Oleh: Mujtahid
DALAM sejarah filsafat Barat, ada sebuah narasi menarik yang menceritakan sebuah adegan tentang pertarungan dua pahlawan peradaban yakni Mitos dan Logos. Pertarungan inilah yang kemudian dikenal dalam sejarah Yunani Kuno telah ikut memberikan pengaruh besar terhadap lahirnya filsafat. Karena dari pertarungan-pertarungan itu, logos adalah sosok pahlawan yang selalu memenangkannya. Kemenangan logos yang ditandai dengan kematian mitos selanjutnya membawa implikasi positif bagi eksistensi dan legistemasi dirinya (logos). Dalam waktu yang tidak terlalu lama, akhirnya logos mampu menunjukkan perkembangannya dengan cepat, yang pada akhirnya dikenal dengan rasio manusia.
Kematian antagonis (mitos) pada akhirnya berimplikasi positif bagi kehidupan rasio manusia ke alam pikir yang spektakuler. Lebih-lebih, protagonis (logos) dalam sejarah modernitas dewasa ini, muncul sebagai bentuk rasionalisasi- bahwa di mana sang protagonis terbungkus dalam baju sains, yang kemudian menjadi saintisme.
Perkembangan sains yang hampir dapat dipastikan mengarah kepada kehidupan manusia pada posisi yang paling tinggi, ternyata rasio manusia menunjukkan dirinya sebagai “mitos baru”. Akibatnya, muncul sebuah perlawanan terhadap saintisme- yang dianggap gagal mewujudkan cita-cita awal dari sains modern, yakni “janji pencerahan” yang semestinya menggiring kepada kebahagiaan totalitas manusia.
Kecenderungan inilah dalam kajian mutakhir menjadi perhatian bagi sekian banyak pakar atau ilmuan, yang masing-masing terlibat secara langsung atau tidak, dalam rangka memberikan respons dan tanggapan positif terhadap masa depan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab pada kenyataannya, saintisme tidak hanya dianggap telah melahirkan basis pengetahuan yang semu dan nihil, tetapi juga harus bertanggung jawab atas segala kerusakan yang telah dihasilkan selama perkembangan itu.
Berbagai kasus dan fenomena kehancuran pada dekade terakhir ini merupakan salah satu akibat dari terbentuknya “mitos baru” tersebut. Di mana sains diletakkan pada posisi yang tidak terbatas, bahkan sains dengan sendirinya telah menggantikan peran-peran yang disakralkan selama ini, yakni Tuhan.
Begitu pula kerusakan ekologi dan lahirnya bentuk-bentuk ideologi lain yang mengarahkan kepada jurang kehancuran masa depan manusia. Berkat kemajuan sains, juga tidak sedikit telah melahirkan krisis nilai-nilai kemanusiaan. Maka pertanyaan mendasar yang perlu dikemukakan adalah apakah hakikat dan kemafaatan sains bagi kelangsungan hidup manusia? Dan kemanakah arah sains sebenarnya?
Bertolak dari pertanyaan di atas, setidaknya ada kemungkinan perlu untuk meninjau ulang tentang eksistensi sains, yang pada gilirannya diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi peradaban post-modernisme. Untuk itu, upaya yang sangat diperlukan adalah perenungan kembali tentang hakikat sains secara mendalam guna memperoleh suatu jawaban kebenaran hakiki dibalik sebuah sains tersebut. Mendalam tidak hanya terpusat pada hakikatnya, tetapi juga mempertimbangkan masa depan sains bagi kelangsungan hidup manusia. Lebih-lebih memasuki era post-modernisme saat ini, bahwa kecenderungan kehidupan sangat ditentukan oleh sains. Post-modernisme sekarang, bukan hanya menjadi sebuah wacana, namun sudah menjadi kenyataan yang benar-benar terjadi. Kenyataan tersebut ditandai dengan banyaknya manusia telah kehilangan hakikat hidup sebenarnya. Bahkan kehidupan yang mereka geluti di mana pun ia berada, berubah menjadi sebuah bentuk ancaman bukan keselamatan, kecemasan bukan kedamaian.
Pengetahuan manusia yang didasarkan pada sains selalu membenarkan sesuatu sesuai dengan ukuran sains pula. Rasionalisasi adalah cara pebenaran yang selalu dipakai untuk menentukan segala-galanya, dan bukan lagi menyertakan nilai-nilai intrinsik yang bercermin pada diri manusia. Karena itu, rasionalitas perlu dicurigai sebagai unsur yang memainkan kekuasaannya. Foucault misalnya, telah membahas persoalan ini secara mendalam. Dari hasil temuanya, dinyatakan bahwa pengetahuan manusia secara tidak sadar ada kekuasaan. Hal serupa juga dicetuskan oleh Sigmund Freud yang dikenal dengan sebutan Psikoanalisa.
Dengan demikian, jika kebenaran hanya disandarkan pada kebenaran rasio, maka sangat mungkin untuk dilakukan sebuah “dekonstruksi”. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Jaques Derida jauh hari, bahwa dekonstruksi adalah pembongkaran cara berpikir yang kita anggap benar karena rasional. Membongkar di sini dimaksudkan untuk mengembalikan pemikiran itu pada bentuk kesadaran. Sekali lagi, bahwa dekonstruksi merupakan salah satu penyadaran logis apa yang selama ini dianggap dominan, yang justru bertolak belakang dengan janji-janji manisnya, bahkan tidak membahagiakan dan memberi kepastian hidup manusia. Dengan demikian, kalau membongkar pemikiran-pemikiran yang dominan, maka sebaiknya mendengar semua pemikiran yang selama ini dianggap marginal, tidak logis, atau tidak saintifik.
Sebuah ilustrasi yang barangkali dapat dijadikan acuan adalah betapa pun canggihnya ilmu kedokteran, ia juga harus mendengar pengobatan tradisional. Pandangan kedokteran yang menganggapnya tidak ilmiah harus didekonstruksikan. Sebab, kebenaran dalam peradaban post-modernisme sekarang ini semakin komplek, dan tidak bisa didasarkan pada satu kebenaran. Titik puncak kebenaran sangat tergantung pada epistimologi sebagai jalan untuk meraih kebenaran itu.
Sebagai sebuah jalan, epistemologi merupakan proses yang memungkinkan untuk membantu dalam mendapatkan kebenaran. Antara sains dan peradaban post-modernisme adalah realitas yang sama-sama nyata. Karena itu, persoalan yang diakibatkan sains dalam post-modernisme semakin hari semakin kompleks. Maka di sinilah perlunya epistemologi dan sekaligus axiologi untuk menelusuri dinding-dinding realitas tersebut.
Jika dalam tataran axiologisnya sains tidak menunjukkan kemanfaatan bagi manusia, maka dapat dipastikan bahwa keresahan hati dan kecemasan manusia akan semakin bertambah. Kecemasan dan pergolakan hati akan muncul di era post-modernisme apabila tidak ditemukan sebuah keseimbangan, antara saintisme dengan daya atau potensi yang paling hakiki dalam diri manusia. Martin Heidegger misalnya, menyatakan bahwa masyarakat pasca-modern adalah apa yang disebut stimmung. Yakni sebuah “suasana hati yang menggejala”. Apa yang disebut stimmung merupakan pemikiran-pemikiran post-modern yang melakukan serangan tanpa bentuk yang pasti, majemuk dan liar. Sebagai pasukan yang tidak menggunakan seragam (saintisme), serangannya justru lebih hebat dan membahayakan bagi keselamatan manusia. Dengan senjata intelektualnya, serangannya dapat menempus benteng-benteng yang abstrak sekalipun.
Dalam hal ini, sains tidak saja bertujuan menghancurkan martabat manusia, tetapi juga menyeret dirinya tanpa bentuk dan harga diri. Nilai moral yang semestinya menjadi spirit dan sumber aktivitas manusia, justru lenyap akibat tereduksi oleh sains. Secara moral, perkembangan sains seharusnya tetap memiliki tujuan dan cita-cita hidup manusia, dan bukan menjadi perusak. Karena itu, sains dalam peradaban post-modernisme merupakan era yang mustakhil akan kembali kebelakang, melainkan akan terus berjalan ke depan dengan segala resiko dan akibatnya. Sehingga upaya yang perlu dilakukan adalah membangun konsep nilai yang berlaku secara universal guna menjaga keselamatan dan memberikan kepastian hidup manusia.
*) Mujtahid, Dosen Faukultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar