Jumat, 11 Maret 2016

Membangun Peradaban Islam Washatan

Pendahuluan
Islam merupakan pandangan hidup (whay of life) yang menerangi jalan hidup para pemeluknya, yang mampu mengatur semua urusan kehidupan manusia mulai dari masalah peribadatan, ritual hingga masalah keduniaan. Oleh sebab itu, pantaslah seorang pujangga ahli sejarah H.A.R. Gibb memuji Islam dengan ungkapan “Islam indeed much more a system of theology, if is complete civilisation” (Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap).[1]

Islam mengajarkan umatnya agar berkualitas, unggul dan mampu berkontribusi positif untuk kelangsungan hidup di alam semesta (rahmatan lil alamin). Sebagaimana pesan Rasulullah, bahwa tugas hidup seorang muslim ialah menanam kebaikan dan kemanfaatan untuk sesama. “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”. 

Untuk menerjemahkan Islam ke dalam lingkup tatanan kehidupan sosial, perlu sebuah pandangan yang lurus serta mendalam. Dalam hal ini, Nurcholis Madjid pernah menawarkan gagasan tentang pentingnya “al-hanifiat al-samhah”. Suatu pandangan yang tidak lagi terkotak dalam wujud komunalisme atau bentuk yang cenderung mengurung diri pada struktural tertentu. Pemahaman seperti  ini mendorong seseorang agar terpanggil untuk berpartisipasi pada agenda-agenda besar dan luas yang bermanfaat, yang bukan saja bagi internal golongannya, melainkan juga bermuara pada semua golongan manusia. Islam memuat agenda dan cita-cita universal, yaitu mewujudkan keselamatan, keadilan, kedamaian, yang bersendikan pada nilai-nilai tauhid dan sifat dasar kemanusiaan. Tesis Nurcholis Madjid tersebut, intinya adalah munculnya sikap yang moderat dan inklusif dalam memperjuangkan agenda-agenda universal untuk kemajuan peradaban umat manusia.[2]

Apa yang menjadi cita-cita Islam sesungguhnya telah diterangkan secara utuh, holistik dan komprehensif dalam ummul kitab, yaitu surah al-Fatihah. Surat al-Fatihah memuat saripati ajaran Islam yang benar-benar memiliki misi universalitas dan iklusivitas yang mengajak umatnya agar mendapat petunjuk dan kasih sayang-Nya. Sulit diingkari bahwa ajaran pokok Islam, seperti yang terkandung surat al-Fatihah merupakan jalan yang lurus, petunjuk yang menjadi pegangan sekaligus haluan hidup manusia.

 Ayat pertama sebagai pembuka surat, dimulai dengan bacaan basmalah, “bismillahirrahmanirrahim”. Pesan teologisnya ialah kasih sayang Allah Swt. tidak terbatas bagi mereka yang beriman dan beramal saleh. Seperti yang diungkapkan Komaruddin Hidayat, bahwa cinta ilahi merupakan sumber dan spirit kehidupan itu sendiri, “the spirit of life is love, the divine love”.[3] Pesan etisnya yaitu setiap pembaca ayat ini harus mengedepankan kasih sayang, menyebarkan rahmat, dan menjunjung tinggi cahaya kebenaran. Basmalah mengajak setiap pembaca untuk mengenali Allah Swt sebagai pemilik kasih sayang, yang tiada henti selalu memberi rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua ciptaannya.

Ummatan Washatan
Termenologi ummatan washatan diambil dari surat al-Baqarah ayat 143: “Dan dengan demikian Kami (Allah Swt) telah menciptakan kamu (kaum Muslimin) sebagai ummatan washatan agar kamu sekalian dapat menjadi saksi atas diri kamu sekalian; dan sesungguhnyalah Rasul (utusan Allah) menjadi saksi atas diri kamu sekalian.” Penggunaan termenologi ini ditujukan kepada umat Islam yang berada garis tengah (seimbang), atau tidak ekstrim dalam pemahaman dan pengamalan Islam. Di saat kondisi Islam yang dikesankan sebagai agama radikal dan teroris oleh bangsa-bangsa Barat, maka sebutan ummatan washatan menemukan momentumnya untuk menjadi jalan tengah sebagai pengerim laju tindakan-tindakan pelaku umat Islam yang kaku dan ekstrim itu, ulah itu jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Di Indonesia penggunaan term ummatan washatan telah muncul sejak akhir abad ke 12 dan 13, dengan ditandainya Islamisasi yang damai, toleran jauh dari konfrontasi dan perlawanan. Islam diajarkan oleh para da’i/mubaligh kepada masyarakat melalui perdagangan di pasar, pertanian di sawah, nelayan di pesisir dengan penuh santun dan toleran. Proses penyebaran Islam di Indonesia membutuhkan waktu berabad-abad, karena Islam mengambil jalur damai dan mengedepankan etika, tanpa konfrontasi yang menimbulkan gejolak sosial, apalagi sampai mengambil jalan pintas dengan kekerasan atau pertumpahan darah.

Kehadiran Islam di Indonesia, seperti yang disebut oleh Van Leur,[4] merupakan indikasi bahwa Islam bukan saja sebagai sistem keagamaan semata, namun sekaligus merupakan alternatif yang cukup diperhitungkan dalam mengubah setiap bentuk tatanan kehidupan yang tidak sesuai dengan harkat kemanusiaan. Kedatangan Islam di Indonesia tampil dengan sangat elegan, ramah dan lentur hingga mendapat simpati yang sangat luar biasa sampai ke pelosok penjuru tanah air.
Berbeda dengan penyebaran Islam di Cordova atau Andalusia, dan negara-negara sekitarnya, penyebaran Islam di Indonesia lebih mengedepankan jalur kultural, serta terkadang mengambil cara “kompromi” dengan sistem budaya dan kepercayaan yang ada, namun pelan-pelan akhirnya Islam dapat diterima dengan senang hati. Ada tiga hal yang  menyebabkan kesuksesan dakwah Islam di Indonesia, yang merupakan sebagai perwujudan kekuatan Islam Washatan, yaitu:
Pertama, Islam mengajarkan sistem tauhid. Ajaran ini merupakan pembebas dari segala bentuk kekuatan selain Allah Swt. Secara teologis, manusia dihadapan Allah adalah sama, tanpa ada stratifikasi sosial seperti yang ditunjukkan dalam kehidupan masyarakat sebelumnya. Prinsip tauhid mengajarkan asas keadilan dan kesamaan dalan sistem tata kehidupan masyarakat. Ajaran tauhid lebih manusiawi ketimbang ajaran-ajaran sebelumnya yang terkotak-kotak dalam sistem kasta. Sehingga Islam lebih diterima ketimbang melanggengkan ajaran yang selama ini mereka jalani. Ajaran Islam menempatkan pemeluknya lebih terhormat dan mulia, ketimbang ajaran dan kepercayaan yang mereka yakini. 

Kedua, Ajaran Islam relevan dengan roda perubahan zaman. Ajaran Islam sangat lentur, fleksibel sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Melalui pendekatan ma’ruf, Islam mudah beradaptasi dengan budaya dan tata kehidupan masyarakat. Hal-hal yang menjadi kebiasaan masyarakat kala itu, kalau tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka tidak perlu ditolak atau dibubarkan, tetapi cukup diluruskan atau dibumbui dengan nilai-nilai Islam. Tapi sebaliknya, kalau kebiasaan itu tidak sesuai dengan prinsip Islam, maka tidak henti-hentinya para da’i mengajak untuk meninggalkannya. Pendekatan ma’ruf, ini merupakan bagian “jalan tengah” (washatan) dalam memahami dan menjalankan aktivitas Islam.

Ketiga, Islam mengajarkan prinsip tasamuh dan fastabiqul khairat. Prinsip Islam sangat kental dengan keterbukaan, tidak setengah-setengah, melainkan harus kaffah. Islam menjunjung tinggi sikap tasamuh, toleransi serta apresiasi terhadap sesuatu kebenaran dari manapun datangnya. Oleh karenanya, apakah pada aspek fikih (mazhab), tasawuf (sufi), maupun aliran teologi, umat Islam Indonesia sangat terbuka dan biasa berbeda dalam hal itu.  Begitu juga tak kalah pentingnya dalam menyumbangkan kesuksesan penyebaran Islam yaitu sikap daya juang, berlomba-lomba dalam kebaikan. Para da’i, ulama’ dan kyai membuat caranya masing-masing dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat. Peran dan kiprah para tokoh-tokoh Islam dengan prinsip fastabiqul khairat  lalu diwujudkan dengan sarana dakwah, antara lain misalnya;  mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, serta lembaga lainnya. 

Dalam pandangan Azyumardi Azra, ummatan washatan atau Islam washatiyyah di Indonesia menemukan model khas yang terumuskan dalam Pancasila, sebagai kalimatun sawa’ merupakan prinsip-prinsip yang sama (common flatform) yang merekatkan kemajemukan dan kebhinekaan anak bangsa.[5] Sebagai negara yang besar dan mayoritas penduduknya muslim, Islam Washatiyyah tampil dengan berdirinya berbagai organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Al-Khairat, dan lain-lain. Masing-masing organisasi tersebut mengambil jalan tengah (washatan), baik  tercermin dalam pemahaman dan pengamalan praksis keislamannya, maupun dalam sikap sosial, budaya dan politiknya. 

Islam washatan mengambil peran-peran kemanusian lintas batas, yang tanpa sekat primordial dan komunal. Muhammadiyah misalnya, meski sebagai organisasi Islam atau pesyarikatan Islam, telah mendedikasikan diri dalam berbagai bidang, seperti bidang sosial keagamaan, pendidikan dan kesehatan kepada semua masyarakat tanpa pandang status ras, suku, budaya dan agama, demi kemajuan peradaban bangsa. Islam hadir sebagai penggerak peradaban, yang mendorong transformasi sosial kearah tatanan kehidupan yang berperikemanusiaan dan kedamaian.

 Islam dan Realitas Sosial

Secara teologis, Islam disamping menjadi dasar keyakinan, juga memerankan dirinya sebagai sumber nilai yang mutlak dan universal. Sebagai sebuah sumber nilai, Islam menjadi kerangka etis dalam membangun realitas kehidupan masyarakat. Islam diyakini sebagai risalah atau ajaran suci dari Tuhan yang bersifat theo-centris, sementara kehidupan bermasyarakat merupakan bagian dari antropo-centris yang menitik beratkan pada persoalan hubungan manusia antar sesama.

      Antara Islam dan kehidupan manusia tidaklah mungkin dipisahkan. Sebab, Islam merupakan sumber nilai-nilai kebenaran hakiki yang mengajarkan tentang tatakrama dalam membangun relasi humanitas dalam konteks pergumulan antar sesamanya.[6] Islam harus mewarnai segala tindakan, ucapan dan perilaku pemeluknya, sehingga terwujud keadaban dan kemuliaan baik untuk dirinya maupun sesamanya.

      Sebagai makhluk sosial yang dibekali potensi religi (fitrah), manusia diharapkan bisa bertindak netral dan bersikap objektif dalam segala hal. Sebagai abdullah dan khalifatullah, seorang muslim seharusnya tidak membiarkan dirinya berperilaku secara destruktif, melainkan harus menunjukkan citra dirinya sebagai sosok insan kamil yang memiliki kesadaran moral dan etis yang lahir dari spirit keimanan atau keyakinannya.

Oleh karenanya, iman adalah tonggak tertinggi dalam diri manusia yang tidak akan mungkin terpisah dari amal perbuatannya. Amal perbuatan yaitu cabang dari pohon iman. Makin banyak amal kebajikannya, maka makin besar dan tinggi pohonnya. Makin kuat iman seseorang, makin banyak amal saleh yang dikerjakannya. Gambaran tersebut seperti yang diilustrasikan Allah Swt. sebagai berikut:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” (QS. Ibrahim[14]:24-25)

Islam memberikan petunjuk kepada umatnya agar tugas hidup di muka bumi ini laksana pohon yang punya akar kuat yang menghujam ke tanah, rimbun daun dan buahnya bisa menjadi makanan bagi makhluk yang ada disekitarnya.  Seorang muslim harus menjadi pohon lebat yang akarnya menunjam kuat. Artinya harus punya pondasi iman yang kuat. Selain itu, juga rindang sehingga membuat siapa pun yang berinteraksi dengan dirinya merasa teduh, nyaman, dan betah tanpa curiga. Islam harus diyakini sekaligus diamalkan secara utuh, sehingga mampu membuahkan kemanfaatan, kebajikan bagi semua makhluk disekitarnya.

Islam sebagai dasar keyakinan sekaligus sumber nilai diharapkan menjadi inspirasi, spirit bagi pemeluknya agar selalu menegakkan kebajikan, keadilan, moralitas (moral force) dalam semua urusan dimuka bumi ini. Seperti yang diungkapkan H.A.R. Gibb sebelumnya, bahwa Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap. Artinya, Gibb memandang dalam Islam terdapat perpaduan (integritas) antara dimensi sakral (ilahiyah) dan profan (duniawi) merupakan satu entitas utuh yang sulit dipisahkan. Sehingga antara yang profan dan yang sakral tidak terdapat kepincangan atau kesenjangan baik dari segi pemahaman maupun pengamalannya.

             Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh M. Natsir dan Sidi Gazalba, bahwa Islam meliputi semua aspek masyarakat dan kebudayaan, serta menolak pengertian Islam sebagai agama dalam arti sempit, maka sesungguhnya mereka lebih banyak berbicara tentang impian, daripada bertitik tolak dari kenyataan yang terjadi disebagian besar bumi Indonesia.

            Begitu juga pendapat Ernest Gellner, bahwa dalam tradisi Islam terdapat jalinan kuat antara spirit dan hukum keagamaan dengan wilayah sosial. Berbeda dengan agama Kristen, Islam tidak pernah padam dari suatu ideologi. Bahkan Islam akan tidak pernah terpisah dari persoalan-persoalan sosial-budaya. Karena itu, tidak perlu heran kalau Islam pernah mengukir sejarah dunia. Islam telah mengalami kejayaan gemilang dan dirasakan sebagai warisan dan blueprint sosial yang masih sangat mungkin dapat dihidupkan kembali pada zaman yang berbeda.

            Bertolak dari ketiga pandangan di atas, kajian Islam (Islamic studies) saat ini yang harus dihadapi adalah perumuskan metodologis guna melihat makna keagamaannya secara koheren. Sebab jika tidak dilakukan, maka kajian Islam akan mengalami penurunan yang cenderung mengabaikan makna keagamaannya itu sendiri. Amin Abdullah menyatakan bahwa fenomena beragama bukanlah fenomena sederhana seperti yang biasa dibayangkan orang lain. Karena sikap beragama membutuhkan kesadaran dan kemauan untuk menerima suatu keberbedaan.[7]

            Sikap keberagamaan di Indonesia dalam kajian sosiologis, dapat dipetakan menjadi beberapa tipologis. Komaruddin Hidayat di Majalah Ummat (1996) menggambarkan bahwa ada lima tipologi sikap keberagamaan. Pertama, ekslusivisme berpandangan bahwa sikap keberagamaan akan melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama lain sesat, sehingga dipandang wajib dikikis atau pemeluknya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Kedua, sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurnya agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Ketiga, pluralisme, lebih moderat lagi, berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat missionaris atau dakwah dianggap tidak relevan. Keempat, eklektivisme, yaitu suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersifat eklektik. Kelima, universalisme, beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya saja karena faktor historis-antropologis maka agama lalu tampil dalam format formal.

 

Islam dan Sosial Budaya

Banyak para ahli, baik sarjana dalam negeri maupun luar negeri yang menfokuskan kajiannya tentang Islam dan sosial budaya. Rata-rata pusat kajian mereka menggunakan pendekatan atau sudut pandang sosio-antropologis. Salah satu studi penelitian sosial-budaya yang paling menumental mengenai aspek keberagamaan atau perilaku Islam di Indonesia adalah Clifford Geertz yang hingga saat ini masih menjadi primadona, sebagai rujukan utama. Meskipun penelitian itu pada akhirnya juga akan terjadi sebuah pergeseran dan keotentikan hasil, karena dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang jauh berbeda.
Seperti yang ditulis dalam The Religion of Java, Geertz membedakan kebudayaan Jawa dalam tiga tipe; abangan, santri dan priyayi. Abangan, mewakili suatu kelompok yang lebih menitik beratkan pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa dan secara luas dihubungkan dengan elemen petani. Santri, mewakili suatu titik berat pada aspek Islam dari sinkretisme itu dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang dan juga elemen tertentu di kalangan petani. Priyayi, mewakili suatu kelompok yang lebih menekankan aspek-aspek Hindu dihubungkan dengan elemen birokratik. [8]

Ketiga varian tersebut adalah gambaran atau tafsiran subjektif peneliti yang sangat dipengaruhi oleh situasional dan kondisi pada lokasi itu. Namun temuan tersebut seolah-olah dapat ditranfer kesemua tempat di Indonesia dimana Islam itu ada. Ketika Geertz membukukan hasil penelitiannya di Mojokuto (nama samaran sebuah kota kecil, Pare di Jawa Timur) pada awal tahun 1950-an, ia mungkin belum membayangkan bahwa akan terjadi perubahan kultural di kalangan abangan, santri dan  priyayi.  Terlepas dari kritik yang banyak ditujukan oleh ilmuwan sosial atas kategorisasi itu, sampai saat ini dalam analisis ilmu-ilmu sosial trikotomi tersebut masih kerap digunakan, meskipun dengan sikap yang berhati-hati. 

Kritik sekaligus ingin mematahkan tesis Gertz dilakukan banyak tokoh. Misalnya M. Bambang Pranowo, menyebutkan bahwa kelompok abangan yang sarat akan mistiknya itu telah menerapkan prisip-prinsip Islam, walaupun dengan cara melegitimasi melalui narasi-narasi atau bacaan-bacaan teks kitab suci. Tetapi mereka (abangan) justru sangat lentur dan tak sering konflik dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berbeda dengan kelompok santri yang justru lebih mudah memantik perbedaan dan percecokan.

Seperti halnya disinyalir para pengamat, Indonesia saat ini terjadi peningkatan antusiasme dalam berislam yang ditandai dengan semakin meningkatnya gairah dalam menjalankan Islam baik secara pribadi, yaitu dengan semakin banyaknya orang yang mengunjungi tempat-tempat ibadah dan juga penampakan identitas keislaman yang lebih jelas. Gejala-gejala yang bersifat umum, misalnya banyaknya lembaga-lembaga keagamaan, munculnya banyak penerbitan Islam dan meningkatnya intelektualitas umat. Situasi ini oleh Esposito disebut sebagai "kebangkitan Islam" atau "aktivisme Islam" dan oleh Azyumardi disebut sebagai intensitas santrinisasi. Secara umum hal ini dapat diartikan sebagai tampilnya Islam sebagai kekuatan baru yang diperhitungkan oleh kawan maupun lawan dalam segala aspek kehidupan.

Atas dasar tersebut, maka ada dua kemungkinan dalam hal ini, mereka yang mengalami peningkatan antusiasme keagamaan adalah mereka yang semula masih dalam kategori abangan kemudian berubah menjadi santri. Kemungkinan lain, mereka sebelumnya sudah menjadi santri kemudian secara kualitatif mengalami  peningkatan kembali kualitas kesantriannya. 

Sejalan dengan kemungkinan yang pertama, dalam suatu kesempatan wawancara dengan Islamika, Hefner mengatakan bahwa "peta kaum abangan sekarang ini  mulai berkurang, meskipun mulai  dari Batu sampai Pare, boleh dikatakan masih tetap ada orang-orang yang menyebut dirinya sebagai Kejawen". Semakin menyusutnya jumlah abangan ini dijelaskan Hefner banyak penyebabnya, tetapi mereka yang sedang mengalami proses transformasi  kultural ini selain yang terbesar menjadi santri, ada juga yang masuk aliran kebatinan atau berbagai aliran kepercayaan.

Kategori abangan dan santri juga dapat diletakkan dalam dua pendekatan, yakni dari segi kualitas keagamaan dan stratifikasi sosial, atau sebagai golongan sosio-religius dan sebagai kekuatan sosio-politik. Kategori ini juga tidak bersifat statis, misalnya antara priyayi dan wong cilik karena adanya mobilitas sosial maka mengalami pergeseran. Begitu juga dengan perbedaan antara abangan dan santri tidak selalu bersifat antagonis, tetapi merupakan sekala budaya dan pemahaman agama. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi transformasi dan pergeseran baik wong cilik menjadi priyayi maupun abangan menjadi santri. Seperti dikatakan Hefner, ada priyayi yang abangan dan yang santri, juga ada abangan yang agak priyayi, santri agak priyayi dan sebaliknya.[9]     

Tesis yang penting diajukan adalah mengapa terjadi transformasi kultural? Atau mengapa abangan berubah menjadi santri? Jawaban tentatif tentu dapat bermacam-macam, misalnya karena modernisasi, politik, pendidikan dan tidak menutup kemungkinan adalah peran para elit Islam yang dengan semangat kuat membimbing dan mengajak mereka untuk lebih taat dalam beragama. Ada beberapa asumsi sebagai penyebab berubahnya kaum abangan menjadi santri. 

Menurut Nurcholish Madjid maupun Daliar Noer di atas dapat dirujuk pula dari kesimpulan beberapa pengamat Islam kontemporer, misalnya Robert N. Bellah dan Ernest Gellner. Menurut Bellah yang dikutip Madjid dari Beyond Belief, bahwa Islam menurut zaman dan tempatnya, adalah sangat modern, bahkan terlalu modern sehingga gagal. Dan kegagalan itu disebabkan karena tidak adanya prasarana sosial di Timur Tengah saat itu guna mendasari penerimaan sepenuhnya ide modernitas Islam dan pelaksanaannya yang tepat.[10] 

Selanjutnya Madjid menjelaskan, jika Islam sebuah modernitas, maka zaman modern akan memberi kesempatan kepada orang-orang Islam untuk dapat melaksanakan ajaran agamanya secara baik, dan menjadi modern dapat dipandang sebagai penyiapan lebih jauh infrastruktur sosial guna melaksanakan ajaran Islam secara sepenuhnya. Berarti pula, bahwa di zaman modern ini orang-orang Islam akan dapat memahami ajaran agamanya dan menangkap makna ajaran agama itu sedemikian rupa sehingga "api" Islam, atau spirit dan ruh atau subtansi ajaran Islam dapat bersinar dan memebri kontribusi yang berarti dalam kehidupan Muslim secara pribadi maupun dalam masyarakat secara luas.

Sedangkan Gellner, mengatakan bahwa para sosiolog yang telah lama akrab dan sering membenarkan teori sekularisasi mengatakan bahwa dalam masyarakat ilmiah-industri, iman dan amalan agama akan menurun.[11] Banyak argumen yang dapat dikedepankan untuk memberi topangan intelektual atas pandangan tersebut, dapat pula dalam hal ini dikedepankan bukti-bukti empiris. Tetapi, harus ada pengecualian yang dramatis dan mecolok, yaitu Islam. Menganggap sekularisasi telah melanda Islam tidaklah berlebihan. Namun anggapan itu salah, sebab saat ini Islam tetap kuat seperti seabad yang lampau, bahkan mungkin lebih kuat. 

            Sebagai agama, Islam dapat dilihat sebagai gejala sosial-budaya. Atha Mudzhar menjelaskan bahwa agama dapat diteliti kalau telah menjadi gejala budaya. Dalam perspektif ilmu sosial kajian budaya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebab, kajian budaya selalu unik yang hampir tidak pernah selesai dibahas dan diteliti oleh manusia. 

            Paling tidak, gejala agama dapat dilihat dari lima sudut. Pertama, berkenaan dengan teks-teks atau sumber ajaran agama. Kedua, dilihat dari sikap dan prilaku para pemimpin dan penganutnya. Ketiga, dilihat dari ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadatnya. Keempat, alat-alat atau media peribadatan, dan kelima, organisasi keagamaan sebagai sarana mereka berperan dan bertindak.[12]

Kuntowijoyo menjelaskan bahwa perubahan kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang terjadi secara natural, disebut sebagai "transformasi"; dan yang terjadi secara artifisial, atau dibuat disebut sebagai "rekayasa". Transformasi bisa berkenaan dengan nilai, bisa juga berkenaan dengan struktur. Transformasi dalam studi ini berkenaan dengan nilai, yaitu agama yang dihayati oleh pemeluk-pemeluknya. Dalam hal ini golongan abangan menunjukkan kecenderungan peningkatan kualitas dalam hal keagamaannya dari sekadar muslim secara formal menjadi muslim secara subtansial, atau spiritual.

Penutup
            Islam sebagai pandangan hidup manusia, menempatkan dua tujuan utama, yakni kesuksesan di dunia dan di akhirat. Seperti kata Malinowski, agama (Islam) adalah "wishful thinking", yaitu suatu harapan yang muncul karena manusia melihat bahwa kehidupannya akhirnya akan berakhir dengan kematian. Ia tampaknya masih memandang agama sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif. Karena Islam dapat menolong untuk mengatasi frustasi dan membantu mewujudkan persatuan sosial. 

Islam menekankan dua aspek penting, yakni adanya hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablum Minannas) secara integral. Keutuhan dan keseimbangan hubungan itu akan menjadikan seseorang dapat bergaul dengan sangat luwes dan tidak sempit. Sebab keutuhan Islam dibangun mulai dari sistem kepercayaan (belief), peribadatan (ritual), masyarakat (community), lembaga atau kelembagaan (institution) dan masalah pengalaman keagamaan (religious experience).

Islam menempatkan kitab suci sebagai petunjuk atau "suatu kekuatan hidup yang tertinggi". Apa yang terlihat di dalamnya adalah suatu yang mampu mengatasi segala kebutuhan makhluknya. Melalui kitab suci ini setiap muslim terdorong untuk melakukan pengabdian, penghambaan dan bahkan pengorbanan untuk mewujudkan kehidupan yang bermafaat bagi kemaslahatan ummat.

Daftar Bacaan
Abdullah, M. Amin, Studi Islam, Normativitas atau Historisitas.? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1986.
Ali, Fachry, dalam Pengantar Nurcholish, Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998
Aziz, M. Amin, The Power al-Fatihah,   Cet. III, Jakarta: Pinbuk Press, 2008
Azra, Azyumardi, Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global, MAKALAH, belum diterbitkan.
Geertz, Clifford.  The Religion of Java. [terj]. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983
Gellener, Ernest, Muslim Society, Combridge University Press Gellner, 1994
Gibb, H.A.R. Whither Islam, London: Victor Gollanez Ltd., 1932.
Hefner, Robert W. ICMI dan Perjuangan Kelas Menengah Muslim Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994, hal. 59.
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998.
M. Natsir, Capita Selecta, I., Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.
Mudzhar, Atha, Pendekatan Studi Islam, dalam Teori dan Praktek, Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 1998.



[1] Gibb, H.A.R. Whither Islam, London: Victor Gollanez Ltd., 1932. hal. 12. seperti yang dikutip M. Natsir, Capita Selecta, I., (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 15.
[2] Ali, Fachry, dalam Pengantar Nurcholish, Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. xlv-xlvi
[3] Aziz, M. Amin, The Power al-Fatihah,   Cet. III, (Jakarta: Pinbuk Press, 2008), Hal. xxviii.
[4] Lihat, Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1986) hal. 32.
[5] Azra, Azyumardi, Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global, MAKALAH, belum diterbitkan..
[6] Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 9.
[7]Abdullah, M. Amin, Studi Islam, Normativitas atau Historisitas.? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 23.
[8] Geertz, Clifford.  The Religion of Java. [terj]. Aswab Mahasin. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 8.
[9]Hefner, Robert W. ICMI dan Perjuangan Kelas Menengah Muslim Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 59.
[10] Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), hal. lxxiv.
[11] Gellener, Ernest, Muslim Society, (Combridge University Press Gellner, 1994), hal. 16-17.
[12] Mudzhar, Atha, Pendekatan Studi Islam, dalam Teori dan Praktek, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar,1998), hal 14.

Senin, 12 Oktober 2015

MEMBANGUN PENDIDIKAN TINGGI ISLAM BEREPUTASI DUNIA (Menggalang Prestasi dan Aksi UIN Maliki Malang Menuju World Class University)



A.     Sketsa Awal: Prestasi dan Aksi
Memasuki usia satu dasawarsa (sepuluh tahun), sejak berubah status dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) pada 21 Juni 2004 lalu, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang mengalami lompatan historis yang sangat ekspektatif di tengah arus persaingan perguruan tinggi di tanah air. Capaian dan prestasi gemilang tersebut telah menggugah pikiran, membuka pandangan, serta mengundang perhatian banyak kalangan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
            Sebagai perguruan tinggi Islam yang bermula sangat kecil dan belum masuk perbincangan skala nasional, kini UIN Maulana Malik Ibrahim Malang memiliki kekuatan dan keunikan yang luar biasa. Sentuhan kepemimpinan Imam Suprayogo selama empat periode berturut-turut atau enam belas tahun, mampu memainkan peranan universitas ini menjadi referensi atau ”rujukan utama” bagi semua pihak, tidak saja bagi perguruan tinggi Islam melainkan juga perguruan tinggi umum dari segala penjuru dunia.
            Kesuksesan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang itu bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan dan takdir belaka, akan tetapi karena dibangun atas tekad, spirit dan motivasi yang kuat untuk menjabarkan ”Islam yang sesungguhnya”. Yaitu menjabarkan ajaran Islam yang mendorong umatnya, agar menjadi umat yang unggul, terdepan dan berkontribusi bagi pembangunan peradaban masyarakat, negara dan dunia yang bernilai tinggi.
            Alhasil, kini UIN Maliki Malang ditunjuk oleh Menteri Agama RI bersama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk diproyeksikan menuju World Class University (WCU). Amanah sekaligus kepercayaan itu adalah tantangan baru yang harus dilewati dan dijawab dengan kerja sungguh-sungguh secara sistemik dan penuh dedikatif oleh seluruh sivitas akademika. Seperti pada masa transisi perubahan (transformasi) dari STAIN ke UIN, semua warga kampus harus ambil bagian sesuai dengan bidang pekerjaan masing-masing.
Semangat juang, pengorbanan serta dedikasi selama ini yang telah ”mendarah daging”, menyatu jiwa raga,  bagi semua warga kampus sepertinya akan ”diuji kembali” demi tercapainya tujuan dan cita-cita menjadikan universitas Islam negeri ini bereputasi dunia. Untuk menggapai keinginan itu sebenarnya tidaklah ringan, akan tetapi sivitas akademika telah memiliki modal historis, modal intelektual serta modal sosial yang luar biasa untuk memenuhi harapan itu.
Melalui beberapa modal di atas, spirit untuk menjadikan UIN Maliki Malang sebagai ”kampus nomor 1” di dunia sepertinya mendapat titik terang. Kini sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki universitas jauh mengalami peningkatan secara signifikan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sebagai modal intelektual, universitas saat ini memiliki dosen yang bergelar doktor lebih dari 35 persen. Semakin bertambahnya SDM yang berkelas itu, tentu dampaknya ialah detak jantung dan urat nadi kampus akan bergerak secara normal. Kompas perjalanan dan kemajuan universitas ini ke depan sangat ditentukan oleh SDM yang hebat dan unggul dengan ditopang kearifan spiritual dan moral (akhlak).
Sementara itu, modal sosialnya adalah universitas ini telah menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri, baik berasal dari negara tetangga (ASEAN), negara Timur Tengah maupun negara Barat. Selain itu, universitas juga menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait, misalnya; Islamic Development Bank (IDB), JICA, serta beberapa lembaga lainnya. Belum lagi kepercayaan dari organisasi Islam dunia, organisasi Islam tanah air, serta para ulama’ dania, para tokoh, para ahli dan para ilmuwan.
            Adapun yang tidak kalah penting untuk menjadikan jalan mulus universitas ini menuju WCU adalah modal historis. Sejak sepuluh tahun terakhir, kampus ini dikenal oleh ”orang luar” sebagai kampus yang ”serba bisa” untuk mengubah dari yang tidak mungkin menjadi mungkin, dari yang tidak percaya menjadi percaya dan begitu seterusnya. Melalui modal historis itulah kebangkitan ”jilid dua” UIN Maliki Malang perlu disentuh dan dihidupkan kembali. Kesuksesan historis universitas ini bukanlah kebetulan dan keajaiban belaka, melainkan ada kobaran semangat, lembaran jiwa ikhlas (altruistik), serta ketulusan hati dari para aktor, pelaku dan penggerak kemajuan kampus ini.
GAMBAR 1:
TIGA MODAL UTAMA MENUJU WORLD CLASS UNIVERSITY


 
           









Melalui tiga modal tersebut di atas, prestasi dan aksi menuju universitas bertaraf internasional terbuka lebar. Kebangkitan UIN Maliki Malang ”jilid dua” ditentukan peran-peran strategis dan taktis oleh semua pihak, baik dari pimpinan tertinggi hingga pada lapisan paling bawah. Sesuai dengan slogan dan jargon pada saat launching WCU yang digelar bersamaan dengan peringatan Hari Jadi Kementerian Agama RI ke-68 (3/1/2014), bahwa kampus ini memerlukan gerakan massif ”one heart”, ”one spirit”, ”one vision”, dan ”one teamwork”. Energi dan kekuatan sumber daya yang dimiliki universitas harus diorganisir, dikelola dan diberdayakan secara optimal.
Cita-cita menuju universitas bereputasi dunia merupakan tonggak penting sekaligus menandai sejarah baru bagi kampus UIN Maliki Malang. Saatnya semua warga kampus membuka lembaran baru agar konsentrasi dan fokus dalam menjalankan aksi dan kreasi yang tepat sasaran dan tujuan. Kampus yang memiliki trademark perpaduan antara perguruan tinggi dan ma’had aly, pusat sekaligus pelopor pembelajaran bahasa asing (bilingual) bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta pengakaderan tahfidz al-Qur’an ini merupakan keunikan sekaligus distingsi (daya beda) dari perguruan tinggi lain yang ada di dunia. Sebagai pijakan awal, barangkali keunggulan, prestasi dan daya beda (distingsi) itulah sebagai pintu masuk menuju WCU.

B.     Ukuran Tradisi Akademik Bertaraf Internasional
Sejak berdiri tahun 1960-an yang silam, tradisi akademik di kampus ini telah cukup dikenal oleh kalangan luas, baik secara regional maupun nasional.  Sekalipun berstatus cabang dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, perguruan tinggi ini memiliki reputasi yang sangat luar biasa. Tidak sedikit para dosen IAIN/STAIN Malang telah melahirkan karya tulis, baik berupa buku, modul, maupun diktat yang terbit dan digunakan sebagai bahan referensi dan rujukan di pelbagai perguruan tinggi lain.
Tradisi akademik melalui budaya menulis atau membuat karya tulis ilmiah itu sulit terbantahkan di UIN Maliki Malang (d/h. IAIN/STAIN). Dari sekian jumlah dosen yang ada, hampir semua dosen memiliki karya berupa buku masterpis (monumental) sesuai bidang keahliannya masing-masing. Padahal, para dosen tersebut hidup di era kegelapan, yang jauh berbeda dengan sekarang. Dulu, mereka berkarya saat belum ada listrik, alat komputer, internet, Ipad dan segala bentuk kecanggihan teknologi lainnya. Walaupun begitu, tanpa menyurutkan semangat dan mengurangi kreasi mereka, tradisi dan spirit akademik tetap tumbuh dan berkembang secara luar biasa.
 Hal lain yang menandai tradisi akademik yaitu proses pembelajaran yang dilakukan para dosen dan mahasiswa. Para dosen IAIN/STAIN, sekalipun mereka mengajar dengan cara dan metode seadanya,---- belum ada dukungan media elektronik modern seperti akhir-akhir ini,--- tetapi proses pembelajaran itu berjalan dengan sangat mengesankan, dan dapat melahirkan lulusan yang hebat dan handal.  Hasil pembelajaran seolah-olah bukan ditentukan oleh seberapa canggih dan modernnya alat dan media ajar, melainkan oleh ruh dan jiwa mengajar yang menyatu dan melebur pada diri dosen. Model seperti itulah sesungguhnya kekuatan, kearifan serta sebagai bentuk menandai kedalaman dan keluasan ilmu para dosen tempo dulu.
Proses pembelajaran yang dilaksanakan para dosen begitu disegani dan dihormati oleh para mahasiswa. Proses penilaian kegiatan akademik juga berlangsung sangat jujur dan terbuka, tidak ada budaya tawar menawar apalagi jual beli nilai antara dosen dan mahasiswa. Tradisi pembelajaran yang berupa penilaian hasil akhir akan kembali kepada capability (kemampuan) diri masing-masing mahasiswa. Kalau dirinya tidak mampu dan tidak lulus, maka ia akan berusaha belajar lebih giat lagi untuk mengulang ujian hingga sampai mendapatkan predikat lulus. Kewibawaan akademik sangat terjaga dan menjadi sangat sakral bagi semua orang yang belajar di perguruan tinggi.
            Gambaran dua hal di atas, antara budaya menulis dan budaya proses pembelajaran adalah ciri khas tradisi akademik tingkat tinggi.  Empat paragraf sebelumnya, merupakan sebuah ”narasi historis” betapa gigih dan kuatnya para dosen dalam menjaga dan menghormati tradisi akademik. Mulai tahun 1960-an hingga 1990-an, menurut hemat penulis, adalah era pertumbuhan menuju terwujudnya cita-cita menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Sebelum berubah menjadi universitas, atau berlangsung lebih kurang 30-an tahun, bibit-bibit peninggalan atau warisan tradisi akademik yang luar biasa tersebut telah ditanamkan oleh para dosen pendahulu kita.
GAMBAR 2:
Cycle DiagramGENERASI PERINTIS (MASA PERTUMBUHAN) UIN MALIKI MALANG











Seperti yang telah dicontohkan para pendahulu (generasi perintis) di atas, kiranya patut menjadi pelajaran dan bekal berharga bagi semua warga kampus untuk menggerakkan jiwa, pikiran dan hati guna mencapai cita-cita WCU. Tradisi akademik adalah iklim keilmuan yang harus dijunjung tinggi universitas. Keterpaduan visi-misi, dan tujuan akademik yang dikembangkan oleh universitas itu kiranya perlu disadari dan dijalankan secara bersama-sama, baik para dosen PNS, dosen BLU, maupun dosen luar biasa.  
            Peran dan fungsi dosen sangat dibutuhkan dalam mengawal tradisi akademik ini. Untuk menuju WCU tenaga pengajar (dosen) yang harus dimiliki universitas yaitu tidak kurang dari 40 persen bergelar doktor, dari jumlah dosen yang ada. Bagi UIN Maliki Malang, syarat ini tidaklah terlalu sulit, karena hingga tahun 2014 ini para dosen yang bergelar doktor hampir mendekati angka 40 persen. Belum lagi ditambah puluhan dosen yang tengah menyelesaikan studi program doktor (S3) di berbagai perguruan tinggi, baik dalam negeri maupun luar negeri.
            Ciri tradisi akademik bertaraf internasional adalah adanya publikasi internasional. Hingga saat ini, karya ilmiah dosen UIN Maliki Malang masih tergolong minim, untuk tidak mengatakan hampir tidak ada. Perhatian dari pimpinan bidang akademik perlu menstresingkan kembali (memfokuskan) lebih tajam lagi untuk mendorong para dosen agar menulis, meneliti, dan mempublikasikan melalui jurnal-jurnal dan proseding-proseding internasional. Kehebatan dan kewibawaan dosen UIN Maliki Malang bukan saja ukurannya rajin mengajar di kampus, namun akan dinilai seberapa besar sumbangsih pemikiran melalui publikasi di media jurnal atau media lainnya yang bertaraf internasional.
Begitu juga halnya dengan jurnal terakreditasi nasional dan internasional yang harus dimiliki UIN Maliki Malang. Hingga awal tahun 2014, baru ada dua buah jurnal yang terakreditasi nasional (jurnal el-Harakah dan Jurnal Lingua), sementara jurnal terakreditasi internasional belum ada. Padahal, jurnal yang terbit di kampus ini, baik dikelola ditingkat universitas, fakultas, dan jurusan jumlahnya lebih dari 20 Jurnal. Media yang sangat strategis dan memiliki nilai sangat tinggi ini perlu mendapat sentuhan dan perhatian para pimpinan yang ada sebagai sarana publikasi karya ilmiah dosen.
            Untuk mendukung para dosen UIN Maliki Malang agar memiliki publikasi internasional, maka gerakan membaca, menulis, diskusi dan riset harus dihidupkan ulang, baik di dalam kampus dan luar kampus. Budaya yang serba formalitas, gugur kewajiban, serta memenuhi syarat aturan yang tidak sejalan dengan tradisi akademik itu, harus diubah dan dikembangkan sesuai dengan tujuan dan haluan WCU yang dicanangkan universitas. Banyak hasil riset para dosen UIN Maliki Malang yang belum terpublikasikan. Padahal, hasil temuan riset merupakan ”genuinisasi keilmuan” yang dihasilkan peneliti berdasarkan prosedur ilmiah yang sangat dipertanggungjawabkan, yang semestinya patut disebarluaskan melalui media-media nasional maupun internasional.
            Selain itu, upaya yang perlu pikirkan adalah pendanaan riset perlu ditingkatkan secara signifikan. Berdasarkan pengalaman beberapa kampus yang berpredikat WCU, bahwa anggaran riset yang disediakan minimal US$ 1300/ dosen per tahun. Melalui pendanaan yang cukup dan kompetitif, maka diharapkan para dosen UIN Maliki Malang mampu melahirkan tradisi riset yang benar-benar unggul dan pada akhirnya dapat ditransformasikan melalui publikasi media jurnal terakreditasi baik tingkat nasional maupun internasional.
Riset yang bermutu akan dijadikan sebagai pijakan pihak lain atau pengguna sebagai terobosan baru dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (sciences) dan teknologi terapan (melahirkan produk baru). Melalui hasil riset yang berkualitas dan bernilai tinggi itu kemudian dipatenkan pada lembaga hak paten dan akan menjadi nilai tambah dan keunggulan luar biasa yang dimiliki universitas. Ukuran universitas yang berkelas dunia, selain akan dilihat berapa banyak penelitian yang dihasilkan juga yang lebih penting lagi adalah akan dinilai seberapa tinggi dampak riset yang dihasilkannya bagi pengembangan peradaban dan kemajuan masyarakat.
            Sebagai ciri universitas berkelas dunia yaitu adanya manajemen pengembangan ICT (Information Communication Technology) yang handal untuk mendukung kegiatan-kegiatan akademik. Proses kegiatan pembelajaran dosen dan mahasiswa saat ini tidak luput dari pendayagunaan ICT yang telah disediakan universitas. ICT menjadi sarana akademik (academic atmosphere) yang sangat urgen guna menumbuhkan budaya belajar, budaya membaca, alat komunikasi serta menjadi alat yang memudahkan pencarian informasi, sumber belajar yang di akses oleh dosen, mahasiswa, maupun seluruh staff akademik. Melalui ketersediaan ICT yang modern dan handal, tentu akan menambah lingkungan akademik semakin nyaman, betah, dan enjoy yang dinikmati oleh seluruh warga kampus.
            Untuk mengembangkan manajemen ICT yang benar-benar unggul dan berkualitas tinggi, sistem yang dibangun selain sebagai alat untuk pemograman kartu rencana studi (KRS), pelayanan pendaftaran mahasiswa baru (MABA), pendaftaran wisuda, media lelang barang/jasa (barjas), dan sebagai sarana informasi seputar kampus, semestinya ICT harus memuat seluruh hasil temuan penelitian (riset) dan karya ilmiah lainnya, baik berupa artikel, jurnal, buku dosen dan mahasiswa yang dalam bentuk publikasi. ICT yang terintegrasi ke semua fakultas, lembaga dan unit yang sangat mudah diakses oleh para pengguna. Sebagai ukuran perguruan tinggi yang bertaraf WCU, kemudahan akses ICT yang perlu disediakan universitas sekurang-kurangnya harus 10/KB per mahasiswa dan dosen.
            Masih dalam mengukur tradisi akademik bertaraf internasional, bahwa total populasi mahasiswa yang aktif kuliah, 40 persennya adalah mahasiswa pascasarjana, program magister (S2) dan program doktor (S3). Selain itu, WCU juga mensyaratkan sekalipun tidak wajib, bahwa sebutan universitas berkelas dunia itu manakala jumlah mahasiswanya tidak kurang 20 persennya mahasiswa asing. Untuk syarat ini sepertinya UIN Maliki Malang tidak terlalu sulit, sebab mahasiswa pascasarjana terus mengalami peningkatan secara signifikan, hanya perlu penambahan prodi-prodi baru untuk program studi yang belum ada. Sementara itu, mahasiswa asing yang belajar di kampus ulul albab ini juga bertambah terus dan sekarang telah melewati angka lebih dari 25 negara dari berbagai belahan dunia.
            Hal lain yang menandai ukuran kampus berkelas WCU adalah suburnya penulisan buku. Tradisi akademik yang unggul akan selalu dilihat dari sisi kuantitas dan kualitas buku yang dihasilkan para dosen. Buku yang ditulis para dosen UIN Maliki Malang, bukan saja untuk bahan perkuliahan mahasiswanya sendiri, tetapi dapat digunakan secara umum oleh semua dosen dan mahasiswa di manapun mereka berada.
Buku yang ditulis dosen UIN Maliki Malang tersebut diperbincangkan, dikutip dan dijadikan acuan referensi orang lain. Untuk ukuran ini, UIN Maliki Malang agak bernafas lega, karena beberapa tahun terakhir secara kuantitas buku-buku karya dosen yang diterbitkan UIN-Maliki Press tidak kurang dari 60 judul buku per tahun. Untuk skala nasional, UIN Maliki Malang termasuk salah satu universitas yang paling subur dalam penulisan buku. Selain karya buku dosen yang terbit dalam kampus, juga tidak sedikit karya buku dosen diterbitkan oleh berbagai penerbit luar. Kreativitas dan produktivitas karya ilmiah berbentuk buku merupakan penanda kewibawaan akademik kampus amat sangat terjaga.
GAMBAR 3:
UKURAN TRADISI AKADEMIK BERTARAF WCU
 






           

Berdasarkan ukuran tradisi akademik yang bertaraf WCU di atas, maka semua pelaku yang ada dalam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang harus kerja keras, disiplin dan sesuai roadmap yang dikembangkan oleh universitas. Tidak pernah ada sejarah yang menunjukkan bahwa lembaga pendidikan sukses dan berhasil itu langsung dimulai dari skala yang tinggi, melainkan dimulai dari yang kecil, sederhana, dan urgen. Dan tradisi sukses yang pernah diukir UIN Maliki Malang selama ini nampaknya telah teruji oleh zaman.

C.      Membangun Mutu Kinerja (Integritas, Etika dan Kebersamaan)
Pola kinerja yang harus dibangun ke depan dalam rangka menuju World Class University (WCU) adalah perlunya integritas, etika dan kebersamaan yang dimiliki oleh semua aktor dan pelaku di UIN Maliki Malang. Dalam waktu yang relatif singkat, universitas ini berhasil membangun sistem, budaya dan organisasi perguruan tinggi yang kokoh. Nampaknya UIN Maliki Malang berhasil menerobos fenomena ini dan menghasilkan fakta baru bahwa kampus ini tidak hanya berkompetisi tingkat nasional tetapi merasuk tingkat dunia. Hal ini karena hadirnya integritas yang tinggi dari semua warga sivitas akademika.
UIN Maliki Malang akan menjadi pertama kalinya masuk peringkat WCU ditengah percaturan kompetisi perguruan tinggi Islam di Indonesia. Upaya ini sekaligus mematahkan dominasi dan kekuatan kampus lain di era persaingan yang super ketat ini untuk menggapai kemajuan dan keunggulan sebagai universitas terbaik di dunia. Nilai keyakinan dan kepercayaan harus diusung dan dijadikan spirit dalam menggalang prestasi dan aksi menuju WCU tersebut.
            Kunci sukses meraih impian WCU tersebut adalah terbentuknya integritas mental semua warga kampus, baik kepribadian yang tampak pada pola pikirnya, perilakunya maupun tindakannya. Integritas adalah kesungguh-sungguhan (sincerety) atau dalam bahasa Jepang disebut ”makoto”.  Menarik untuk kita kaitkan dengan filosofi Jepang, bahwa sikap ”makoto” merupakan sikap yang menjunjung tinggi kemurnian dalam batin dan motivasi. Nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam ”makoto” itulah yang menjadi kunci sukses Jepang menjadi ”negara nomor 1” di Asia.
 Sebagaimana suksesnya Jepang, integritas dari semua warga UIN Maliki Malang sangat diperlukan karena ingin mencetak ”kesuksesan baru” yang membutuhkan pikiran besar, jiwa yang luas, hati yang tulus, dan kesungguh-sungguhan yang luarbiasa. Sikap integritas secara otomatis menolak adanya tujuan yang semata-mata hanya berguna bagi dirinya sendiri, kelompok dan berjangka sesaat. Sikap integritas juga tidak menyukai cara berpikir dan berbuat yang semata-mata bersifat pragmatis. Melainkan sikap integritas ialah sesuatu tindakan yang diperbuat oleh seseorang dengan penuh kejujuran dan kesungguh-sungguhan untuk memberikan pelayanan yang terbaik.
Bagi orang yang memiliki integritas, dirinya akan tahan uji dan tahan cobaan. Integritas bukanlah ciri orang yang suka mengeluh, menuntut dan bahkan melemahkan cita-cita yang sedang dibangun dan direncanakan oleh lembaga. Untuk memajukan UIN Maliki Malang ke depan, kita membutuhkan sosok yang berani, jujur, tanggungjawab dan pantang menyerah. Universitas ini harus dihuni sosok/figur pegawai yang berjiwa besar, pemikir sekaligus pekerja.
            Jika kita maknai dari perspektif sosio-teologis, sikap kesungguh-sungguhan (integritas) merupakan buah dari ”keimanan” seseorang dalam menjalankan ajaran agama. Islam mengenalkan doktrin tentang ”mujahadah”, yang artinya adalah kesungguh-sungguhan. Sikap seperti ini ialah kesempunaan hidup. Oleh karena itu, profesi apapun adalah penting. Jadi, tidak hanya rektor, para wakil rektor, dekan dan wakil dekan itu penting, tetapi juga pekerjaan tukang sapu, satpam dan seterusnya adalah penting. Semua pelaku (pegawai) menjadi penting, demikian halnya semua pekerjaan sama pentingnya, sehingga yang menjadi ukuran bagi seseorang bukanlah pekerjaan apa yang dilakukan, tetapi bagaimana ia melakukan pekerjaan itu. Apakah ia dengan kesungguh-sungguhan atau tidak melakukan pekerjaannya tersebut.
            Dalam sebuah mahfudhat (ungkapan) disebutkan bahwa ”man jadda wajada” (barangsiapa bersungguh-sungguh, maka ia akan sukses) adalah tepat untuk menggambarkan sikap integritas yang kita maksud. UIN Maliki Malang tidak membutuhkan sikap yang setengah-setengah, apalagi sikap antagonistik, melainkan yang diperlukan adalah totalitas dan loyalitas. Untuk mendorong kemajuan kampus harus dibangun di atas pondasi niat, kemauan kerja keras dan kesungguh-sungguhan yang mendalam. Dari beberapa uraian paragraf di atas, dapat kita rangkum dengan satu kata yang indah, ialah integritas.
            Sementara itu, perjalanan UIN Maliki Malang ke depan selain bermodalkan integritas, juga berbekalkan etika (akhlak) yang tinggi. Secara semantik, antara integritas dan etika memang sulit dipisahkan. Integritas berbuah etos (semangat/motivasi), sementara etika berbuah etik (tampilan/ perilaku). Sebagai universitas berkelas dunia, kita akan diikat oleh nilai-nilai etika universal yang berlaku dalam pergaulan lokal, regional maupun global.
            Dalam arus globalisasi sekarang ini etika tingkat tinggi (high moral dan high dignity) harus menjadi acuan semua orang dalam menjalankan pekerjaannya, terutama etika akademik (moral academic). Seorang pendidik (dosen) misalnya, harus bertindak secara objektif, ilmiah, serta sesuai norma-norma etik dalam kegiatan keilmuan. Tidak sedikit para dosen dibeberapa kampus lain terjerumus plagiasi (penjiplakan) karya orang lain, yang merupakan pelanggaran berat etika akademik. Sikap kejujuran dan keobjektifan harus dijaga dan dijunjung tinggi oleh semua dosen.
            Sikap ilmiah harus dibarengi dengan etika yang baik. Sebab tidak sedikit para ilmuan, termasuk pendidik/dosen, melakukan riset-riset pengembangan kebijakan yang terkadang hasilnya bertentangan dengan kebenaran objektif, hanya karena ada titipan pesan sponsor tertentu. Kebenaran ilmiah harus ditopang dengan etika yang kuat. Dalam level internasional, etika harus menjunjung kejujuran dan kebenaran secara universal, bukan mementingkan kepentingan lembaga tertentu, apalagi perseorangan. Etika akademik adalah ”martabat universitas” dalam upaya menyambung dan menyumbangkan nilai kontribusi positif bagi pembangunan masyarakat, bangsa dan dunia.
            Dalam proses pembelajaran misalnya, apakah seorang dosen mampu menjunjung tinggi kejujuran dibidang keilmuan yang ditekuninya. Seorang dosen tidak boleh melakukan illegal teaching atau illegal learning, melalui cara duplikasi dan replikasi ilmu yang diperoleh dengan cara tidak jujur dan tidak objektif. Etika menjadikan patokan bersama, supaya kita berhati-hati dalam menjalankan tugas dan pekerjaan. Universitas-universitas besar di dunia, selalu menumpahkan perhatiannya agar semua pegawai memiliki etika yang baik, dan dijadikan sebagai pijakan sebelum berbuat dan bertindak.
            Begitu pentingnya etika (akhlak), UIN Maliki Malang menjadikan pilar tersebut sebagai salah satu pilar utama yang dikembangkan dan menjadi tujuan bersama, selain pilar kedalaman spiritual, keluasan ilmu dan kematangan profesional.  Etika yang dibangun oleh UIN Maliki Malang adalah kepribadian yang utuh, kepribadian yang digali dari nilai-nilai keyakinan dan kitab suci (al-Qur’an dan Hadis). Melalui etika yang tinggi, diharapkan semua penghuni universitas (dosen, karyawan dan mahasiswa) dapat menampilkan dirinya sebagai sosok yang berperilaku dan bertindak alim, arif dan bijaksana.
Adapun yang tidak kalah penting dalam mengembangkan UIN Maliki Malang menuju WCU adalah membangun sikap kebersamaan. Kata ”kebersamaan” berasal dari kata sama, yaitu menunjuk sebuah arti keterpaduan, kesepahaman dan kesaudaraan dari setiap diri yang berbeda-beda untuk mencapai sebuah tujuan dan cita-cita bersama. Kebersamaan adalah kunci kesuksesan dalam memajukan UIN Maliki Malang selama ini, tidak terkecuali juga untuk meraih reputasi skala internasional.
            Sikap kebersamaan merupakan energi yang dibutuhkan dalam mengembangkan sistem organisasi dan tatakelola UIN Maliki Malang yang akan kita bangun secara profesional. Sikap kebersamaan membuat lingkungan kerja menjadi nyaman dan saling percaya. Posisi satu dengan posisi lainnya saling melengkapi dan menopang kinerja masing-masing. Kebersamaan membuat seseorang bekerja tanpa rasa curiga, prasangka dan beban.
            Sistem kinerja yang perlu kita bangun dalam mengembangkan UIN Maliki Malang menuju WCU ialah menempatkan dan menghargai orang sesuai dengan tingkat kemampuan dan dedikasinya, bukan berdasarkan kesukaan dan sektarianisme. Melalui sikap kebersamaan itu, kita dapat melepaskan diri dari ego sektoral dan komunal masing-masing. Kebersamaan senantiasa berpikir untuk membahagiakan orang lain, bukan untuk mengintimidasi dan mendiskriminasi orang lain.
            Ciri kebersamaan ialah kita merasa bahagia manakala kita membuat orang lain sukses atau bahagia. Membahagiakan orang lain merupakan ruh terpenting dalam semua agama. Bahkan, dalam Islam karakter ini sebagai salah satu ciri utama keimanan. Seperti dalam hadis dijelaskan; ”Tidak beriman seorang di antara kalian hingga ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Baihaqi).
            Sebagai ciri universitas berkelas dunia, kebersamaan akan sangat menentukan, bahkan sebagai kekuatan (power). Kita harus terbuka dan menerima pendapat lintas batas dari mana saja sumbernya asalkan mengandung kebenaran dan manfaat, tanpa harus melihat tentang siapa asal muasal sumbernya, sekalipun itu penting. Sebagai kode etik universal, ada sebuah pepatah yang menyatakan sebagai berikut: (a) kita harus memperlakukan orang lain sesuai dengan bagaimana orang lain untuk memperlakukan diri kita; (b) perlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan; (c) kita seharusnya tidak memperlakukan orang lain dengan cara yang tidak ingin kita diperlakukan seperti itu; dan (d) jangan memperlakukan orang lain, dengan cara kita tidak ingin diperlakukan.
            Kebersamaan memerlukan hati mulia dan jiwa besar. Orang yang berjiwa besar dan mulia disebut sebagai the great people. Yaitu manusia pilihan yang bersedia berjuang dan berkorban untuk kepentingan bersama, berjuang demi kebahagiaan dan kesuksesan bersama, mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan diri sendiri, memberikan energi positif dan manfaat di manapun ditempatkan, serta sebagai perjalanan diri yang teguh dan konsisten. UIN Maliki Malang harus menjadi tenda besar untuk melahirkan manusia besar (great people), serta menjadi miniatur peradaban Islam terkemuka di dunia.
            Sesuai dengan slogan UIN Maliki Malang, kebersamaan terbangun atas kesatuan hati, spirit, visi dan tim kerja. Jargon tersebut maknanya sangat mulia dan sangat dalam. Kebersamaan yang dibangun atas kerendahan hati (egaliter), tidak ambisius, memiliki integritas akan membuahkan energi positif bagi semua warga dan seluruh sivitas akademika. Sikap kebersamaan adalah sikap utama yang harus diteladankan UIN Maliki Malang kepada semua pihak, khususnya bagi perguruan tinggi Islam di tanah air. Tidak sedikit kampus Islam sulit berkembang dan maju, karena dilanda konflik di dalam kampus itu sendiri.

GAMBAR 4:
MUTU KINERJA UIN MALIKI MALANG MENUJU WCU










Melalui ilustrasi gambar di atas, maka pola kinerja para pegawai UIN Maliki Malang harus berlandaskan pada nilai-nilai pokok utama, yaitu integritas, etika dan kebersamaan. Tiga kekuatan tersebut diharapkan mampu mengawal dan melapangkan proses universitas yang baru saja meraih akreditasi institusi ”A” dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) ini menuju world class university. Pemahaman dan penghayatan nilai-nilai ketiga hal pokok dimaksud diangankan mampu menginspirasi dan menggugah seluruh warga kampus agar terus menjalankan tanggungjawab dan dedikasi (perjuangan dan pengorbanan) yang tinggi dengan penuh kelapangan hati dan kesadaran jiwa.
             
D.     Kontribusi dan Layanan (contribution and service)
Peran global perguruan tinggi Islam, salah satunya UIN Maliki Malang, dalam merespon tuntutan modernisasi masyarakat sangat dinanti dan dibutuhkan oleh semua orang. Gagasan WCU sebenarnya lebih pada memberikan perhatian ”nilai kontribusi” sesuatu yang nyata untuk kebaikan demi kelangsungan kehidupan manusia di dunia yang lebih baik.
            Pemikiran pokok mengenai reputasi universitas berkelas WCU, sebetulnya bukanlah sekadar sebagai “gagah-gagahan”, atau “mewah-mewahan” melainkan berbicara sumbangsih peradaban nyata bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, kampus yang menyandang WCU adalah kampus yang mapan, baik secara kelembagaan maupun secara pendanaan untuk pengelolaan universitasnya.
            Kontribusi nyata (riil) adalah ukuran universitas berkelas dunia. Sebagai ilustrasi misalnya, universitas Harvard University, Oxford University, dan Cambridge University, sesungguhnya kampus tersebut berdiri tidak dirancang untuk menjadi WCU, tetapi dengan sendirinya sebagai universitas besar (WCU), karena nilai kontribusinya luar biasa. UIN Maliki Malang akan menyusul daftar urutan berikutnya dengan catatan harus memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan pusat peradaban negeri dan dunia.
Untuk menjadi universitas yang memiliki kontribusi nyata bagi pengembangan ilmu, teknologi dan seni harus dimulai dari membangun mindset para dosen dan seluruh aktor lainnya. Nilai kontribusi dapat dilihat dari jumlah dan bobot riset (penelitian) yang dihasilkan, kualitas buku yang diterbitkan, jurnal-jurnal yang bermutu, bentuk-bentuk binaan sosial (pengabdian masyarakat) yang diberikan univeritas kepada masyarakat.
            Inovasi dan kreasi yang dilakukan oleh para dosen, baik berupa pikiran, temuan penelitian serta terapan bidang ilmu tertentu kepada masyarakat merupakan kontribusi nyata. UIN Maliki Malang mengabdi untuk kemajuan bangsa dan dunia, melalui sumbangsih gagasan, ide-ide fantastis serta aksi nyata yang dirasakan bagi masyarakat luas.
            Selain tuntutan peran dan kontribusi universitas bagi kemajuan peradaban manusia, hal lain yang tidak kalah penting untuk dipersiapkan menuju world class university ialah pelayanan (service). Pelayanan prima (excellent service) adalah ukuran yang menggambarkan keseluruhan jiwa (ruh) bahwa universitas itu pertanda baik. Sistem pelayanan di lembaga resmi, seperti universitas misalnya, memang berbeda dengan sebuah perusahaan, sebab universitas lebih kompleks dan luas cakupannya. Walapun begitu, bukanlah sesuatu yang tepat untuk kita jadikan sebagai alibi (alasan) untuk berkelit dan menghindar dari upaya memberikan nilai excellent service kepada semua pelanggan, yaitu mahasiswa, mitra kerjasama, tamu pengunjung (visitor), stakeholders, hingga orang tua atau wali mahasiswa.
            Dalam era modern seperti sekarang ini, service memainkan peran yang sangat penting. Melalui service yang tepat kepada mereka, tentu akan membuat mereka menjadi “pelanggan” yang loyal dan yakin. Bahkan tak jarang berkat service (layanan) yang baik dan berkualitas, mereka menjadi “pembela institusi” kita, semisal membantu proses promosi dan memberikan citra positif kepada siapa saja.
            Untuk menggapai impian menuju WCU, UIN Maliki Malang harus belajar dan mengambil impirasi dari sistem “perusahan besar” dunia yang mapan dan berkelas, misalnya perusahan maskapai penerbangan, perusahan otomotif, perusahan telekomunikasi, dan sebagainya. Dari sistem pelayanan yang diberikan oleh macam-macam perusahan tersebut banyak hal yang dapat kita tiru sebagai inspirasi baru untuk kita dikembangkan dalam pelayanan di universitas.
            Sebagai upaya melihat kembali posisi UIN Maliki Malang menuju tangga universitas berkelas WCU, service merupakan solusi sekaligus kebutuhan  mendasar yang sulit diabaikan. Apakah standar akademik (academic standard) yang kita rancang dan terapkan itu sudah sesuai dengan kebutuhan dan selaras dengan zaman? Layanan bukan hanya sekadar memberikan dengan cara terbaik, namun lebih dari itu adalah menawarkan solusi untuk membantu mengurangi permasalahan yang dihadapi oleh manusia.
            Service merupakan nilai tambah. Sebuah nilai yang terus menerus diberikan kepada pelanggan tanpa kita pikirkan kapan dampaknya akan kembali pada lembaga. Dengan memberikan pelayanan memuaskan kepada seluruh sivitas akademika, tamu pengunjung serta mitra kerjasama, otomatis universitas akan menciptakan positioning yang kuat dibenak mereka sebagai tempat tujuan yang menyenangkan dan memuaskan.
            Perjalanan selama sepuluh tahun menyandang status UIN Maliki Malang, sangatlah penting sebagai pengalaman/pelajaran berharga untuk menentukan bentuk pelayanan yang benar-benar bernilai tinggi. UIN Maliki Malang dikenal sebagai kampus yang “sering tak terduga” dalam memberikan layanan. Jadi, ketika orang berkunjung ke UIN Maliki Malang, yang sekiranya mempersepsi biasa-biasa saja, ternyata di luar “dugaan” mereka, bahwa layanan yang kita berikan jauh lebih baik dari yang mereka impikan sebelumnya. Layanan semacam itu menciptakan sebuah pengalaman (experience) yang tak terlupakan kepada orang lain, dan menjadi nilai tambah berupa emotional benefit (manfaat emosional) dan functional benefit (manfaat fungsional). Itulah sebabnya, mengapa beberapa tamu pengunjung, merasa “ketagihan” untuk datang kembali ke kampus hingga berulang-ulang kali, karena bentuk layanan yang mengesankan.
            Sejalan dengan nilai-nilai yang dikembangkan UIN Maliki Malang, bahwa melayani harus melibatkan hati. Pelayanan dengan menggunakan hati akan berdampak pada kualitas layanan. Kita bekerja bukan sekadar menjalankan tugas dan kewajiban sebagai pegawai, melainkan lebih dari itu ialah kerja merupakan panggilan hati, panggilan jiwa dan panggilan hidup. Layanan berstandar tinggi akan menjadi kharisma tersendiri, yang memperlakukan mereka sangat dihormati, dihargai dan “di-orangkan”. Upaya seperti inilah cara-cara “berinvestasi” berjangka panjang. Sekaligus menjadi “kekuatan siluman” yang bakal medorong kemajuan universitas ke depan.
            Secara umum, tolak ukur WCU adalah menekankan pentingnya excellent secara totalitas yang terjadi dalam kehidupan perguruan tinggi, khususnya dalam hal riset dan teaching. Dalam hal teaching misalnya, seorang tenaga pendidik (dosen) harus memberikan layanan yang berkualitas kepada mahasiswa. Perkuliahan yang menyenangkan, ramah, empati, dan materi yang sampaikan berbobot dan mudah dipahami oleh para mahasiswa. Sehingga, para mahasiswa begitu terkesan, dan apabila mereka tidak masuk, dirinya akan merasa menyesal dan merugi, sebab tidak dapat mengikuti perkuliahan.
            Universitas sebagai lembaga yang bergerak di bidang jasa (pendidikan), maka sesuatu yang patut kita jaga dalam memberikan layanan antara lain; (a) reliability, yakni kita harus memenuhi semua janji atau harapan yang pernah kita tawarkan kepada orang lain, (b) responsiveness, yaitu kemampuan untuk menyikapi adanya tuntutan perubahan dan perkembangan, seperti perubahan kurikulum, perubahan sosial dan budaya, kebijakan pemerintah, kebutuhan pasar atau permintaan stakeholders, serta lainnya. (c) emphaty, ialah upaya memahami orang lain secara mendalam dan memperlakukannya secara baik. Layanan bersifat empati pada ujungnya adalah “tabungan” yang  berbuah “credit-point” (membuat orang lain puas) ataukah “debit-point” (membuat orang lain kecewa). (d) tangible, menjaga penampilan fisik secara elegan, menarik, dan mengesankan orang. Orang akan mudah menilai dari performa luar terlebih dahulu, kemudian akan merasakan performa dari dalam (intangible). Tampilan fisik kampus sangat mudah dipersepsi orang lain, dengan cara menafsirkan keseluruhan sistem yang ada di dalamnya. Misalnya, soal kebersihan, keindahan lingkungan, menyediakan eco green (lingkungan yang hijau), keramahan para penghuninya, dan seterusnya.





GAMBAR 5:
NILAI-NILAI EXCELLENT SERVICE YANG HARUS DIKEMBANGKAN


Organization Chart
 




           
            Berdasarkan gambar di atas, makna service (layanan) bukan sebatas layanan biasa, melainkan bagaimana kita dapat bertindak sesuai dengan janji yang kita tawarkan (visi, misi dan tujuan), bergerak cepat dan tepat dalam merespon perubahan dan pekembangan zaman, menciptakan memorable experience pada semua orang, sehingga mereka ketagihan dan kecanduan untuk datang kembali, serta menjaga performa lahir (tangible) sekaligus batin (intangible) secara konsisten, arif, bijak, secara terus menerus.
           
E.      Penutup
Dari uraian di atas dapat kita tegaskan bahwa membangun pendidikan tinggi Islam bereputasi dunia memerlukan aksi nyata melalui langkah-langkah strategik, sistemik dan holistik dari semua pelaku dan aktor dalam institusi UIN Maliki Malang.  Melalui tulisan ini, ada empat hal yang dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
Pertama, sebagai ruh (jiwa) dan jati diri UIN Maliki Malang, paling tidak untuk memasuki pintu WCU, terdapat tiga modal utama, adalah (a) modal intelektual, yaitu bertambahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualifikasi tinggi, (b) modal sosial, melalui mitra kerjasama, kepercayaan baik dari lembaga maupun personal; dan (c) modal historis, adanya spirit, semangat, motivasi yang kuat untuk menentukan perubahan dan kemajuan universitas dari para aktor dan pelaku.
Kedua, tradisi akademik bertaraf internasional meliputi beberapa syarat, antara lain: (a) Dosen yang dimiliki perguruan tinggi minimal 40 persen bergelar doktor; (b) Kuantitas dan kualitas publikasi internasional karya ilmiah dosen; (c) pendanaan yang cukup untuk pengembangan riset-riset unggul dan  berkualitas bagi dosen, sekurang-kurangnya US$ 1300/dosen per tahun; (d) adanya dukungan manajemen pengembangan ICT (information communication technology) yang modern, minimal 10 KB/ mahasiswa; (e) proporsi mahasiswa pascasarjana sekurangnya 40 persen dari populasi mahasiswa; (f) mahasiswa asing (manca negara) yang kuliah di universitas itu tidak kurang dari 20 persen; dan (g) tumbuhnya budaya menulis karya ilmiah bagi dosen melalui publikasi buku (paperless) maupun e-book (electronic book) yang dapat dijadikan sebagai rujukan bagi semua kalangan.
            Ketiga, langkah nyata UIN Maliki Malang menuju WCU memerlukan pola kinerja yang unggul yaitu: (a) pentingnya integritas bagi seluruh pegawai, ialah kesungguh-sungguhan, kejujuran, semangat/motivasi tinggi, dan kerja keras; (b) adanya etika yang menjadi acuan bersama agar dapat  berperilaku luhur, objektif, ilmiah, profesional serta dapat menjaga nama baik pribadi maupun lembaga; (c) adanya sikap kebersamaan dan kerja kolektif yang secara massif untuk berbuat yang seoptimal mungkin.
Keempat, dampak atau efek dari cita-cita UIN Maliki Malang ingin menggapai WCU harus memperbesar porsi dua hal pokok, yakni: (a) peran dan kontribusi, melalui temuan-temuan riset ilmiah, memperbanyak penulisan karya ilmiah di jurnal nasional dan internasional, serta sumbangsih pengabdian nyata untuk memajukan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik, dan (b) memberikan excellent service (layanan prima) kepada semua pelanggan, meliputi mahasiswa, mitra kerjasama, tamu pengunjung (visitor), stakeholders, wali mahasiswa maupun masyarakat sekitar.
*) Mujtahid, Dosen Tetap Jurusan PAI-FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang