Jumat, 11 Maret 2016

Membangun Peradaban Islam Washatan

Pendahuluan
Islam merupakan pandangan hidup (whay of life) yang menerangi jalan hidup para pemeluknya, yang mampu mengatur semua urusan kehidupan manusia mulai dari masalah peribadatan, ritual hingga masalah keduniaan. Oleh sebab itu, pantaslah seorang pujangga ahli sejarah H.A.R. Gibb memuji Islam dengan ungkapan “Islam indeed much more a system of theology, if is complete civilisation” (Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap).[1]

Islam mengajarkan umatnya agar berkualitas, unggul dan mampu berkontribusi positif untuk kelangsungan hidup di alam semesta (rahmatan lil alamin). Sebagaimana pesan Rasulullah, bahwa tugas hidup seorang muslim ialah menanam kebaikan dan kemanfaatan untuk sesama. “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”. 

Untuk menerjemahkan Islam ke dalam lingkup tatanan kehidupan sosial, perlu sebuah pandangan yang lurus serta mendalam. Dalam hal ini, Nurcholis Madjid pernah menawarkan gagasan tentang pentingnya “al-hanifiat al-samhah”. Suatu pandangan yang tidak lagi terkotak dalam wujud komunalisme atau bentuk yang cenderung mengurung diri pada struktural tertentu. Pemahaman seperti  ini mendorong seseorang agar terpanggil untuk berpartisipasi pada agenda-agenda besar dan luas yang bermanfaat, yang bukan saja bagi internal golongannya, melainkan juga bermuara pada semua golongan manusia. Islam memuat agenda dan cita-cita universal, yaitu mewujudkan keselamatan, keadilan, kedamaian, yang bersendikan pada nilai-nilai tauhid dan sifat dasar kemanusiaan. Tesis Nurcholis Madjid tersebut, intinya adalah munculnya sikap yang moderat dan inklusif dalam memperjuangkan agenda-agenda universal untuk kemajuan peradaban umat manusia.[2]

Apa yang menjadi cita-cita Islam sesungguhnya telah diterangkan secara utuh, holistik dan komprehensif dalam ummul kitab, yaitu surah al-Fatihah. Surat al-Fatihah memuat saripati ajaran Islam yang benar-benar memiliki misi universalitas dan iklusivitas yang mengajak umatnya agar mendapat petunjuk dan kasih sayang-Nya. Sulit diingkari bahwa ajaran pokok Islam, seperti yang terkandung surat al-Fatihah merupakan jalan yang lurus, petunjuk yang menjadi pegangan sekaligus haluan hidup manusia.

 Ayat pertama sebagai pembuka surat, dimulai dengan bacaan basmalah, “bismillahirrahmanirrahim”. Pesan teologisnya ialah kasih sayang Allah Swt. tidak terbatas bagi mereka yang beriman dan beramal saleh. Seperti yang diungkapkan Komaruddin Hidayat, bahwa cinta ilahi merupakan sumber dan spirit kehidupan itu sendiri, “the spirit of life is love, the divine love”.[3] Pesan etisnya yaitu setiap pembaca ayat ini harus mengedepankan kasih sayang, menyebarkan rahmat, dan menjunjung tinggi cahaya kebenaran. Basmalah mengajak setiap pembaca untuk mengenali Allah Swt sebagai pemilik kasih sayang, yang tiada henti selalu memberi rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua ciptaannya.

Ummatan Washatan
Termenologi ummatan washatan diambil dari surat al-Baqarah ayat 143: “Dan dengan demikian Kami (Allah Swt) telah menciptakan kamu (kaum Muslimin) sebagai ummatan washatan agar kamu sekalian dapat menjadi saksi atas diri kamu sekalian; dan sesungguhnyalah Rasul (utusan Allah) menjadi saksi atas diri kamu sekalian.” Penggunaan termenologi ini ditujukan kepada umat Islam yang berada garis tengah (seimbang), atau tidak ekstrim dalam pemahaman dan pengamalan Islam. Di saat kondisi Islam yang dikesankan sebagai agama radikal dan teroris oleh bangsa-bangsa Barat, maka sebutan ummatan washatan menemukan momentumnya untuk menjadi jalan tengah sebagai pengerim laju tindakan-tindakan pelaku umat Islam yang kaku dan ekstrim itu, ulah itu jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Di Indonesia penggunaan term ummatan washatan telah muncul sejak akhir abad ke 12 dan 13, dengan ditandainya Islamisasi yang damai, toleran jauh dari konfrontasi dan perlawanan. Islam diajarkan oleh para da’i/mubaligh kepada masyarakat melalui perdagangan di pasar, pertanian di sawah, nelayan di pesisir dengan penuh santun dan toleran. Proses penyebaran Islam di Indonesia membutuhkan waktu berabad-abad, karena Islam mengambil jalur damai dan mengedepankan etika, tanpa konfrontasi yang menimbulkan gejolak sosial, apalagi sampai mengambil jalan pintas dengan kekerasan atau pertumpahan darah.

Kehadiran Islam di Indonesia, seperti yang disebut oleh Van Leur,[4] merupakan indikasi bahwa Islam bukan saja sebagai sistem keagamaan semata, namun sekaligus merupakan alternatif yang cukup diperhitungkan dalam mengubah setiap bentuk tatanan kehidupan yang tidak sesuai dengan harkat kemanusiaan. Kedatangan Islam di Indonesia tampil dengan sangat elegan, ramah dan lentur hingga mendapat simpati yang sangat luar biasa sampai ke pelosok penjuru tanah air.
Berbeda dengan penyebaran Islam di Cordova atau Andalusia, dan negara-negara sekitarnya, penyebaran Islam di Indonesia lebih mengedepankan jalur kultural, serta terkadang mengambil cara “kompromi” dengan sistem budaya dan kepercayaan yang ada, namun pelan-pelan akhirnya Islam dapat diterima dengan senang hati. Ada tiga hal yang  menyebabkan kesuksesan dakwah Islam di Indonesia, yang merupakan sebagai perwujudan kekuatan Islam Washatan, yaitu:
Pertama, Islam mengajarkan sistem tauhid. Ajaran ini merupakan pembebas dari segala bentuk kekuatan selain Allah Swt. Secara teologis, manusia dihadapan Allah adalah sama, tanpa ada stratifikasi sosial seperti yang ditunjukkan dalam kehidupan masyarakat sebelumnya. Prinsip tauhid mengajarkan asas keadilan dan kesamaan dalan sistem tata kehidupan masyarakat. Ajaran tauhid lebih manusiawi ketimbang ajaran-ajaran sebelumnya yang terkotak-kotak dalam sistem kasta. Sehingga Islam lebih diterima ketimbang melanggengkan ajaran yang selama ini mereka jalani. Ajaran Islam menempatkan pemeluknya lebih terhormat dan mulia, ketimbang ajaran dan kepercayaan yang mereka yakini. 

Kedua, Ajaran Islam relevan dengan roda perubahan zaman. Ajaran Islam sangat lentur, fleksibel sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Melalui pendekatan ma’ruf, Islam mudah beradaptasi dengan budaya dan tata kehidupan masyarakat. Hal-hal yang menjadi kebiasaan masyarakat kala itu, kalau tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka tidak perlu ditolak atau dibubarkan, tetapi cukup diluruskan atau dibumbui dengan nilai-nilai Islam. Tapi sebaliknya, kalau kebiasaan itu tidak sesuai dengan prinsip Islam, maka tidak henti-hentinya para da’i mengajak untuk meninggalkannya. Pendekatan ma’ruf, ini merupakan bagian “jalan tengah” (washatan) dalam memahami dan menjalankan aktivitas Islam.

Ketiga, Islam mengajarkan prinsip tasamuh dan fastabiqul khairat. Prinsip Islam sangat kental dengan keterbukaan, tidak setengah-setengah, melainkan harus kaffah. Islam menjunjung tinggi sikap tasamuh, toleransi serta apresiasi terhadap sesuatu kebenaran dari manapun datangnya. Oleh karenanya, apakah pada aspek fikih (mazhab), tasawuf (sufi), maupun aliran teologi, umat Islam Indonesia sangat terbuka dan biasa berbeda dalam hal itu.  Begitu juga tak kalah pentingnya dalam menyumbangkan kesuksesan penyebaran Islam yaitu sikap daya juang, berlomba-lomba dalam kebaikan. Para da’i, ulama’ dan kyai membuat caranya masing-masing dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat. Peran dan kiprah para tokoh-tokoh Islam dengan prinsip fastabiqul khairat  lalu diwujudkan dengan sarana dakwah, antara lain misalnya;  mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, serta lembaga lainnya. 

Dalam pandangan Azyumardi Azra, ummatan washatan atau Islam washatiyyah di Indonesia menemukan model khas yang terumuskan dalam Pancasila, sebagai kalimatun sawa’ merupakan prinsip-prinsip yang sama (common flatform) yang merekatkan kemajemukan dan kebhinekaan anak bangsa.[5] Sebagai negara yang besar dan mayoritas penduduknya muslim, Islam Washatiyyah tampil dengan berdirinya berbagai organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Al-Khairat, dan lain-lain. Masing-masing organisasi tersebut mengambil jalan tengah (washatan), baik  tercermin dalam pemahaman dan pengamalan praksis keislamannya, maupun dalam sikap sosial, budaya dan politiknya. 

Islam washatan mengambil peran-peran kemanusian lintas batas, yang tanpa sekat primordial dan komunal. Muhammadiyah misalnya, meski sebagai organisasi Islam atau pesyarikatan Islam, telah mendedikasikan diri dalam berbagai bidang, seperti bidang sosial keagamaan, pendidikan dan kesehatan kepada semua masyarakat tanpa pandang status ras, suku, budaya dan agama, demi kemajuan peradaban bangsa. Islam hadir sebagai penggerak peradaban, yang mendorong transformasi sosial kearah tatanan kehidupan yang berperikemanusiaan dan kedamaian.

 Islam dan Realitas Sosial

Secara teologis, Islam disamping menjadi dasar keyakinan, juga memerankan dirinya sebagai sumber nilai yang mutlak dan universal. Sebagai sebuah sumber nilai, Islam menjadi kerangka etis dalam membangun realitas kehidupan masyarakat. Islam diyakini sebagai risalah atau ajaran suci dari Tuhan yang bersifat theo-centris, sementara kehidupan bermasyarakat merupakan bagian dari antropo-centris yang menitik beratkan pada persoalan hubungan manusia antar sesama.

      Antara Islam dan kehidupan manusia tidaklah mungkin dipisahkan. Sebab, Islam merupakan sumber nilai-nilai kebenaran hakiki yang mengajarkan tentang tatakrama dalam membangun relasi humanitas dalam konteks pergumulan antar sesamanya.[6] Islam harus mewarnai segala tindakan, ucapan dan perilaku pemeluknya, sehingga terwujud keadaban dan kemuliaan baik untuk dirinya maupun sesamanya.

      Sebagai makhluk sosial yang dibekali potensi religi (fitrah), manusia diharapkan bisa bertindak netral dan bersikap objektif dalam segala hal. Sebagai abdullah dan khalifatullah, seorang muslim seharusnya tidak membiarkan dirinya berperilaku secara destruktif, melainkan harus menunjukkan citra dirinya sebagai sosok insan kamil yang memiliki kesadaran moral dan etis yang lahir dari spirit keimanan atau keyakinannya.

Oleh karenanya, iman adalah tonggak tertinggi dalam diri manusia yang tidak akan mungkin terpisah dari amal perbuatannya. Amal perbuatan yaitu cabang dari pohon iman. Makin banyak amal kebajikannya, maka makin besar dan tinggi pohonnya. Makin kuat iman seseorang, makin banyak amal saleh yang dikerjakannya. Gambaran tersebut seperti yang diilustrasikan Allah Swt. sebagai berikut:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” (QS. Ibrahim[14]:24-25)

Islam memberikan petunjuk kepada umatnya agar tugas hidup di muka bumi ini laksana pohon yang punya akar kuat yang menghujam ke tanah, rimbun daun dan buahnya bisa menjadi makanan bagi makhluk yang ada disekitarnya.  Seorang muslim harus menjadi pohon lebat yang akarnya menunjam kuat. Artinya harus punya pondasi iman yang kuat. Selain itu, juga rindang sehingga membuat siapa pun yang berinteraksi dengan dirinya merasa teduh, nyaman, dan betah tanpa curiga. Islam harus diyakini sekaligus diamalkan secara utuh, sehingga mampu membuahkan kemanfaatan, kebajikan bagi semua makhluk disekitarnya.

Islam sebagai dasar keyakinan sekaligus sumber nilai diharapkan menjadi inspirasi, spirit bagi pemeluknya agar selalu menegakkan kebajikan, keadilan, moralitas (moral force) dalam semua urusan dimuka bumi ini. Seperti yang diungkapkan H.A.R. Gibb sebelumnya, bahwa Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap. Artinya, Gibb memandang dalam Islam terdapat perpaduan (integritas) antara dimensi sakral (ilahiyah) dan profan (duniawi) merupakan satu entitas utuh yang sulit dipisahkan. Sehingga antara yang profan dan yang sakral tidak terdapat kepincangan atau kesenjangan baik dari segi pemahaman maupun pengamalannya.

             Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh M. Natsir dan Sidi Gazalba, bahwa Islam meliputi semua aspek masyarakat dan kebudayaan, serta menolak pengertian Islam sebagai agama dalam arti sempit, maka sesungguhnya mereka lebih banyak berbicara tentang impian, daripada bertitik tolak dari kenyataan yang terjadi disebagian besar bumi Indonesia.

            Begitu juga pendapat Ernest Gellner, bahwa dalam tradisi Islam terdapat jalinan kuat antara spirit dan hukum keagamaan dengan wilayah sosial. Berbeda dengan agama Kristen, Islam tidak pernah padam dari suatu ideologi. Bahkan Islam akan tidak pernah terpisah dari persoalan-persoalan sosial-budaya. Karena itu, tidak perlu heran kalau Islam pernah mengukir sejarah dunia. Islam telah mengalami kejayaan gemilang dan dirasakan sebagai warisan dan blueprint sosial yang masih sangat mungkin dapat dihidupkan kembali pada zaman yang berbeda.

            Bertolak dari ketiga pandangan di atas, kajian Islam (Islamic studies) saat ini yang harus dihadapi adalah perumuskan metodologis guna melihat makna keagamaannya secara koheren. Sebab jika tidak dilakukan, maka kajian Islam akan mengalami penurunan yang cenderung mengabaikan makna keagamaannya itu sendiri. Amin Abdullah menyatakan bahwa fenomena beragama bukanlah fenomena sederhana seperti yang biasa dibayangkan orang lain. Karena sikap beragama membutuhkan kesadaran dan kemauan untuk menerima suatu keberbedaan.[7]

            Sikap keberagamaan di Indonesia dalam kajian sosiologis, dapat dipetakan menjadi beberapa tipologis. Komaruddin Hidayat di Majalah Ummat (1996) menggambarkan bahwa ada lima tipologi sikap keberagamaan. Pertama, ekslusivisme berpandangan bahwa sikap keberagamaan akan melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama lain sesat, sehingga dipandang wajib dikikis atau pemeluknya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Kedua, sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurnya agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Ketiga, pluralisme, lebih moderat lagi, berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat missionaris atau dakwah dianggap tidak relevan. Keempat, eklektivisme, yaitu suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersifat eklektik. Kelima, universalisme, beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya saja karena faktor historis-antropologis maka agama lalu tampil dalam format formal.

 

Islam dan Sosial Budaya

Banyak para ahli, baik sarjana dalam negeri maupun luar negeri yang menfokuskan kajiannya tentang Islam dan sosial budaya. Rata-rata pusat kajian mereka menggunakan pendekatan atau sudut pandang sosio-antropologis. Salah satu studi penelitian sosial-budaya yang paling menumental mengenai aspek keberagamaan atau perilaku Islam di Indonesia adalah Clifford Geertz yang hingga saat ini masih menjadi primadona, sebagai rujukan utama. Meskipun penelitian itu pada akhirnya juga akan terjadi sebuah pergeseran dan keotentikan hasil, karena dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang jauh berbeda.
Seperti yang ditulis dalam The Religion of Java, Geertz membedakan kebudayaan Jawa dalam tiga tipe; abangan, santri dan priyayi. Abangan, mewakili suatu kelompok yang lebih menitik beratkan pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani. Santri, mewakili suatu titik berat pada aspek Islam dari sinkretisme itu dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang dan juga elemen tertentu di kalangan petani. Priyayi, mewakili suatu kelompok yang lebih menekankan aspek-aspek Hindu dihubungkan dengan elemen birokratik. [8]

Ketiga varian tersebut adalah gambaran atau tafsiran subjektif peneliti yang sangat dipengaruhi oleh situasional dan kondisi pada lokasi itu. Namun temuan tersebut seolah-olah dapat ditranfer kesemua tempat di Indonesia dimana Islam itu ada. Ketika Geertz membukukan hasil penelitiannya di Mojokuto (nama samaran sebuah kota kecil, Pare di Jawa Timur) pada awal tahun 1950-an, ia mungkin belum membayangkan bahwa akan terjadi perubahan kultural di kalangan abangan, santri dan  priyayi.  Terlepas dari kritik yang banyak ditujukan oleh ilmuwan sosial atas kategorisasi itu, sampai saat ini dalam analisis ilmu-ilmu sosial trikotomi tersebut masih kerap digunakan, meskipun dengan sikap yang berhati-hati. 

Kritik sekaligus ingin mematahkan tesis Gertz dilakukan banyak tokoh. Misalnya M. Bambang Pranowo, menyebutkan bahwa kelompok abangan yang sarat akan mistiknya itu telah menerapkan prisip-prinsip Islam, walaupun dengan cara melegitimasi melalui narasi-narasi atau bacaan-bacaan teks kitab suci. Tetapi mereka (abangan) justru sangat lentur dan tak sering konflik dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berbeda dengan kelompok santri yang justru lebih mudah memantik perbedaan dan percecokan.

Seperti halnya disinyalir para pengamat, Indonesia saat ini terjadi peningkatan antusiasme dalam berislam yang ditandai dengan semakin meningkatnya gairah dalam menjalankan Islam baik secara pribadi, yaitu dengan semakin banyaknya orang yang mengunjungi tempat-tempat ibadah dan juga penampakan identitas keislaman yang lebih jelas. Gejala-gejala yang bersifat umum, misalnya banyaknya lembaga-lembaga keagamaan, munculnya banyak penerbitan Islam dan meningkatnya intelektualitas umat. Situasi ini oleh Esposito disebut sebagai "kebangkitan Islam" atau "aktivisme Islam" dan oleh Azyumardi disebut sebagai intensitas santrinisasi. Secara umum hal ini dapat diartikan sebagai tampilnya Islam sebagai kekuatan baru yang diperhitungkan oleh kawan maupun lawan dalam segala aspek kehidupan.

Atas dasar tersebut, maka ada dua kemungkinan dalam hal ini, mereka yang mengalami peningkatan antusiasme keagamaan adalah mereka yang semula masih dalam kategori abangan kemudian berubah menjadi santri. Kemungkinan lain, mereka sebelumnya sudah menjadi santri kemudian secara kualitatif mengalami  peningkatan kembali kualitas kesantriannya. 

Sejalan dengan kemungkinan yang pertama, dalam suatu kesempatan wawancara dengan Islamika, Hefner mengatakan bahwa "peta kaum abangan sekarang ini  mulai berkurang, meskipun mulai  dari Batu sampai Pare, boleh dikatakan masih tetap ada orang-orang yang menyebut dirinya sebagai Kejawen". Semakin menyusutnya jumlah abangan ini dijelaskan Hefner banyak penyebabnya, tetapi mereka yang sedang mengalami proses transformasi  kultural ini selain yang terbesar menjadi santri, ada juga yang masuk aliran kebatinan atau berbagai aliran kepercayaan.

Kategori abangan dan santri juga dapat diletakkan dalam dua pendekatan, yakni dari segi kualitas keagamaan dan stratifikasi sosial, atau sebagai golongan sosio-religius dan sebagai kekuatan sosio-politik. Kategori ini juga tidak bersifat statis, misalnya antara priyayi dan wong cilik karena adanya mobilitas sosial maka mengalami pergeseran. Begitu juga dengan perbedaan antara abangan dan santri tidak selalu bersifat antagonis, tetapi merupakan sekala budaya dan pemahaman agama. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi transformasi dan pergeseran baik wong cilik menjadi priyayi maupun abangan menjadi santri. Seperti dikatakan Hefner, ada priyayi yang abangan dan yang santri, juga ada abangan yang agak priyayi, santri agak priyayi dan sebaliknya.[9]     

Tesis yang penting diajukan adalah mengapa terjadi transformasi kultural? Atau mengapa abangan berubah menjadi santri? Jawaban tentatif tentu dapat bermacam-macam, misalnya karena modernisasi, politik, pendidikan dan tidak menutup kemungkinan adalah peran para elit Islam yang dengan semangat kuat membimbing dan mengajak mereka untuk lebih taat dalam beragama. Ada beberapa asumsi sebagai penyebab berubahnya kaum abangan menjadi santri. 

Menurut Nurcholish Madjid maupun Daliar Noer di atas dapat dirujuk pula dari kesimpulan beberapa pengamat Islam kontemporer, misalnya Robert N. Bellah dan Ernest Gellner. Menurut Bellah yang dikutip Madjid dari Beyond Belief, bahwa Islam menurut zaman dan tempatnya, adalah sangat modern, bahkan terlalu modern sehingga gagal. Dan kegagalan itu disebabkan karena tidak adanya prasarana sosial di Timur Tengah saat itu guna mendasari penerimaan sepenuhnya ide modernitas Islam dan pelaksanaannya yang tepat.[10] 

Selanjutnya Madjid menjelaskan, jika Islam sebuah modernitas, maka zaman modern akan memberi kesempatan kepada orang-orang Islam untuk dapat melaksanakan ajaran agamanya secara baik, dan menjadi modern dapat dipandang sebagai penyiapan lebih jauh infrastruktur sosial guna melaksanakan ajaran Islam secara sepenuhnya. Berarti pula, bahwa di zaman modern ini orang-orang Islam akan dapat memahami ajaran agamanya dan menangkap makna ajaran agama itu sedemikian rupa sehingga "api" Islam, atau spirit dan ruh atau subtansi ajaran Islam dapat bersinar dan memebri kontribusi yang berarti dalam kehidupan Muslim secara pribadi maupun dalam masyarakat secara luas.

Sedangkan Gellner, mengatakan bahwa para sosiolog yang telah lama akrab dan sering membenarkan teori sekularisasi mengatakan bahwa dalam masyarakat ilmiah-industri, iman dan amalan agama akan menurun.[11] Banyak argumen yang dapat dikedepankan untuk memberi topangan intelektual atas pandangan tersebut, dapat pula dalam hal ini dikedepankan bukti-bukti empiris. Tetapi, harus ada pengecualian yang dramatis dan mecolok, yaitu Islam. Menganggap sekularisasi telah melanda Islam tidaklah berlebihan. Namun anggapan itu salah, sebab saat ini Islam tetap kuat seperti seabad yang lampau, bahkan mungkin lebih kuat. 

            Sebagai agama, Islam dapat dilihat sebagai gejala sosial-budaya. Atha Mudzhar menjelaskan bahwa agama dapat diteliti kalau telah menjadi gejala budaya. Dalam perspektif ilmu sosial kajian budaya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebab, kajian budaya selalu unik yang hampir tidak pernah selesai dibahas dan diteliti oleh manusia. 

            Paling tidak, gejala agama dapat dilihat dari lima sudut. Pertama, berkenaan dengan teks-teks atau sumber ajaran agama. Kedua, dilihat dari sikap dan prilaku para pemimpin dan penganutnya. Ketiga, dilihat dari ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadatnya. Keempat, alat-alat atau media peribadatan, dan kelima, organisasi keagamaan sebagai sarana mereka berperan dan bertindak.[12]

Kuntowijoyo menjelaskan bahwa perubahan kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang terjadi secara natural, disebut sebagai "transformasi"; dan yang terjadi secara artifisial, atau dibuat disebut sebagai "rekayasa". Transformasi bisa berkenaan dengan nilai, bisa juga berkenaan dengan struktur. Transformasi dalam studi ini berkenaan dengan nilai, yaitu agama yang dihayati oleh pemeluk-pemeluknya. Dalam hal ini golongan abangan menunjukkan kecenderungan peningkatan kualitas dalam hal keagamaannya dari sekadar muslim secara formal menjadi muslim secara subtansial, atau spiritual.

Penutup
            Islam sebagai pandangan hidup manusia, menempatkan dua tujuan utama, yakni kesuksesan di dunia dan di akhirat. Seperti kata Malinowski, agama (Islam) adalah "wishful thinking", yaitu suatu harapan yang muncul karena manusia melihat bahwa kehidupannya akhirnya akan berakhir dengan kematian. Ia tampaknya masih memandang agama sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif. Karena Islam dapat menolong untuk mengatasi frustasi dan membantu mewujudkan persatuan sosial. 

Islam menekankan dua aspek penting, yakni adanya hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablum Minannas) secara integral. Keutuhan dan keseimbangan hubungan itu akan menjadikan seseorang dapat bergaul dengan sangat luwes dan tidak sempit. Sebab keutuhan Islam dibangun mulai dari sistem kepercayaan (belief), peribadatan (ritual), masyarakat (community), lembaga atau kelembagaan (institution) dan masalah pengalaman keagamaan (religious experience).

Islam menempatkan kitab suci sebagai petunjuk atau "suatu kekuatan hidup yang tertinggi". Apa yang terlihat di dalamnya adalah suatu yang mampu mengatasi segala kebutuhan makhluknya. Melalui kitab suci ini setiap muslim terdorong untuk melakukan pengabdian, penghambaan dan bahkan pengorbanan untuk mewujudkan kehidupan yang bermafaat bagi kemaslahatan ummat.

Daftar Bacaan
Abdullah, M. Amin, Studi Islam, Normativitas atau Historisitas.? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1986.
Ali, Fachry, dalam Pengantar Nurcholish, Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998
Aziz, M. Amin, The Power al-Fatihah,   Cet. III, Jakarta: Pinbuk Press, 2008
Azra, Azyumardi, Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global, MAKALAH, belum diterbitkan.
Geertz, Clifford.  The Religion of Java. [terj]. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983
Gellener, Ernest, Muslim Society, Combridge University Press Gellner, 1994
Gibb, H.A.R. Whither Islam, London: Victor Gollanez Ltd., 1932.
Hefner, Robert W. ICMI dan Perjuangan Kelas Menengah Muslim Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994, hal. 59.
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998.
M. Natsir, Capita Selecta, I., Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.
Mudzhar, Atha, Pendekatan Studi Islam, dalam Teori dan Praktek, Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1998.



[1] Gibb, H.A.R. Whither Islam, London: Victor Gollanez Ltd., 1932. hal. 12. seperti yang dikutip M. Natsir, Capita Selecta, I., (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 15.
[2] Ali, Fachry, dalam Pengantar Nurcholish, Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. xlv-xlvi
[3] Aziz, M. Amin, The Power al-Fatihah,   Cet. III, (Jakarta: Pinbuk Press, 2008), Hal. xxviii.
[4] Lihat, Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1986) hal. 32.
[5] Azra, Azyumardi, Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global, MAKALAH, belum diterbitkan..
[6] Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 9.
[7]Abdullah, M. Amin, Studi Islam, Normativitas atau Historisitas.? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 23.
[8] Geertz, Clifford.  The Religion of Java. [terj]. Aswab Mahasin. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 8.
[9]Hefner, Robert W. ICMI dan Perjuangan Kelas Menengah Muslim Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 59.
[10] Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), hal. lxxiv.
[11] Gellener, Ernest, Muslim Society, (Combridge University Press Gellner, 1994), hal. 16-17.
[12] Mudzhar, Atha, Pendekatan Studi Islam, dalam Teori dan Praktek, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar,1998), hal 14.