Minggu, 29 Agustus 2010

Mewarisi Tradisi Intelektual Cak Nur

Oleh: Mujtahid

GENAP lima tahun sudah Nurcholish Madjid meninggalkan kita semua, sejak 29 Agustus 2005 yang lalu. Sebagai seorang Intelektual Muslim yang dibesarkan oleh pendidikan Barat, beliau tetap sangat mencintai, menghargai dan menjunjung tinggi tradisi, budaya, dan nilai-nilai sosial dan kultur keagamaan Indonesia.

Tak sulit bagi kaum intelektual muslim mengenal sosok Nurcholish Madjid, yang biasa akrap di sapa dengan sebutan “Cak Nur”. Kepulangannya lima tahun silam telah menggetarkan bagi bangsa ini, karena beliau adalah seorang pemikir muslim yang tetap konsisten terhadap gagasan dan ide-idenya sejak tahun 70-an. Cak Nur termasuk putra bangsa yang paling banyak menghiasi khazanah pemikiran keislaman, terutama lewat karya-karya monumentalnya.

Pemikiran Cak Nur yang khas, ikut mewarnai belatika ragam wacana yang melintasi batas-batas pemikiran keislaman pada umumnya. Hal inilah yang menjadi titik “keberanian” yang dimiliki sosok Cak Nur. Dia berani menerima “hujatan” atau tanggapan yang pedas, miring dan sporadis dari lawan-lawan pemikirnya dengan penuh kejernihan jiwa dan kematangan intelektual yang mapan.

Dalam tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa betapa ”besar pengaruhnya” pemikiran Cak Nur dalam belantikan pemikiran Islam abad ke-20 itu. Banyak kolega, kawan, lawan diskusi dan beberapa tokoh ternama, telah menulis tentang biografi beliau secara lengkap, yang tak sedikit yang dipublikasikan melalui buku, jurnal dan majalah, bahkan media massa. Yang perlu digarisbawahi adalah beliau merupakan sosok yang kukuh dalam mengembangkan kajian keislaman; yang mampu merambah Islam kemodernan yang akomodatif, dan penggerak moralitas publik.

Secara metodologis, kecenderungan kuat wacana Cak Nur adalah saikapnya terhadap modernisasi Barat. Pengamatan kualitatif ini menunjukkan bahwa sejak awal inspirasi modernisasi Barat ini begitu nyata dalam wacana pemikiran Cak Nur. Bahkan, dari gebrakan pembaharuan sampai gagasan pluralismenya juga disemangati oleh pencerahan wacana peradaban Barat. Pada Cak Nur, hasrat mempersambungkan Islam dengan tradisi setempat atau "Islam lokal" tampak dominan.

Cak Nur menyadari bahwa ancaman serius bagi setiap pemikiran keagamaan adalah kemandekan, kebuntuan, dan ketiadaan semangat inovasi. Kondisi semacam itu akan menyebabkan agama kehilangan relevansinya dengan zaman dan masyarakat yang terus berubah. Pemikiran keagamaan dalam bentuk tafsir, teologi, dan lebih-lebih hukum (fiqih), bagaimanapun merupakan hasil interaksi dengan semangat zamannya.

Maka, mandeknya pemikiran keagamaan akan berdampak langsung pada irelevansi agama dan akhirnya peminggiran agama dari denyut nadi kehidupan manusia. Itulah sebabnya, di setiap kurun waktu selalu ada orang atau kelompok yang gelisah bahwa agama mereka akan kehilangan elan vital untuk menyesuaikan diri dengan-atau menjawab-tantangan zaman. Mereka berusaha mempelopori perubahan dan melampaui pemikiran status quo. Namun, gerakan semacam itu tidak selalu berjalan mulus karena akan ditantang oleh mereka yang juga "cemas" dengan kemurnian iman mereka apabila perubahan dilakukan di wilayah-wilayah keagamaan.

Sejarah kemunculan gerakan-gerakan keagamaan (Islam) di Tanah Air dengan jelas menunjukkan hasrat kepada perubahan di satu kutub, dan pada saat bersamaan muncul perlawanan dari kutub lain yang mencoba mempertahankan apa yang mereka anggap "kebenaran mutlak" yang tidak bisa diganggu gugat. Cak Nur juga tidak ketinggalan, ketika pada dekade 1970-an, ia dan teman-temannya mendeklarasikan perlunya kelompok pembaru yang liberal, yang menjangkau kawasan lebih luas.

Melalui berbagai ceramah dan tulisannya, Cak Nur mengajak umat Islam untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendalam supaya dapat mengikuti perkembangan zaman. Ia mengajukan argumen bahwa organisasi-organisasi Islam yang selama ini mengklaim sebagai pembaru telah berhenti sebagai pembaru, karena mereka tidak sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progresivitas. Lebih jauh, menurut dia, ide-ide dan pemikiran Islam yang diwadahi dan hendak diperjuangkan oleh partai-partai Islam ketika itu sudah memfosil, usang, kehilangan dinamika, sehingga tidak menarik lagi. Karena itu, kemudian ia mengajukan tesis: Islam Yes, Partai Islam No!

Mantan ketua umum PB HMI dua periode itu juga mengkritik ide Negara Islam yang menurutnya hanya merupakan suatu apologi, yaitu apologi terhadap ideologi-ideologi Barat modern seperti demokrasi, sosialisme,dan komunisme. Sebagai apologi, ujarnya, pikiran-pikiran itu hanya mempunyai efektivitas yang berumur pendek.

Dua tesis itulah (Islam Yes Partai Islam No, dan Tidak Ada Negara Islam), yang menyulut kontroversi berkepanjangan. Tetapi, ia juga banyak diakui telah menyegarkan kembali pemahaman Islam yang dianggap telah lama membeku, dan seraya itu memberikan "rasa aman teologis" bagi kaum Muslim tanpa harus bergabung dengan partai Islam atau mendirikan negara Islam.

Kalau akhir-akhir ini lahir kelompok JIL (Jaringan Islam Liberal) yang kebanyakan dipelopori oleh anakanak muda NU, yang inspirasinya hampir tak jauh beda dengan Cak Nur, sesungguhnya tidaklah begitu membuat sesuatu yang baru dan eksplosif sebagaimana Cak Nur. Cak Nur dengan segala kearifannya masih kental dengan nuansa Islamnya seperti penggunaan istilah masyarakat madani, sementara JIL memakai istilah lain, seperti masyarakat sipil (civil Society). Sehingga keberadaan JIL, tak sebesar dan sedalam ide-ide Cak Nur.

Dari catatan di atas, apa yang telah dibangun dan digagas Cak Nur melalui gerakan pemikiran Islam modern, yang dimulai 1970-an bukanlah untuk menegaskan supremasi dan prestise. Karena sesuai informasi hadits, dalam setiap generasi, atau seratus tahun (seabad) akan muncul seorang pembaharu (mujaddid). Nah, untuk konteks Indonesia, gerakan pembaruan Cak Nur digulirkan pada masa transisi masyarakat dan bangsa dari era Orde Lama ke era Orde Baru, yang menyebabkan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang perlu diberikan jawabannya.

*) Mujtahid, Dosen Fak. Tarbiyah UIN Maliki Malang

Jumat, 27 Agustus 2010

Puasa dan Renungan Bathin

Mujtahid

HAMPIR semua agama dan filsafat keagamaan sejak dahulu sampai sekarang mengajarkan puasa untuk tujuan penyucian jiwa. Aliran filsafat Greko- Romawi Kuno, Pythagorean, berpendapat bahwa puasa adalah salah satu jalan untuk meraih kembali sifat dasar kesempurnaan manusia. Puasa bagi pemuka agama Hindu dan Jain merupakan kelaziman khususnya pada saat mempersiapkan diri untuk memasuki upacara dan perayaan keagamaan. Demikian pula halnya dengan tradisi klasik agama-agama di Cina. Chai (ritual, puasa fisik), yang kemudian dimodifikasi oleh aliran China Taoisme menjadi Hsin Chai (puasa jiwa) merupakan anjuran khusus. Konsep serupa juga berlaku dalam tradisi Confusionisme yang mencanangkan praktik puasa sebagai persiapan dalam melakukan penyembahan terhadap ruh nenek moyang.
Agama Budha tidak ketinggalan. Walaupun Sidharta Gautama mengajarkan moderasi dalam pelaksanaan puasa, tidak sedikit dari biarawan dan biarawati penganut Budhisme yang melakukan praktik puasa pada hari-hari biasa (hanya makan sekali sehari), dan berpuasa penuh pada awal dan pertengahan bulan. Masa kini penganut Budha banyak yang berpuasa empat kali sebulan saat-saat mengadakan introspeksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.
Puasa merupakan salah satu arena yang sangat tepat untuk melakukan sebuah dialog batin (inner dialog). Dengan proses dialog batiniah, hakikat puasa adalah latihan kejiwaan (riyadlah al-nafsiyah) manusia yang menggiring kepada kesadaran fitrah. Tanpa dialog batin tersebut, mustakhil penyucian diri akan terwujud dengan baik. Sebab, dialog batini adalah dialog, diskusi dan disputasi yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan ritualitas keagamaan, khususnya ibadah puasa.
Sebagai sebuah dialog batin, kesadaran ini termotivasi dari surat al- Syam yang ditegaskan bahwa “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. 91: 9-10). Selepas keluar dari dialog batin (puasa), diharapkan tidak hanya potensi yang dimiliki oleh manusia akan kembali kepada jalan dan tugasya masing-masing, namun juga menambah rasa keimanan, kecintaan manusia kepada Allah dan lebih-lebih memperoleh predikat taqwa. Artinya bahwa diri manusia selalu dekat dengan keagungan-Nya dalam menatap realitas dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Dialog batin merupakan sarana yang paling monumental sebagai proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs) bagi kaum muslim. Karena potensi kejiwaan (nafsiyah) hanya dapat didekati dengan dialog batin. Pendekatan tersebut diasumsikan bahwa unsur ruhani identik dengan senyawa halus yang tidak terlihat secara kasatmata.
Dalam struktur kejiwaan itu, Allah memberikan seperangkat dasar yang cenderung berkembang, hal ini dalam ilmu psikologi disebut potensialitas atau disposisi, yang menurut aliran behaviorisme disebut prepotence reflexs (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berubah-ubah). Dengan proses dialog batin berarti belajar melibatkan stimulasi dan respon. Sehingga apa yang disebut “kapasitas dan potensialitas manusia” dapat terwujud secara utuh.
Melalui proses dialog batin yang terjadi pada diri manusia akan terbangun sebuah kesadaran diri sebagai manusia yang mengemban tanggungjawab, kemampuan memilih, kepekaan hati nurani, keluasan pandangan, dan memiliki kekayaan pengalaman transendental.
Penyakit jiwa jika kita telusuri, pangkal tolaknya adalah hati. Karena hati merupakan jantung kehidupan manusia. Hati adalah penggerak perbuatan manusia. Dari hati nurani timbul suara kebenaran dan kebaikan, dan dari lubuk hati pula muncul bisikan-bisikan dan hawa nafsu. Hati dapat dimengerti sebagai tempat terpadu dua kutup yang saling tarik menarik antara kejujuran dan kebohongan, antara kebenaran dan kepalsuan antara keadilan dan kedzaliman.
Mengenai fungsi hati ini, Rasulullah bersabda “sesungguhnya dalam diri (tubuh) setiap manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh gerak-gerik (perbuatan tubuh) akan baik. Jika ia rusak, seluruh perbuatan (manusia) juga rusak. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim). Seiring dengan hadits tersebut, seorang ahli psikoanalisa modern, Eric Fromm, menyatakan bahwa sebagian besar penyakit manusia modern adalah karena penyakit hati, bukan penyakit fisik (lahir). Dengan demikian, untuk mengobati penyakit tersebut yang diperlukan, bukanlah memeriksakan diri ke dokter spisialis, melainkan kepada agama kebenaran, kepada agama yang mampu memberikan nilai-nilai kasih sayang, kepada al- Qur’an yang merupakan syifa’ (obat penawar).
Proses penyucian hati hanya dapat dilakukan dengan dialog batin, berkomunikasi, mengingat (dzikir) kepada Allah. Seperti yang difirmankan Allah dalam surat al- Ra’ad “Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang dan damai (QS. 13:28). Proses dialog batin berarti melatih perasaan jiwa (diri) supaya terdorong hatinya kepada jalan dan ridha Allah. Sebab ridha merupakan salah satu bagian dari akhlak seorang muslim kepada Allah. Tuhan yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.
Dialog batin berarti juga mendorong manusia pada sikap tawadhu’ (rendah diri). Tidak merasa dirinya yang paling benar dan semua yang datang selain dia dianggap salah. Sikap mulia ini termotivasi dari kesadaran batin yang bersih. Sehingga Allah mengingatkan kepada manusia dalam surat al Furqan “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah diri (tawadhu’) (QS. 25:63). Sikap tawadhu’ inilah yang mengangkat derajat manusia ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebagaimana Rasulullah bersabda; “Tawadhu’, tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba keculai ketinggian (derajat). Oleh sebab itu tawadhu’lah kamu, niscaya Allah akan mengangkat derajatmu”. Orang yang tawadhu’ biasanya dibarengi dengan sikap muraqqabah (waspada). Dengan sikap ini berarti dialog batin mengajak hati manusia selalu melakukan muhasabah (introspeksi atau evaluasi diri), merenungkan sejauhmana kualitas amal yang diperbuat, seberapa jauh kepekaan hatinya terhadap realitas sosial, dan seterusnya.
Dari proses dialog batin, manusia diharapkan “kembali” kepada asalnya yakni keadaan fitrah (suci). Sikap kembali, bukan saja memerlukan sebuah loncatan keberanian, tetapi juga kesiapan segala perubahan dalam jiwa (diri) manusia. Dan puasa adalah waktu yang sangat tepat sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan (penyucian) diri itu. Puasa dianggap gagal kalau tidak membuahkan sebuah perubahan diri yang jauh lebih baik dari hari sebelumnya. “Barang siapa yang hari ini sama seperti kemarin maka ia merugi, dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka ia pandai (beruntung), dan barang siapa yang hari ini lebih jelek dari kemarin, maka ia terlaknat (HR. Bahaqi). Semoga puasa yang kita jalankan pada bulan ini akan lebih baik dari puasa bulan kemarin.***

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Selasa, 17 Agustus 2010

Puasa: Dari Syari’at Menuju Hakikat

Oleh: Mujtahid
SALAH satu moment penting yang perlu kita renungkan dalam kaitannya dengan puasa adalah proses penyucian diri (tazkiyah al nafs). Bulan puasa tidak hanya dimengerti sebagai bulan suci, melainkan bulan penyucian diri. Puasa di samping sebagai kewajiban personal kepada Allah, juga berfungsi sebagai “kawah candradimuka” bagi umat muslim. Sebab kewajiban tersebut hanya datang satu bulan sekali dalam setahun. Sementara keadaan suci (fitrah) manusia telah ternodai dan berubah atas kuasa dan kelemahanya sendiri.
Hadirnya bulan puasa merupakan formulasi dan aktualisasi tentang fitrah pada diri manusia. Formulasi tersebut sebagaimana Allah firmankan dalam surat al- Rum ayat 30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalamciptaan llah, itulah agama yang lurus, tetapi kebayakan manusia tidak mengetahui” begitu juga disabdakan Nabi Muhammad, sebagaimana diriwayatkan Imam Bhukhari “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orangtuanyalah yang membuatnya yahudi, Nasrani dan Majusi”. Konsep fitrah tersebut dapat dipahami bahwa manusia itu lahir dalam keadaan kesucian, maka dia bersifat hanif. Artinya selalu cenderung kepada yang suci dan baik. Sebab struktur manusia dilengkapi dengan potensi-potensi ruhani. Allah selalu mengingatkan kepada manusia agar mengenal dirinya sendiri, sebagaimana tertera dalam surat al- Dzariyat “Dan di dalam dirimu apakah kamu tidak memperkatikan? (QS. 51: 21) dan dalam surat al Fusilat ditegaskan bahwa “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagai mereka bahwa al- Qur’an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwasesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu (QS. 41:53). Dengan mengenal dirinya manusia akan lebih mudah dapat melihat substansinya sendiri.
Sebagai makhluk yang paling unik, manusia merupakan karya Allah yang paling sempurna (complete) (QS. 95:4) dibanding dengan makhluk lainnya. Ia dibekali dengan potensi-potensi ruhani (al- Quwwah al- Ruhiyyah) yang berfungsi untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, ia juga potensi untuk memilih mana yang benar dan yang salah. Potensi tersebut merupakan salah satu kekuatan batin (inner bathin) yang paling berharga bagi manusia. Karena itu, setiap manusia bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakannya “Dan orang-orang beriman, dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anakcucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya (QS. 52:21).
Dalam ajaran tasawuf, seruan agar manusia mengenal dirinya sendiri merupakan pilar utama menuju Tuhan, sebab dengan mengenal dirinya sendiri manusia akan mengenal Tuhannya, "Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, dia akan mengenal Tuhannya" demikian salah satu bunyi dalam ajaran tersebut. seiring dengan kalimat itu, al- Qur'an juga menyebutkan bahwa sebaiknya manusia merenungkan kembali dari mana ia diciptakan, "hendaklah memperhatikan dirinya sendiri, dari apa ia diciptakan"(QS. 86:5).
Menurut Ismail Raji al- Faruqi manusia merupakan karya Allah terbesar, dia satu-satunya makhluk yang perbuatannya mampu menciptakan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan dan menjadi sejarah, (QS. 5:56), dan ia makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan dalam kehidupan di dunia. Adapun kehidupan tersebut dalam diri manusia, jiwa (al- nafs) merupakan salah satu ciri khas yang tidak dapat dilihat dari luarnya, sehingga jiwa manusia dinamai jiwa rohani (spiritual soul).
Menurut Murtadha Mutahhari (1989:118-119), manusia dalam fitrahnya memiliki sekumpulan unsur sorgawi yang luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada binatang, tumbuhhan dan benda-benda yang tak bernyawa, unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata (materiil) dan metafisik (immateriil), antara rasa dan non rasa, antara jiwa dan raga, seperti yang termaktub dalam surat al- Sajdah; “yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur (QS. 32:7-9).
Proses kejadian manusia terdiri dari dua substansi. Pertama, substansi jasad atau materi, yang bahan dasarnya adalah dari materi yang merupakan bagian dari alam ciptaan Allah. Dalam pertumbuhannya, ia tunduk pada dan pengikut sunnahtullah (antara ketentuan, hukum Allah yang berlaku di alam semesta) kedua, substansi jiwa yaitu pengembusan roh (cipataan-Nya) ke dalam diri manusia, sehingga manusia merupakan benda organik yang mempunyai berbagai alam potensial dan fitrah. Al Farabi menyebutnya ada unsur alam kholiq dan al amr (roh dari Tuhan). Dari kedua substansi tersebut, maka yang paling esensial adalah substansi immateri/jiwa. Manusia memang terdiri dari unsur jasad dan roh, tetapi yang hakikat dari kedua substansi itu adalah roh (jiwa).
Dengan demikian, manusia merupakan rangkain utuh antara substansi jasmani asan substansi rohani, komponen jasmani dari tanah (QS. 32:7) dan komponen rohani ditiupkan Allah (QS. 15:29). Dengan kata lain manusia adalah satu kesatuan dari mekanisme biologis, yang dapat dinyatakan berpusat pada jantung (sebagai pusat kehidupan) dan mekanisme kejiwaan yang berpusat pada otak (sebagai lambang berfikir, merasa, dan besikap).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merahnya, bahwa manusia pada dasarnya dapat ditempatkan dalam tida kategori. Pertama, manusia sebagai makhluk biologis (al- basyr) pada hakikatnya tidak berbeda dengan makhluk-makhluk biotik lain walaupun struktur organnya berbeda (QS.15:28) karena organ manusia lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk lain (QS. 95:4). Kedua, manusia sebagai makhluk psikis (al- Insan ) yang mempunyai potensi rohani seperti fitrah (QS. 30:30) akal (QS. 3:190-191), hati (QS. 22:46). Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi martabatnya (QS.17:70) yang berbeda dengan makhluk lainnya, artinya apabila potensi psikis tidak digunakan, manusia tak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina (QS. 7:179) sedangkan insaniahnya (humanisme) terletak pada iman dan amalnya (QS. 54:6). Dan ketiga, manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial terhadap alam semesta. Klasifikasi ketiga ini karena manusia berfungsi tidak hanya sebagai Abdullah (QS. 51:56) tetapi juga sebagai Khalifatullah (QS. 2:30, 10:14). Untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagian, dalam kehidupan dinia akhirat (QS. 28:77).

Dialog Batin
Puasa merupakan salah satu arena yang tepat untuk melakukan sebuah dialog batin (inner dialog). Dengan proses dialog batiniah, puasa hakikatnya adalah latihan (riyadlah) kejiwaan manusia yang menggiring kepada kesadaran fitrah. Tanpa dialog batin tersebut, mustakhil penyucian diri akan terlaksana dengan baik. Sebab, dialog batini adalah dialog, diskusi dan disputasi yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan ritualitas keagamaan, khususnya puasa.
Perintah ini termotivasi dari surat al- Syam yang ditegaskan bahwa “Sesungguhnya beruntunglah orang yangmensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS. 91: 9-10). Setelah dari dialog batin (puasa) diharapkan tidak hanya seluruh potensi yang dimiliki oleh manusia akan kembali kepada jalan dan tugasya masing-masing, namun juga menambah rasa keimanan manusia kepada Allah dan lebih-lebih mendapat predikat taqwa. Artinya diri manusia selalu dekat dengan keagungan Allah dalam realitas dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Dialog batin merupakan sarana yang paling tepat untuk penyucian diri (tazkiyah al- nafs) bagi kaum muslim. Karena potensi kejiwaan (nafsiyah) hanya dapat didekati dengan dialog batin. Pendekatan tersebut diasumsikanbahwa unsur ruhani identik dengan senyawa yang halus dan tidak terlihat secara kasatmata.
Dalam struktur kejiwaan itu, Allah memberikan seperangkat dasar yang cenderung berkembang, dalam ilmu psikologi disebut potensialitas atau disposisi, yang menurut aliran psikologi behaviorisme disebut prepotence reflexs (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berubah-ubah). Dengan proses dialog batin berarti belajar melibatkan stimulasi dan respon. Sehingga apa yang disebut “kapasitas dan potensialitas manusia” dapat terwujud secara utuh.
Proses dialog batin yang terjadi pada diri manusia akan terbangun sebuah kesadaran diri sebagai manusia dalam mengembang tanggungjawab, kemampuan memilih, kepekaan hati nurani, keluasan pandangan, dan memiliki kekayaan pengalaman transendental.
Dalam batas-batas tertentu, dialog batin merupakan kerangka empirik yang mampu menelusuri tanda-tanda penyakit kejiwaan manusia. Penyakit kejiwaan hanya bisa disembuhkan dengan terapai-terapi, termasuk agama. Terapi itu misalnya shalat, puasa zakat dan rital keagamaan lainnya. Terapi kejiwaan hanya bisa dikembalikan kepada al- Qur’an sebagai sumber kebenaran, sebagai al- syifa li al- shudur al- nas.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Rabu, 11 Agustus 2010

Puasa dan Keseimbangan Diri

Oleh: Mujtahid*

TANPA diragukan lagi bahwa puasa merupakan ladang paling subur untuk mempertebal keimanan, ketaqwaan serta wahana penciptaan nilai moral serta tanggung jawab setiap kaum muslim. Banyak ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa puasa sesungguhnya mendidik orang supaya mawas diri, dan menghadirkan kemahabesaran dan keagungan Tuhan di tengah badai keseimbangan diri manusia yang sedang diuji.
Dalam kaitannya dengan aspek sosial misalnya, puasa merupakan jalan untuk meningkatkan sistem solidaritas dan kesetiakawanan sosial yang selama ini dinilai renggang. Solidaritas ini bisa terwujud di bulan ramadhan karena mereka menyadari bahwa hakikat puasa bukan semata-mata menjalankan dimensi ritual ubudiyah semata, melainkan juga dimensi tasawuf/etis. Seperti kita lihat bahwa dengan puasa orang mudah mengelurkan rezkinya, ringan menjalankan shalat berjama’ah, bertadarrus, dan seterusnya. Keseimbangan diri inilah yang perlu dipupuk selama bulan ramadhan ini agar terbentuk jiwa raga yang kamil.
Secara kualitas, setiap amalan yang dikerjakan dibulan ramadhan banyak mengandung makna ibadah, dalam arti yang sesungguhnya. Sehingga dalam bulan ramadhan dilukiskan bahwa puasa merupakan ibadah miliki Allah. Artinya, amalan-amalan yang dilakukan di bulan ini memiliki nilai yang tambah dihadapan-Nya, begitu juga kalau melakukan amalan-amalan yang berdimensi sosial.
Puasa sebagaimana yang diperintahkan Allah selain memiliki hubungan vertikal juga melambangkan hubungan horizontal. Perintah menjalankan puasa sejatinya menyeimbangkan antara dimensi teologis dan sosiologis. Karena itu, Allah membuka peluang bagi kaun aghniya’ (orang kaya) untuk memperbanyak ibadah baik secara bathiniyah maupun secara material. Janji Allah terhadap mereka yang mampu melaksanakan keseimbangan ibadah ini pasti pahalanya akan dilipatgandakan.
Untuk meraih janji-janji Tuhan itu, kemudian lahirlah keinginan dan semangat berlomba-lomba dalam melakukan amalan, baik amalan sunnah maupun wajib. Perlombaan inilah kemudian membentuk manusia memiliki kepedulian terhadap diri sendiri dan kepedulian bagi sesama. Kepedulian ini lahir bukan karena terpaksa, dipaksa namun lahir karena panggilan hati nurani. Jiwa atau hati yang bersih akan lahir sebuah perbuatan yang bersih dan begitu sebaliknya jiwa yang kotor akan menjerumuskan diri sendiri dan bukan tidak mungkin pada orang lain.

Pembentukan Moral
Moral merupakan nilai-nilai yang biasa dijadikan patokan, dasar dalam melakukan tindakan. Sehingga dalam prakteknya seorang tentu tidak terlepas dari apa yang disebut moral. Moral sangat kerap kali disebut dalam setiap perbuatan manusia. Pertanyaannya adalah apakah tindakan itu berdasarkan moral atau tidak? Pertanyaan inilah yang sering muncul dalam benak hati manusia. Dan bisikan-bisikan pasti itu pasti lahir di dalam jiwa manusia.
Moral dan puasa memiliki kaitan yang sangat erat serta tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain. Karena puasa adalah sarana untuk membentuk moral kemanusiaan universal. Maka pendidikan moral secara tidak langsung dapat terwujud dengan baik di bulan puasa ini. Penyimpangan moral yang sering terjadi di luar bulan ramadhan merupakan manifestasi dari tipisnya kesadaran memiliki Tuhan, diri sendiri dan kemanusiaan. Rapuhnya moral karena tidak meletakkan dirinya sebagai pelaku sosial.
Tepatlah apa yang terkandung dalam sebuah hadits bahwa “dalam diri manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka perbuatannya akan baik dan jika ia rusak maka perbuatannya akan rusak, ketauhilah bahwa itu adalah hati. Moral kaitannya dengan hati adalah sebuah pilihan-pilihan atau pertimbangan. Artinya hati merupakan timbangan yang akan menentukan pilihan antara kebenaran dan kebatilan. Jadi, keberadaan hati akan sangat berpengaruh terhadap pilihan.
Moral sesungguhnya pilihan-pilihan yang berdasar pada pertimbangan-pertimbangan. Dan pertimbangan itu tidak terlepas dari pertimbangan hati, akal serta pertimbangan rasa kemanusian. Jika pertimbangan ini tidak dilakukan, maka tidak mustahil pilihan dan tindakan yang akan dilakukan berdampak buruk. Dalam menjatuhkan pilihan, diri manusia selalu kembali pada kekuatan hati dan akal sebagai alat atau potensi yang bisa memberikan pilihan.
Puasa yang dilakukan berdasarkan imanan wa ihtisaban (atas kesadaran keimanan dan perhitungan) akan melahirkan nilai moral yang sesungguhnya. Dapat dipastikan bahwa puasa mendidik manusia untuk mewujudkan moral kemanusian itu. Sehingga yang tampak adalah sebuah tindakan yang mencerminkan nilai ketuhanan dan sekaligus kemanusiaan.
Bobot puasa sesungguhnya terletak pada dua nilai tersebut di atas. Kesadasar vertikal harus imbangi dengan kesadaran horizontal. Karena kesadaran vertikal saja tidaklah cukup bagi kesalehan pribadi, sedangkan kesadaran horizontal terabaikan. Jadi puasa meletakkan nilai-nilai yang menjunjung kesadaran kolektif. Dan keharmonisan nilai ini sangat mudah terwujud dengan puasa.

Penguatan Tanggungjawab
Konsep tanggung jawab dalam al-qur’an biasa disebut dengan amanah. Yang artinya dapat dipercaya, jujur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih tepat lagi jika konsep amanah ini kemudian diterjemahkan dalam dimensi kehidupan, baik secara personal maupun kolektif (sosial). Karena dalam kehidupan manusia, tanggung jawab merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Sehingga manusia tidak bisa menghindar dari tanggung jawab. Sebab, Allah menjadikan manusia di muka bumi ini disamping sebagai Abdullah, juga sebagai khalifahtullah (wakil atau duta) yang penuh dengan tanggung jawab sosial.
Pelajaran penting yang terkandung dalam puasa adalah membentuk tanggung jawab manusia. Karena puasa merupakan ibadah khusus yang salah satunya untuk melatih bertanggung jawab pribadi. Karena itu, hubungan pribadi dengan Tuhannya akan menciptakan kesucian jiwa (batin). Sedangkan tanggung jawab pribadi terhadap sosial bisa membentuk sistem tatanan sosial yang baik. Apabila kedua-duanya bisa dilakukan maka tatanan kehidupan dari yang kecil sampai yang besar akan tercipta sebuah sistem yang harmonis dan anggun.
Mestinya, puasa kaitannya dengan kehidupan sosial, politik, dan lainnya dapat dapat dimengerti sebagai suumbangan tata nilai kehidupan, baik secara individu maupun sosial. Karena dengan meletakkkan dasar tanggung jawab personal, tentu segala ucapan dan tindakan selalu akan dimintai laporan. Karena itu, orang yang tidak bertanggung jawab berarti tidak mengakui kesadaran bertuhan dan berkemanusiaan. Artinya tanggung jawab merupakan salah satu bagian yang memperteguh keimanan dan bukti kepercayaan terhadap beban yang dipikulnya.
Salah satu sarana yang paling tepat untuk melatih tanggung jawab adalah berpuasa. Puasa dan tanggungjawab merupakan entitas yang dapat membentuk kepribadian yang utuh. Kesempurnaan manusia bukan diukur dari kelebihan-kelebihan fisik melainkan banyak diukur dari kelebihan-kelebihan non fisik. Kesadaran ruhiyyah merupakan sentral aktivitas manusia yang mempengaruhi cara pandangnya.
Dari uraian di atas, puasa selain sebagai perintah Tuhan, juga membina terhadap pembentukan moral dan tanggung jawab. Dengan puasa berarti menuntut adanya penciptaan moral dan tanggung jawab bagi setiap orang supaya terbentuk integritas dalam dirinya nilai-nilai spiritual dan sosial yang sepadan. Karena itu, puasa selain menekankan hubungan vertikal juga menekankan hubungan horizontal.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malang