Rabu, 04 Februari 2009

Kisah Imajinatif di Pojok Pesantren


Judul Buku : Menjadi Bidadari
Penulis : Lianni Qanita [ed.]
Penerbit : Matapena, Jogjakarta
Edisi : I, 2008
Tebal : vi +190 halaman
Peresensi : Mujtahid*

POJOK pesantren selalu menyisakan nuansa unik. Dibilang unik, karena di lembaga tradisional itu ternyata banyak melahirkan cerita atau kisah aneh yang bertebaran. Mulai kisah yang berbau magis, keramat, klenik hingga yang ritual-spiritual.
Buku berjudul "Menjadi Bidadari" ini merupakan satu contoh kreatif atas luapan imajinasi para santri di Pondok Pesantren Langitan Tuban. Kisah fiktif yang berbalut religi ini semakin menarik perhatian banyak pihak, sekaligus menambah ragam koleksi karya sastra atau novel yang muncul dewasa ini.
Mendengar istilah pesantren, aura kita terkadang cepat tertuju pada kondisi kumuh, kudisan, korengan, sarungan atau pun kopiah yang melekat pada diri santri. Itu hanyalah sebuah fenomena lama. Kini kesan itu mulai satu persatu menghilang dengan sendirinya di makan usia zaman.
Sebaliknya, pesantren di alaf milenium ini merupakan ikon baru yang menstimulasi santri-santri berbakat, berprestasi, berpotensi menulis, baik berupa wacana ilmiah maupun sastra/novel. Bagi pencinta novel domestik, pada satu dasawarsa terakhir, banyak karya sastra yang lahir dari komunitas pesantren-pesantren. Ini yang patut diapresiasi secara mendalam bagi dunia perbukuan.
Pusat kajian sastra tidak hanya muncul di Perguruan Tinggi, di lembaga-lembaga sastra-budaya, melainkan juga lewat pintu pesantren. Unik memang, tapi hasilnya cukup positif karena sastra luaran perantren memiliki trademark tersendiri yaitu percikan imajinasi yang dapat meluluhkan hati dan melunakkan jiwa insan yang sedang digoda banyak persoalan.
Istilah "bidadari" merupakan salah satu predikat kemulyaan, kesucian seorang perempuan yang berbau metafor dan eskatologis. Tetapi istilah itu bukan berarti tidak bisa dipakai dalam wilayah empiris, dalam mengungkapkan imajinasi, kreasi, dan pengalaman seseorang.
Buku ini mengemas beberapa sajian kisah imajinatif, inspiratif yang dibumbui nilai-nilai religius bagi seorang perempuan. Bidadari adalah simbol perempuan idaman seorang lelaki di taman surga. Simbol mahkota berupa bidadari itu harusnya kini dijaga dan dipertahankan bagi semua mahkluk yang berjenis kelamin perempuan. Karena banyak "kaum hawa" saat ini yang mudah menggadaikan bahkan menjual mahkota kesuciannya lantaran pengakuan atau pengorbanan atas nama cinta, desakan kebutuhan material, bahkan karena profesi yang terselubung.
Ada 14 kisah yang dikemas dalam karya ini. Salah satu dari kisah tersebut, ada sebuah cerita menarik yang perlu di sampaikan di sini. Cerita itu bertajuk Miss Ma’had. Sudah bisa ditebak, yang namanya Miss pastilah cantik, pinter, familier, dan berjiwa sosial. Karena modal fisiologis dan psikoligis itulah banyak laki-laki menaksir menjadikannya sebagai pendamping hidup. Tinggal memilih seperti apa yang dia suka. Tapi apa yang terjadi, dia menikah dengan seorang yang cacat, yaitu seorang buta. Dengan kebutaannya, dalih kisah itu, menjadikan seseorang akan menyadari dirinya, menghargai penciptaan dan tidak banyak ulah. Melalui ketidaksempurnaannya itulah kemudian sang makhluk lebih dekat dengan sang kholik.
Masih adakah wanita seperti itu? Mungkin hanya seorang sufi, seperti Rabi’ah Adawiyah yang bisa menerima. Kisah-kisah seperti inilah yang harusnya dibaca para gadis belia yang sedang menginjak usia remaja. Dibalik cerita fiktif dalam buku ini diharapkan mampu mengimbangi novel-novel imajinatif lain yang begitu deras menyerbu pasar perbukuan. Bukan hanya itu, yang tak kalah pentingnya adalah karya semacam ini diangankan dapat meredam dan mengingatkan kaum wanita agar melangkah sesuai jalur dan kodrat yang benar.
*) Mujtahid, Pencinta Novel & Editor Buku UIN-Malang Press.