Minggu, 20 Juni 2010

Kepemimpinan dan Manajemen Mutu Pendidikan

Mujtahid*

SALAH satu aspek terpenting yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah kepemimpinan dan manajemen mutu. Banyak hasil penelitian membuktikan bahwa melalui manajemen mutu (management quality) dan kepemimpinan yang efektif, kondisi sekolah atau Perguruan Tinggi (PT) dapat terselenggara secara lebih baik. Bahkan, akhir-akhir ini telah banyak lembaga pendidikan yang memiliki penjaminan mutu (Quality Assurance) yang akuntable, otonom, dan transparan guna memberikan pelayanan dan meningkatkan aktivitas pembelajaran yang terukur.
Salah seorang pakar manajeman pendidikan terkemuka Amerika Serikat, Sammon (1994), merekomendasikan dalam sebuah penelitiannya bahwa “efektifitas dan kemajuan sekolah di negara-negara modern” itu karena dibangun mulai dari sisi kepemimpinan dan penataan kembali manajemennya. Ia meyakini bahwa kedua variabel inilah yang mampu menyulap pendidikan dari yang biasa menjadi luar biasa, yang “jenuh” menjadi maju.
Pendapat yang serupa juga disampaikan Tony Bush dan M. Coleman. Tampak lebih, jika membaca karyanya berjudul “Leadership and Strategic Management In Education” (2006), bahwa manajemen sekolah dan Perguruan Tinggi di beberapa negara, misalnya Amerika, Australia, Hongkong, Inggris, dan Selandia Baru dapat maju dan berkembang, karena didukung melalui kepemimpinan dan manajemen yang unggul. Negara-negara tersebut sejak lama telah menerapkan manajeman yang canggih guna meningkatkan produk kualitas lulusannya, baik itu pada level lembaga sekolah maupun universitas.
Pendidikan adalah lembaga yang bergerak dalam bidang noble industry (industri mulia) yang mengemban misi ganda, yaitu setengah profit dan sosial. Dikatakan profit, karena tanpa modal dan dukungan finalsial yang cukup, pendidikan juga tidak dapat berlangsung secara baik. Namun bukan untuk mengambil keuntungan yang sebagaimana perusahaan itu.
Pada prinsip pengelolaannya, baik sekolah maupun perguruan tinggi sama-sama membutuhkan penjaminan mutu sebagai tolak ukur untuk menilai keberhasilan atau kegagalannya. Sebab, tanpa adanya penjaminan mutu, lembaga pendidikan sulit melihat sejauhmana ketercapaian kualitas atau daya saing yang dimiliki.
Tony Bush dan M. Coleman menambahkan, bahwa membangun sistem kepemimpinan dan manajemen mutu terkadang memang sulit dibedakan, tetapi yang jelas keduanya saling memiliki relasi yang sangat erat. Kepemimpinan bila tidak dibarengi dengan visi dan misi manajemen yang baik, maka melahirkan tipe pemimpin yang buruk. Jadi keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan untuk membangun sistem lembaga pendidikan yang kredibel, kuat dan unggul.
Kalau lembaga pendidikan tidak didukung oleh pemimpin yang kualitas yang paham tentang seluk beluk manajemen, maka rawan bahkan mengkhawatirkan memunculkan sistem manajemen yang kurang efektif. Yang ujung-ujungnya lembaga pendidikan akan mengalami stagnasi dan status quo. Bisa jadi malah akan meruntuhkan sendi-sendi organisasi kepemimpinannya sendiri.

Tujuan Manajemen Mutu
Tujuan dari manajemen mutu pendidikan adalah untuk memelihara dan meningkatkan kualitas pendidikan secara berkalanjutan (sustainable), yang dijalankan secara sistemik untuk memenuhi kebutuhan stakeholders. Pencapaian ini butuh sebuah manajemen yang efektif dan kepemimpinan yang kuat agar tujuan tersebut mampu memenuhi harapan dan keinginan para pelanggan atau masyarakat.
Karena itu, visi manajemen mutu lembaga pendidikan harus mengambil peran aktif mewujudkan keinginan stakeholders. Agar keinginan tersebut tercapai, maka sangat dibutuhkan seorang pemimpin pendidikan yang kaya ide, dan berani mengambil keputusan-keputusan strategis.
Keputusan strategis yang diambil adalah keputusan yang menggunakan pendekatan integratif, tampa mengesampingkan beberapa hal yang harus dikorbankan. Sebab, manajemen pendidikan selalu memberikan peluang guna mengatur dan mencapai berbagai tujuan, baik itu untuk institusi pendidikannya maupun bagi kepentingan masyarakat.
Sebagai imbas dari persaingan pendidikan yang ada, kini sekolah atau PT dituntut punya visi dan misi yang realistis dan transparan. Bahkan, institusi pendidikan diharuskan memiliki sumbangsih riil bagi kemajuan masyarakat. Inilah saatnya bagi dunia pendidikan-- khususnya di negeri ini-- menimbang kembali konsep atau paradigma lama yang dijadikan acuan selama ini.
Membangun mutu manajemen pendidikan harus menjadi agenda dan kerja nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan visi dan misi baru. Visi dan misi yang dibangun harus menegaskan adanya tujuan, filosofi dan nilai-nilai pendidikan, yang merupakan referensi penting dalam membuat keputusan, menentukan strategi, kebijakan dan implementasinya.
Pendidikan sebagai sebuah organisasi juga butuh kerjasama yang kompak, kebersamaan dan komitmen. Dengan adanya kerjasama dan dukungan dari beberapa pihak, maka kepemimpinan dan manejeman memainkan peran-peran strategis. Mengatur “benda hidup” jauh lebih sulit dibanding dengan benda mati. Di sinilah letak pentingya seorang pemimpin menggunakan manajemen yang sesuai napas dan kepentingan banyak orang.
Untuk itu, penciptaan kultur organisasi modern dalam pendidikan sangat penting dilakukan. Kultur organisasi modern akan membentuk orang pada disiplin yang tinggi, membentuk karakter dan sikap yang bertanggungjawab pada pekerjaanya dan memiliki jiwa untuk pengabdian bagi kepentingan khalayak umum. Jika hal ini diterapkan dalam dunia pendidikan, maka perubahan kualitas yang baik akan segera tanpak dari sebelumnya.
Kultur organisasi yang efektif bagi lembaga pendidikan memerlukan kolaborasi dan kooperasi antar komunitas, baik intern maupun ektern. Kolaborasi dan kooperasi yang intensif hanya dapat tercapai manakala tumbuh dari style manajemen dan pola kepemimpinan yang efektif.
Membangun sinergi (synergy building) antar instansi pendidikan juga perlu keluasan dan kelincahan dari sosok pemimpin. Karena itu, jawaban sepenuhnya akan kembali seberapa efektifkah kepemimpinan dan manejemen tumbuh dan berkembang dalam pendidikan.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selasa, 15 Juni 2010

Belajar dari Keunikan SAIMS

Mujtahid*

MERENGGANGNYA genggaman pemerintah dalam regulasi dunia pendidikan, membawa dampak cukup positif bagi tumbuhnya ide-ide menyenangkan dan inovatif di Tanah Air. Semangat otonomi dan pencanangan manajemen berbasis sekolah turut mendukung terwujudnya pembenahan pendidikan yang didalangi oleh masyarakat.
Secara sporadis muncul sekolah-sekolah yang mencoba menjawab tantangan zaman dengan kreativitas sendiri. Hal ini akan terjadi pluralitas model sekolah dan memacu kegairahan sektor swasta dalam mengelola pendidikan. Banyak bermunculan sekolah-sekolah dengan inovasi baru yang menjadi daya tarik masyarakat di tengah persaingan pendidikan saat ini.
Tulisan ini akan mencoba memotret pendidikan di Surabaya, yaitu ”Sekolah Alam Insan Mulia” yang biasa disingkat SAIMS. Saat ini SAIMS menjadi salah satu sekolah favorit di kota Surabaya. Sekolah tersebut didesain dengan memadukan antara sentra alam (ayat kauniyah) dengan dimensi nilai-nilai ketauhidan, moral dan spiritual yang itu bersumber pada al-qur’an dan sunnah Nabi (ayat qauliyah). Inilah yang cukup unik dan menarik perhatian bagi semua kalangan.
SAIMS memang sengaja diformat demikian karena melihat pendidikan sekarang ini masih jauh dari harapan. Model baru yang mereka tampilkan bertujuan untuk menghasilkan generasi masa depan yang memiliki integritas kepribadian yang unggul. Sehingg pendidikan di SAIMS dikemas dengan mengahadirkan nilai-nilai ketauhidan, keilmiahan, keindahan, kenyamanan, keteraturan, serta keharmonisan alam yang menular pada kehidupan dan mampu memposisikan pola pendidikan yang humanis yang sesuai dengan kebutuhan manusia saat ini.
SAIMS di Surabaya sengaja didesain dengan kegiatan belajar mengajar yang membuat peserta didik dikenalkan pada alam sekitar atau alam lingkungan kehidupannya sesuai dengan tingkat kematangannya. Anak-anak dengan riang ceria menyantap menu belajar yang diberikan guru setiap harinya. Sejak masuk kelas/sekolah mereka diajari tatakrama, salam bersama, membiasakan hidup bersih, hingga sampai bagaimana baca do’a dan shalat. Ilmu yang sampaikan guru kepada murid senantiana dipadukan dengan kenyataan keseharian, sejarah dan fenomena sosial yang biasa terjadi.
Alam memiliki makna lebih jauh mendekati dan memengaruhi kehidupan anak. Secara alamiah sebagaimana ciri sebuah dunia anak selalu terikat dengan lingkungan sekitar. Anak bukan miniatur orang dewasa, sehingga anak adalah anak yang mempunyai keunikan dunianya sendiri. Anak-anak masih ingin dimanja, ingin selalu bermain, gelak tawanya lepas, minta dilayani, empatinya sangat dominan, selalu ingin tahu, serta sangat lugu dan polos.
Di sekolah alam ini, anak tidak lagi dipandang sebagai objek, melainkan subjek, karena bersama pendidik anak diajak untuk mengoptimalkan kemampuannya sejak dini, menjadi manusia yang selalu ingat Tuhannya, terpuji dan paripurna, sehingga dapat dikatakan sekolah alam berupaya membentuk insan-insan mulia.
Peserta didik juga diajak memecahkan masalah-masalah keseharian, dibiasakan menghadapi problem riil, baru kemudian mereka diajari ilmunya. Sehingga cocok untuk membentuk anak menjadi sosok entrepreneur.
Dalam sistem pembelajarannya anak seringkali masih belum bisa mengungkapkan pikirannya secara verbal (tulisan), melainkan lewat bentuk gambar. Gambar merupakan bahasa anak, sehingga dimanapun dunia anak selalu suka menggambar. Sebelum anak mengenal tulisan, maka bahasa komunikasi, kegembiraan, serta keinginannya di ekspresikan dalam wujud coretan gambar.
Cara yang tepat untuk menilai gambar anak yaitu ajaklah anak-anak ke kebun binatang dan minta mereka membuat dua atau tiga gambar dari apa yang dilihatnya. Kemudian minta setiap anak menyusun gambarnya sendiri dari yang mereka anggap paling baik hingga yang kurang baik. Perhatikan dan pelajari, lama-lama kita akan tahu gambar seperti apa yang dianggap baik dari kaca mata anak-anak sendiri.
Sudah semestinya aspek kreativitas mendapat perhatian lebih dalam dunia pendidikan. Tetapi di SAIMS, perhatian akan kreativitas justru tidak dimunculkan secara eksplisit sebagai mata pelajaran kreativitas, serta dimunculkan pada kegiatan yang bersifat kesenian. Kreativitas dipahami dalam makna yang demikian luas sehingga tidak muncul secara parsial tetapi menjadi spirit bagi semua kegiatan.
Membuat anak kerasan merupakan kata kunci dari penerapan pembelajaran yang menyenangkan. Salah satu aspek yang penting agar anak betah belajar berlama-lama disekolah adalah kondisi lingkungan yang nyaman. Lingkungan ini menyangkut kondisi bangunan fisik gedung sekolah, kelas, halaman, hingga fasilitas pendukung lainnya.
SAIMS yang dibangun di atas lahan seluas 1,1 hektar ini bercorak back to nature yang menampilkan model dan ornamen klasik, modern, kontemporer tetapi tetap menonjolkan jiwa yang menyatu dengan alam.
Ada tiga model yang dikembangkan dalam sistem pendidikan di SAIMS. Yaitu pertama, alam dalam pengertian memperlakukan anak secara alami, sehingga semua proses pembelajaran mengikuti kodrat alami anak. Metode sambil bermain misalnya, menjadi acuan yang sangat relevan. Pendidikan itu diformulasikan dengan mengedepankan sentra alam yang merupakan tempat dimana manusia ini bertempat tinggal. Dengan menjadikan alam sebagai sentra belajar, siswa lebih cepat peka dan berhasil dalam menghayati dan mengamalkan ilmu yang dimiliki.
Kedua, alam dalam pengertian proses pembelajaran peserta didik diupayakan selalu berangkat dari alam nyata, baru kemudian ditarik ke wilayah konsep atau teori. Anak dikenalkan lebih dulu dengan hal-hal yang nyata dan relevan dengan kebutuhannya, lalu diajak mencari, merangkum, sampai menyimpulkan dan membangun teori sendiri baik konstektual dan konstruktivistik. Dari model ini dikembangkan bahwa pembelajaran di sekolah merupakan kenyataan yang dialami sehari-hari.
Ketiga, alam dalam pengertian alam fisik. Karena anak-anak sekarang terutama anak kota perlu mengetahui kehidupan alam fisik. Misalnya mereka harus dikenalkan bahwa nasi yang mereka makan berasal dari beras, berasal dari padi yang tumbuh di sawah. Melalui model seperti itu bertujuan memberikan pelajaran berharga bagi anak agar dapat mengenal betapa hubungan timbal balik antara satu profesi dengan profesi lainnya. Bahkan tidak cukup sampai di situ, manfaat lainya adalah melahirkan sikap kesadaran dan rasa empati kepada orang yang memiliki pekerjaan yang mulia, seperti petani itu. Yang mampu memberikan suplai berupa hasil tanamannya untuk orang yang tinggal di kota.
Dari ketiga hal di atas, maka secara filosofis nuansa sekolah alam mencerminkan nilai-nilai ideal, sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menwujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Apa yang dikembangkan SAIMS merupakan sebuah usaha kreatif dalam mencari model pendidikan yang cocok sesuai kebutuhan masyarakat modern saat ini. Usaha-usaha seperti inilah yang perlu kita contoh agar peningkatan mutu pendidikan di Indonesia terus berkembang dan maju. Apa tergambar dalam catatan tersebut adalah sekelumit pengalaman yang dilakukan para penggerak pendidikan di SAIMS.

*) Mujtahid, Dosen Fak. Tarbiyah UIN Maliki Malang

Senin, 07 Juni 2010

Gagasan Sosialisme Islam Ali Syari’ati

Mujtahid

BERBICARA mengenai sosialisme, tentu juga berbicara tentang suatu paham Marxisme. Sebab ajaran-ajaran sosialisme dipandang sebagai cikal bakal yang mengilhami --untuk tidak menyebut mewariskan-- cara berpikir selanjutnya pada Marxisme. Padahal, hingga kini masih terjadi polarisasi ekstrim antara agama di satu pihak, dengan Marxisme di pihak lain. Agama dan Marxisme adalah dua kekuatan kontradiktif yang cenderung bertolak belakang secara diametral. Lantas, mengapa bisa muncul gagasan sosialisme Islam seperti yang dikemukakan oleh Ali Syariati?
Memasuki masyarakat Dunia Ketiga, Ali Syari’ati dipandang sebagai tokoh yang revolusioner mengembalikan citra Islam dari tuduhan yang statis, anti kemajuan dan anti kemapanan. Sebab, Dunia Ketiga telah sepenuhnya terkena penyakit apa yang dikenal ”westruckness” (mabuk kepayang terhadap Barat dan materialism syndrom) kegilaan terhadap kemegahan materialistik. Padahal modernisme yang dibungkus dengan paham materialisme yang berkembang saat ini tidaklah mampu mengantarkan kebahagiaan dan ketentraman hidup manusia.
Menghadapi syndrom yang serba ke barat-baratan itu, Ali Syari’ati telah membuktikan kepada dunia, bahwa Islam tidaklah reaksioner, pasif, dan status quo. Islam pun menggerakkan manusia melawan berhala-berhala peradaban duniawi itu. Islam adalah revolusioner. Yaitu menata perubahan hidup dari sistem jahiliyah menuju sistem yang berkeadaban dan berkemanusiaan.
Sosok Ali Syari’ati dikenal sebagai intelektual Muslim yang spektrum pemikirannya telah melintas batas geografis dan batas waktu. Ketokohannya dilambangkan dengan berapi-api pidato dan berderet-deret karya tulis yang menggugah semangat, telah membuktikan bahwa dirinya adalah cermin seorang rausyan fikr, sosok manusia ideal yang menjadi cita-citanya.
Pandangan sosialisme Islam Syari’ati sangat berbeda dengan ajaran yang dikembangkan oleh Karl Marx (Marxisme). Marxisme menolak eksistensi agama. Bahkan lebih keras lagi, agama menurut Marx, adalah doktrin sesat yang tidak perlu diikuti. Marxisme menyatakan bahwa agama adalah candu masyarakat (religion is opium). Agama dianggap telah mengalienasi manusia sendiri. Sikap antipati Marxisme terhadap agama tersebut bahkan dijadikan sebagai salah satu pandangan Marxisme yang dikonsepsikan dalam The Alienating Effect of Religion.
Sementara sosialisme Islam seperti yang dinyatakan Syari’ati, adalah paham yang berpihak pada kaum terindas (mustadzafin), dan meluruskan perjalanan sejarah dari kekuasaan tiran menjadi kekuasaan kelompok tercerahkan, berpihak pada kelas bawah (proletar) bersama orang-orang yang berada di jalan Tuhan. Secara jelas, aspek ini berbeda sama sekali dengan padangan Marxisme.
Dengan berlatar belakang keagamaan yang kuat dan mendalam, Syari’ati mengemukakan beberapa ide-ide sosialisme Islam secara berani dan brilian. Gagasannya ditujukan kepada seluruh rakyat Iran, mulai dari lapisan intelektual, mahasiswa, ulama, sampai berbagai kelompok sosial-pekerja. Dari sanalah sosialisme Islam mendapatkan tempat dan mulai ada kesadaran akan perubahan bagi kondisi yang lebih baik, keberanian untuk bergerak, dan kesadaran kelas mulai geliat muncul.
Untuk mengubah tatanan sistem dunia yang serba ”Marxis” seperti itu dibutuhkan kesadaran tauhid, yaitu sebuah pandangan dunia mistik-filosofis yang memandang jagad raya sebagai sebuah organisme hidup tanpa dikotomisasi, semua adalah kesatuan (tauhid) dalam trinitas antara tiga hipotesis; Tuhan, Manusia dan Alam. Pandangan ini dengan sendirinya membantah eksistensi ajaran Marxisme, yang tidak mengakui kesatuan trinitas itu. Bagi Syari’ati, tauhid memandang dunia sebagai suatu imperium, sedangkan lawannya syirik memandang dunia sebagai suatu feodal. Dengan pandangan ini maka dunia memiliki kehendak, kesadaran diri, tanggap, cita-cita, dan tujuan.
Syari’ati juga punya concern terhadap nasip negara Dunia Ketiga, di mana mereka dijajah secara ekonomi, politik, dan kultural oleh Barat. Dalam konteks Iran, untuk menyerang imperium seperti itu, Syari’ati mengangkat ideologisasi Islam. Dengan mengekspresikan akar tradisi Islam, semua bentuk realitas kedzaliman pasti bisa teratasi sepanjang jiwa Islam dipahami secara benar. Barangkali sikap demikian ini, Syari’ati memanfaatkan warisan masa silam dari dinasti Shafawi, atau mungkin dari khalifah Ali, sebagai inspiratornya. Syari’ati tidak pernah diam berbuat dan berpikir demi kemajuan negaranya. Beliau ingin menghidupkan Rausyan fikr kembali, sebagai sosok yang mempunyai kesadaran dan tanggungjawab untuk menghasilkan lompatan besar dalam sejarah dunia.
Dalam dunia sosial-politik, Syari’ati dikenal memiliki komitmen luar biasa pada keadilan dan membela kaum rakyat tertindas. Bahkan diakui, Syari’ati telah memberikan kontribusi dan sekaligus sebagai inspirator terhadap gerakan-gerakan Islam radikal dipelbagai belahan dunia Islam, terutama dalam melawan rezim otoriter. Rezim otoriter yang dibawah pimpinan Syah Iran yang disetir Barat, di luluh-luntakkan oleh Syari’ati. Dengan demikian keberhasilan revolusi Iran pada 1979 telah memberikan dampak yang cukup besar pada dunia Arab.
Melihat sosoknya yang begitu meledak-ledak, sampai seorang pemikir Marxis terkenal bernama Fred Halliday mengakui bahwa kaum Marxis di seluruh dunia merasa iri dengan revolusi Iran 1979, oleh karena revolusi massal Iran mampu menarik berjuta-juta rakyat Iran turun ke jalan menumbangkan rezim Syah yang sedang berkuasa dengan otoriternya. Padahal secara “revolution en massre”, yaitu revolusi yang benar-benar diledakkan oleh massa seperti Iran itulah –suatu revolusi yang didorong oleh ide-ide Islam revolusioner- suatu revolusi yang diimpi-impikan oleh Karl Marx dan Engels selama ini.
Sosialisme Islam seperti yang digubah oleh Syari’ati memiliki visi yang cemerlang bagi peningkatan kesadaran masyarakatnya. Islam sebagai agama tidak hanya dipahami sekadar aktivitas ritual dan fiqh yang tidak menjangkau wilayah politik, apalagi masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Islam harus dikonstruk sebagai sumber inspirasi emansipasi dan pembebasan. Yaitu nilai-nilai yang menjungjung tinggi keadilan dan kesamaan derajat. Islam tidak mengenal kelas/kasta yang membelenggu tatanan sosial, yang sebagaimana itu diciptakan dalam paham Marxisme.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Minggu, 06 Juni 2010

Memahami Ranah Pendidikan

Mujtahid

BERBICARA pendidikan adalah berbicara tentang keyakinan, pandangan dan cita-cita tentang hidup dan kehidupan umat manusia dari generasi ke generasi. Pendidikan tidak dapat dipahami secara terbatas hanya “proses pengajaran” mentransfer pengetahuan, melainkan menanam nilai-nilai sikap dan tingkah laku (akhlaq) serta menumbuh-kembangkan kecakapan hidup (life skill) manusia.
Pendidikan merupakan proses pendewasaan dan sekaligus ‘memanusiakan’ manusia. Dikatakan ”memanusiakan”, karena manusia lahir hanya membawa bekal potensi. Dengan pendidikan, potensi manusia diharapkan dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sempurna, sehingga ia dapat melaksanakan tugas sebagai manusia sejati.
Pendidikan pada hakikatnya adalah kerja akal budi atas fitrah yang dibekalkan Tuhan kepadanya. Potensi yang diberikan oleh Tuhan memang dapat dikatakan masih setengah jadi, sehingga butuh sentuhan proses pendidikan agar potensi tersebut berkembang maksimal. Dalam Islam, mengenyam pendidikan dipandang sebagai kewajiban personal sepanjang hayat manusia (life long education).
Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia dibekali oleh sang khaliq dengan protensi kodrat yang sempurna, yaitu potensi cipta, rasa dan karsa. Potensi berharga inilah yang mengantarkan bahwa manusia adalah khalifah di dunia ini. Dengan dukungan potensi tersebut, manusia tidak selalu memiliki orientasi yang tinggi untuk mendapatkan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan yang terkandung pada realitas yang ada.
Melalui proses pendidikan itulah hidup manusia akan mencapai sebuah kehidupan yang baik. Segala sesuatu yang tergelar di jagat raya ini pasti membutuhkan ilmu, baik ilmu duniawi maupun ukhrawi. Kedua ilmu tersebut harus dikuasai secara seimbang, karena “masa depan” manusia juga ditentukan oleh seberapa jauh manusia menguasainya. Keberhasilan menggapai duniawi maupun ukhrawi akan sangat ditentukan kadar keilmuan yang diraihnya.
Ilmu dalam pendidikan adalah objek utama manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu dan pendidikan bagaikan dua sisi pada mata uang, keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan. Pendidikan sebagai proses ‘transfer’ ilmu yang umumnya dilakukan melalui tiga cara; lisan, tulisan, dan perbuatan.
Begitu pentingnya kedudukan ilmu, sehingga Islam menganjurkan manusia agar meraihnya sampai titik paripurna. Ilmu juga dipandang ikut mengiringi atau menentukan nasip baik buruk manusia. Dan pembicaraan ilmu dalam pendidikan fikih ini, minimal mencakup tujuh unsur; yaitu pendidikan keimanan, etika/akhlak, fisik/jasmani, rasio/akal, kejiwaan/hati nurani, sosial kemasyarakatan, dan seksual.
Kegiatan pendidikan harus dimulai dari pendidikan pribadi atau keluarga, lembaga sekolah, dan masyarakat. Ketiganya harus terjalin dan berlangsung secara terpadu, selaras, serasi, seimbang, dan harmonis. Pendidikan tidak akan berfungsi dengan baik bila hanya berjalan parsial. Karenanya dibutuhkan pengelolaan secara integratif dengan memadukan semua unsur yang mendukungnya. Dari sinilah pendidikan akan menghasilkan sosok pribadi yang tangguh.
Pendidikan harus dimulai dari institusi keluarga, sekolah dan masyarakat secara sinkron dan integrated dalam memberikan pengaruh pendidikan kepada anak. Problemnya kini banyak keluarga yang kurang perhatian dan tidak memberikan reference person (suri tauladan) kepada anak. Begitu pula dengan aturan-aturan masyarakat yang sangat longgar sehingga memunculkan pergaulan bebas yang mutatif. Padahal pendidikan keluarga dan masyarakat merupakan pendidikan yang bersifat pembentukan karakter dan tabi’at, ketimbang kognitif.
Selain pembentukan sosok pribadi di atas, tujuan pendidikan diharapkan mampu mencetak manusia berjiwa tauhid (berkedalaman spiritual), beramal shalih (berbuat dengan ilmunya), ulil albab (pemikir, ahli dzikir dan amal shaleh), serta berakhlak mulia.
Untuk mewujudkan pendidikan yang ideal tersebut diperlukan usaha dan kerja keras serta dukungan dari berbagai pihak, terutama keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Bila perlu, rekonstrusi sistem pendidikan baik secara mikro maupun makro sudah harus dilakukan. Dengan berbekal masa lalu, pengalaman untuk menangani dan menyelesaikan persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang butuh penanganan secara lebih serius, matang dan cermat.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Sabtu, 05 Juni 2010

“Kisah Sejarah” dalam Al-Qur’an

Mujtahid

PERBEDAAN interpretasi dalam memaknai konteks ayat al-Qur’an merupakan bagian dari naluri kemanusiaan. Dalam segala hal, perbedaan jangan dianggap sebagai penghalang, yang memisahkan semangat manusiawi dengan kemampuan-kemampuan yang diberikan Allah untuk mengetahui kebenaran wahyu sepanjang ia berada di dalamnya.
Selama ini, para penafsir sering melakukan pengkajian kisah sejarah dalam al-Qur’an dianggap benar (pernah) terjadi. Padahal, sejarah bukanlah semata-mata tujuan utama al-Qur’an. Begitu pula dengan sebagian penafsir, interpretasi tentang kisah dalam al-Qur’an lebih terjebak pada pendekatan historis seperti halnya membaca teks-teks kitab sejarah.
Menurut Khalafullah, seorang Sarjana Doktoral Mesir di bidang Sastra Arab yang melakukan penelitian berjudul “al-Fann al-Qashashi fi al-Qur’an al-Karim, dengan pendekatan metodologi sastra dalam melihat kisah-kisah dalam al-Qur’an. Untuk menjelaskan nilai-nilai kisah dalam al-Qur’an sangat membutuhkan interpretasi dan metodologi sartra. Dalam tradisi barat, sastra adalah sebuah karya dan warisan sejarah memiliki kemampuan dalam mengekspresikan sisi logika, psikologis, dan seni dalam sebuah teks. Melalui pendekatan metodologis sastra semacam ini akan banyak terungkap dimensi seni dan sastra yang dimiliki al-Qur’an sebagai salah satu kemukjizatannya.
Penggunaan metodologis seperti ini masih tergolong baru dan belum pernah diterapkan. Karena itu, karya yang ditulis oleh Khalafullah sempat menjadi perdebatan dan polemik di kalangan ulama, politisi dan Guru Besar Mesir, terutama bagi anggota tim penguji yang sebelumnya menampakkan ketidaksetujuannya atas gagasan itu. Artinya, sebuah pemikiran baru dipandang berbahaya bagi agama dan merusak keimanan mereka yang melakukannya. Bahkan, polemik tersebut lebih bersifat politis ketimbang mendahulukan pertimbangan ilmiah dan kebenaran agama.
Seperti yang diungkap Khalafullah, bahwa pokok perbedaan yang sebenarnya disebabkan karena kelambanan dan kurangnya pemahaman saja. Penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur’an yang selalu disebut al-Qur’an sebagai al-Haqq (kebenaran) bukanlah seperti yang dipercayai umat Islam umumnya. Karena kata al-Haqq sesungguhnya menjadi kontroversial karena kata tersebut diiringi dengan kata amtsâl (perumpamaan).
Begitu pula dengan pandangan tentang al-matsl juga ditujukan untuk al-qishshah (kisah), karena al-matsl sering dijadikan sebuah kisah, atau sebaliknya sebuah kisah sering dijadikan al-matsl (perumpamaan). Padahal dalam al-Qur’an, penggunaa al-matsl didahului al-dharb (membuat). Hal itu menunjukkan unsur kesengajaan atau frase yang digunakan untuk menceritakan peristiwa tertentu yang serupa dan sama dengan yang dialami.
Menurut hasil intrepretasi dan analisis teks selama ini, Khalafullah berkeyakinan bahwa sepanjang pengetahuannya para penafsir jarang yang mau menyentuh metode pendekatan sastra. Justru mereka mencari alternatif lain yang kurang tepat. Langkah-langkah penafsir dalam menyikapi unsur-unsur sejarah sebuah kisah ini mengakibatkan munculnya fenomena-fenomena penafsiran yang beragam dan menemukan kejanggalan-kejanggalan penafsiran.
Menyikapi hal itu, rekomendasi dari temuanya, Khalafullah menjelaskan tentang beberapa hal yang patut menjadi bahan pemikiran. Pertama, penafsir yang menjadikan sejarah sebagai pendekatan, sering berpanjang-lebar membahas persoalan-persoalan sejarah. Sehingga seolah-olah kisah al-Qur’an tersebut dijadikan tema pokok dan dibahas sebagaimana dilakukan dalam buku sejarah. Kedua, pendekatan yang diyakini penafsir sebagai sebuah cara yang tepat untuk menafsirkan kisah-kisah al-Qur’an membuat mereka fanatik. Dengan pendekatan semacam ini, mereka mengganggap metode pendekatan sastra sangat tidak relevan untuk diterapkan. Ketiga, ketergantungan penafsir kepada pengetahuan sejarah, israiliyat, dan perkiraan analisa, ternyata tidak dapat membantu mereka memecahkan misteri dan menyingkap tabir kisah.
Jika masih menggunakan pendekatan sejarah, maka dikhawatirkan materi kisah dan kebenarannya, seringkali justru membuat penafsir keliru dalam menyikapi kisah-kisah itu. Sebab, kebanyakan materi kisah atau peristiwa yang diceritakan tersebut tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui dari sejarah. Melalui nalar Islam, kisah-kisah sejarah tidak dapat dipahami sebagai sebuah realitas sejarah, kecuali dengan pelbagai macam takwil.
Barangkali pandangan dan pemikiran yang digagas oleh Khalafullah itu dapat menjadi diskusi lebih lanjut oleh para mufassir dan ahli sastra di perguruan tinggi. Untuk mengisi ruang kevakuman selama ini, ada baiknya jika gagasan tersebut mendapat perhatian dari kalangan yang mendalami ilmu tafsir. Dengan begitu diharapkan wacana dan hasil pemikiran semacan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan baru bagi orang yang mendalami ilmu-ilmu al-Qur’an.

*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Maliki Malang

Jumat, 04 Juni 2010

Memburu Makna Agama

Mujtahid

AGAMA adalah bentuk pengakuan adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. Istilah agama diambil dari kata Sankrit, yang tersusun dari kata a (tidak) dan gam (pergi), jadi agama itu tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Memang, agama memiliki sifat dasar yang demikian, begitulah Kata Harun Nasution, ketika mengulas arti agama, dalam bukunya berjudul “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”. Lantas, mengapa agama harus di buru?
Secara artifisial, agama tidaklah pernah pergi. Sebab, jika agama pergi, maka Tuhan juga akan ikut pergi. Maknanya adalah jika agama itu pergi, maka agama dipandang tidak sanggup lagi menghadirkan nilai-nilai kedamaian, kerahmatan serta keadilan bagi manusia. Sebab yang harus di cari adalah “makna” atau “pesan suci” yang terselip dijantung agama itu, barangkali sudah jauh meninggalkan kita yang telah hilang dan tak berfungsi lagi untuk mengontrol kehidupan ini. Sehingga memburu makna agama, seperti yang tanpak pada judul di atas, adalah kewajiban personal yang harus dilaksanakan setiap manusia, untuk menelusuri makna yang sudah menyimpang dari jalurnya.
Dalam kajian agama, pasti tidak terlepas dari pembicaraan mengenai Tuhan, manusia, alam; tentang iblis dan malaikat; tentang dosa dan pahala; tentang neraka dan surga; tentang masa kini, masa lalu/lampau, dan masa depan yang tak berujung; tentang yang terpikirkan dan yang tak terpikirkan. Pokok pembicaraan di atas, sudah menjadi kajian sehari-hari, baik perkuliahan di kampus-kampus, ceramah di tempat peribadatan, hingga dakwah kampung dari rumah ke rumah.
Adalah Wilfred C. Smith, seorang pakar studi studi agama-agama dunia, beranggapan bahwa memahami sebuah agama (religius) seharusnya memerlukan cara dan konteks baru. Hal ini penting, karena kesadaran manusia selalu mengalami evolusi yang setiap saat bisa berubah. Apalagi perubahan itu kini didorong oleh kemajuan berpikir manusia dan kepesatan sains, teknologi serta informasi.
Dalam kehidupan sehari-hari, pengalaman religius manusia selalu mengalami perubahan. Bahkan, setua usia manusia itu pengalaman religius itu mengalami perubahan. Istilah religius berakar dari kata religi, yang artinya mengumpulkan, membaca. Maksudnya, dengan agama manusia dianjurkan membaca aturan-aturan yang telah ditetapkan Tuhan kepadanya. Religi juga punya makna mengikat. Artinya, dengan agama manusia dibatasi dengan norma dan doktrin yang menjadi sumber ajaran kenenaran.
Setiap mukmin (orang beriman) memiliki kesadaran dan penghayatan yang berbada-beda sesuai dengan tingkat pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Bahkan, persepsi berbeda-beda itu bisa muncul dalam satu komunitas keagamaan pada satu masyarakat. Sebab, di satu pihak, kadang-kadang esensi agama hanya menjadi tolak ukur (pandangan) bagi manusia (spektator). Tetapi di lain pihak, agama menjadi bagian intrinsik yang ia lakukan setiap detak nafas manusia (aktor). Sehingga kebenaran (makna) agama terkadang sangat pelik diukur, bahkan ruwet untuk menggambarkan mana yang sesungguhnya paling hakiki itu.
Wilfred C. Smith menawarkan solusi bagi umat beragama, yaitu dengan cara memahami dan menambah keyakinan bahwa agama merupakan sumber nilai kebaikan untuk keutuhan hidup dan kehidupan manusia. Berbeda dengan para pengkaji modern, bahwa agama cenderung dipisahkan dari kehidupan nyata (profan). Agama hanya dimaknai sebagai ritual, yang terbatas pada penyembahan secara sempit. Sehingga agama seolah-olah tidak menyentuh kehidupan duniawi.
Cara beragama seperti itu, kemudian dibantah oleh Smith, bahwa dengan agama justru menjadi penopang semangat dan sumber inspirasi dan kreasi hidup manusia. Karena dibalik yang “nyata” itu ada sesuatu yang “metafisis’, dan justru sebagai ikon penting yang harus diperhatikan manusia. Dengan begitu, kata Smith, manusia akan menemukan “makna” agama yang semestinya.
Agama diturunkan adalah mengatur kehidupan manusia agar damai, selamat dan penuh keberkahan. Agama dapat efektif bagi manusia, apabila manusia mampu mencari “makna-makna” yang tersurat maupun tersirat secara bersunguh-sungguh. Upaya ini penting dilakukan, karena tak jarang agama hanya sebagai simbol religius seseorang yang tidak fungsional bagi pembentukan perilaku dan perbuatan. Agama hanya diekspresikan “makna” luarnya saja, yang cenderung formal, monolilitik, asosial, dan eksklusif. Agama hanya menjadi sumber perbedaan dan permusuhan, yang ujung-ujungnya menggiring pada konflik dan peperangan.
Untuk membuka lebar-lebar kesadaran terhadap proses pencarian makna agama yang sejati, dibutuhkan upaya serius para pelaku dan pemeluk agama. Caranya adalah dengan merefleksi ulang apa yang sudah kita lakukan selama ini, dan menambah pengetahuan baru mengenai makna-makna agama itu untuk memperbaiki aktualitas kehidupan di dunia ini.
Semangat universal yang terpancar agama sungguh merupakan misi mulia yang harus ditegakkan di muka dunia ini. Masyarakat modern yang justru memisahkan agama dan dunia, kini harus dilawan dengan cara memahami agama secara integral tanpa mendikotomi agama dan dunia. Dengan cara itulah diharapkan muncul kesadaran baru yang anggun, beradab dan mulia.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang.

Kamis, 03 Juni 2010

Kegagalan Demokrasi dalam Negara Islam

Mujtahid

DALAM putaran sejarah global, perdebatan hubungan antara Islam dan demokrasi belum pernah tuntas. Dalam sejarahnya, tak jarang mereka menepis argumentasi satu sama lain dengan saling menjatuhkan. Perdebatan itu misalnya, bisa kita lacak dalam korpus argumen Abul A’la al-Maududi, Hasan al-Banna yang mewakili anti demokrasi di satu pihak, sementara argumen Ali Abdur Raziq, Fazlur Rahman yang lebih mendorong pada cita-cita demokrasi di lain pihak.
Adalah Bernard Lewis, dkk, yang menulis buku berjudul ”Islam Liberalisme Demokrasi; Membangun Sinergi Warisan Sejarah Doktrin dan Konteks Global” Dalam buku ini, Bernard Lewis, dkk, menjelaskan gagasan-gasan baru yang tergolong cukup ‘langka’, yaitu menampilkan nuansa dan wacana baru mengenai relasi antara Islam dan demokrasi yang holistik. Tesis utama yang menjadi sorotan dalam antologi itu adalah mengapa demokrasi justru gagal dipraktekkan di negara-negara Islam? Negara yang mayoritas berpenduduk muslim justru jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Indonesia misalnya, termasuk kategori tersebut karena upaya untuk membangun demokrasi di negeri ini masih jauh dari panggang api. Menanggapi masalah ini, ada sebagian pakar yang masih tetap optimis dan sebaliknya ada yang pesimis bahwa demokrasi itu bisa muncul di negara Islam.
Menurut Mun’im A. Sirry, bahwa ‘kelangkaan demokrasi’ di dunia Islam paling tidak dipetakan menjadi tiga hal berikut ini. Pertama, adanya pemahaman doktrinal yang menghambat demokrasi. Elie Kedourie mengembangkan dalam teorinya bahwa “gagasan demokrasi masih cukup asing dalam mind-set Islam.” Kaum muslim memahami bahwa demokrasi adalah sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Di sinilah letak kekeliruan cara pandang umat Islam. Karenanya, perlu adanya liberalisasi pemahanan keagamaan, termasuk mencari konsensus teori-teori yang berkembang di dunia modern.
Kedua, kurangnya pengalaman demokrasi, yang seterusnya menjadi persoalan kultur. Experimentasi demokrasi yang selalu gagal diterapkan di negara Islam, karena sudah terbiasa dengan ‘otokrasi dan kepatuhan pasif’. Betulah ungkap Bernard Lewis dan Ajami dalam teorinya. Karena itu, perlu ada penjelasan kultural kenapa demokrasi tumbuh subur di Eropa, tetapi di wilayah dunia Islam malah otoritarianisme yang berkembang. Dengan demikian, sebenarnya lokus perdebatannya bukan terletak pada “apakah Islam compatible dengan demokrasi” melainkan bagaimana keduanya saling memperkuat (mutually reinforcing).
Ketiga, adanya sikap yang terburu-buru menilai kegagalan demokrasi yang di experimenkan di negara Islam, dan hal ini berarti bertentangan dengan sifat dasar demokrasi. Padahal upaya membangun demokrasi diperlukan sifat kesungguhan dan kasabaran. Demikianlah optimisme yang muncul dari Esposito dan Voll.
Melalui pengalaman sejarah, Islam dan demokrasi dipandang sebagai dua sistem politik yang berbeda. Sebagai sistem politik, Islam tidak dapat disubordinasikan kepada demokrasi. Islam dipandang sebagai suatu sistem nilai yang akomodatif terhadap demokrasi yang didefinisikan secara prosedural dan dipraktekkan di Barat. Pemahaman inilah yang mempengaruhi hubungan tersebut sulit menyatu dalam format yang ideal.
Salah satu jalan untuk bergerak netral adan upaya mensintesiskan antar keduanya. Seiring dengan intensitas kajian tentang relasi Islam dan demokrasi, persolannya kini menjadi bergeser bukan lagi menyangkut kompatibilitas Islam dengan demokrasi, melainkan bagaimana demokrasi dapat build-in dalam tradisi muslim, baik secara paradigmatik, etik maupun epistemologis. Demokrasi tidak selalu dipahami secara tunggal, Islam juga bukanlah tafsir yang monolitik. Karena itu, yang memungkinkan keduanya berhubungan secara dialektis.
*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Maliki Malang

Rabu, 02 Juni 2010

Menyelami Problema Kehidupan Remaja

Mujtahid
DUNIA remaja selalu identik dengan problem. Bukan remaja kalau bukan punya problem, begitulah kira-kira ungkapan yang tepat. Akibatnya, kini banyak orangtua yang bingung menghadapi anaknya ketika memasuki usia remaja. Bahkan, kadangkala orangtua ikut larut stress lantaran anaknya yang sedang menghadapi usia-usia transisi (remaja).
Di Amerika Serikat, pernah dilakukan sebuah penelitian tentang kehidupan remaja. Dari penelitian itu merekomendasikan bahwa kaula muda (remaja) adalah tempat berseminya sebuah problem. Bev Cobain misalnya, seperti yang terungkap dalam bukunya “When Nothing Matters Anymore: a Survival Guide for Depressed Teens” menyatakan, ada sekitar 18 juta penduduk Amerika mengalami problem depresi. Dua puluh persennya adalah Siswa Menengah Atas (SMA) atau usia remaja, yang rata-rata punya masalah psikiatris. Remaja yang terus menerus sedih, marah, kalut, salah paham, atau memberontak, kemungkinan besar adalah mengalami problem.
Tidak ada orangtua yang tidak sedih ketika melihat anaknya diterpa tekanan batin, patah semangat, free sex, pecandu narkotika, suka tawuran dan lain-lain. Lebih-lebih, kini kehidupan di kota-kota besar sangat mengerikan. Metropolitan sebagai simbol kota yang bebas dan “serba ada” cenderung mengiring keadaan menjadi problem remaja. Tidak salah, kalau problematika usia remaja kini semakin komplek. Akibatnya, menyebabkan keprustasian, kegagalan, bahkan kematian remaja.
Dalam bukunya “Menyentuh Hati Remaja: Bimbingan Islami untuk Mengatasi Problem-problem Remaja” Ruqayyah Waris Maqsood dengan tekun dan jeli bagaimana menerapi problem anak pada umumnya. Melalui sentuhan-sentuhan Islam, Ruqayyah berhasil mengatasi segudang problema yang dihadapi anak-anak remaja. Pengalaman terapi islami inilah membuka mata hati para remaja yang terbalut permasalahan, akhirnya keluar dan kini menjadi anak yang ditanganinya itu menjadi anak yang menyenangkan, berbahagia dan bisa menikmati usia remaja sejatinya.
Semua orang pasti pernah melewati dan merasakan usia remaja. Namun, semua orang berbeda ketika memasuki usia gejolak itu. Saat-saat kakek-nenek kita dulu remaja, sangat berbeda dengan remaja sekarang. Jadi, standar problem remaja tempo dulu berbeda sama sekali dengan problem remaja kini. Sehingga pendekatan yang dipakai harus secara up to date sesuai dengan problem yang dihadapi remaja modern.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah Islam sebagai keyakinan hidup telah memberikan terapi yang sangat bijak. Dan, jarang potensi ini dimanfaatkan orangtua untuk mendekati problem anaknya. Padahal, jika berbicara dengan nuansa bathin agama, anak akan dengan mudah menerima dan bangkit kembali ke jalan yang benar. Yang sering kita jumpai justru sebaliknya. Anak berbuat salah kadang-kadang malah ditekan, dihukum bahkan ada yang kelewat batas hingga diusir keluar dari rumah. Dari sudut pandang apa pun, cara seperti ini kurang tepat untuk mengatasi problem remaja. Bahkan, hal ini akan menambah problem orangtua dan bagi remaja itu sendiri
Mengatasi problem remaja memang membutuhkan kesabaran, pengalaman, dan kondisi yang tepat. Sebagai orangtua harus mengerti kapan ia harus berlaku lunak dan lemah lembut, juga kapan ia harus bersikap tegas dan didisiplin. Tidak bisa orangtua hanya bersikap kasar terus-terusan, atau sebaliknya. Pendek kata, orangtua harus sering-sering menjalin komunikasi secara dialogis. Proses dialogis yang santun dengan sentuhan agama akan menambah harmonisasi antara orangtua dan remaja.
Orangtua adalah teladan pertama bagi anak. Baik buruknya anak sangat tergantung orangtua dalam membimbing dan mengarahkan anaknya. Bahkan, ada sebuah ungkapan yang ekstrim menyatakan “anak merupakan cermin orangtua”. Meski ungkapan ini tidak bisa dijadikan pegangan, tetapi menyiratkan arti bahwa anak adalah bagian dari identitas orangtua. Sehingga orangtualah yang pertama memecahkan problem anaknya sebelum orang lain ikut mengatasinya.
Keberhasilan anak sangat tergantung orangtua. Karena orangtualah yang banyak mengerti kondisi psikis dan fisiologis seorang anak. Setidaknya, ada lima kiat yang dapat dilakukan orangtua dalam mengatasi problem dunia remaja. Pertama, otangtua dapat mencari cara untuk mengembangkan potensi remaja itu dan mengarahkannya menjadi lebih optimal. Dengan cari ini potensi anak akan tersalurkan pada kegiatan-kegiatan yang positif, bermanfaat dan disertai dengan arahan orangtua. Selama ini banyak orangtua yang justru memberikan kebebasan anaknya, tanpa diiringi dengan bimbingan dan arahan yang tepat. Akibatnya anak menjadi salah pergaulan, salah menyalurkan kegiatan sehingga yang muncul justru persoalan-persoalan baru.
Kedua, cara mengajarkan kedisiplinan, kemandirian, dan tanggungjawab. Setiap anak sejatinya dididik agar dapat mandidi dan tanggungjawab. Orangtua tidak perlu sering “memanjakan” anak agar tidak terjadi ketergantungan dengan orang lain. Orangtua dapat memberikan tanggungjawab dan berbagi peran dalam urusan keluarga. Dengan begitu anak akan terbiasa lebih disiplin pada pekerjaanya, punya rasa tanggungjawab dan mandiri.
Ketiga, cara menanamkan nilai-nilai akhlak karimah pada diri anak/remaja. Lingkungan keluarga adalah sarana penanaman dasar-dasar moral atau akhlak pada usia anak. Sebagai pendidikan pertama dan utama, di keluarga anak mulai dikenalkan sikap, perilaku hubungan dalam keluarga. Orangtua dapat menamkan sifat-sifat empati, rasa saling menolong, membantu, memberi dan sebagainya. Begitu pula remaja menjalin hubungan dengan kerabat, tetangga, dan teman-teman mereka. Tak jarang remaja salah pergaulan dalam menjalin hubungan tersebut.
Keempat, metode membangun komunikasi yang efektif bersama remaja. Seiring dengan pertumbuhan usia remaja, biasanya orangtua mulai berkurang hubungan komunikasi dengan anaknya. Karena memasuki remaja, biasanya anak tersebut mulai banyak memiliki teman dan dalam proses mencari pengakuan/identitas diri agar tidak dicap sebagai remaja yang tidak gaul. Disaat inilah peran orangtua dibutuhkan tetap menjalin komunikasi yang intensif, untuk menanyakan hal-hal mendasar yang semestinya orangtua ketahui. Faktanya, justru seringkali orangtua membiarkan dan terkadang bangga kalau anaknya sudah memiliki banyak teman. Padahal itu sangat berbahya jika orangtua membiarkan tanpa campur tangan.
Kelima, mengajarkan pendidikan seks yang benar dan islami kepada remaja. Munculnya pergaulan bebas dikalangan remaja, menimbulkan rasa cemas orangtua dan siapa saja yang memiliki anak remana. Orangtua berkewajiban menanamkan pendidikan seks pada anak-anaknya sejak usia dini dalam lingkup keluarga. Kebebasan yang diberikan orangtua kepada anaknya seringkali menjadikan tidak terarah dengan baik. Meski begitu, orangtua juga tidak boleh terlalu kaku dan keras untuk mengekang anaknya tanpa penjelasan pemahaman yang menyadarkannya.
Dari kelima cara tersebut, barangkali masih belum cukup. Karena tingkat problema remaja saat ini begitu kompleks. Sehingga upaya pemecahannya sangat mungkin bisa variasi sesuai dengan kadar persoalan yang dihadapinya. Mengekplorasi problematika remaja memang butuh kejelian dan kesabaran yang tinggi. Sebab berbagai persoalan remaja, terutama memasuki tahap pertumbuhan, baik fisik maupun psikis, dengan segala keunikannya memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang memadahi. Barangkali orangtua juga perlu membaca buku-buku, majalah, atau mengikuti seminar tentang remaja agar dapat menyelami berbagai problem remaja dewasa ini. Dengan bekal itulah, orangtua diharapkan bertambah pengetahuan dan pengalamannya.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Selasa, 01 Juni 2010

Mengenal Gaya Komunikasi Efektif

Mujtahid

SEJALAN dengan akselerasi teknologi informasi (komunikasi), kini peradaban manusia mencapai kemajuan yang sangat pesat. Dengan dukungan teknologi informasi, batas interaksi manusia semakin tak terbatas, mulai dari lintas budaya, lintas negara, bahkan lintas Benua, akibat kecanggihan alat komunikasi. Hampir setiap kejadian baru atau event penting di belahan dunia ini, kita bisa langsung melihatnya dalam tempo waktu itu juga. Luar bisa kemujuan teknologi komunikasi saat ini.
Komunikasi adalah proses berbagi makna melalui perilaku verbal dan nonverbal. Segala perilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih. Komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan respons pada penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda atau simbol, baik bentuk verbal (kata-kata) atau bentuk non-verbal (non kata-kata), tanpa harus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua belah pihak punya sistem simbol yang sama.
Dalam karyanya, yang berjudul “Komunikasi Efektif,” Deddi Mulyana, menjelaskan bahwa komunikasi itu memiliki berbagai jenis, gaya dan karakter yang berbeda yang dapat kita temui di muka bumi ini. Sebagai seorang pakar komunikasi, Mulyana menjelaskan bagaimana seseorang mampu membangun citra dirinya melalui komunikasi efektif ketika akan berhadapan dengan ‘orang-orang Asing’, terutama mereka yang punya latar belakang berbeda-beda.
Model komunikasi dapat dipetakan menjadi dua hal, yaitu komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah. Komunikasi konteks tinggi adalah komunikasi yang bersifat implisit dan ambigu, yang menuntut penerima pesan agar menafsirkannya sendiri. Komunikasi konteks tinggi bersifat tidak langsung, tidak apa adanya. Ciri komunikasi model ini yaitu kalau mau mengutarakan sesuatu pesan cenderung dengan basa-basi terlebih dahulu, bahkan sering menggunakan kata-kata kiasan yang sekiranya bisa menyentuh, dengan tidak menyebutkan pesan secara langsung.
Model semacam ini, sering digunakan alm. Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sewaktu beliau masih hidup dalam memberi keterangan atau tuduhan kepada lawan bicaranya. Pesan atau makna yang terkandung dalam komunikasi beliau sering tidak mudah ditangkap oleh para masyarakat, terutama masyarakat awam. Karena pesan yang disampaikan menggunakan bahasa yang imlpisit dan banyak kiasan. Model komunikasi demikian, dapat dijumpai dari budaya Jawa dan Timur Tengah yang sering ditandai dengan menggunakan bahasa kiasan/sindiran dengan ungkapan halus, tapi sebenarnya menegur/memuji. Dalam hal komunikasi, orang Jawa dan orang Timur Tengah sesungguhnya memiliki kemiripan dalam mengungkapkan pesan dengan sering di dahului ”basa-basi” terlebih dahulu.
Sementara komunikasi konteks rendah adalah komunikasi yang bersifat langsung, apa adanya, lugas tanpa berbelit-belit ngalor-ngidul. Karakter komunikasi semacam ini biasa terjadi di Barat, mereka sukanya to the point tidak suka basa-basi seperti orang Jawa. Pokok pembicaraan (pesan) yang dituju sangat mudah diterima oleh lawan bicaranya (penerima pesan), tanpa harus menafsirkan lagi dari pokok pembicaaran yang berlangsung. Komunikasi model ini, sering dipakai Amien Rais atau Nurcholish Madjid ketika melakukan kritik atau tanggapan pada lawan-lawannya. Cukup alasan, karena kedua tokoh tersebut merupakan jebolan Barat (Amerika). Komunikasinya jelas tanpa tedeng aling-aling (ditutup-tutupi) lagi bahwa yang dimaksud memang apa adanya seperti itu.
Nah, lalu apa yang dimaksud dengan komunikasi efektif itu? Menurut Mulyana, komunikasi efektif adalah bentuk kolaborasi antara sisi-sisi positif komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah. Gaya komunikasi efektif lebih mencerminkan ketulusan, keterbukaan, kejernihan, keterus-terangan, kesederhanaan dan kesantunan dalam berbicara. Komunikasi fektif bukan suatu komunikasi yang pesan-pesannya penuh humor dan kiasan, begitu juga bukan komunikasi yang menohok dan menyakitkan orang lain.
Komunikasi efektif dibangun berdasarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai/tata krama. Karena itu, komunikasi akan menjadi bermakna, manakala kita dapat menempatkan diri pada situasi dan kondisi berdasarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai itu. Jika kedua hal tersebut, dapat dikuasai dan dihayati, maka kita akan mudah melakukan interaksi dengan siapa pun dan di mana pun. Komunikasi efektif menjadikan sarana untuk memahami segala karakter budaya, kultur dan gaya interaksi manusia di jagad raya ini.
Komunikasi efektif tidak selalu identik dengan verbal (kata-kata). Komunikasi efektif bisa saja menggunakan isyarat (gesture), seperti gerakan tubuh, gerakan kepala, ekspresi wajah, kontak mata merupakan perilaku-perilaku yang semuanya disebut bahasa tubuh yang mengandung makna pesan yang efektif dan potensial dapat dimengerti oleh lawan bicara. Di antara sekian banyak perilaku non-verbal, senyuman, pandangan mata, atau sentuhan seseorang sering merupakan perilaku non-verbal paling berpengaruh.
Konon, menurut para alumni yang pernah belajar di negara-negara Eropa, bahwa bahasa tubuh merupakan indikator dari tingkat pendidikan dan kesopanan seseorang-suatu hubungan yang agak diabaikan di Amerika Serikat. Dengan komunikasi non-verbal, orang dapat membaca keadaan emosional orang lain melalui pengamatan atas perilaku non-verbal dengan tingkat kecermatan yang memadahi. Dengan demikian, komunikasi non-verval tetap harus diperhatikan sebagai sebuah cara membangun komunikasi efektif pada diri seseorang.
Sebagai sarana pengembangan diri, komunikasi efektif dapat dipraktikkan bagi siapa saja, baik itu profesinya sebagai marketing, pebisnis, politikus, ilmuan, birokrat, hingga para diplomat. Karena melalui gaya komunikasi itulah sesungguhnya cermin kredibilitas seseorang dapat dibaca dan diukur sejauhmana keefektifan dalam menempatkan pergaulan dengan para tamu dan koleganya.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang