmu-ilmu kealaman dan matematis yang Tuhan sediakan di muka bumi ini.
Kesadaran dan perhatian terhadap pengkajian sains oleh sarjana muslim terus bergulir. Hasil temuan-temuan mereka semakin menambah tingkat “kedekatan” kaum muslim dengan Tuhan. Selama ini, sains yang didominasi oleh temuan para saintis modern telah merenggangkan hubungan sains dengan agama, sekarang menjadi semakin mengukuhkan bahwa keduanya saling terjadi keteraturan.
Konteks keteraturan merupakan hal yang dikehendaki Tuhan. Sebab, diri Tuhan selalu bisa menjelma dengan apa yang Ia ciptakan, termasuk pada alam. Jadi dengan penguasaan sains, berati mendorong penguatan spiritualitas pada level yang tinggi. Bahkan, Golshani mengaskan bahwa sains dapat membawa ilmuan kepada Tuhan, jika sains ditafsirkan dalam kerangka metafisis yang tepat.
Sebagai seorang fisikawan, Golshani menggunakan penalarannya untuk menafsirkan sains ke dalam kerangka metafisis Islami. Upaya kreatif ini tentu berbeda dengan sebagian pemikir yang sering mencocok-cocokkan “keterkaitan” antara dimensi wahyu dengan dimensi alam. Usaha seperti itu, kata Golshani, merupakan kerja yang tanggung dan kurang percaya diri.
Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Sabtu, 20 Maret 2010
Hakikat Hermeneutika
Mujtahid
SEBAGAI pendekatan dalam memahami teks, hermeneutika telah menyumbangkan metodologis untuk mengatasi kesulitan interpretasi. Meski semula hermeneutik ditujukan hanya untuk “tafsir teks kitab suci”, tetapi oleh para tokoh hermeneutik, mereka memakainya tidak hanya seputar teks, melainkan sebagai metode untuk menjelaskan ilmu-ilmu kemanusiaan (geisteswissenschaften).
Term hermeneutika juga dijelaskan sebagai studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi. Namun, sekilas penjelasan itu agaknya memang kurang memuaskan bagi pemikir hermeneutik. Karena lebih dari itu, hermeneutika ingin mengatasi kesulitan-kesulitan pemahaman terhadap realitas yang sulit disentuh oleh metode lain, seperti fenomenologis, teori tindakan Weber, dekonstruksi dan lain-lain.
Tujuan hermeneutika adalah “untuk menangkap pikiran yang ditulis atau bahkan yang dikatakan pengarang seperti yang dia inginkan”. Interpretasi itu adalah bentuk dialog, maksudnya yaitu dialog dengan pengarang. Richard E. Palmer dalam buku ini, telah menjelaskan konsep hermeneutika dengan segala perbedaannya, sekaligus memaparkan empat kritikus utama yang erat disebut-sebut sebagai pelopor dan tokoh hermeneutik, seperti Schleimacher, Dilthey, Heidegger, dan Gadamer.
Dalam sejarahnya, menurut Richard E. Palmer (2003), menyatakan bahwa istilah “hermeneutika” mempunyai beberapa definisi. Definisi pertama, kata Palmer, yaitu merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel. Hermeneutik menjadi kebutuhan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan interpretasi, terutama terhadap kaidah-kaidah eksegesis (komentar) kitab suci (skripture). Jadi kehadiran hermeneutik, difungsikan untuk mengungkap pikiran Tuhan (teks suci).
Kedua, hermeneutik sebagai metodologi filologis. Ketika kitab suci telah di tafsirkan, bisa jadi hasil penafsiran itu perlu dinalar lagi, sehingga untuk memahami penafsir, diperlukan terobosan hermeneutika.
Ketiga, hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Tokoh yang mengungkap definisi ini yaitu Martin Haidegger. Analisis Haidegger mengindikasikan bahwa “pemahaman” dan “interpretasi” merupakan model fondasional keberadaan manusia. Hermeneutika Dasein Haidegger mempresentasikan ontologi pemahaman, terutama yang bersifat hermeneutis Being and Time. Pemikiran Haidegger selanjutnya diikuti oleh Gadamer, bahkan selangkah lebih maju. Gadamer dengan menghadirkan sebuah kosa kata “linguistik” ke dalam hermeneutika, telah membuat kontroversial tetapi cukup berhasil. Ia menyatakan bahwa hermeneutika merupakan pertemuan dengan Ada (Being) yang dapat dipahami dengan bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter linguistik relaitas manusia itu sendiri, dan hermeneutika larut ke dalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi dan realitas.
Keempat, hermeneutika sebagai sistem interpretasi untuk menemukan makna. Paul Ricoeur, dalam De I’intretation mendefinisikan hermeneutika mengacu pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Jadi sebuah kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, atau sebuah interpretasi teks partikular, yang merupakan tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebuah teks.
Kelima, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi geisteswissenschaften (semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Dilthey sebagai tokohnya, menyatakan untuk menafsirkan ekspresi manusia, baik yang menyangkut hukum, karya seni, maupun kitab suci, membutuhkan tindakan pemahaman historis. Apa yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, dalam keyakinan Dilthey, merupakan “kritik” nalar lain yang akan mengurusi pemahaman historis bagi kritik akal murninya Kant yang telah mengurusi ilmu-ilmu alam.
Keenam, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Schleiermacher menerjemahkan hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman. Hermeneutika berhasil mengembalikan keutuhan dan keotentikan makna teks, baik dipandang dari asal-usulnya maupun dari interpretasi-interpretasi yang pejoratif.
Dari definisi tersebut, hermeneutika hadir untuk melakukan pembongkaran terhadap teks, interpterasi teks, dan sekaligus penafsirnya. Sebab hanya dengan hermeneutik, tujuan makna yang tersembunyi dibalik semua itu dapat dipahami sesuai dengan tujuannya.
Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
SEBAGAI pendekatan dalam memahami teks, hermeneutika telah menyumbangkan metodologis untuk mengatasi kesulitan interpretasi. Meski semula hermeneutik ditujukan hanya untuk “tafsir teks kitab suci”, tetapi oleh para tokoh hermeneutik, mereka memakainya tidak hanya seputar teks, melainkan sebagai metode untuk menjelaskan ilmu-ilmu kemanusiaan (geisteswissenschaften).
Term hermeneutika juga dijelaskan sebagai studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi. Namun, sekilas penjelasan itu agaknya memang kurang memuaskan bagi pemikir hermeneutik. Karena lebih dari itu, hermeneutika ingin mengatasi kesulitan-kesulitan pemahaman terhadap realitas yang sulit disentuh oleh metode lain, seperti fenomenologis, teori tindakan Weber, dekonstruksi dan lain-lain.
Tujuan hermeneutika adalah “untuk menangkap pikiran yang ditulis atau bahkan yang dikatakan pengarang seperti yang dia inginkan”. Interpretasi itu adalah bentuk dialog, maksudnya yaitu dialog dengan pengarang. Richard E. Palmer dalam buku ini, telah menjelaskan konsep hermeneutika dengan segala perbedaannya, sekaligus memaparkan empat kritikus utama yang erat disebut-sebut sebagai pelopor dan tokoh hermeneutik, seperti Schleimacher, Dilthey, Heidegger, dan Gadamer.
Dalam sejarahnya, menurut Richard E. Palmer (2003), menyatakan bahwa istilah “hermeneutika” mempunyai beberapa definisi. Definisi pertama, kata Palmer, yaitu merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel. Hermeneutik menjadi kebutuhan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan interpretasi, terutama terhadap kaidah-kaidah eksegesis (komentar) kitab suci (skripture). Jadi kehadiran hermeneutik, difungsikan untuk mengungkap pikiran Tuhan (teks suci).
Kedua, hermeneutik sebagai metodologi filologis. Ketika kitab suci telah di tafsirkan, bisa jadi hasil penafsiran itu perlu dinalar lagi, sehingga untuk memahami penafsir, diperlukan terobosan hermeneutika.
Ketiga, hermeneutika sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Tokoh yang mengungkap definisi ini yaitu Martin Haidegger. Analisis Haidegger mengindikasikan bahwa “pemahaman” dan “interpretasi” merupakan model fondasional keberadaan manusia. Hermeneutika Dasein Haidegger mempresentasikan ontologi pemahaman, terutama yang bersifat hermeneutis Being and Time. Pemikiran Haidegger selanjutnya diikuti oleh Gadamer, bahkan selangkah lebih maju. Gadamer dengan menghadirkan sebuah kosa kata “linguistik” ke dalam hermeneutika, telah membuat kontroversial tetapi cukup berhasil. Ia menyatakan bahwa hermeneutika merupakan pertemuan dengan Ada (Being) yang dapat dipahami dengan bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter linguistik relaitas manusia itu sendiri, dan hermeneutika larut ke dalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi dan realitas.
Keempat, hermeneutika sebagai sistem interpretasi untuk menemukan makna. Paul Ricoeur, dalam De I’intretation mendefinisikan hermeneutika mengacu pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Jadi sebuah kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, atau sebuah interpretasi teks partikular, yang merupakan tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebuah teks.
Kelima, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi geisteswissenschaften (semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Dilthey sebagai tokohnya, menyatakan untuk menafsirkan ekspresi manusia, baik yang menyangkut hukum, karya seni, maupun kitab suci, membutuhkan tindakan pemahaman historis. Apa yang dibutuhkan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, dalam keyakinan Dilthey, merupakan “kritik” nalar lain yang akan mengurusi pemahaman historis bagi kritik akal murninya Kant yang telah mengurusi ilmu-ilmu alam.
Keenam, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Schleiermacher menerjemahkan hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman. Hermeneutika berhasil mengembalikan keutuhan dan keotentikan makna teks, baik dipandang dari asal-usulnya maupun dari interpretasi-interpretasi yang pejoratif.
Dari definisi tersebut, hermeneutika hadir untuk melakukan pembongkaran terhadap teks, interpterasi teks, dan sekaligus penafsirnya. Sebab hanya dengan hermeneutik, tujuan makna yang tersembunyi dibalik semua itu dapat dipahami sesuai dengan tujuannya.
Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
Jumat, 19 Maret 2010
Pergulatan Agama, Sains dan Cinta Sang Galileo
Mujtahid
SEBAGAI seorang ilmuan, Galileo adalah tokoh yang memiliki reputasi spektakuler dan dikenal punya ide-ide cerdas dalam melahirkan sains baru. Kecerdasan pikirannya itu tertuang dalam sejumlah karya Masterpiece-nya, yang sampai saat ini masih banyak dikaji oleh peminat saintis modern. Keluhuran namanya terlukis dalam lembaran tinta emas yang sulit terhapus, bahkan diabadikan menjadi nama pesawat luar angkasa.
Namun sayangnya, dari kaum agamawan (pihak gereja) mereka memandang dengan sinis terhadapnya. Sebab hasil temuan dari pikiran cerdas Galileo itu sering menimbulkan bertentangan dengan “takdir dan ayat-ayat Tuhan”. Bahkan, kaum Gereja sempat mengklaim Galileo sebagai tokoh yang anti agama “kafir”. Tetapi bukan Galileo namanya, kalau ia tidak tetap “bandel” menyuarakan kebenaran sains lewat pikiran geniusnya.
Padahal, menurut penceritaan lewat seorang putrinya (Suster Maria Celeste), Galileo adalah tokoh yang sangat taat dan menghargai agama, mencintai pengetahuan dan menyukai estetik. Kredibilitas dan kearifan Galileo kala itu, hampir sulit dapat ditandingi ilmuan-ilmuan lain. Setiap goresan tinta yang ia ditorehkan dalam sejumlah karya-karyanya, telah menyumbangkan peradaban sains yang luar biasa. Dari sinilah ia mulai merintis jalan pengembaraan untuk menciptakan “sains baru” yang dihasilkan menurut logika dan uji coba berulang-ulang kali. Hingga akhirnya, ia dijuluki sebagai bapak filsuf dan matematikawan oleh ilmuan sesudahnya, tak terkecuali Albert Enstein.
Dari sudut pandang agamawan, Galileo merupakan figur yang “menghebohkan” dataran keyakinan yang sudah mapan. Bahkan, lewat institusi Gereja raja Paus Urbanus VIII mengultimatumnya, terutama ketika ia mendukung sebuah teori Copernicus. Terori itu menurut pahan Gereja bententangan dengan Kitab Suci mereka. Karena tidak mungkin pusat alam semesta dan bumi berputar mengelilingi matahari. Dengan kearifannya, ia menerima koksekuansi walaupun dijatuhi dengan hukuman.
Dava Sobel (2004), berusaha meluruskan kenyataan pahit yang menyelimuti Galileo. Mungkin bisa dibilang satu “pembelaan” yang ditujukan kepada pihak lain yang berlaku tidak adil terhadap Galileo. Sobel menceritakan secara lengkap dan dibuktikan 124 surat Suster Maria Celeste yang ditujukan sang ayahandanya. Selain itu, Sobel juga “mencitrakan” sisi-sisi romantisme Galileo di depan anaknya tercinta, yang turut mengisahkan rerelungan Galileo yang selama ini kurang terekpos oleh banyak orang.
Tepatnya di kota Pisa, 15 Februari 1564, Galileo dilahirkan. Dari pasangan Vincecio Galileo dan Giulia Ammannati ini, ia diberkahi potensi daya otak yang cerdas dan brillian. Secara genetik, mungkin sifat keberaniannya itu mewarisi ayahnya, yang sering berbeda pendapat dengan guru dan mitra dialognya. Kontroversi tersebut tampak jelas sekali dalam sebuah buku yang berjudul Dialoque An-cient an Modern Music. Karya tersebut mengisahkan tentang elaborasi musik yang cenderung pada penataan keindahan bunyi alat musik, daripada aturan kuno yang kukuh dengan hubungan ketat antarnada.
Sejak usia muda, minat Galileo cenderung menyukai bidang matematika. Meski penah mampir mengenyam ilmu kedokteran di Universitas Pisa-lantaran paksaan orangtua-, Galileo tak pernah padam dari minat dan cita-citanya itu. Sampai akhirnya ia tidak merampungkan kuliahnya karena beda keinginan. Anehnya, ketika ia kembali ke kampung halaman, ia justru menulis paper perdananya yang bertajuk “geometri’ untuk mengisi seminar di Akademi Florentina. Dengan ketegasan, kemandirian dan keilmuannya, kemudian banyak Pendidikan Tinggi (universitas) melamarnya menjadi staf pengajar, termasuk di Universitas Pisa.
Pikiran Galileo untuk menguak semesta tak pernah berakhir. Dengan hasil temuannya sendiri berupa alat teropong, ia mampu menggali keajaiban alam semesta yang tak terbayangkan sebelumnya. Tepatnya pada 1610 M, ia berhasil menyuguhkan temuan baru berupa bulan Yupiter, temuan ini sekaligus memberi kontribusi penyempurnaan buku The Starry Messenger. Sebelumnya, pujaan Galialeo terhadap Teori Nicolaus Copernicus (1473-1543 M) dalam On the Revolusions of the Ceestial Orbs semakin menguatkan pendiriannya bahwa matahari adalah pusat alam semesta. Tak lama kemudian, ia menggoreskan karya terkenal “The Theory of The Tides” suatu karya yang mengkaji tentang gerak pasang surut, sekaligus juga mengukuhkan teori heliosentris.
Sejumlah temuan barunya mengoncang kemapanan masyarakat kala itu, sehingga kebenaran sains yang ia kembangkan harus berhadapan dengan kebenaran kitab suci. Tantangan terberatnya adalah kaum Gereja yang selalu mengintimidasi ide-ide kreatifnya. Tetapi dengan segala kearifan ilmunya, ia mampu menunjukkan sejumlah bukti dan teori secara nalar ilmiah. Lalu, ia mengarang sebuah buku yang sangat populer yakni “Dialoque Concerning the two Shief World Systems”. Buku Galileo satu ini, membakar kemarahan kaum agamawan. Akibat buku inilah, akhir riwayat Galileo akhirnya dijatuhi hukuman sel rumah hingga menjumpai ajalnya.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
SEBAGAI seorang ilmuan, Galileo adalah tokoh yang memiliki reputasi spektakuler dan dikenal punya ide-ide cerdas dalam melahirkan sains baru. Kecerdasan pikirannya itu tertuang dalam sejumlah karya Masterpiece-nya, yang sampai saat ini masih banyak dikaji oleh peminat saintis modern. Keluhuran namanya terlukis dalam lembaran tinta emas yang sulit terhapus, bahkan diabadikan menjadi nama pesawat luar angkasa.
Namun sayangnya, dari kaum agamawan (pihak gereja) mereka memandang dengan sinis terhadapnya. Sebab hasil temuan dari pikiran cerdas Galileo itu sering menimbulkan bertentangan dengan “takdir dan ayat-ayat Tuhan”. Bahkan, kaum Gereja sempat mengklaim Galileo sebagai tokoh yang anti agama “kafir”. Tetapi bukan Galileo namanya, kalau ia tidak tetap “bandel” menyuarakan kebenaran sains lewat pikiran geniusnya.
Padahal, menurut penceritaan lewat seorang putrinya (Suster Maria Celeste), Galileo adalah tokoh yang sangat taat dan menghargai agama, mencintai pengetahuan dan menyukai estetik. Kredibilitas dan kearifan Galileo kala itu, hampir sulit dapat ditandingi ilmuan-ilmuan lain. Setiap goresan tinta yang ia ditorehkan dalam sejumlah karya-karyanya, telah menyumbangkan peradaban sains yang luar biasa. Dari sinilah ia mulai merintis jalan pengembaraan untuk menciptakan “sains baru” yang dihasilkan menurut logika dan uji coba berulang-ulang kali. Hingga akhirnya, ia dijuluki sebagai bapak filsuf dan matematikawan oleh ilmuan sesudahnya, tak terkecuali Albert Enstein.
Dari sudut pandang agamawan, Galileo merupakan figur yang “menghebohkan” dataran keyakinan yang sudah mapan. Bahkan, lewat institusi Gereja raja Paus Urbanus VIII mengultimatumnya, terutama ketika ia mendukung sebuah teori Copernicus. Terori itu menurut pahan Gereja bententangan dengan Kitab Suci mereka. Karena tidak mungkin pusat alam semesta dan bumi berputar mengelilingi matahari. Dengan kearifannya, ia menerima koksekuansi walaupun dijatuhi dengan hukuman.
Dava Sobel (2004), berusaha meluruskan kenyataan pahit yang menyelimuti Galileo. Mungkin bisa dibilang satu “pembelaan” yang ditujukan kepada pihak lain yang berlaku tidak adil terhadap Galileo. Sobel menceritakan secara lengkap dan dibuktikan 124 surat Suster Maria Celeste yang ditujukan sang ayahandanya. Selain itu, Sobel juga “mencitrakan” sisi-sisi romantisme Galileo di depan anaknya tercinta, yang turut mengisahkan rerelungan Galileo yang selama ini kurang terekpos oleh banyak orang.
Tepatnya di kota Pisa, 15 Februari 1564, Galileo dilahirkan. Dari pasangan Vincecio Galileo dan Giulia Ammannati ini, ia diberkahi potensi daya otak yang cerdas dan brillian. Secara genetik, mungkin sifat keberaniannya itu mewarisi ayahnya, yang sering berbeda pendapat dengan guru dan mitra dialognya. Kontroversi tersebut tampak jelas sekali dalam sebuah buku yang berjudul Dialoque An-cient an Modern Music. Karya tersebut mengisahkan tentang elaborasi musik yang cenderung pada penataan keindahan bunyi alat musik, daripada aturan kuno yang kukuh dengan hubungan ketat antarnada.
Sejak usia muda, minat Galileo cenderung menyukai bidang matematika. Meski penah mampir mengenyam ilmu kedokteran di Universitas Pisa-lantaran paksaan orangtua-, Galileo tak pernah padam dari minat dan cita-citanya itu. Sampai akhirnya ia tidak merampungkan kuliahnya karena beda keinginan. Anehnya, ketika ia kembali ke kampung halaman, ia justru menulis paper perdananya yang bertajuk “geometri’ untuk mengisi seminar di Akademi Florentina. Dengan ketegasan, kemandirian dan keilmuannya, kemudian banyak Pendidikan Tinggi (universitas) melamarnya menjadi staf pengajar, termasuk di Universitas Pisa.
Pikiran Galileo untuk menguak semesta tak pernah berakhir. Dengan hasil temuannya sendiri berupa alat teropong, ia mampu menggali keajaiban alam semesta yang tak terbayangkan sebelumnya. Tepatnya pada 1610 M, ia berhasil menyuguhkan temuan baru berupa bulan Yupiter, temuan ini sekaligus memberi kontribusi penyempurnaan buku The Starry Messenger. Sebelumnya, pujaan Galialeo terhadap Teori Nicolaus Copernicus (1473-1543 M) dalam On the Revolusions of the Ceestial Orbs semakin menguatkan pendiriannya bahwa matahari adalah pusat alam semesta. Tak lama kemudian, ia menggoreskan karya terkenal “The Theory of The Tides” suatu karya yang mengkaji tentang gerak pasang surut, sekaligus juga mengukuhkan teori heliosentris.
Sejumlah temuan barunya mengoncang kemapanan masyarakat kala itu, sehingga kebenaran sains yang ia kembangkan harus berhadapan dengan kebenaran kitab suci. Tantangan terberatnya adalah kaum Gereja yang selalu mengintimidasi ide-ide kreatifnya. Tetapi dengan segala kearifan ilmunya, ia mampu menunjukkan sejumlah bukti dan teori secara nalar ilmiah. Lalu, ia mengarang sebuah buku yang sangat populer yakni “Dialoque Concerning the two Shief World Systems”. Buku Galileo satu ini, membakar kemarahan kaum agamawan. Akibat buku inilah, akhir riwayat Galileo akhirnya dijatuhi hukuman sel rumah hingga menjumpai ajalnya.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Kamis, 18 Maret 2010
Pers dan Hati Nurani
Mujtahid
SALAH satu tanda era globalisasi (dunia ketiga) adalah adanya pers dan jurnalistik. Di katakan masyarakat global (global society), karena mereka mengikuti denyut nadi perkembangan dan perubahan dunia. Meski mereka bertempat tinggal di satu kawasan, tetapi mereka bisa mengerti lintas kawasan. Hal ini berkat dukungan media pers dan jurnalistik.
Kini, kualitas dan keunggulan pers tidak luput dari kerja wartawan, reporter dan jurnalisnya. Suatu profesi yang berkaitan dengan peliputan berita, pencarian fakta, dan pelaporan peristiwa. Esensi dan eksistensi pers atau jurnalistik sangat ditentukan oleh kinerja wartawan atau jurnalis. Sudah menjadi hukum alam bila media pers ingin berkualitas dan berprestasi, maka para pengelolanya pun harus kualitas dan profesional.
Tak dapat disangkal lagi, bahwa media-media pers sekarang menuntut para wartawan atau pun jurnalisnya melakukan tugasnya secara profesional. Alasannya, karena media sebagai wahana informasi harus menyajikan “pemberitaan” yang sesuai dengan kelas masyarakat. ketidakobjektifan dan ketidakseimbangan berita seringkali diawali dari wartawannya yang kurang profesional.
Menurut Hikmat K. & Purnama K., (2005) bahwa profesi jurnalistik (wartawan) harus berlandaskan hati nurani. Di sampaing mengerti seluk beluknya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan memadahi. Pemutarbalikan berita merupakan contoh kecil wartawan yang mudah ‘dibeli’ dan dipengaruhi pihak-pihak tertentu.
Selain modal dasar self-perception (persepsi diri), para profesi wartawan wajib tahu tentang dunia jurnalistik. Karena, ia berhubungan dengan informasi yang dibutuhkan masyarakat mengenai apa yang dilakukan orang lain dalam masyarakat. Informasi yang akan disampaikan berarti harus dikelola, dikemas dan disajikan dalam bentuk berita yang enak dibaca dan mudah dipahami khalayak umum.
Pemberitaan membutuhkan profesionalisasi wartawan. Tanpa profesionalitas, media pers akan mudah kalah saing, serta sulit meraih positioning di tengah era kompetesi media. Di negara-negara maju, media atau pers dapat berkembang pesat karena ditopang oleh pengelola profesional.
Setidaknya ada lima hal yang harus dimengerti oleh calon wartawan. Yaitu pengetahuan teknis dan praktis, pemahaman substansial terhadap objek pemberaitaan, wawasan mengenai perilaku masyarakat pembacanya, penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa lainnya, dan etika profesi.
Memahami jurnalistik adalah kebutuhan wartawan. Ketrampilan menulis dan kecakapan memilih kata sangat menentukan bobot seorang wartawan. Tak ada cara lain untuk meningkatkan menulis, kecuali dengan melakukannya secara terus menerus. Ibarat kita mau belajar berenang, tak ada resep mujarab untuk bisa berenang, kecuali terjun langsung ke dalam air, kemudian mencobanya berkali-kali.
Seperti kita tahu, bahwa pers di Indonedia masih banyak kita jumpai penulisan-penulisan berita yang amat rendah tingkat kemudahannya untuk dibaca. Padahal, ada ungkapan ‘The art of writing? Make it simple’ gunakan kata-kata yang sederhana, yang mudah dimengerti pembaca.
*) Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
SALAH satu tanda era globalisasi (dunia ketiga) adalah adanya pers dan jurnalistik. Di katakan masyarakat global (global society), karena mereka mengikuti denyut nadi perkembangan dan perubahan dunia. Meski mereka bertempat tinggal di satu kawasan, tetapi mereka bisa mengerti lintas kawasan. Hal ini berkat dukungan media pers dan jurnalistik.
Kini, kualitas dan keunggulan pers tidak luput dari kerja wartawan, reporter dan jurnalisnya. Suatu profesi yang berkaitan dengan peliputan berita, pencarian fakta, dan pelaporan peristiwa. Esensi dan eksistensi pers atau jurnalistik sangat ditentukan oleh kinerja wartawan atau jurnalis. Sudah menjadi hukum alam bila media pers ingin berkualitas dan berprestasi, maka para pengelolanya pun harus kualitas dan profesional.
Tak dapat disangkal lagi, bahwa media-media pers sekarang menuntut para wartawan atau pun jurnalisnya melakukan tugasnya secara profesional. Alasannya, karena media sebagai wahana informasi harus menyajikan “pemberitaan” yang sesuai dengan kelas masyarakat. ketidakobjektifan dan ketidakseimbangan berita seringkali diawali dari wartawannya yang kurang profesional.
Menurut Hikmat K. & Purnama K., (2005) bahwa profesi jurnalistik (wartawan) harus berlandaskan hati nurani. Di sampaing mengerti seluk beluknya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan memadahi. Pemutarbalikan berita merupakan contoh kecil wartawan yang mudah ‘dibeli’ dan dipengaruhi pihak-pihak tertentu.
Selain modal dasar self-perception (persepsi diri), para profesi wartawan wajib tahu tentang dunia jurnalistik. Karena, ia berhubungan dengan informasi yang dibutuhkan masyarakat mengenai apa yang dilakukan orang lain dalam masyarakat. Informasi yang akan disampaikan berarti harus dikelola, dikemas dan disajikan dalam bentuk berita yang enak dibaca dan mudah dipahami khalayak umum.
Pemberitaan membutuhkan profesionalisasi wartawan. Tanpa profesionalitas, media pers akan mudah kalah saing, serta sulit meraih positioning di tengah era kompetesi media. Di negara-negara maju, media atau pers dapat berkembang pesat karena ditopang oleh pengelola profesional.
Setidaknya ada lima hal yang harus dimengerti oleh calon wartawan. Yaitu pengetahuan teknis dan praktis, pemahaman substansial terhadap objek pemberaitaan, wawasan mengenai perilaku masyarakat pembacanya, penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa lainnya, dan etika profesi.
Memahami jurnalistik adalah kebutuhan wartawan. Ketrampilan menulis dan kecakapan memilih kata sangat menentukan bobot seorang wartawan. Tak ada cara lain untuk meningkatkan menulis, kecuali dengan melakukannya secara terus menerus. Ibarat kita mau belajar berenang, tak ada resep mujarab untuk bisa berenang, kecuali terjun langsung ke dalam air, kemudian mencobanya berkali-kali.
Seperti kita tahu, bahwa pers di Indonedia masih banyak kita jumpai penulisan-penulisan berita yang amat rendah tingkat kemudahannya untuk dibaca. Padahal, ada ungkapan ‘The art of writing? Make it simple’ gunakan kata-kata yang sederhana, yang mudah dimengerti pembaca.
*) Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Rabu, 17 Maret 2010
Menyibak Ragam Misteri Laut
Mujtahid
LAUTAN membungkus 71 persen dari permukaan yang ada, hingga menjadi planet air biru. Lautan merupakan sebuah dunia lain yang menyimpan jutaan misteri bagi umat manusia. Namun sayang, bahari (laut) seringkali dipersepsi negatif masyarakat, misalnya, laut identik sebagai tempat pembuangan limbah dan sampah.
Menurut Agus S. Djamil, dalam buku “Al-Qur’an dan Lautan” (2004) bahwa sumber kelautan merupakan aset langka yang belum banyak digali manusia. Justru oleh sebagian orang, laut ditahayulkan dengan aneka ragam dongeng mistik. Kesadaran akan potensi laut harus ditanamkan sejak dini untuk generasi penerus, pewaris alam semesta ini.
Dalam al-qur’an terdapat 40 ayat yang secara khusus membicarakan laut, lautan, atau kelautan. Secara garis besarnya, ayat-ayat tersebut menginformasikan bahwa laut adalah sumber daya potensial. Air (laut) dan tanah merupakan dua sumber senyawa makhluk hidup. Komponen biologis manusia misalnya, tak luput dari kedua sumber tersebut.
Jika dilihat sepintas, laut adalah hamparan kosong yang tak berarti. Namun, setelah dikaji dengan pelbagai pendekatan, ternyata laut menyimpan sesuatu yang sangat berharga. Dalam laut terdapat aneka ragam potensi, seperti ikan yang tak pernah habis, bahan tambang dan mineral, minyak dan gas, energi yang ditimbulkan dari air pasang surut, tenaga ombak, tenaga angin laut, serta tenaga panas air laut (OTEC). Semua ini adalah kekayaan yang belum teroptimalkan bagi manusia.
Djamil melalui penelitiannya, tentang laut, lautan atau kelautan yang dikolaborasikan dengan dimensi sains dan al-qur’an, berusaha mencari kesejajaran atau paralelitas antara fakta-fakta empiris sains dan ayat-ayat qur’an. Usaha intelektual ini gunanya adalah untuk melengkapi dalam memahami dan menyikapi misteri alam, terutama laut dari sisi pandang sains dan qur’an.
Sebagai sumber air di planet bumi ini, laut sangatlah penting peranannya dalam menjaga kelangsungan hidup manusia, binatang, dan tumbuhan. Tanpa air laut, tidak ada siklus hujan yang sangat vital bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Pendek kata, tanpa air di lautan dan langit yang berkapasitas mengembalikan, bumi akan mirip dengan bulan, atapu planet mars yang kering kerontang tanpa air.
Penciptaan laut seharusnya disyukuri dengan cara menjaga dan menjadikan sebagai sumber daya yang berguna. Mensyukuri butuh pengetahuan yang memadahi. Tanpa pengetahuan yang memadahi sumber potensi kelautan tidak akan bisa tergali maksimal.
Ayat yang terkandung dalam al-qur’an memang membutuhkan tafsir bi al-ilmi (penjelasan dengan sains). Teks-teks wahyu yang terutama berbicara masalah alam (laut) tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan batiniah, akan tetapi perlu eksperimental yang ditopang dengan sains.
Dengan cara demikian, beberapa fenomena lautan yang masih dianggap sebagai suatu misteri dan rahasia oleh orang awam, akan tanpak nyata sebagai sumber esensial. Kemajuan sains dan teknologi telah menjelaskan ayat-ayat di atas hingga untuk menemukan jawabanya.
Kombinasi yang integratif antara wahyu dan sains semakin memberi penguatan sebuah kebenaran yang hakiki. Integralisasi sains dan wahyu bagaikan sumbu vertikal-horizontal yang sangat erat. Meski terlihat beda, tetap pada hakikatnya sama, yaitu menyibak rahasia kebenaran penciptaan laut.
Menyadari esensi laut yang begitu besar manfaatnya, maka kemaritiman adalah masalah yang paling sensitif. Baru-baru ini Indonesia sengketa dengan negeri tetangga Malaysia soal batas wilayah teritorial pulau Ambalat. Sebelumnya, Indonesia telah kehilangan pulau Ligitan dan Sipadan pada 12 Desember 2002 lalu atas keputusan Mahkamah Internasional yang di menangkan Malaysia.
Dengan jumlah pulau sebanyak 18.108 pula dan panjang pantai 81.000 km, potensi laut dan perikanan Indonesia selama ini memang sangat menggiurkan. Laut Indonesia begitu luas yang terdiri dari Laut Teritorial seluas 0,8 juta km2, Laut Nusantara di antara kepulauan Indonesia seluas 3,2 juta km2, apalagi ditambah dengan Zona Ekonomi eksklusif Inodonesia yang mengacu pada UNCLOS 1982seluas 2,7 juta km persegi untuk eksplorasi, eksploitasi, dan pengolahan sumber daya hayati dan non hayati.
Sebagai negeri yang besar, terutama lautnya yang terhampar, Indonesia perlu secara serius menguatkan keamanan di bidang maritim. Sering kita temui bahwa pembajak Asing dengan seenaknya mengeruk kekayaan laut kita. Ketegasan dan keberanian terhadap mereka harus ditampakkan agar kewilayahan kita tidak semena-mena diserobot warga asing.
Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malang
LAUTAN membungkus 71 persen dari permukaan yang ada, hingga menjadi planet air biru. Lautan merupakan sebuah dunia lain yang menyimpan jutaan misteri bagi umat manusia. Namun sayang, bahari (laut) seringkali dipersepsi negatif masyarakat, misalnya, laut identik sebagai tempat pembuangan limbah dan sampah.
Menurut Agus S. Djamil, dalam buku “Al-Qur’an dan Lautan” (2004) bahwa sumber kelautan merupakan aset langka yang belum banyak digali manusia. Justru oleh sebagian orang, laut ditahayulkan dengan aneka ragam dongeng mistik. Kesadaran akan potensi laut harus ditanamkan sejak dini untuk generasi penerus, pewaris alam semesta ini.
Dalam al-qur’an terdapat 40 ayat yang secara khusus membicarakan laut, lautan, atau kelautan. Secara garis besarnya, ayat-ayat tersebut menginformasikan bahwa laut adalah sumber daya potensial. Air (laut) dan tanah merupakan dua sumber senyawa makhluk hidup. Komponen biologis manusia misalnya, tak luput dari kedua sumber tersebut.
Jika dilihat sepintas, laut adalah hamparan kosong yang tak berarti. Namun, setelah dikaji dengan pelbagai pendekatan, ternyata laut menyimpan sesuatu yang sangat berharga. Dalam laut terdapat aneka ragam potensi, seperti ikan yang tak pernah habis, bahan tambang dan mineral, minyak dan gas, energi yang ditimbulkan dari air pasang surut, tenaga ombak, tenaga angin laut, serta tenaga panas air laut (OTEC). Semua ini adalah kekayaan yang belum teroptimalkan bagi manusia.
Djamil melalui penelitiannya, tentang laut, lautan atau kelautan yang dikolaborasikan dengan dimensi sains dan al-qur’an, berusaha mencari kesejajaran atau paralelitas antara fakta-fakta empiris sains dan ayat-ayat qur’an. Usaha intelektual ini gunanya adalah untuk melengkapi dalam memahami dan menyikapi misteri alam, terutama laut dari sisi pandang sains dan qur’an.
Sebagai sumber air di planet bumi ini, laut sangatlah penting peranannya dalam menjaga kelangsungan hidup manusia, binatang, dan tumbuhan. Tanpa air laut, tidak ada siklus hujan yang sangat vital bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Pendek kata, tanpa air di lautan dan langit yang berkapasitas mengembalikan, bumi akan mirip dengan bulan, atapu planet mars yang kering kerontang tanpa air.
Penciptaan laut seharusnya disyukuri dengan cara menjaga dan menjadikan sebagai sumber daya yang berguna. Mensyukuri butuh pengetahuan yang memadahi. Tanpa pengetahuan yang memadahi sumber potensi kelautan tidak akan bisa tergali maksimal.
Ayat yang terkandung dalam al-qur’an memang membutuhkan tafsir bi al-ilmi (penjelasan dengan sains). Teks-teks wahyu yang terutama berbicara masalah alam (laut) tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan batiniah, akan tetapi perlu eksperimental yang ditopang dengan sains.
Dengan cara demikian, beberapa fenomena lautan yang masih dianggap sebagai suatu misteri dan rahasia oleh orang awam, akan tanpak nyata sebagai sumber esensial. Kemajuan sains dan teknologi telah menjelaskan ayat-ayat di atas hingga untuk menemukan jawabanya.
Kombinasi yang integratif antara wahyu dan sains semakin memberi penguatan sebuah kebenaran yang hakiki. Integralisasi sains dan wahyu bagaikan sumbu vertikal-horizontal yang sangat erat. Meski terlihat beda, tetap pada hakikatnya sama, yaitu menyibak rahasia kebenaran penciptaan laut.
Menyadari esensi laut yang begitu besar manfaatnya, maka kemaritiman adalah masalah yang paling sensitif. Baru-baru ini Indonesia sengketa dengan negeri tetangga Malaysia soal batas wilayah teritorial pulau Ambalat. Sebelumnya, Indonesia telah kehilangan pulau Ligitan dan Sipadan pada 12 Desember 2002 lalu atas keputusan Mahkamah Internasional yang di menangkan Malaysia.
Dengan jumlah pulau sebanyak 18.108 pula dan panjang pantai 81.000 km, potensi laut dan perikanan Indonesia selama ini memang sangat menggiurkan. Laut Indonesia begitu luas yang terdiri dari Laut Teritorial seluas 0,8 juta km2, Laut Nusantara di antara kepulauan Indonesia seluas 3,2 juta km2, apalagi ditambah dengan Zona Ekonomi eksklusif Inodonesia yang mengacu pada UNCLOS 1982seluas 2,7 juta km persegi untuk eksplorasi, eksploitasi, dan pengolahan sumber daya hayati dan non hayati.
Sebagai negeri yang besar, terutama lautnya yang terhampar, Indonesia perlu secara serius menguatkan keamanan di bidang maritim. Sering kita temui bahwa pembajak Asing dengan seenaknya mengeruk kekayaan laut kita. Ketegasan dan keberanian terhadap mereka harus ditampakkan agar kewilayahan kita tidak semena-mena diserobot warga asing.
Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malang
Selasa, 16 Maret 2010
Membangun Epistemologi Ilmu dalam Islam
Mujtahid
SEJAK masa kenabian sampai saat ini, Islam tetap diakui sebagai ajaran (risalah) agama yang sangat compatible dengan cita-cita kemajuan ilmu pengetahuan dan pembentukan peradaban ummat. Di pandang dari segi teologis, Islam memiliki sistem ketuhanan yang sempurna, yang mengatur kehidupan alam semesta ini secara totalitas. Singkatnya, kehadiran Islam selain mengajarkan bagaimana membangun transendensi yang kokoh, tetapi juga memberi implikasi praksis-empiris, yakni membawa misi kerahmatan bagi semesta alam.
Namun, secara faktual yang terjadi dilapangan eksistensi Islam belum memperlihatkan suatu ajaran yang compatible dengan kemajuan sebagaimana yang dimaksud di atas, tetapi dalam beberapa hal ajaran agama justru dipahami secara parsial yang pada gilirannya membuat umat Islam itu sendiri terjebak pada dataran normativ, eskatologis dan berlawanan dengan nilai-nilai kedinamisannya. Munculnya wacana gagasan Islam liberal misalnya, telah melahirkan reaksi yang justru mematikan substansi pemikiran ummat.
Nampaknya masih ada kesenjangan antara cita-cita, pesan moral dan kenyataan yang sesungguhnya. Karena sampai saat ini, literatur keagamaan semacam ini masih agak ‘terbatas’, dibandingkan dengan literatur keagamaan yang ranah kajiannya berbau konseptual dan sulit diimplementasikan pada dataran praksis.
Menurut Muslim A. Kadir, dalam bukunya “Ilmu Islam Terapan, Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam” (2003) menyuguhkan gagasan dan paradigma baru bahwa saat ini perlu tentang ilmu Islam terapan (`amali) sebagai jawaban terhadap kesenjangan literatur keagamaan selama ini. Sebab, warisan khazanah pemikiran yang banyak kita kaji sebelumnya hanya berkisar pada tataran konseptual yang cenderung bersifat abstrak dan bernuansa eskatologis. Pengembangan ilmu dalam Islam harus mencapai tahap yang mampu berdaya untuk memberikan manfaat konkret bagi umat Islam khususnya, dan masyarakat dunia pada umumnya.
Memahami doktrin Islam -landasan normativ- berarti harus diturunkan menjadi pesan dan petunjuk dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan yang elegan bagi kehidupan umat. Saat ini, problema yang masih dirasakan oleh umat Islam adalah kesenjangan antara ide dan kenyataan. Sehingga fenomena ini mengaharuskan bagi kita untuk menelaah kembali dengan menggunakan pendekatan dan metologis yang tepat.
Salah satu upaya untuk menjembatani kesenjangan tersebut –kata Kadir- harus dilakukan faktualisasi. Yakni suatu proses yang mengubah ide dalam Islam menjadi fakta dalam keberagamaan pemeluk. Proses ini berisi rangkaian kegiatan pemeluk yang merupakan pelaksanaan universalitas misi dan petunjuk dalam doktrin Islam, bagi kehidupan konkret masyarakat. Ujung akhir dari proses faktualisasi adalah Islam, yang bukan hanya sebagai ide, namun sudah meruang-waktu dalam wujud tampilan konkret, lengkap dengan sifatnya, keadaan, tempat dan waktu tertentu, dapat di indra, dalam kehidupan konkret pemeluk, dan dapat ditunjuk sebagai satuan keberagamaan.
Proses faktualisasi dapat dipahami sebagai singularitas keberagamaan dalam agama Islam. Perubahan universalitas menjadi singularitas ini sejajar dengan perubahan dari agama menjadi keberagamaan pada diri pemeluk. Dalam konteks ini, keberagamaan berarti menjalankan atau melaksanakan ajaran agama. Tanpa melalui proses faktualaisasi kandungan doktrin agama sulit mengakar rumput.
Sebagaimana digagas oleh para ilmuan Muslim terdahulu, kita dapat menjumpai sebuah termenologi “ideal moral” dan “legal formal” untuk merumuskan tabiat keberagamaan dalam sumber ajaran Islam. Term pertama, menunjuk pada pesan moral dan nilai kemanusiaan yang terdapat dalam ajaran, sedang kedua pada tampilan dan cenderung bernuansa baku dari pelaksanaan ajarannya. Untuk term yang pertama dapat diterima, namun term kedua terdapat banyak yang keberatan.
Gagagasan tentang ilmu Islam amali berangkat dari kenyataan bahwa masalah-masalah kontemporer saat ini tidak dapat dijelaskan dan dijawab dengan mewarisi intelektual Islam (kondisi sosial keagamaan mereka) begitu saja. Sebab bukan tidak mungkin warisan khazanah mengalami suatu –yang disebut Thomas S. Kuhn – tahap anomali. Jadi pembongkaran ulang terhadap pemikiran sebelumnya sangat mungkin untuk dilakukan, dan jalan keluarnya adalah merumuskan paradigma baru.
Keterbatasan ilmu Islam untuk menjawab dan menyelesaikan masalah ummat, kata A, Kadir- mengakibatkan ketidakberhasilannya secara maksimal untuk mencapai tujuan risalah seperti pada masa Rasullullah dan masa formasi Islam (Golden Age of Islam). Tidak jarang, banyak penulis seperti; Lothrop Stoddrad, George Antonius, Albert Hourani, W. Montgomery Watt, dan penulis Barat lainnya, atau oleh Ahmad Amin, Ahmad Syalaby, Niyazi Berkes, dan penulis-penulis Timur lainnya digambarkan sebagai periode kemunduran Islam. Aspek kemunduran ini tidak hanya terbatas pada dimensi politik semata, melainkan juga meluas sampai ke dimensi sosial, budaya, ilmu pengetahuan bahkan yang lebih memprihatinkan adalah justru kemunduran di bidang keagamaan.
Kondisi kehidupan seperti ini tidak hanya menghambat, melainkan sudah menggagalkan pencapaian tujuan risalah. Oleh karena itu, -kata A. Kadir- pokok bahasan, perspektif umum dan metode pemecahan masalah ilmu Islam, tidak lagi berhenti pada norma atau pemikiran spekulatif, melainkan secara pasti harus menjangkau terapan ajaran dalam kehidupan praktis atau dimensi ‘amali dari keberagamaan Islam.
Karena itu, menurut A. Kadir, paradigma yang perlu dibangun untuk membentuk ilmu Islam amali dapat dirumuskan dengan menggunakan pendekatan ahkamy, falsafy dan wijdany. Membangun keberagamaan perlu ditandai dengan kegiatan intelektual yang didasarkan pada paradigma tersebut. Dengan demikian, kualitas risalah dalam konteks sosiokulturalnya, sangat ditentukan oleh seberapa jauh potensi intelektual di dalam masing-masing paradigma itu.
Kerangka paradigma di atas, merupakan kunci pokok untuk memperoleh universalitas pesan moral dan nilai kemanusiaan yang terkandung dalam kitab suci maupun dari sunnah Rasulullah. Di sinilah faktualisasi itu bergerak menuju kondisi sosial yang saat ini berkembang sebagaimana substansi ajaran agama itu diturunkan di muka bumi ini. Jadi tidak ada kesulitan yang berarti, jika ada upaya untuk menafsirkan dan menta’wilkannya dengan secara kritis. Karena secara epistemologis, upaya melakaukan hal itu selaras dengan pandangan al-qur’an yang sangat tinggi menghargai kedudukan akal.
Kesemprnaan ajaran bukan bukan berarti tidak membutuhkan kerja keras untuk berusaha memahami dan menangkap substansi kandungannya. Karena itu, kajian keilmuan baik yang bersifat keagamaan, masalah ilmu-ilmu sosial, humaniora sangat membutuhkan kerangka metodologis yang sistematis yang dapat diuji kebenarannya. Ilmu dan agama sama-sama memiliki sifat yang mendorong pada nilai pragmatis. Jika terjadi pemisahan antara kedua jantung keilmuan tersebut, maka kehancuran dan sekularisme sulit bisa disembuhkan.
Dalam konteks sosiokultural, antara ajaran agama dan kemajuan sains harus dapat berjalan seiring dan seirama. Secara sosiologis keduanya sama-sama memiliki fungsional untuk membentuk diri manusia sejahtera, bahagia dan rasa aman.
Sebagai sebuah kajian temporal, buku ini memuat banyak hal yang berkaitan dengan permasalahan ummat, khususnya kajian keagamaan dan keislaman. Hampir keseluruhan bagian pembahasan diwarnai dengan analisis tentang prosedur teknis atau langkah operasional untuk membentuk kehidupan yang sesuai dengan petunjuk atau norma agama.
Pengembangan petunjuk dalam ajaran Islam diharapkan menjadi sains keagamaan, dan pada akhirnya dapat ditumbuhkan teknologi untuk memberdayakan potensi agama. Jika tahap perkembangan ini tercapai, maka keunggulan dan manfaat ajaran agama tidak berhenti pada keyakinan semata, namun sudah dapat dibuktikan dalam praksis kehidupan.
Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
SEJAK masa kenabian sampai saat ini, Islam tetap diakui sebagai ajaran (risalah) agama yang sangat compatible dengan cita-cita kemajuan ilmu pengetahuan dan pembentukan peradaban ummat. Di pandang dari segi teologis, Islam memiliki sistem ketuhanan yang sempurna, yang mengatur kehidupan alam semesta ini secara totalitas. Singkatnya, kehadiran Islam selain mengajarkan bagaimana membangun transendensi yang kokoh, tetapi juga memberi implikasi praksis-empiris, yakni membawa misi kerahmatan bagi semesta alam.
Namun, secara faktual yang terjadi dilapangan eksistensi Islam belum memperlihatkan suatu ajaran yang compatible dengan kemajuan sebagaimana yang dimaksud di atas, tetapi dalam beberapa hal ajaran agama justru dipahami secara parsial yang pada gilirannya membuat umat Islam itu sendiri terjebak pada dataran normativ, eskatologis dan berlawanan dengan nilai-nilai kedinamisannya. Munculnya wacana gagasan Islam liberal misalnya, telah melahirkan reaksi yang justru mematikan substansi pemikiran ummat.
Nampaknya masih ada kesenjangan antara cita-cita, pesan moral dan kenyataan yang sesungguhnya. Karena sampai saat ini, literatur keagamaan semacam ini masih agak ‘terbatas’, dibandingkan dengan literatur keagamaan yang ranah kajiannya berbau konseptual dan sulit diimplementasikan pada dataran praksis.
Menurut Muslim A. Kadir, dalam bukunya “Ilmu Islam Terapan, Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam” (2003) menyuguhkan gagasan dan paradigma baru bahwa saat ini perlu tentang ilmu Islam terapan (`amali) sebagai jawaban terhadap kesenjangan literatur keagamaan selama ini. Sebab, warisan khazanah pemikiran yang banyak kita kaji sebelumnya hanya berkisar pada tataran konseptual yang cenderung bersifat abstrak dan bernuansa eskatologis. Pengembangan ilmu dalam Islam harus mencapai tahap yang mampu berdaya untuk memberikan manfaat konkret bagi umat Islam khususnya, dan masyarakat dunia pada umumnya.
Memahami doktrin Islam -landasan normativ- berarti harus diturunkan menjadi pesan dan petunjuk dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan yang elegan bagi kehidupan umat. Saat ini, problema yang masih dirasakan oleh umat Islam adalah kesenjangan antara ide dan kenyataan. Sehingga fenomena ini mengaharuskan bagi kita untuk menelaah kembali dengan menggunakan pendekatan dan metologis yang tepat.
Salah satu upaya untuk menjembatani kesenjangan tersebut –kata Kadir- harus dilakukan faktualisasi. Yakni suatu proses yang mengubah ide dalam Islam menjadi fakta dalam keberagamaan pemeluk. Proses ini berisi rangkaian kegiatan pemeluk yang merupakan pelaksanaan universalitas misi dan petunjuk dalam doktrin Islam, bagi kehidupan konkret masyarakat. Ujung akhir dari proses faktualisasi adalah Islam, yang bukan hanya sebagai ide, namun sudah meruang-waktu dalam wujud tampilan konkret, lengkap dengan sifatnya, keadaan, tempat dan waktu tertentu, dapat di indra, dalam kehidupan konkret pemeluk, dan dapat ditunjuk sebagai satuan keberagamaan.
Proses faktualisasi dapat dipahami sebagai singularitas keberagamaan dalam agama Islam. Perubahan universalitas menjadi singularitas ini sejajar dengan perubahan dari agama menjadi keberagamaan pada diri pemeluk. Dalam konteks ini, keberagamaan berarti menjalankan atau melaksanakan ajaran agama. Tanpa melalui proses faktualaisasi kandungan doktrin agama sulit mengakar rumput.
Sebagaimana digagas oleh para ilmuan Muslim terdahulu, kita dapat menjumpai sebuah termenologi “ideal moral” dan “legal formal” untuk merumuskan tabiat keberagamaan dalam sumber ajaran Islam. Term pertama, menunjuk pada pesan moral dan nilai kemanusiaan yang terdapat dalam ajaran, sedang kedua pada tampilan dan cenderung bernuansa baku dari pelaksanaan ajarannya. Untuk term yang pertama dapat diterima, namun term kedua terdapat banyak yang keberatan.
Gagagasan tentang ilmu Islam amali berangkat dari kenyataan bahwa masalah-masalah kontemporer saat ini tidak dapat dijelaskan dan dijawab dengan mewarisi intelektual Islam (kondisi sosial keagamaan mereka) begitu saja. Sebab bukan tidak mungkin warisan khazanah mengalami suatu –yang disebut Thomas S. Kuhn – tahap anomali. Jadi pembongkaran ulang terhadap pemikiran sebelumnya sangat mungkin untuk dilakukan, dan jalan keluarnya adalah merumuskan paradigma baru.
Keterbatasan ilmu Islam untuk menjawab dan menyelesaikan masalah ummat, kata A, Kadir- mengakibatkan ketidakberhasilannya secara maksimal untuk mencapai tujuan risalah seperti pada masa Rasullullah dan masa formasi Islam (Golden Age of Islam). Tidak jarang, banyak penulis seperti; Lothrop Stoddrad, George Antonius, Albert Hourani, W. Montgomery Watt, dan penulis Barat lainnya, atau oleh Ahmad Amin, Ahmad Syalaby, Niyazi Berkes, dan penulis-penulis Timur lainnya digambarkan sebagai periode kemunduran Islam. Aspek kemunduran ini tidak hanya terbatas pada dimensi politik semata, melainkan juga meluas sampai ke dimensi sosial, budaya, ilmu pengetahuan bahkan yang lebih memprihatinkan adalah justru kemunduran di bidang keagamaan.
Kondisi kehidupan seperti ini tidak hanya menghambat, melainkan sudah menggagalkan pencapaian tujuan risalah. Oleh karena itu, -kata A. Kadir- pokok bahasan, perspektif umum dan metode pemecahan masalah ilmu Islam, tidak lagi berhenti pada norma atau pemikiran spekulatif, melainkan secara pasti harus menjangkau terapan ajaran dalam kehidupan praktis atau dimensi ‘amali dari keberagamaan Islam.
Karena itu, menurut A. Kadir, paradigma yang perlu dibangun untuk membentuk ilmu Islam amali dapat dirumuskan dengan menggunakan pendekatan ahkamy, falsafy dan wijdany. Membangun keberagamaan perlu ditandai dengan kegiatan intelektual yang didasarkan pada paradigma tersebut. Dengan demikian, kualitas risalah dalam konteks sosiokulturalnya, sangat ditentukan oleh seberapa jauh potensi intelektual di dalam masing-masing paradigma itu.
Kerangka paradigma di atas, merupakan kunci pokok untuk memperoleh universalitas pesan moral dan nilai kemanusiaan yang terkandung dalam kitab suci maupun dari sunnah Rasulullah. Di sinilah faktualisasi itu bergerak menuju kondisi sosial yang saat ini berkembang sebagaimana substansi ajaran agama itu diturunkan di muka bumi ini. Jadi tidak ada kesulitan yang berarti, jika ada upaya untuk menafsirkan dan menta’wilkannya dengan secara kritis. Karena secara epistemologis, upaya melakaukan hal itu selaras dengan pandangan al-qur’an yang sangat tinggi menghargai kedudukan akal.
Kesemprnaan ajaran bukan bukan berarti tidak membutuhkan kerja keras untuk berusaha memahami dan menangkap substansi kandungannya. Karena itu, kajian keilmuan baik yang bersifat keagamaan, masalah ilmu-ilmu sosial, humaniora sangat membutuhkan kerangka metodologis yang sistematis yang dapat diuji kebenarannya. Ilmu dan agama sama-sama memiliki sifat yang mendorong pada nilai pragmatis. Jika terjadi pemisahan antara kedua jantung keilmuan tersebut, maka kehancuran dan sekularisme sulit bisa disembuhkan.
Dalam konteks sosiokultural, antara ajaran agama dan kemajuan sains harus dapat berjalan seiring dan seirama. Secara sosiologis keduanya sama-sama memiliki fungsional untuk membentuk diri manusia sejahtera, bahagia dan rasa aman.
Sebagai sebuah kajian temporal, buku ini memuat banyak hal yang berkaitan dengan permasalahan ummat, khususnya kajian keagamaan dan keislaman. Hampir keseluruhan bagian pembahasan diwarnai dengan analisis tentang prosedur teknis atau langkah operasional untuk membentuk kehidupan yang sesuai dengan petunjuk atau norma agama.
Pengembangan petunjuk dalam ajaran Islam diharapkan menjadi sains keagamaan, dan pada akhirnya dapat ditumbuhkan teknologi untuk memberdayakan potensi agama. Jika tahap perkembangan ini tercapai, maka keunggulan dan manfaat ajaran agama tidak berhenti pada keyakinan semata, namun sudah dapat dibuktikan dalam praksis kehidupan.
Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Senin, 15 Maret 2010
Peradaban Sains di Era Post-Modernisme
Oleh: Mujtahid
DALAM sejarah filsafat Barat, ada sebuah narasi menarik yang menceritakan sebuah adegan tentang pertarungan dua pahlawan peradaban yakni Mitos dan Logos. Pertarungan inilah yang kemudian dikenal dalam sejarah Yunani Kuno telah ikut memberikan pengaruh besar terhadap lahirnya filsafat. Karena dari pertarungan-pertarungan itu, logos adalah sosok pahlawan yang selalu memenangkannya. Kemenangan logos yang ditandai dengan kematian mitos selanjutnya membawa implikasi positif bagi eksistensi dan legistemasi dirinya (logos). Dalam waktu yang tidak terlalu lama, akhirnya logos mampu menunjukkan perkembangannya dengan cepat, yang pada akhirnya dikenal dengan rasio manusia.
Kematian antagonis (mitos) pada akhirnya berimplikasi positif bagi kehidupan rasio manusia ke alam pikir yang spektakuler. Lebih-lebih, protagonis (logos) dalam sejarah modernitas dewasa ini, muncul sebagai bentuk rasionalisasi- bahwa di mana sang protagonis terbungkus dalam baju sains, yang kemudian menjadi saintisme.
Perkembangan sains yang hampir dapat dipastikan mengarah kepada kehidupan manusia pada posisi yang paling tinggi, ternyata rasio manusia menunjukkan dirinya sebagai “mitos baru”. Akibatnya, muncul sebuah perlawanan terhadap saintisme- yang dianggap gagal mewujudkan cita-cita awal dari sains modern, yakni “janji pencerahan” yang semestinya menggiring kepada kebahagiaan totalitas manusia.
Kecenderungan inilah dalam kajian mutakhir menjadi perhatian bagi sekian banyak pakar atau ilmuan, yang masing-masing terlibat secara langsung atau tidak, dalam rangka memberikan respons dan tanggapan positif terhadap masa depan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab pada kenyataannya, saintisme tidak hanya dianggap telah melahirkan basis pengetahuan yang semu dan nihil, tetapi juga harus bertanggung jawab atas segala kerusakan yang telah dihasilkan selama perkembangan itu.
Berbagai kasus dan fenomena kehancuran pada dekade terakhir ini merupakan salah satu akibat dari terbentuknya “mitos baru” tersebut. Di mana sains diletakkan pada posisi yang tidak terbatas, bahkan sains dengan sendirinya telah menggantikan peran-peran yang disakralkan selama ini, yakni Tuhan.
Begitu pula kerusakan ekologi dan lahirnya bentuk-bentuk ideologi lain yang mengarahkan kepada jurang kehancuran masa depan manusia. Berkat kemajuan sains, juga tidak sedikit telah melahirkan krisis nilai-nilai kemanusiaan. Maka pertanyaan mendasar yang perlu dikemukakan adalah apakah hakikat dan kemafaatan sains bagi kelangsungan hidup manusia? Dan kemanakah arah sains sebenarnya?
Bertolak dari pertanyaan di atas, setidaknya ada kemungkinan perlu untuk meninjau ulang tentang eksistensi sains, yang pada gilirannya diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi peradaban post-modernisme. Untuk itu, upaya yang sangat diperlukan adalah perenungan kembali tentang hakikat sains secara mendalam guna memperoleh suatu jawaban kebenaran hakiki dibalik sebuah sains tersebut. Mendalam tidak hanya terpusat pada hakikatnya, tetapi juga mempertimbangkan masa depan sains bagi kelangsungan hidup manusia. Lebih-lebih memasuki era post-modernisme saat ini, bahwa kecenderungan kehidupan sangat ditentukan oleh sains. Post-modernisme sekarang, bukan hanya menjadi sebuah wacana, namun sudah menjadi kenyataan yang benar-benar terjadi. Kenyataan tersebut ditandai dengan banyaknya manusia telah kehilangan hakikat hidup sebenarnya. Bahkan kehidupan yang mereka geluti di mana pun ia berada, berubah menjadi sebuah bentuk ancaman bukan keselamatan, kecemasan bukan kedamaian.
Pengetahuan manusia yang didasarkan pada sains selalu membenarkan sesuatu sesuai dengan ukuran sains pula. Rasionalisasi adalah cara pebenaran yang selalu dipakai untuk menentukan segala-galanya, dan bukan lagi menyertakan nilai-nilai intrinsik yang bercermin pada diri manusia. Karena itu, rasionalitas perlu dicurigai sebagai unsur yang memainkan kekuasaannya. Foucault misalnya, telah membahas persoalan ini secara mendalam. Dari hasil temuanya, dinyatakan bahwa pengetahuan manusia secara tidak sadar ada kekuasaan. Hal serupa juga dicetuskan oleh Sigmund Freud yang dikenal dengan sebutan Psikoanalisa.
Dengan demikian, jika kebenaran hanya disandarkan pada kebenaran rasio, maka sangat mungkin untuk dilakukan sebuah “dekonstruksi”. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Jaques Derida jauh hari, bahwa dekonstruksi adalah pembongkaran cara berpikir yang kita anggap benar karena rasional. Membongkar di sini dimaksudkan untuk mengembalikan pemikiran itu pada bentuk kesadaran. Sekali lagi, bahwa dekonstruksi merupakan salah satu penyadaran logis apa yang selama ini dianggap dominan, yang justru bertolak belakang dengan janji-janji manisnya, bahkan tidak membahagiakan dan memberi kepastian hidup manusia. Dengan demikian, kalau membongkar pemikiran-pemikiran yang dominan, maka sebaiknya mendengar semua pemikiran yang selama ini dianggap marginal, tidak logis, atau tidak saintifik.
Sebuah ilustrasi yang barangkali dapat dijadikan acuan adalah betapa pun canggihnya ilmu kedokteran, ia juga harus mendengar pengobatan tradisional. Pandangan kedokteran yang menganggapnya tidak ilmiah harus didekonstruksikan. Sebab, kebenaran dalam peradaban post-modernisme sekarang ini semakin komplek, dan tidak bisa didasarkan pada satu kebenaran. Titik puncak kebenaran sangat tergantung pada epistimologi sebagai jalan untuk meraih kebenaran itu.
Sebagai sebuah jalan, epistemologi merupakan proses yang memungkinkan untuk membantu dalam mendapatkan kebenaran. Antara sains dan peradaban post-modernisme adalah realitas yang sama-sama nyata. Karena itu, persoalan yang diakibatkan sains dalam post-modernisme semakin hari semakin kompleks. Maka di sinilah perlunya epistemologi dan sekaligus axiologi untuk menelusuri dinding-dinding realitas tersebut.
Jika dalam tataran axiologisnya sains tidak menunjukkan kemanfaatan bagi manusia, maka dapat dipastikan bahwa keresahan hati dan kecemasan manusia akan semakin bertambah. Kecemasan dan pergolakan hati akan muncul di era post-modernisme apabila tidak ditemukan sebuah keseimbangan, antara saintisme dengan daya atau potensi yang paling hakiki dalam diri manusia. Martin Heidegger misalnya, menyatakan bahwa masyarakat pasca-modern adalah apa yang disebut stimmung. Yakni sebuah “suasana hati yang menggejala”. Apa yang disebut stimmung merupakan pemikiran-pemikiran post-modern yang melakukan serangan tanpa bentuk yang pasti, majemuk dan liar. Sebagai pasukan yang tidak menggunakan seragam (saintisme), serangannya justru lebih hebat dan membahayakan bagi keselamatan manusia. Dengan senjata intelektualnya, serangannya dapat menempus benteng-benteng yang abstrak sekalipun.
Dalam hal ini, sains tidak saja bertujuan menghancurkan martabat manusia, tetapi juga menyeret dirinya tanpa bentuk dan harga diri. Nilai moral yang semestinya menjadi spirit dan sumber aktivitas manusia, justru lenyap akibat tereduksi oleh sains. Secara moral, perkembangan sains seharusnya tetap memiliki tujuan dan cita-cita hidup manusia, dan bukan menjadi perusak. Karena itu, sains dalam peradaban post-modernisme merupakan era yang mustakhil akan kembali kebelakang, melainkan akan terus berjalan ke depan dengan segala resiko dan akibatnya. Sehingga upaya yang perlu dilakukan adalah membangun konsep nilai yang berlaku secara universal guna menjaga keselamatan dan memberikan kepastian hidup manusia.
*) Mujtahid, Dosen Faukultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
DALAM sejarah filsafat Barat, ada sebuah narasi menarik yang menceritakan sebuah adegan tentang pertarungan dua pahlawan peradaban yakni Mitos dan Logos. Pertarungan inilah yang kemudian dikenal dalam sejarah Yunani Kuno telah ikut memberikan pengaruh besar terhadap lahirnya filsafat. Karena dari pertarungan-pertarungan itu, logos adalah sosok pahlawan yang selalu memenangkannya. Kemenangan logos yang ditandai dengan kematian mitos selanjutnya membawa implikasi positif bagi eksistensi dan legistemasi dirinya (logos). Dalam waktu yang tidak terlalu lama, akhirnya logos mampu menunjukkan perkembangannya dengan cepat, yang pada akhirnya dikenal dengan rasio manusia.
Kematian antagonis (mitos) pada akhirnya berimplikasi positif bagi kehidupan rasio manusia ke alam pikir yang spektakuler. Lebih-lebih, protagonis (logos) dalam sejarah modernitas dewasa ini, muncul sebagai bentuk rasionalisasi- bahwa di mana sang protagonis terbungkus dalam baju sains, yang kemudian menjadi saintisme.
Perkembangan sains yang hampir dapat dipastikan mengarah kepada kehidupan manusia pada posisi yang paling tinggi, ternyata rasio manusia menunjukkan dirinya sebagai “mitos baru”. Akibatnya, muncul sebuah perlawanan terhadap saintisme- yang dianggap gagal mewujudkan cita-cita awal dari sains modern, yakni “janji pencerahan” yang semestinya menggiring kepada kebahagiaan totalitas manusia.
Kecenderungan inilah dalam kajian mutakhir menjadi perhatian bagi sekian banyak pakar atau ilmuan, yang masing-masing terlibat secara langsung atau tidak, dalam rangka memberikan respons dan tanggapan positif terhadap masa depan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab pada kenyataannya, saintisme tidak hanya dianggap telah melahirkan basis pengetahuan yang semu dan nihil, tetapi juga harus bertanggung jawab atas segala kerusakan yang telah dihasilkan selama perkembangan itu.
Berbagai kasus dan fenomena kehancuran pada dekade terakhir ini merupakan salah satu akibat dari terbentuknya “mitos baru” tersebut. Di mana sains diletakkan pada posisi yang tidak terbatas, bahkan sains dengan sendirinya telah menggantikan peran-peran yang disakralkan selama ini, yakni Tuhan.
Begitu pula kerusakan ekologi dan lahirnya bentuk-bentuk ideologi lain yang mengarahkan kepada jurang kehancuran masa depan manusia. Berkat kemajuan sains, juga tidak sedikit telah melahirkan krisis nilai-nilai kemanusiaan. Maka pertanyaan mendasar yang perlu dikemukakan adalah apakah hakikat dan kemafaatan sains bagi kelangsungan hidup manusia? Dan kemanakah arah sains sebenarnya?
Bertolak dari pertanyaan di atas, setidaknya ada kemungkinan perlu untuk meninjau ulang tentang eksistensi sains, yang pada gilirannya diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi peradaban post-modernisme. Untuk itu, upaya yang sangat diperlukan adalah perenungan kembali tentang hakikat sains secara mendalam guna memperoleh suatu jawaban kebenaran hakiki dibalik sebuah sains tersebut. Mendalam tidak hanya terpusat pada hakikatnya, tetapi juga mempertimbangkan masa depan sains bagi kelangsungan hidup manusia. Lebih-lebih memasuki era post-modernisme saat ini, bahwa kecenderungan kehidupan sangat ditentukan oleh sains. Post-modernisme sekarang, bukan hanya menjadi sebuah wacana, namun sudah menjadi kenyataan yang benar-benar terjadi. Kenyataan tersebut ditandai dengan banyaknya manusia telah kehilangan hakikat hidup sebenarnya. Bahkan kehidupan yang mereka geluti di mana pun ia berada, berubah menjadi sebuah bentuk ancaman bukan keselamatan, kecemasan bukan kedamaian.
Pengetahuan manusia yang didasarkan pada sains selalu membenarkan sesuatu sesuai dengan ukuran sains pula. Rasionalisasi adalah cara pebenaran yang selalu dipakai untuk menentukan segala-galanya, dan bukan lagi menyertakan nilai-nilai intrinsik yang bercermin pada diri manusia. Karena itu, rasionalitas perlu dicurigai sebagai unsur yang memainkan kekuasaannya. Foucault misalnya, telah membahas persoalan ini secara mendalam. Dari hasil temuanya, dinyatakan bahwa pengetahuan manusia secara tidak sadar ada kekuasaan. Hal serupa juga dicetuskan oleh Sigmund Freud yang dikenal dengan sebutan Psikoanalisa.
Dengan demikian, jika kebenaran hanya disandarkan pada kebenaran rasio, maka sangat mungkin untuk dilakukan sebuah “dekonstruksi”. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Jaques Derida jauh hari, bahwa dekonstruksi adalah pembongkaran cara berpikir yang kita anggap benar karena rasional. Membongkar di sini dimaksudkan untuk mengembalikan pemikiran itu pada bentuk kesadaran. Sekali lagi, bahwa dekonstruksi merupakan salah satu penyadaran logis apa yang selama ini dianggap dominan, yang justru bertolak belakang dengan janji-janji manisnya, bahkan tidak membahagiakan dan memberi kepastian hidup manusia. Dengan demikian, kalau membongkar pemikiran-pemikiran yang dominan, maka sebaiknya mendengar semua pemikiran yang selama ini dianggap marginal, tidak logis, atau tidak saintifik.
Sebuah ilustrasi yang barangkali dapat dijadikan acuan adalah betapa pun canggihnya ilmu kedokteran, ia juga harus mendengar pengobatan tradisional. Pandangan kedokteran yang menganggapnya tidak ilmiah harus didekonstruksikan. Sebab, kebenaran dalam peradaban post-modernisme sekarang ini semakin komplek, dan tidak bisa didasarkan pada satu kebenaran. Titik puncak kebenaran sangat tergantung pada epistimologi sebagai jalan untuk meraih kebenaran itu.
Sebagai sebuah jalan, epistemologi merupakan proses yang memungkinkan untuk membantu dalam mendapatkan kebenaran. Antara sains dan peradaban post-modernisme adalah realitas yang sama-sama nyata. Karena itu, persoalan yang diakibatkan sains dalam post-modernisme semakin hari semakin kompleks. Maka di sinilah perlunya epistemologi dan sekaligus axiologi untuk menelusuri dinding-dinding realitas tersebut.
Jika dalam tataran axiologisnya sains tidak menunjukkan kemanfaatan bagi manusia, maka dapat dipastikan bahwa keresahan hati dan kecemasan manusia akan semakin bertambah. Kecemasan dan pergolakan hati akan muncul di era post-modernisme apabila tidak ditemukan sebuah keseimbangan, antara saintisme dengan daya atau potensi yang paling hakiki dalam diri manusia. Martin Heidegger misalnya, menyatakan bahwa masyarakat pasca-modern adalah apa yang disebut stimmung. Yakni sebuah “suasana hati yang menggejala”. Apa yang disebut stimmung merupakan pemikiran-pemikiran post-modern yang melakukan serangan tanpa bentuk yang pasti, majemuk dan liar. Sebagai pasukan yang tidak menggunakan seragam (saintisme), serangannya justru lebih hebat dan membahayakan bagi keselamatan manusia. Dengan senjata intelektualnya, serangannya dapat menempus benteng-benteng yang abstrak sekalipun.
Dalam hal ini, sains tidak saja bertujuan menghancurkan martabat manusia, tetapi juga menyeret dirinya tanpa bentuk dan harga diri. Nilai moral yang semestinya menjadi spirit dan sumber aktivitas manusia, justru lenyap akibat tereduksi oleh sains. Secara moral, perkembangan sains seharusnya tetap memiliki tujuan dan cita-cita hidup manusia, dan bukan menjadi perusak. Karena itu, sains dalam peradaban post-modernisme merupakan era yang mustakhil akan kembali kebelakang, melainkan akan terus berjalan ke depan dengan segala resiko dan akibatnya. Sehingga upaya yang perlu dilakukan adalah membangun konsep nilai yang berlaku secara universal guna menjaga keselamatan dan memberikan kepastian hidup manusia.
*) Mujtahid, Dosen Faukultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Minggu, 14 Maret 2010
Konsep al-Fana, al-Baqa dan al-Ittihad
oleh Mujtahid*
DI kalangan sufi, Abu Yazid al-Bustami[1] adalah orang pertama yang mencetuskan konsep al-Fana, al-Baqa dan al-Hulul. Karena untuk memasuki alam tasawuf yang disebut dengan Ittihad (mystical union) harus terlebih dahulu melewati tangga itu. Selama belum dapat mencapai itu, maka tidak akan bisa menyatu dengan Tuhan.
Konsep fana’ merupakan tahapan awal yang berarti meleburkan diri. Dari kata faniy, fana atau al-fana’ yang artinya hacur, hilang (disappear, perish, annihilate). Kalau seorang sufi ingin mencapai tingkat ittihad, maka tahapan al-fana’ ini merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan oleh seorang sufi. Sedangkan makna yang dimaksud dari al-fana ini adalah menghilangkan segala yang berbentuk materi maupun sifat-sifat perbuatan jahat atau kemaksiatan. Setelah perbuatan buruk hilang, maka tinggallah yang sifat-sifat yang baik.
Sementara konsep al-baqa’ adalah kelanjutan dari pengertian al-fana yang berarti ‘tetap’, terus hidup (to remain persevere). Jadi kalau sesuatu yang tetap dan memiliki substansi yang sangat esensial. Sesuatu yang esensial adalah bagian apa sesungghunya ada pada diri Tuhan itu. Jadi konsep baqa’ dalam hal ini merupakan sesuatu sifat baik.
Untuk memahami lebih lanjut, dikatakan nahwa pengertian al-fana di sini bagi sufi adalah keinginan untuk menghancurkan diri (al-fana al-nafs) baik yang berbentuk perasaan maupun yang bersisifat fisiologis (tubuh kasar). Sebagaimana penjelasan Qusyairi yang dikutip Harun Nasutian berikut ini:
“Fana seseorang dari diriya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu…. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain itu ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.”
Sehingga untuk menuju ke Tuhan perlu al-fana’ an al-nafs yakni kalau wujud jasmaniahnya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka akan tinggal (baqa’) wujud rahaniahnya saja, dan ketika itu pula ia dapat bersatu dengan Tuhan.
Adapun konsep ittihad adalah bersatunya seorang sufi dengan Tuhan. Yakni tingkatan yang tertinggi antara manusia dengan Tuhan sama. Sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “hai aku” (ya ana). Dalam ittihad kata A.R al- Baidawi seperti yang dikutip Nasutian, bahwa yang terlihat hanya satu wujud, sungguhpun benarnya ada dua wujud yang terpisah satu dari lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujut, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam ittihad “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sehingga sampai-sampai sufi itu dapat berbicara dengan nama Tuhan, akibat dari proses al-fana tersebut.
Abu Yazid al-Bustami termasuk orang yang pernah melakukan proses fana dan baqa’ dalam tasawuf. Kemauan dan keinginannya untuk bersatu dengan Tuhan, maka ia menempuh dengan jalan fana dan baqa’ itu. Suatu hari, ia merasa rindu dengan Tuhannya, lalu mencari jalan untuk menuju ke hadirat Tuhan. Sampai ia bermimpi melihat Tuhan, berikut ini pengalaman mimpinya;
“Aku menlihat Tuhan Akupun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu? Ia menjawab, “tinggalkan dirimu dan datanglah.”
Abu Yazid al-Bustami lalu meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan, seperti yang terucap (syatahat) dari dirinya. Syatahad atau ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada dipindtu gerbang ittihad. Ucapan demikian belum perah dengar dari sufi sebelum Abu Yazid, berikut ini contoh ucapan;
“Aku tidak heran cintaku pada-Mu
karena aku hanyalah hamba yang hina
Tetapi akuheran terhadap cinta-Mu padaku
karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa.”
Yang kuhendaki dari Tuhan hanya Tuhan
Manusia tobat dari dosa-dosa mereka, tetapi akutobat dari ucapanku: “tiada Tuhan selain dari Allah,” karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf, yang Tuhan tidak dapat dijangkau dengan huruf dan alat.”
Masih banyak lagi kata-kata yang diucapkan oleh Abu Yazid dengan nada yang hampir tidak ada perbedaan antara dirinya dengan Tuhan. Bahkan sampai mengundang persepsi orang bahwa Abu Yazid telah gila, sebab dari kata-katanya ia mengucapkan:
“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Suci Aku.”
“Seorang lewat di rumah Abu Yazid dan mengetok pintu. Abu Yazid bertanya: “Siapa yang engkau cari?” Jawabnya: “Abu Yazid.” Lalu Abu Yazid mengatakan: “Pergillah di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”
Kata-kata serupa di atas, bukan diucapkan oleh AbuYazid sebagai kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkan melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya Tuhan.[2]
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
[1] Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur Ibn ‘Isa al-Bustami. Ia lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M dan meninggal dalan usia 73 tahun. Ia seorang Zahid yang sangat terkenal dalam hal kesederhanaan dan kasih sayangnnya kepada kaum yang lemah. Ia sering melakukan perantauan dari satu tempat ke tempat lain, untuk mecari hakikat Tuhan. Sehingga sebagian besar waktunya digunakan untuk beribadah dan meuja Tuhan. Ia selalu zuhud demi mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui beberapa fase, yakni zuhud terhadap dunia, akhirat dan terhadap selain Allah.
[2] Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal. 79-86.
DI kalangan sufi, Abu Yazid al-Bustami[1] adalah orang pertama yang mencetuskan konsep al-Fana, al-Baqa dan al-Hulul. Karena untuk memasuki alam tasawuf yang disebut dengan Ittihad (mystical union) harus terlebih dahulu melewati tangga itu. Selama belum dapat mencapai itu, maka tidak akan bisa menyatu dengan Tuhan.
Konsep fana’ merupakan tahapan awal yang berarti meleburkan diri. Dari kata faniy, fana atau al-fana’ yang artinya hacur, hilang (disappear, perish, annihilate). Kalau seorang sufi ingin mencapai tingkat ittihad, maka tahapan al-fana’ ini merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan oleh seorang sufi. Sedangkan makna yang dimaksud dari al-fana ini adalah menghilangkan segala yang berbentuk materi maupun sifat-sifat perbuatan jahat atau kemaksiatan. Setelah perbuatan buruk hilang, maka tinggallah yang sifat-sifat yang baik.
Sementara konsep al-baqa’ adalah kelanjutan dari pengertian al-fana yang berarti ‘tetap’, terus hidup (to remain persevere). Jadi kalau sesuatu yang tetap dan memiliki substansi yang sangat esensial. Sesuatu yang esensial adalah bagian apa sesungghunya ada pada diri Tuhan itu. Jadi konsep baqa’ dalam hal ini merupakan sesuatu sifat baik.
Untuk memahami lebih lanjut, dikatakan nahwa pengertian al-fana di sini bagi sufi adalah keinginan untuk menghancurkan diri (al-fana al-nafs) baik yang berbentuk perasaan maupun yang bersisifat fisiologis (tubuh kasar). Sebagaimana penjelasan Qusyairi yang dikutip Harun Nasutian berikut ini:
“Fana seseorang dari diriya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu…. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain itu ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.”
Sehingga untuk menuju ke Tuhan perlu al-fana’ an al-nafs yakni kalau wujud jasmaniahnya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka akan tinggal (baqa’) wujud rahaniahnya saja, dan ketika itu pula ia dapat bersatu dengan Tuhan.
Adapun konsep ittihad adalah bersatunya seorang sufi dengan Tuhan. Yakni tingkatan yang tertinggi antara manusia dengan Tuhan sama. Sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “hai aku” (ya ana). Dalam ittihad kata A.R al- Baidawi seperti yang dikutip Nasutian, bahwa yang terlihat hanya satu wujud, sungguhpun benarnya ada dua wujud yang terpisah satu dari lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujut, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara mencintai dan yang dicintai atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam ittihad “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sehingga sampai-sampai sufi itu dapat berbicara dengan nama Tuhan, akibat dari proses al-fana tersebut.
Abu Yazid al-Bustami termasuk orang yang pernah melakukan proses fana dan baqa’ dalam tasawuf. Kemauan dan keinginannya untuk bersatu dengan Tuhan, maka ia menempuh dengan jalan fana dan baqa’ itu. Suatu hari, ia merasa rindu dengan Tuhannya, lalu mencari jalan untuk menuju ke hadirat Tuhan. Sampai ia bermimpi melihat Tuhan, berikut ini pengalaman mimpinya;
“Aku menlihat Tuhan Akupun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu? Ia menjawab, “tinggalkan dirimu dan datanglah.”
Abu Yazid al-Bustami lalu meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan, seperti yang terucap (syatahat) dari dirinya. Syatahad atau ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada dipindtu gerbang ittihad. Ucapan demikian belum perah dengar dari sufi sebelum Abu Yazid, berikut ini contoh ucapan;
“Aku tidak heran cintaku pada-Mu
karena aku hanyalah hamba yang hina
Tetapi akuheran terhadap cinta-Mu padaku
karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa.”
Yang kuhendaki dari Tuhan hanya Tuhan
Manusia tobat dari dosa-dosa mereka, tetapi akutobat dari ucapanku: “tiada Tuhan selain dari Allah,” karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf, yang Tuhan tidak dapat dijangkau dengan huruf dan alat.”
Masih banyak lagi kata-kata yang diucapkan oleh Abu Yazid dengan nada yang hampir tidak ada perbedaan antara dirinya dengan Tuhan. Bahkan sampai mengundang persepsi orang bahwa Abu Yazid telah gila, sebab dari kata-katanya ia mengucapkan:
“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Suci Aku.”
“Seorang lewat di rumah Abu Yazid dan mengetok pintu. Abu Yazid bertanya: “Siapa yang engkau cari?” Jawabnya: “Abu Yazid.” Lalu Abu Yazid mengatakan: “Pergillah di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”
Kata-kata serupa di atas, bukan diucapkan oleh AbuYazid sebagai kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkan melalui diri Tuhan dalam ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya Tuhan.[2]
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
[1] Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur Ibn ‘Isa al-Bustami. Ia lahir di Bistam, Persia pada tahun 874 M dan meninggal dalan usia 73 tahun. Ia seorang Zahid yang sangat terkenal dalam hal kesederhanaan dan kasih sayangnnya kepada kaum yang lemah. Ia sering melakukan perantauan dari satu tempat ke tempat lain, untuk mecari hakikat Tuhan. Sehingga sebagian besar waktunya digunakan untuk beribadah dan meuja Tuhan. Ia selalu zuhud demi mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui beberapa fase, yakni zuhud terhadap dunia, akhirat dan terhadap selain Allah.
[2] Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hal. 79-86.
Sabtu, 13 Maret 2010
Konsep Hulul, Wahdat al-Wujud, dan Insal Kamil
Mujtahid*
MANSUR al-Hallaj[1] adalah seorang sufi besar yang memperkenalkan paham al-Hulul. Ia belajar tasawuf dari Amr al-Makki dan kemudian memperdalamnya melalui al-Junaid. Akan tetapi setalah ia kembali dari menunaikan ibadah haji, paham tasawufnya berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru-gurunya itu.[2] Paham al-hulul seperti yang diperkenalkan oleh al-Hallaj, sesungguhnya perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad Abu Yazid al-Bustami sebagaimana dikemukakan di atas.
Konsep al-Hulul menurut Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma seperti’ yang dikutip Nasutian, adalah paham yang mengatakan bahwa Allah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Menurut al-Hallaj, pada diri Tuhan terdapat dua sifat dasar, yakni lahut dan nasut.
Ketika Tuhan hendak menciptakan makhluk, Ia terlebih dahulu melihat dirinya (tajalli al-haq li al-nafs). Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antar Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang dalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggalan zat-Nya. Allah melihat kepada melihat kepada zat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dansebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada (min al-‘Adam, ex nihilo) bentuk (copy) dari-Nya (shurah min nafsihi) yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Bentuk (copy) itu adalah Adam. Setelah menjadikan Adam memuliakan dan menggungkan Adam. Ia cinta pada Adam (ikhtarahu li nafsihi). Pada diri Adamlah Allah muncul dalam bentuk-Nya.
Teori ini lebih jelas, kelihatan dalam syair’nya yang berikut:
“Maha suci zat yang sifat kemanusian-Nya membukukan rasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.”
Menurut al-Hallaj Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimania menjelma dalam diri Isa a.s. Dalam kesimpulan al-Hallaj, dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian, persatuan antara manusia dan Tuhan bisa terjadi, dan persatuan ini dalam falsafat al-Hallaj mengambil bentul Hulul (mengambil tempat). Supaya dapat bersatu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan fana’. Kalau sifat-sifat kemanusiaan ini telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika ruh Tuhan dan ruh manusia bersatu dltubuh manusia, sebagai nyatadari sya’ir berikut:
“Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air.”
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.”
“Aku adalah Dia yang kucintai danDia adalah yang kucintai adalah aku.
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam datu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat dia.
Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.
Dengan cara inilah menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Dalam persatuan ini diri al-Hallaj kehitannya hilang, sebagai halnya dengan diri Abu Yazid al-Bustami dalam ittihad. Dalam ittihad diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam paham al-Hallaj; dirinya tak hancur, sebagaimana terlihat dari syair di atas.
Sama halnya seperti Abu Yazid, al-Hallaj juga mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan (ana al-haq). Namun kata itu bukanlah ruh al-Hallaj yang mengucapkan, tetapi ruh Tuhanlah yang mengambil tempat dalam dirinya.
Sedangkan konsep wahdat al-wujud adalah paham tasawuf diperkenalkan oleh Ibn ‘Arabi[3]. Ia adalah seorang sufi besar yang tidak kalah reputasinya jika dibanding dengan para sufi lainnya, sampai ia mempunyai gelar “Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al-Syaykh al-Akbar (Syaikh terbesar).”[4]
Dalam padangan Ibn Arabi wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud, unity of exixtence. Paham ini adalah lanjutan dari faham al-hulul, sebagaimana paham yang dimunculkan oleh al-Hallaj. Dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul dirubah Ibn Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). Khalq dan haq adalah dua aspek bagi setiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebuat haq. Kata-kata khaq dan haq merupakan sinonim dari al-‘Ardl (accident) dan al-Jauhar (substance), dan dari kata al-zahir (lahir, luar) dan al-bathin (batin, dalam).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Apek luar, yang merupakan ‘ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan; dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau kahlq.
Dari dua aspek tersebut, yang lebih penting adalah haq yang merupakan batin atau substance dan esence, atau hakikat dari tiap-tiap yang berwujud. Aspek khalq hanya merupakan ‘ard atau accedent, sesuatu yang mendatang. Dengan demikian, alam merupakan cermin Tuhan. Begitu pula dengan benda-benda yang ada dalam alam ini, karena dalam benda itu terdapat sifat Tuhan, Tuhan melihat diri-Nya. Dari sinilah timbul paham kesatuan (wahdat al-wujud).
Yang ada (Tuhan) dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya satu. Hal ini seperti orang yang melihat dirinya dalam beberap cerin yang diletakkan disekilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya; dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya sebenarnya satu. Al-Qashasi dalam Fusus al-Hikam dan Parmedies, seperti yang dikutip Nasution, dijelaskan sebagai berikut:
“Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia jadi banyak.”
Yang satu itu satu, Yang banyak itutak ada.
Yang kelihatan banyak dengan pancaindra adalah ilusi.
Jadi, yang hanya memiliki wujud sesungguhnya hanya Tuhan. Sebagaimana dikatakan Ibn Arabi:
“Sudah menjadi kenyataan bahwa makluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada khaliq yang menjadikannya; karena hanya mempunyai sifat munkin (munkin ada dan munkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain; …….dan sesuatuyg lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang pada esensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya; bahkan ialah yang dalam esensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan…. Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada suatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri.”
Dalam pengertian lain, bahwa makhluq atau yang dijadikan, wujudnya bergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajid. Tegasnya sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yakni Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.[5]
Sedangkan konsep insan kamil dalam pandangan Ibn Arabi terbagi menjadi dua bagian, yakni manusia Sempurna tingakt unniversal dan manusia sempurna pada tingkat partikular atau individual. Manusia Sempurna pada tingkat universal, seperti dikatakan W.C. Chittick, adalah model asli yang abadi dan permanen dari manusia Sempurnya individual. Sedangkan manusia Sempurna pada tingkat partikular adalah perwujudan manusia para Nabi dan para Wali Allah.
Dalam padangan al-Arabi setiap makhluk adalah lokus penampakan diri (majla, mazhar) Tuhan dan manusia Sempurna adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Ini berarti gambar Tuhan terlihat secara sempurna pada manusia sempurna karena ia menyerap semua nama dan sifat secara sempurna dan seimbang.
Kesempurnaan terletak pada apa yang disebut “perpaduan”, “percakupan,” atau “sintesis’” (jam’iyyah) atau “paduan,” “cakupan,’ atau “totalitas,” (majmu). “perpaduan” berarti bahwa manusia memadukan atau mecakup dalam dirinya semua dan sifat Tuhandan semua realitas alam.[6]
Perpaduan (jam’iyyah) pada diri manusia berarti pula perpaduan sifat-sifat yang berlawanan sesuai dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang berlawanan, yang termanifestasi pada alam. Ibn Arabi berkata; Ia adalah manusia yang baharu, yang azali; Ia adalah bentuk yang kekal, yang badi, yang memisahkan dan yang memadukan. Manusia adalah baharu (hadits) dari aspek badanianya dan yang azali (azali) dari aspek ilahinya, aspek teomorfisnya. Jasad manusia adalah baharu (hadits) badaniahnya dan ruhnya adalah azali.
Masih dalam hal perpaduan, Ibn Arabi bekata: manusia terdiri dari dua salinan (nukhatani), yaitu salinan yang tampak (nuskhah zahirah) dan salinan dua salinan yang tersembunyi.salinan yang tampak dapat disamakan dengan alam secara keseluruhan …dan salinan yang tersembunyi dapat disamakan dengan kehadiran ilahi.[7]
Perpaduan adalah keutamaan manusia di atas makhluk-makhluk lain yang memberinya kedudukan khilafah (kewakilan) sebagai hak istemewa yang tidak diberikan Allah kepada makhluk-makhluk lain. Perpaduan adalah syarat mutlak untuk memadahi syarat khalifah. Satu-satunya yang memenuhi syarat ini adalah manusia, atau mausia Sempurna.
Sementara manusia sempurna pada tingkat partikular, Ibn Arabi menunjukkan perbedaan antara manusia Sempurna (insan kamil) dan manusia Binatang (al-insan hayawan). Dengan menunjukkan perbedaan itu, ia ingin menegaskan bahwa tidak semua manusia mejadi sempurna; hanya manusia-manusia pilihan khusus tertentu menjadi manusia Sempurna. Manusia-manusia pilihan itu adalah para Nabi dan para Wali Allah. Tentang perbedaan ini, Ibn Arabi berkata:
“Karena manusia Sempurna adalah menurut gambar Sempurna, maka ia berhak menerima khalifah dan kewakilan dari Allah di alam. Mari kita jelaskan pada bagian ini timbulnya khalifah, kedudukannya, dan gambar hakikinya. Kita tidak mengartikan manusia dengan manusia binatang belaka, tetapi dengan manusia dan khalifah. Dengan kemanusiaan dan khilafah, ia berhak menerima gambar dalam kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah khilafah. Menurut pedapat ini manusia binatang benar-benar bukan khilafah.”
Kesempurnaan manusia adalah terletak pada “perpaduan” yang memberinya hak istimewa untuk menjadi khilafah. Bagi Ibn Arabi, manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan (rubat al-kamal) adalah binatang yang lahirnya menyerupai bentuk manusia dan tidak berhak memperoleh jabatan khilafah.
Ibn Arabi tidak setuju manusia dikatakan “binatang berakal” seperti yang dilakukan banyak orang, bahkan pendapat itu suatu kekeliruan besar yang menyesatkan. Kemampuan berfikir bukanlah sifat utama yang mebedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain karena keseluruhan alam mempunyai kemampuan ini pula. Sifat utama yang menjadi ciri khusu manusia, yang membedakan dengan makhluk-makhluk lainnya, adalah “bentuk ilahi”, “bentuk Tuhan”. (al-surah al-Ilahiyah). Teori ini didasarkan atas hadits Imago Dei, yang menyatakan bahwa Allah meciptakan manusia menurut bentuk-Nya.
Bagi Ibn Arabi manusia sempurna tergantug pada ubudiyah, yakni membentuk ketaatan mutlak kepada Allah dengan mengikuti syari’at yang diturunkannya. Manusia diharuskan “berakhlak dengan akhlak Allah” (al-takhulluqu bi akhlaq Allah). Takhalluq adalah perwujudan Allah; ketaatan itu tidak lain dari ubudiyah; dan ubudiyah tidak lain khalifah. Perpaduan sempurna antara ubudiyah dan khilafay terwujud pada Nabi Muhamad Saw manusia yang paling sempurna.
Jadi manusi Sempurna adalah manusia yang mengaktualisasikan ubudiayahnya. Sehingga pada saat yg sama, manusia Sempurna itu adalah manusia yang “meninggi” dalam arti, derajatnya tinggi dan mulia karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan seimbang; ia mengaktualisasikan khilafahnya. Semakin “merendah” manusia dihadapan Tuhan, semakin “tinggi” derajatnya. Demikian gambaran konsep manusia sempurna (insan kamil) bagi Ibn Arabi.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
[1] Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugis Husain Ibn Mansur al-Hallaj. Ia lahir di negeri Baida selatan Persi pada tahun 244 H. bertepatan dengan 875 M. Ia kemudian menetap di bagdad,dan meninggal padatahun 922 M, karena dihukum bunuh. Ia tertuduh bahwa telah melakukan hubungan dengan Syi’ah ekstrim, yaitu kaum Qramitah yang banyak menentang pemerintahan Bani Abbas.
[2] Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Rajawali Press, Jakarta, hal. 179.
[3] Ibn ‘Arabi nama lengpnya adalah Muhamad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Abd Allah Ibn al-Arabi al-Tayy al-Hatimi. Ia dilahirkan di Mursia, Spanyol bagian Tenggara pada tahun 650 H bertepatan dengan 1165 M. Ia banyak melakukan pengembaran dari daerah ke daerah. Waktu ia di Makkah, ia banyak mempergunakannya untuk belajar dan menulis. Pada masa itu, ia muali menulis karya ensiklopedi menimentalnya al-Futuhhat al-makkiyah. Di samping itu, ia juga menyelesaikan empat karyanya yang lebih pendek: Myskat al-Anwar, Hilyat al-Abdal, Taj al-Rasa’il dan Ruh al-Quds.
[4] Noer, Ibn al-Arabi Wahdat al-wujud Dalam Perdebatan, Paramadina, Jakarta, 1995, hal. 17.
[5] Nasution, Op. Cit. hal. 92-94.
[6] Noer, Op. Cit. hal. 128.
[7] Noer, Op. Cit. hal. 130.
MANSUR al-Hallaj[1] adalah seorang sufi besar yang memperkenalkan paham al-Hulul. Ia belajar tasawuf dari Amr al-Makki dan kemudian memperdalamnya melalui al-Junaid. Akan tetapi setalah ia kembali dari menunaikan ibadah haji, paham tasawufnya berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru-gurunya itu.[2] Paham al-hulul seperti yang diperkenalkan oleh al-Hallaj, sesungguhnya perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad Abu Yazid al-Bustami sebagaimana dikemukakan di atas.
Konsep al-Hulul menurut Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma seperti’ yang dikutip Nasutian, adalah paham yang mengatakan bahwa Allah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Menurut al-Hallaj, pada diri Tuhan terdapat dua sifat dasar, yakni lahut dan nasut.
Ketika Tuhan hendak menciptakan makhluk, Ia terlebih dahulu melihat dirinya (tajalli al-haq li al-nafs). Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antar Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang dalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggalan zat-Nya. Allah melihat kepada melihat kepada zat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dansebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada (min al-‘Adam, ex nihilo) bentuk (copy) dari-Nya (shurah min nafsihi) yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Bentuk (copy) itu adalah Adam. Setelah menjadikan Adam memuliakan dan menggungkan Adam. Ia cinta pada Adam (ikhtarahu li nafsihi). Pada diri Adamlah Allah muncul dalam bentuk-Nya.
Teori ini lebih jelas, kelihatan dalam syair’nya yang berikut:
“Maha suci zat yang sifat kemanusian-Nya membukukan rasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.”
Menurut al-Hallaj Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimania menjelma dalam diri Isa a.s. Dalam kesimpulan al-Hallaj, dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian, persatuan antara manusia dan Tuhan bisa terjadi, dan persatuan ini dalam falsafat al-Hallaj mengambil bentul Hulul (mengambil tempat). Supaya dapat bersatu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan fana’. Kalau sifat-sifat kemanusiaan ini telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika ruh Tuhan dan ruh manusia bersatu dltubuh manusia, sebagai nyatadari sya’ir berikut:
“Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air.”
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.”
“Aku adalah Dia yang kucintai danDia adalah yang kucintai adalah aku.
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam datu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat dia.
Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.
Dengan cara inilah menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Dalam persatuan ini diri al-Hallaj kehitannya hilang, sebagai halnya dengan diri Abu Yazid al-Bustami dalam ittihad. Dalam ittihad diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam paham al-Hallaj; dirinya tak hancur, sebagaimana terlihat dari syair di atas.
Sama halnya seperti Abu Yazid, al-Hallaj juga mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan (ana al-haq). Namun kata itu bukanlah ruh al-Hallaj yang mengucapkan, tetapi ruh Tuhanlah yang mengambil tempat dalam dirinya.
Sedangkan konsep wahdat al-wujud adalah paham tasawuf diperkenalkan oleh Ibn ‘Arabi[3]. Ia adalah seorang sufi besar yang tidak kalah reputasinya jika dibanding dengan para sufi lainnya, sampai ia mempunyai gelar “Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al-Syaykh al-Akbar (Syaikh terbesar).”[4]
Dalam padangan Ibn Arabi wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud, unity of exixtence. Paham ini adalah lanjutan dari faham al-hulul, sebagaimana paham yang dimunculkan oleh al-Hallaj. Dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul dirubah Ibn Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). Khalq dan haq adalah dua aspek bagi setiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebuat haq. Kata-kata khaq dan haq merupakan sinonim dari al-‘Ardl (accident) dan al-Jauhar (substance), dan dari kata al-zahir (lahir, luar) dan al-bathin (batin, dalam).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Apek luar, yang merupakan ‘ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan; dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau kahlq.
Dari dua aspek tersebut, yang lebih penting adalah haq yang merupakan batin atau substance dan esence, atau hakikat dari tiap-tiap yang berwujud. Aspek khalq hanya merupakan ‘ard atau accedent, sesuatu yang mendatang. Dengan demikian, alam merupakan cermin Tuhan. Begitu pula dengan benda-benda yang ada dalam alam ini, karena dalam benda itu terdapat sifat Tuhan, Tuhan melihat diri-Nya. Dari sinilah timbul paham kesatuan (wahdat al-wujud).
Yang ada (Tuhan) dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya satu. Hal ini seperti orang yang melihat dirinya dalam beberap cerin yang diletakkan disekilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya; dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya sebenarnya satu. Al-Qashasi dalam Fusus al-Hikam dan Parmedies, seperti yang dikutip Nasution, dijelaskan sebagai berikut:
“Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia jadi banyak.”
Yang satu itu satu, Yang banyak itutak ada.
Yang kelihatan banyak dengan pancaindra adalah ilusi.
Jadi, yang hanya memiliki wujud sesungguhnya hanya Tuhan. Sebagaimana dikatakan Ibn Arabi:
“Sudah menjadi kenyataan bahwa makluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada khaliq yang menjadikannya; karena hanya mempunyai sifat munkin (munkin ada dan munkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain; …….dan sesuatuyg lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang pada esensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya; bahkan ialah yang dalam esensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan…. Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada suatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri.”
Dalam pengertian lain, bahwa makhluq atau yang dijadikan, wujudnya bergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajid. Tegasnya sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yakni Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.[5]
Sedangkan konsep insan kamil dalam pandangan Ibn Arabi terbagi menjadi dua bagian, yakni manusia Sempurna tingakt unniversal dan manusia sempurna pada tingkat partikular atau individual. Manusia Sempurna pada tingkat universal, seperti dikatakan W.C. Chittick, adalah model asli yang abadi dan permanen dari manusia Sempurnya individual. Sedangkan manusia Sempurna pada tingkat partikular adalah perwujudan manusia para Nabi dan para Wali Allah.
Dalam padangan al-Arabi setiap makhluk adalah lokus penampakan diri (majla, mazhar) Tuhan dan manusia Sempurna adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Ini berarti gambar Tuhan terlihat secara sempurna pada manusia sempurna karena ia menyerap semua nama dan sifat secara sempurna dan seimbang.
Kesempurnaan terletak pada apa yang disebut “perpaduan”, “percakupan,” atau “sintesis’” (jam’iyyah) atau “paduan,” “cakupan,’ atau “totalitas,” (majmu). “perpaduan” berarti bahwa manusia memadukan atau mecakup dalam dirinya semua dan sifat Tuhandan semua realitas alam.[6]
Perpaduan (jam’iyyah) pada diri manusia berarti pula perpaduan sifat-sifat yang berlawanan sesuai dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang berlawanan, yang termanifestasi pada alam. Ibn Arabi berkata; Ia adalah manusia yang baharu, yang azali; Ia adalah bentuk yang kekal, yang badi, yang memisahkan dan yang memadukan. Manusia adalah baharu (hadits) dari aspek badanianya dan yang azali (azali) dari aspek ilahinya, aspek teomorfisnya. Jasad manusia adalah baharu (hadits) badaniahnya dan ruhnya adalah azali.
Masih dalam hal perpaduan, Ibn Arabi bekata: manusia terdiri dari dua salinan (nukhatani), yaitu salinan yang tampak (nuskhah zahirah) dan salinan dua salinan yang tersembunyi.salinan yang tampak dapat disamakan dengan alam secara keseluruhan …dan salinan yang tersembunyi dapat disamakan dengan kehadiran ilahi.[7]
Perpaduan adalah keutamaan manusia di atas makhluk-makhluk lain yang memberinya kedudukan khilafah (kewakilan) sebagai hak istemewa yang tidak diberikan Allah kepada makhluk-makhluk lain. Perpaduan adalah syarat mutlak untuk memadahi syarat khalifah. Satu-satunya yang memenuhi syarat ini adalah manusia, atau mausia Sempurna.
Sementara manusia sempurna pada tingkat partikular, Ibn Arabi menunjukkan perbedaan antara manusia Sempurna (insan kamil) dan manusia Binatang (al-insan hayawan). Dengan menunjukkan perbedaan itu, ia ingin menegaskan bahwa tidak semua manusia mejadi sempurna; hanya manusia-manusia pilihan khusus tertentu menjadi manusia Sempurna. Manusia-manusia pilihan itu adalah para Nabi dan para Wali Allah. Tentang perbedaan ini, Ibn Arabi berkata:
“Karena manusia Sempurna adalah menurut gambar Sempurna, maka ia berhak menerima khalifah dan kewakilan dari Allah di alam. Mari kita jelaskan pada bagian ini timbulnya khalifah, kedudukannya, dan gambar hakikinya. Kita tidak mengartikan manusia dengan manusia binatang belaka, tetapi dengan manusia dan khalifah. Dengan kemanusiaan dan khilafah, ia berhak menerima gambar dalam kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah khilafah. Menurut pedapat ini manusia binatang benar-benar bukan khilafah.”
Kesempurnaan manusia adalah terletak pada “perpaduan” yang memberinya hak istimewa untuk menjadi khilafah. Bagi Ibn Arabi, manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan (rubat al-kamal) adalah binatang yang lahirnya menyerupai bentuk manusia dan tidak berhak memperoleh jabatan khilafah.
Ibn Arabi tidak setuju manusia dikatakan “binatang berakal” seperti yang dilakukan banyak orang, bahkan pendapat itu suatu kekeliruan besar yang menyesatkan. Kemampuan berfikir bukanlah sifat utama yang mebedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain karena keseluruhan alam mempunyai kemampuan ini pula. Sifat utama yang menjadi ciri khusu manusia, yang membedakan dengan makhluk-makhluk lainnya, adalah “bentuk ilahi”, “bentuk Tuhan”. (al-surah al-Ilahiyah). Teori ini didasarkan atas hadits Imago Dei, yang menyatakan bahwa Allah meciptakan manusia menurut bentuk-Nya.
Bagi Ibn Arabi manusia sempurna tergantug pada ubudiyah, yakni membentuk ketaatan mutlak kepada Allah dengan mengikuti syari’at yang diturunkannya. Manusia diharuskan “berakhlak dengan akhlak Allah” (al-takhulluqu bi akhlaq Allah). Takhalluq adalah perwujudan Allah; ketaatan itu tidak lain dari ubudiyah; dan ubudiyah tidak lain khalifah. Perpaduan sempurna antara ubudiyah dan khilafay terwujud pada Nabi Muhamad Saw manusia yang paling sempurna.
Jadi manusi Sempurna adalah manusia yang mengaktualisasikan ubudiayahnya. Sehingga pada saat yg sama, manusia Sempurna itu adalah manusia yang “meninggi” dalam arti, derajatnya tinggi dan mulia karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan seimbang; ia mengaktualisasikan khilafahnya. Semakin “merendah” manusia dihadapan Tuhan, semakin “tinggi” derajatnya. Demikian gambaran konsep manusia sempurna (insan kamil) bagi Ibn Arabi.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
[1] Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugis Husain Ibn Mansur al-Hallaj. Ia lahir di negeri Baida selatan Persi pada tahun 244 H. bertepatan dengan 875 M. Ia kemudian menetap di bagdad,dan meninggal padatahun 922 M, karena dihukum bunuh. Ia tertuduh bahwa telah melakukan hubungan dengan Syi’ah ekstrim, yaitu kaum Qramitah yang banyak menentang pemerintahan Bani Abbas.
[2] Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Rajawali Press, Jakarta, hal. 179.
[3] Ibn ‘Arabi nama lengpnya adalah Muhamad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Abd Allah Ibn al-Arabi al-Tayy al-Hatimi. Ia dilahirkan di Mursia, Spanyol bagian Tenggara pada tahun 650 H bertepatan dengan 1165 M. Ia banyak melakukan pengembaran dari daerah ke daerah. Waktu ia di Makkah, ia banyak mempergunakannya untuk belajar dan menulis. Pada masa itu, ia muali menulis karya ensiklopedi menimentalnya al-Futuhhat al-makkiyah. Di samping itu, ia juga menyelesaikan empat karyanya yang lebih pendek: Myskat al-Anwar, Hilyat al-Abdal, Taj al-Rasa’il dan Ruh al-Quds.
[4] Noer, Ibn al-Arabi Wahdat al-wujud Dalam Perdebatan, Paramadina, Jakarta, 1995, hal. 17.
[5] Nasution, Op. Cit. hal. 92-94.
[6] Noer, Op. Cit. hal. 128.
[7] Noer, Op. Cit. hal. 130.
Langganan:
Postingan (Atom)