Minggu, 31 Januari 2010

Menggali Keunggulan KTSP

Mujtahid*
PERUBAHAN kurikulum sering dilakukan oleh pemerintah. Tujuannya untuk meningkatkan mutu/kualitas pendidikan nasional. Sejak tahun 2006 lalu, KTSP (kurikulum Tingkat Satuan pendidikan) merupakan kurikulum resmi yang harus diimplementasikan para pendidik di sekolah/madrasah. Dengan munculnya kebijakan kurikulum baru tersebut berarti para praktisi dan pengembang pendidikan harus di update kembali agar mereka menyesuaikan diri dengan kebijakan mutakhir tersebut.
Di tengah penerapan kurikulum baru tersebut, kini masih terjadi diskusi dan kajian bagi para praktisi dan konseptor pendidikan. Mereka masih disibukkan membicarakan tentang seluk-beluk KTSP. Model kurikulum ini akan memberi ruang kepada sekolah untuk mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya agar implementasi kurikulum dan sasaran pembelajarannya sesuai kebutuhan masyarakat dan stakeholders.
Sebagai sebuah produk kebijakan, KTSP memang butuh sosialisasi yang efektif kepada semua lembaga pendidikan. Hal ini karena KTSP dipahami sebagai implementasi Undang-undang Nomor 20 tentang sistem pendidikan nasional yang dijabarkan dalam sejumlah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Prinsip-prinsip Implementasi KTSP
Implementasi KTSP akan didasarkan tujuh prinsip. Pertama, didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk mengusai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini, peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis, dan menyenangkan.
Kedua, kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yakni belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Belajar untuk memahami dan menghayati, Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, Belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, Belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Ketiga, Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapatkan pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi siswa yang berdimensi ketuhanan, individu, sosial, dan moral.
Keempat, Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan tut-wuri handayani, ing-madya mangun karsa, ing ngarsa sung-tulada (di belakang memberikan daya kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberi contoh dan teladan).
Kelima, kurikulum diterapkan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar dengan prinsip alam jadi guru. Artinya semua yang tegelar dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan.
Keenam, kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
Ketujuh, kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan.
Bersadarkan prinsip-prinsip tersebut, KTSP dikonsep sesuai jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memperhatikan tujuan pendidikan nasional. Yaitu meningkatkan iman dan taqwa, akhlak mulia, potensi, kecerdasan minat dan bakat peserta didik, keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan iptek dan seni, agama, dinamika perkembangan global, persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Implementasi KTSP diharapkan memberi otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan, disertai seperangkat tanggungjawab untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi setempat. Sekolah dan satuan pendidikan juga diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk mengembangkan pembelajaran peserta didik serta tuntutan masyarakat.
KTSP mendorong terwujudnya kepemimpinan yang demokratis dan profesional. Kepala sekolah dan tenaga pelaksana kurikulum merupakan pelaku yang memiliki kemampuan dan integritas profesional yang harus ditunjang dengan tim-kerja (team-work) yang kompak dan transparan, melibatkan komite sekolah dan dewan pendidikan, serta dukungan partisipasi masyarakat dan orang tua.
Dengan melibatkan pihak tersebut di atas dalam pengembangan kurikulum, diharapkan mampu membangkitkan gairah dan rasa memiliki (sense of belonging) yang lebih tinggi, dan rasa tanggungjawab (sense of responbility) yang lebih besar terhadap kurikulum, serta ikut memikirkan kualitas pendidikan (quality of education).
Langkah mendesak yang perlu segera dipersiapkan yaitu bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga pendidik, dan penyediaan sistem evaluasi serta informasi yang valid.

Keunggulan KTSP
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, mengamanatkan bahwa setiap sekolah atau madrasah harus mengambangkan KTSP berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) dan berpedoman kepada panduan yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
KTSP membuka peluang agar dikembangkan sesuai dengan potensi sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan karakteristik peserta didik. Tujuan KTSP yaitu untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.
Berkaitan dengan standar nasional pendidikan, pemerintah telah menetapkan delapan aspek pendidikan yang harus distandarkan, dan yang sudah rampung baru dua standar yaitu standar isi dan standar kompetensi lulusan (SKL). Standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah telah disahkan menteri dengan peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006. Sedangkan SKL di sahkan Mendiknas No. 23 Tahun 2006. Mendiknas juga telah mengeluarkan peraturan No. 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Permen No. 22 dan 23 Tahun 2006 tersebut.
KTSP disusun sesuai jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan memperhatikan tujuan pendidikan nasional. Yaitu meningkatkan iman dan taqwa, akhlak mulia, potensi, kecerdasan minat dan bakat peserta didik, keragaman potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan iptek dan seni, agama, dinamika perkembangan global, persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Dalam permendiknas No. 24 dikatakan bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari yang telah ditetapkan, dengan memperhatikan panduan penyusunan KTSP pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan.
Implementasi KTSP diharapkan memberi otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan, disertai seperangkat tanggungjawab untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi setempat. Sekolah dan satuan pendidikan juga diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk mengembangkan pembelajaran peserta didik serta tuntutan masyarakat.
KTSP juga menuntut adanya kepemimpinan yang demokratis dan profesional. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai tenaga pelaksanan kurikulum merupakan pelaku yang memiliki kemampuan dan integritas profesional. Selain itu, demi kesuksesan penerapan KTSP butuh tim-kerja (team-work) yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat; seperti komite sekolah dan dewan pendidikan, serta dukungan partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi.
Keterlibatan pihak-pihak tersebut dalam pengembangan kurikulum, berdasarkan self determination theory, dapat membangkitkan gairah dan rasa memiliki yang lebih tinggi, serta tanggungjawab yang lebih besar terhadap kurikulum, yang diharapkan dapat mendongkrak kualitas pendidikan.
Dengan tatanan konsep inilah memberi otonomi sekolah untuk memiliki “full authority and responsibility” dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai visi, misi, dan tujuannya. Namun, yang masih jadi pertanyaan adalah apakah semua sekolah mampu mewujudkan impian tersebut di atas? Jawabannya tentu saja kembali kepada kesiapan dan kemampuan sekolah untuk menangkap arah perubahan kurikulum tersebut.
Upaya yang harus dipersiapkan yaitu bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga pendidik, dan penyediaan sistem evaluasi serta informasi yang valid.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Sabtu, 30 Januari 2010

Manfaat Pendidikan Seks Bagi Remaja

Oleh Mujtahid *
REMAJA adalah segudang potensi dan sekaligus segudang problem. Jika potensi mereka dikembangkan secara optimal, mereka bisa berhasil menjadi apa saja. Sebaliknya, jika potensinya dibiarkan tanpa arah, maka mereka dapat terjebak dalam pelbagai jenis kenakalan, seperti seks bebas (free sex), kecanduan obat-obatan, kriminalitas dan lain-lain.
Dunia remaja diidentikkan dengan problem. Bukan remaja kalau bukan punya problem, begitulah kira-kira ungkapan yang tepat. Akibatnya, kini banyak orangtua yang bingung menghadapi anaknya ketika memasuki usia remaja. Bahkan, kadangkala orangtua ikut larut stress lantaran anaknya yang sedang menghadapi usia-usia transisi (remaja).
Di Amerika Serikat, pernah dilakukan sebuah penelitian. Hasil dari penelitian itu merekomendasikan bahwa kaula muda (remaja) adalah tempat berseminya sebuah problem. Bev Cobain misalnya, seperti yang terungkap dalam bukunya “When Nothing Matters Anymore: a Survival Guide for Depressed Teens” menyatakan, ada sekitar 18 juta penduduk Amerika mengalami problem depresi. Dua puluh persennya adalah siswa SMA (remaja), yang rata-rata punya masalah psikiatris. Remaja yang terus menerus sedih, marah, kalut, salah paham, atau memberontak, kemungkinan besar adalah mengalami problem.
Secara organisme, usia remaja adalah proses perkembangan menuju kematangan biologis maupun psikis. Banyak gejolak yang dirasakan kaum remaja disaat memasuki jenjang usia seperti ini. Semua orang pasti mengalaminya, walaupun kadar pengalaman itu berbeda-beda.
Menjadi remaja harus berani menerima perubahan-perubanan fisik dan psikis. Hal ini jika tidak ada pengetahuan dan pemahaman yang jelas tentang perubahan struktur tubuh maupun pola pikir kaum remaja, maka akibatnya sering timbul penyalahgunaan karena memang ketidaktahuannya.
Sementara itu, tugas orangtua memberi pendidikan seks bagi anaknya sering dipandang masih “malu”. Padahal, tugas ini sangat penting demi “keselamatan” masa depan anak-anaknya. Kini sudah banyak orang tua kehilangan “keperawanan” atau “keperjakaan” anaknya karena penyelewengan dorongan seks yang kurang tepat itu.
Selain orangtua harus selalu memonitoring anaknya, pendidikan seks secara Islami juga seharusnya ditanamkan sejak dini. Inilah sebabnya orangtua harus “mengerti” tentang perkembangan psikologis remaja. Persoalan ini kini menjadi tantangan terbesar bagi orangtua ketika memiliki anak menginjak remaja.
Menurut Islam, seks bukanlah ciptaan setan. Seks juga buka sesuatu yang kotor, jahat, atau pun yang harus dihindari, apapun bentuknya. Seks adalah karunia dan rahmat dari Tuhan dan merupakan gambaran dan kenikmatan surgawi yang akan tiba.
Sek adalah aspek yang sangat penting dari perilaku manusia. Semua manusia memiliki tiga aspek sisi kepribadian, yaitu agama, intelektual dan fisik, serta memiliki gairah untuk memuaskan ketiganya. Islam menganjurkan bahwa ketiga aspek tersebut harus dipenuhi dengan cara yang suci dan sehat, tanpa berlebihan, tanpa tekanan, dan tanpa penderitaan, sesuai dengan perintah Kitab Suci.
Setiap muslim percaya bahwa hubungan seksual adalah suci dan tidak bertentangan dengan ketuhanan, spiritualitas, atau keimanan. Karenanya, sek pun harus disalurkan sesuai dengan jalan yang benar serta harus ditahan dan dikekang jika tidak sesuai dengan jalur yang sah.
Kenikmatan seks tidak boleh mengabaikan aspek-apek moralitas. Sikap permisif dalam seks hanya mengakibatkan rusaknya masyarakat, kebihingan, penipuan, terjadinya pemerkosaan, pembuhuhan dan lain-lain. Itulah pentingnya kita sebagai orangtua ata pun remaja memahami pendidikan seks.
Perlunya pendidikan seks secara Islami dimaksudkan agar anak remaja dapat mengerti tentang seks yang benar dan sesuai dengan landasan atau dasar agama. Tanpa ada landasan agama sebenarnya bisa, tetapi seringkali itu tetap saja dilanggar karena tidak takut terhadap hukumn (punishment) yang bakal diterima di hari akhir kelak.
Padahal Islam sangat memperhatikan penyaluran hasrat seksual sesuai aturan dan etika yang benar. Karena itu, Islam melalui syari’atnya mengajarkan pernikahan sebagai pintu yang menyucikan hubungan seksual. Islam juga mengingatkan para remaja agar menjauhi khalwat (berduaan dengan wanita atau laki-laki bukan muhrimnya).
Untuk mengatasi problema seks dikalngan remaja memang membutuhkan kesabaran, pengalaman, dan kondisi yang tepat. Sebagai orangtua misalnya, harus mengerti kapan ia harus berlaku lunak dan lemah lembut, juga kapan ia harus bersikap tegas dan didisiplin. Tidak bisa orangtua hanya bersikap kasar terus-terusan, atau sebaliknya. Pendek kata, orangtua harus sering-sering menjalin komunikasi secara dialogis. Proses dialogis yang santun dengan sentuhan agama akan menambah harmonisasi antara orangtua dan remaja.
Keberhasilan anak sangat tergantung kepiawiaan orangtua. Penulis mengajak kepada Anda berbagai pengetahuan tentang dunia remaja, khususnya menangani problem seksiologis pada remaja. Setidaknya, ia merekomendasikan beberapa kiat mengatasi problem dunia remaja. Yakni pertama, cara mengembangkan potensi remaja dan mengarahkannya menjadi lebih optimal. Kedua, cara mengajarkan kedisiplinan, kemandirian, dan tanggungjawab. Ketiga, cara menanamkan nilai-nilai akhlak al-karimah pada diri remaja. Keempat, metode membangun komunikasi yang efektif bersama remaja, dan Kelima, mengajarkan pendidikan seks yang benar dan Islami kepada remaja.
Menghadapi anak masa remaja memang dibutuhkan sikap yang elastis. Artinya, orangtua yang bijak tentu akan mengambil sikap ygberimbang. Ada saatnya ia berperan layaknya sahabat tempat berbagi perasaan dan gagasan. Ada kalanya ia berlaku sebagai guru yang memandu dan membimbing. Ada saatnya menerapkan disiplin yang tegas. Ada kalanya ia memberi kebebasan yang lapang kepada anak-anak remajanya. Hal ini tentu merupakan sebuah tugas yang menuntut pemahaman yang memadahi dan hati yang tulus.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Agama dan Problematika Global

Mujtahid *
MEMASUKI era millenium ketiga, penghuni penduduk dunia kini telah mencapai enam milyar. Suatu pertumbuhan populasi yang sangat pesat dan ironisnya justru bumi ini sedang dilanda krisis ekosistem dan energi yang mengancam kelangsungan hidup manusia.
Krisis besar yang terjadi saat ini memerlukan energi besar pula untuk menghadapinya. Problem ini tidak cukup hanya diatasi para ilmuan saja, melainkan harus melibatkan para teolog untuk bersama-sama mengerim lajunya krisis ekologi, gaya hidup dan konsumsi yang berlebihan serta melonjaknnya angka pertumbuhan penduduk yang tak terkendali.
Konsumsi berlebihan dan pertambahan penduduk yang tidak terkendali adalah dua faktor utama yang membebani daya-dukung bumi secara berlebihan. Persoalan global ini kini tengah dirasakan oleh semua negara, baik itu negara maju maupun negara taraf berkembang.
Problem empiris yang terasa saat ini, yaitu terjadinya penurunan cadangan air, pengrusakan hutan, kepunahan ribuan spesies setiap tahunnya serta berbagai pencemaran akibat limbah industri. Hal serupa juga terjadi pada pola konsumsi dan gaya hidup manusia yang mendorong munculnya teknologi yang tidak ramah lingkungan. Teknologi modern yang dikembangkan untuk mendukung produksi konsumsi yang berlebihan sehingga menghasilkan bahaya ekosistem yang sangat besar terhadap ozon dan iklim yang tidak menentu.
Dalam konferensi dunia tahun 1995 di Weston yang melibatkan lebih dari 250 ilmuan dan pakar agama-agama, pernah membahas tentang pentingnya mengatasi masalah konsumsi, populasi dan lingkungan dalam perspektif religius dan ilmiah yang akhir-akhir ini menjadi tema penting bagi semua negara. Pada pertemuan itu visi yang dikedepankan ialah ditemukannya sistem nilai alternatif tata ekonomi dan teknologi yang lebih berkeadilan serta melahirkan komunitas religius dalam rangka mengembangkan masa depan berkelanjutan.
Fokus kajian dalam tulisan ini adalah pertama, mengapa kita perlu memiliki dialog antara komunitas religius dan ilmiah dalam hubungannya dengan masalah lingkungan; kedua, mengapa dialog semacam itu difokuskan dalam masalah-masalah konsumsi dan kependudukan?
Sejak kurun waktu 30 tahun terakhir ini terdapat kolaborasi pakar (ilmuan dan teolog) mulai mengkaji dampak global yang muncul dewasa ini. Mereka menemukan lima faktor utama (jumlah penduduk, modal, makanan, konsumsi, sumber daya yang tidak bisa diperbaharui, serta polusi) tumbuh secara eksponensial dengan laju yang sangat cepat.
Kesadaran untuk mengembangkan ekologi dan konsumsi yang etis perlu menjadi perhatian bersama. Sebab eksploitasi lingkungan dan penggunaan konsumsi yang berlebihan dapat menyebabkan efek negatif bagi kelangsungan masa depan. Di sinilah entry point yang diusung secara kolektif agar nilai-nilai etis dan keagamaan dapat memengaruhi kebijakan dalam mengubah arah perkembangan masyarakat saat ini.
Masalah populasi, konsumsi dan ekologi tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa campur tangan semua kalangan. Bahkan, yang perlu dikembangkan saat ini adalah kajian multidisiplin atau lintas disiplin. Komunitas ilmiah dan religius harus bertemu untuk menyebrangi batas-batas historis yang membelahnya.
Mengapa kedua komunitas yang berbeda itu harus bertemu? Menurut Rodney L. Petersen (2007), ia menandai bahwa dengan pandangan ilmiah dan nilai etis-religius yang integral akan melahirkan pendekatan lebih natural, mekanistik dan humanis. Tidak ada ilmu yang bisa berdiri sendiri tanpa harus berkolaborasi dengan ilmu-ilmu lain.
Gejala positif belakangan ini semakin menguatkan bahwa minat untuk mengintegrasikan kedua komunitas itu guna menanggulagi masalah-masalah besar yang muncul. Komunitas religius (teolog) mulai meminati dan mengkaji sains, dan komunitas sains (ilmuan) juga telah memikirkan masalah-masalah asal-usul, sifat, nasib akhir alam semesta, yang secara tradisional berada dalam lingkup agama.
Hubungan ini diharapkan lebih bermakna dan membangun. Sebab tidak selamanya kedua komunitas tersebut sukses mewujudkan impian damai tanpa persoalan. Biasanya masalah itu muncul pada tataran metodologis dan kepatuhan terhadap hasil temuan yang “kontroversial”. Zona inilah yang memicu perseteruan antar keduanya, yang harus diantisipasi dengan sistem kompromi yang sinergis.
Gagasan integrasi antara kaum teolog dan ilmuan perlu diusung guna membaca formuasi kekuatan besar, yakni sejauhmana sains dan agama mampu menjawab problematika global secara konkret. Pikiran ini sekaligus menepis seperti lazimnya, bahwa agama seringkali hanya berhenti pada wilayah teologis, sementara sains hanya menyentuh wilayah teoritis-filosofis.
Upaya alternatif ini dapat dijadikan sebagai sejarah singkat dialog antara sains dan agama mengenai masalah-masalah lingkungan dan memberikan garis besar tentang sumbangan bagi komunitas religius. Dari perspektif agama dan ilmiah, saatnya mereka menawarkan visi keadilan bagi makhluk yang berubah, dinamis dan progresif.
Kelompok agamawan dan ilmuan harus memikirkan ancaman yang datang pada lingkungan akibat kepadatan penduduk dan konsumsi yang terlalu berlebihan sehingga unsur keselamatan dan keadilan dapat terwujud di masa depan. Tanpa pandang bulu, siapa pun harus memiliki kepekaan dan kesadaran ekologis, demografis dan dilandasi nilai-nilai etis religius yang tinggi.
Gagasan cemerlang ini tidak saja sangat penting diwacanakan melainkan juga harus diformulasikan secara sistematis. Kontribusi dari pikiran ini diharapkan tidak saja berkutat pada dataran konseptual, tetapi dimungkinkan harus menyentuh pada wilayah yang lebih riil dan praktis dilapangan. Dengan munculnya ide-ide segar yang bernuansa “kemajemukan” dengan mengedepankan sikap terbuka dan toleransi yang tinggi, maka kemajuan di segala sisi kehidupan di atas muka bumi ini diharapkan akan lebih mudah diraih.
*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Maliki Malang

Kamis, 28 Januari 2010

Mendidik Anak Berakhlak Al-Qur’an

Mujtahid*
Al-QUR’AN adalah kitab petunjuk bagi seluruh umat manusia dimuka bumi. Janji Allah, barang siapa yang hidupnya berpedoman Al-Qur’an maka ia dijamin tidak akan sesat. Dan Al-Qur’an sebagai petunjuk mengajarkan akhlak yang mulia.
Dalam sejarah, semua negara yang hancur selalu disebabkan oleh kehancuran akhlak. Rumah tangga, negara, akan kuat bila penduduknya berakhlak mulia. Rumah tangga, negara akan hancur, oleh karena kinerja akhlak yang buruk. Untuk itu, memahami Al-Qur’an sejak dini merupakan sebagian dari cara yang patut ditempuh dalam mendidik anak agar berakhlak mulia.
Mendidik anak merupakan tugas yang teramat mulia. Karena anak merupakan anugerah ilahi yang wajib disyukuri, sekaligus amanah dari-Nya yang patut dijaga serta mendidiknya dengan baik agar menjadi generasi yang berkualitas. Dalam salah satu hadis Nabi, “jika amanah itu disia-sikan, tunggulah saat kehancurannya”.
Dalam Al-Qur’an, keturunan adalah bagian penting dalam kelanjutan misi kekhalifahan manusia di bumi. Anak-anak yang saleh, berkualitas merupakan generasi penerus kekalifahan dan tumpuan masa depan kemakmuran bumi.
Anak seharusnya mendapatkan pendidikan yang baik agar menjadi insan yang berorientasi pada kemaslakhatan manusia dan alam semesta. Jika bumi ini diwariskan pada generasi-generasi yang tidak bertanggung jawab, yang terjadi hanyalah eksploitasi alam, kemaksiatan, serta kemungkaran.
Mengajar anak membaca, menulis al-Qur’an sangatlah penting, dilanjutkan dengan mengajar anak cara memahaminya dengan baik dan benar. Adalah kesalahan jika mengajarkan kebenaran Al-Qur’an baru dimulai setelah anak-anak tumbuh dewasa.
Membelajarkan tafsir Al-Qur’an pada anak merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kecintaan anak-anak kepada Al-Qur’an. Dengan cinta terhadap Al-Qur’an, maka anak akan cinta terhadap isi serta kandungan Al-Qur’an, dan selanjutnya anak akan akan mengetahui dan memahami Allah, Nabi Muhammad, para Imam, sahabat, Keadilan-Nya dan hari akhir. Dengan itu semua maka anak-anak diharapkan bisa mengerti dan memahami ajran-ajaran Allah, bahwa ajaran itu akan menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an lewat pembelajaran tafsir, menuntut orang tua untuk kembali memperhatikan perkembangan moralitas, agama, serta spiritual anak. Hal ini mensyaratkan bahwa para orang tua, ustadz, ustadzah dan siapa saja yang peduli terhadap perkembangan anak harus ikut andil dalam memperdalam khazanah keilmuan dan pengetahuan nya terhadap isi dan kandungan Al-Qur’an.
Petunjuk orangtua dalam mengajarkan tafsir terhadap anaknya, misalnya membiasakan anak untuk berdialog atau berdiskusi untuk menggali kandungan Al-Qur’an sesuai dengan gejolak keingintahuan yang dimiliki anak. Ajak anak untuk tidak sekedar membaca dan menulis Al-Qur’an, tetapi juga menghayati dan memahami isi kandungannya.
Pilih waktu yang tepat, seperti setelah shalat maghrib atau menjelang mereka tidur. Gunakan teknik bercerita atau mendongeng dalam menyampaikan isi tafsir Al-Qur’an terutama untuk anak yang berusia dibawah sembilan tahun. Agar kesan bisa diangkat secara kuat, usahakan buku tersebut dibaca secara bertahap misalnya cukup satu pertemuan satu atau beberapa ayat sesuaikan dengan kondisi anak.
Sediakan waktu khusus untuk menghafal kosakata Al-Qur’an yang tersedia. Manfaatkan halaman akhir sebagai media mengevaluasi tingkat penyerapan anak terhadap isi buku tetapi usahakan agar anak tidak merasa sedang diuji. orang tua dianjurkan memberikan hadiah atas hasil yang dicapai sianak.
Sungguh sayang seribu sayang, bila kita terlambat mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an terhadap anak-anak kita. Sebagaimana kata pepatah, mengajar anak ibarat mengukir di atas batu, ia akan lama bertahan karena anak adalah fitrah yang suci, yang dengan kesuciannya akan mudah menghafal, memahami terhadap sesuatu yang sampai pada mereka.
Memahami sifat dan karakteristik anak sangatlah penting, tidak hanya untuk pembelajaaran tafsir al-Qur’an saja tetapi untuk mendidiknya secara keseluruhan. Dengan memahami sifat dan karakteristik anak, maka kita akan bisa membantu mereka mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam hal penalaran serta pemahaman.
Untuk melatih ketajaman penalaran, maka mau tidak mau anak harus dilatih logika. Untuk itu ustadz, ustadzah, atau orangtuanya harus juga menajamkan logika-logikanya, terutama induksi, deduksi, dan silogisme. Tiga logika ini sangat bermanfaat bila diterapkan sebagai metode pembelajaran anak.
Agar para ustadz dan ustadzahnya dapat memahamkan pembelajaran Al-Qur’an terhadap anak-anak didiknya, maka mereka dapat menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, mengerti ulumul Qur’an. Hal yang paling pokok dari ulumul Qur’an adalah asbabun nuzul dan tafsiran Al-Qur’an. Mengetahui asbabun nuzul sangat penting, karena kita akan mengetahui bahasa sebuah al-Qur’an dengan konteks turunnya ayat tersebut. dan dengan tafsir Al-Qur’an sangat erat kaitannya untuk mengajarkan anak-anak didik memahami isi dan kandungan Al-Qur’an.
Kedua, menciptakan rasa senang dan nyaman dalam pembelajaran, sehingga objek pelajaran itu mampu menarik dan memikat sianak. Misalnya dengan menggunakan media baik visual maupun audio visual.
Ketiga, memahami ilmu psikologi perkembangan, terutama psikologi anak. Karena dengan ilmu tersebut pendidik akan mengetahui bagaimana sifat, karakter anak sesungguhnya, daya kognitifnya, afektif, serta psikomotorik anak. Sehingga memudahkan seorang pendidik untuk memberikan pelajaran sesuai dengan kemampuan serta pengetahuan sianak.
Keempat, menilai metode pengajaran sendiri. Para pendidik hendaknya selalu mengevaluasi dirinya tentang metode pengajaran yang digunakan kepada anak didiknya apa sudah tepat atau belum, sehingga pendidik tidak akan kesulitan melakukan tranformasi pengetahuan kepada anak didiknya.
Kunci untuk menghantarkan nalar anak pada nalar Al-Qur’an, misalnya dengan menajamkan nalar anak dulu dengan mengaktualkan potensi-potensi otak, terutama otak kiri, sehingga daya afektif, kognitif, dan psikomotorik nya bisa berkembang dan anak akan mampu melakukan hal-hal yang ‘diluar kebiasaan anak’.
Ketika nalar telah tajam, baru mengarahkan nalar itu pada nalar Al-Qur’an, setelah itu nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an menjadi dasar bagi perkembangan kehidupannya kemudian.
Dengan mengikuti langkah-langkah seperti diatas, diharapkan anak-anak mampu menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, kecintaannya, serta sebagai petunjuknya disaat dunia semakin bengis dan kejam dengan panggung sandiwaranya.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Rabu, 27 Januari 2010

Memahami tentang Kualifikasi Guru

Mujtahid*
DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi kualifikasi adalah keahlian yang diperlukan untuk melakukan sesuatu, atau menduduki jabatan tertentu. Jadi, kualifikasi mendorong seseorang untuk memiliki suatu “keahlian atau kecakapan khusus”.[1]
Pelaksanaan sistem pendidikan selalu mengacu pada landasan pedagogik diktaktik. Untuk melihat kualifikasi profesional guru dalam kesatuan paket yakni pendidik, pengajar dan pelatih sebagai satu kesatuan operasional yang tidak dapat terpecah-pecah.[2] Kualifikasi guru dapat dipandang sebagai pekerjaan yang membutuhkan kemampuan yang mumpuni. Bahkan, kualifikasi terkadang dapat dilihat dari segi derajat lulusannya. Seperti dalam UU Sisdiknas 2003, ditetapkan bahwa guru Sekolah Dasar (SD) saja harus lulusan Strara S-1, apalagi bagi guru yang mengajar pada tingkat Sekolah Menengah Umum (SMU).[3]
Menurut Anwar Jasin untuk mengukur kemampuan kualifikasi guru dapat ditilik dari tiga hal. Pertama, memiliki kemampuan dasar sebagai pendidik. Kualitas seperti ini tercermin dari diri pendidik. Adapun persyaratan yang harus dimiliki oleh jiwa pendidik antara lain:
a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Berwawasan ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
c. Berkepribadian dewasa, terutama dalam melaksanakan fungsinya, sebagai orangtua kedua, in loco parentis, bagi siswa-siswanya
d. Mandiri (independen judgement), terutama dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran dan pengelolaan kelas.
e. Penuh rasa tanggungjawab, mengetahui fungsi, tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik guru dan pelatih, serta mampu memutuskan sesuatu dan melaksanakan tugasnya sesuai dengan fungsi, tugas dan tanggungjawabnya, tidak menyalahkan pihak orang lain dalam memikul konsekuensi dari keputusannya terutama yang berkaitan dengan pembelajaran dan pengelolaan kelas.
f. Berwibawa, mempunyai kelebihan terhadap para siswanya terutama penguasaan materi pelajaran dan ketrampilan megerjakan sesuatu dalam pembelajaran dan pengelolaan kelas.
g. Berdisiplin, mematuhi ketentuan peraturan dan tata tertib sekolah dan kelas.
h. Berdedikasi, memperlihatkan ketekunan dalam melaksanakan tugas membimbing, mengajar dan melatih para siswanya, sebagai pengabdi atau ibadat.
Kedua, memiliki kemampuan umum sebagai pengajar. Sebagai pengajar, seorang guru, di samping memiliki kemampuan dasar sebagai pendidik, juga perlu dan harus memiliki kemampuan sebagai prasyarat untuk mencapai kemampuan khusus dalam rangka memperoleh kualifikasi dan kewenangan mengajar. Kemampuan umum itu terdiri dari atas penguasaan antara lain:
a. Ilmu pendidikan atau pedagogik, didaktik dan metodik umum, psikologi belajar, ilmu-ilmu keguruan lain yang relevan dengan jenis jenjang pendidikan.
b. Bahan kajian akademik yang relevan dengan isi dan bahan pelajaran (kurikulum) yang diajarkannya
c. Materi kurikulum (isi dan bahan pelajaran) yang relevan dan cara-cara pembelajaran yang digunakan sebagai pedomn kegiatan belajar mengajar
d. Kemahiran mengoperasionalkan kurikulum (GBPP) termasuk pembuatan satuan pelajaran, persiapan mengajar harian, merancang KBM, dan lain-lain.
e. Kemahiran pembelajaran dan mengelola kelas.
f. Kemahiran memonitor dan mengevaluasi program, proses kegiatan dan hasil belajar.
g. Bersikap kreatif dan inovatif dlmelaksanakan kurikulum, serta mengatasi masalah-masalah praktis pembelajaran dan pengelolaan kelas.
Ketiga, mempunyai kemampuan khusus sebagai pelatih. Kemampuas khusus ini bertujuan untuk melatih para siswanya agar terampil menguasai materi pelajaran. Terutama mata pelajaran yang membutuhkan ketrampilan langsung dari siswa. Karena itu, untuk memperoleh kewenangan mengajar, guru berkewajiban menjabarkan program pembelajaran yang tertera dalam rancangan kurikulum ke dalam sistem belajaran yang yang lebih bersifat operasional.
Untuk mempermudah dalam proses belajar mengajar, para guru diminta memiliki keahlian khusus dalam mendesain pengajaran secara mandiri. Materi atau mata pelajaran butuh penjabaran teknis yang harus dilakukan guru, supaya dapat diterima oleh peserta didik dengan mudah.[4]
Dengan demikian, modal kualifikasi kependidikan yang ditawarkan di atas, diharapkan bisa meringankan tugas guru dalam menghadapi masa depan dapat bermain secara tepat dan cermat. Sebab, jika tingkat kompetitif guru yang dihadapi dengan kualifikasi kependidikan, maka eksistensi guru akan tetap survive dengan sendirinya. Bahkan prospek masa depannya juga akan semakin baik serta banyak yang akan membutuhkan dan mencarinya.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal. 603.
[2] Jasin, Op Cit., hal. 39-40.
[3] Paul Suparno, Kualifikasi Guru SD Haruskah S-1?, dalam Suara Harian Kompas, Tanggal 10 Oktober 2002.
[4] Jasin, Op.cit., hal. 39-44.

Selasa, 26 Januari 2010

Memahami Landasan Profesi dan Kode Etik Guru

Mujtahid*

Landasan Profesi Guru
PERAN guru sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan peserta didik. Karena itu, di pundak guru terdapat tanggungjawab yang melekat secara terus menerus sampai akhir hayat. Tugas dan tanggungjawab guru tersebut ternyata tidak mudah, karena harus melalui proses yang panjang, penuh dengan persyaratan dan berbagai tuntutan.
Sebuah ungkapan tentang “guru tanpa tanda jasa” dan “guru di gugu dan ditiru” telah melekat pada kehidupan guru. Identitas klasik ini intinya adalah membawa konsekuensi terhadap sepak terjangnya dalam kehidupan bermasyarakat.[1] Sedemikian besar kepercayaan masyarakat terhadap guru akhirnya mendorong mereka supaya menyadari eksistensinya. Namun akhir-akhir ini seringkali muncul tuntutan dari masyarakat terhadap guru yang menyoroti kapabilitasnya sebagai guru.
Sosok guru menjadi sesuatu yang tidak “sakral” seperti yang terkandung dalam ungkapan di atas. Hal ini karena keberadaan guru sebagai penjual jasa sebagaian ada yang tidak layak masuk kategori sebagai tenaga pendidik. Menjadi guru memerlukan upaya dari “dalam diri” yang mampu memenuhi kualitas sebagai pendidik.
Jabatan guru memiliki banyak tugas baik di dalam maupun di luar sekolah. Bahkan tugas itu tidak hanya sebagai profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan profesionalitasnya meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Konsekuensi logis dari tugas tersebut adalah guru harus mempunyai banyak peran di antaranya; sebagai korektor, inspirator, informator, fasilitator, pembimbing, mediator, supervisor dan sebagainya.
Menyadari peran tersebut, maka pertumbuhan pribadi (personal growth) maupun pertumbuhan profesi (professional growth) guru harus terus menerus mengembangkan serta mengikuti atau membaca informasi yang baru, dan mengembangkan ide-ide yang kreatif.[2] Hal ini dimaksudkan agar eksistensi guru tidak ketinggalan zaman. Dengan selalu memperhatikan setiap perubahan informasi, guru memperoleh bekal baru yang dapat menjadi semangat dan motivasi untuk menciptakan situasi proses belajar mengajar yang lebih menyenangkan bagi siswa.
Dalam pandangan Langeveld (1950), seperti yang dikutip Piet A. Sahertian,[3] guru adalah penceramah zaman. Landasan dari profesi guru seharusnya punya visi masa depan. Ketajaman visi mendorong para guru untuk mampu mengembangkan visinya. Untuk mewujudkan visi tersebut, guru harus belajar terus menerus menjadi guru yang profesional. Guru yang profesional memiliki kualifikasi sebagai berikut; a) Memiliki keahlian (expert) dalam bidang yang diajarkan. b) Memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi, dan c) Memiliki rasa kesejawatan dan kode etik serta memandang tugasnya sebagai karier hidup.

Kode Etik Guru
Istilah etik (ethica) mengandung makna nilai-nilai yang mendasari perilaku manusia. Term etik berasal dari bahasa filsafat, bahkan menjadi salah satu cabangnya. Etik juga disepadankan dengan istilah adab, moral, atau pun akhlaq.
Etik berasal dari perkataan ethos, yang berarti watak. Sementara adab adalah keluhuran budi; yang berarti menimbulkan kahalusan budi atau kesusilaan, baik yang menyangkut bathin maupun yang lahir.[4]
Maksud dari kode etik guru di sini adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationship) antar guru dengan lembaga pendidikan (sekolah); guru dengan sesama guru; guru dengan peserta didik; dan guru dengan lingkungannya. Sebagai sebuah jabatan pekerjaan, profesi guru memerlukan kode etik khusus untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut.[5]
Fungsi adanya kode etik adalah untuk menjaga kredibilitas dan nama baik guru dalam menyandang status pendidik. Dengan demikian, adanya kode etik tersebut diharapkan para guru tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap kewajibannya. Jadi substansi diberlakukannya kode etik kepada guru sebenarnya untuk menambah kewibawaan dan memelihara image profesi guru tetap baik.
Menyadari pentingnya fungsi kode etik tersebut, berati guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara jujur, komitmen dan penuh dedikasi. Hubungan-hubungan sebagaimana di maksud di atas, juga harus dipatuhi demi menjaga kemajuan dan solidaritas yang tinggi.

[1] Siti Fatimah Soenaryo, Landasan dan Profesionalisme Dosen di Perguruan Tinggi, dalam Materi Pembekalan Kemampuan Dasar Mengajar Bagi Calon Dosen Kontrak, pada tanggal. 14 Pebruari 2001, di Univ. Muhammadiyah Malang.
[2] Piet A. Sahertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Reneka Cipta, 2000), hal. 3.
[3] Ibid., hal 11.
[4] Tim IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, (Jakarta: Rajawali, 1987), Cet. III, hal. 16.
[5] Ibid., hal. 17- 21.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Senin, 25 Januari 2010

Mengenal Konsep Profesionalisme Guru

Mujtahid*
BERDASARKAN tulisan-tulisan sebelumnya, mengenai konsep profesi, profesional, guru, maka dapat didefinisikan bahwa profesionalisme guru adalah suatu pekerjaan yang di dalamnya terdapat tugas-tugas dan syarat-syarat yang harus dijalankan oleh seorang guru dengan penuh dedikatif, sesuai dengan bidang keahliannya dan selalu melakukan improvisasi diri.
Profesionalisme guru dapat dilihat juga dari kesesuaian (fitness) atau relevansi keluaran pendidikan dengan profesi yang disandangnya. Dalam bahasa yang lain dapat dikatakan bahwa, profesionalisme guru sama halnya dengan “skilled performer” (pelaku yang terampil), seorang guru profesional dapat tampil dengan penuh perkasa, inovatif, original, dan invensif. Menurut Stevenlor dan Stigler, sebagaimana yang dikutip Dedi Supriadi bahwa guru adalah seorang yang senantiasa mencintai profesinya. Dan pengembangan profesionalnya sebagai guru adalah melalui interaksi dengan sesama guru.[1]
Profesionalisme guru bisa ditilik dari sejauhmana ia menguasai prinsip-prinsip pedagogis secara umum maupun didaktik-metodik secara khusus yang berlaku setiap mata pelajaran.[2] Serta segi lain yang perlu dicatat adalah sikap profesionalisme guru merupakan wujud dari pengabdian, dan menjunjung tinggi kode etik profesi kependidikan/ keguruan.
Masih mengenai profesionalisme guru, menurut Omar Hamalik tugas profesional guru itu antara lain:
1. Bertindak sebagai model bagi para anggotanya
2. Merangsang pemikiran dan tindakan
3. Memimpin perencanaan dalam mata pelajaran
4. Memberikan nasehat kepada executive teacher sesuai dengan kebutuhan tim
5. Membinan dan memelihara literatur profesional dalam daerah pelajarannya
6. Bertindak atau memberikan pelayanan sebagai manusia sumber dalam daerah pelajaran tertentu dengan referensi pada insevice, training dan pengembang kurikulum
7. Mengembankan file kurikulum dalam daerah pelajaran tertentu dan mengajar di kelas-kelas yang paling besar
8. Memelihara hubungan dengan orangtua murid dan memberikan komentar atau laporan
9. Bertindak sebagai pengajar dalam timnya.[3]

Pada lain pihak, profesionalisme guru menurut Ibrahim Bafadal, menyimpulkan bahwa tugas profesional guru itu adalah tugas merencanakan pengajaran, tugas mengajar di kelas dan menilai pengajaran.[4] Sementara menurut Moh Uzer Usman, berpendapat bahwa ukuran profesionalisme guru antara lain; pertama, sebagai petugas profesional meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Kedua, tugas dalam bidang kemanusiaan. Dalam hal ini dikatakan, bahwa guru di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai pengganti orangtua. Guru harus mampu menarik simpati sehingga menjadi idola para siswanya. Ketiga, mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga Indonesia yang bermoral Pancasila dan mencerdaskan kehidupan bangsa.[5]
Dengan demikian, profesionalisme guru mengedepankan kebutuhan sosial berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah yang diterima oleh masyarakat dan prinsip-prinsip itu telah benar-benar well-estabilished. Sebagai sebuah profesi, seorang guru harus menguasai perangkat ilmu pengetahuan yang sistematis dan kekhususan (spesialisasi), memenuhi self-performent dalam melaksanakan tugas dilihat dari segi waktu dan cara kerja.
Menurut Jurnal Educational Leadership (Maret 1994) seperti yang dikutip oleh Saratri Wilonoyudho disebutkan, ada lima ukuran seorang guru dinyatakan masuk kategori profesionalisme. Pertama, memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Kedua, secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarkannya. Ketiga, bertanggungjawab memantau kemajuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi. Keempat, mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugasnya. Kelima, seyogianya menjadi bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.[6]
Lebih lanjut, dengan mengutip Malcom Allerd, Saratri menyebutkan bahwa selain lima aspek tersebut di atas, sifat dan kepribadian seorang guru amat penting artinya bagi proses pembelajaran, yakni adaptabilitas, antusiasme, kepercayaan diri, ketelitian, empati, dan kerjasama (hubungan) yang baik sesama guru.
Profesionalisme guru sesungguhnya sejalan dengan cita-cita reformasi pendidikan saat ini. Karena itu, profesionalisme guru pada hakikatnya adalah profil yang mampu beradaptasi dengan tuntutan dan perubahan zaman. Kreteria sebagai profil (profesionalisme guru) yang mampu menyesuaikan dengan perubahan itu di antaranya: 1) bagaimana ia mampu memanfaatkan semaksimal mungkin sumber-sumber belajar dari luar sekolah; 2) perombakan secara struktural hubungan antara guru-murid seperti layaknya perhubungan pertemanan; 3) penggunaan teknologi pendidikan modern dan penguasaan Iptek; 4) kerja sama dengan teman sejawat antar sekolah; 5) kerja sama dengan komunitas lingkungannya, dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, guru merupakan jabatan/pekerjaan yang posisinya tidak ringan. Secara eksplisit, tugas guru adalah menjadi mitra bagi lembaga sekolah, bagi kawan seprofesi, yang dituntut memiliki ketrampilan dan kemampuan yang mampu menciptakan produktifitas atau lulusan yang baik. Selanjutnya, guru harus melakukan kegiatan bimbingan dalam proses pengembangan mental dan spiritual (ruhaniah, moral dan sosial), pengembangan kemampuan intelektual (kecerdasan, kognitif) dan pengembangan pada bidang ketrampilan (motorik). Sebagai pendidik, guru berkewajiban untuk melaksanakannya secara efesien dan efektif.

[1] Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998), hal. 338.
[2] Ibid., hal. 99.
[3] Omar Hamalik, 1991. Pendidikan Guru, Konsep dan Strategi, (Bandung: Mandar Maju, 1991), hal. 32.
[4] Ibrahim Bafadal, Supervisi Pengajaran, Teori dan Aplikasinya dalam Membina Profesional Guru, (Jakarta: Bumu Aksara, 1992), 37.
[5] Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), Cet. IX, hal. 4.
[6] Saratri Wilonoyudho, Merenungkan Perjalanan Hidup Guru, dalam Suara Harian Kompas, 12 September 2001.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Minggu, 24 Januari 2010

Mengenal Konsep Guru

Mujtahid*
GURU merupakan salah satu term yang banyak dipakai untuk menyebut seorang yang dijadikan panutan. Penggunaan term ini tidak hanya dipakai dalam dunia pendidikan, tetapi hampir semua aktivitas yang memerlukan seorang pelatih, pembimbing atau sejenisnya. Dari sosok guru menyiratkan pengaruh yang luar biasa terhadap murid-muridnya. Sehingga baik tidaknya murid sangat ditentukan oleh guru.
Guru mempunyai peranan penting di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Setiap napas kehidupan masyarakat tidak bisa melepaskan diri dari peranan seorang guru. Sehingga eksistensi guru dalam kehidupan masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberikan pencerahan dan kemajuan pola hidup manusia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonsesia, definisi guru adalah “orang yang pekerjaan, mata pencaharian atau profesinya mengajar.”[1] Guru merupakan sosok yang mengemban tugas mengajar, mendidik dan membimbing.[2] Jika ketiga sifat tersebut tidak melekat pada seorang guru, maka ia tidak dapat dipandang sebagai guru. Menurut Henry Adam, seperti yang dikutip A. Malik Fadjar, “guru itu berdampak abadi, ia tidak pernah tahu, dimana pengaruhnya itu berhenti” (A teacher effects eternity, he can never tell where his influence stops).[3]
Menurut Moh. Uzer Usman guru adalah jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat tertentu, apalagi sebagai guru yang profesional yang harus menguasai betul seluk-beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan pra-jabatan.[4]
Guru sebagai salah satu komponen di sekolah menempati profesi yang memainkan peranan penting dalam proses belajar mengajar. Kunci keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan di sekolah ada di tangan guru. Ia mempunyai peranan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan siswanya self concept, pengetahuan, ketrampilan, kecerdasan dan sikap serta pandangan hidup siswa. Oleh karenanya, masalah sosok guru yang dibutuhkan adalah guru dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan siswa sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan pada setiap jenjang sekolah.[5]
Keberadaan guru sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan sangat mempengaruhi hasil proses belajar mengajar di sekolah. Keberadaannya memiliki relasi yang sangat dekat dengan peserta didiknya. Relasi antara guru dan peserta didik, adalah relasi kewibawaan. Relasi kewibawaan bukan menimbulkan rasa takut pada peserta didik, akan tetapi relasi yang membutuhkan kesadaran pribadi untuk belajar. Kewibawaan tumbuh karena kemampuan guru menampakkan kebulatan pribadinya, sikap yang mantap karena kemampuan profesional yang dimilikinya, sehingga relasi kewibawaan itu menjadi katalisator peserta didik mencapai kepribadiannya sebagai manusia secara utuh atau bulat.
Guru adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai tugas unik. Masyarakat itu berkembang, berubah mengalami kemajuan dan pembaruan. Masyarakat dinamis menghendaki perubahan dan pembaruan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik, untuk mencapai harkat kemanusiaan yang lebih tinggi dari keadaan dan statusnya sekarang. Status yang demikian itu, telah dibuktikan oleh sejarah, hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Dalam pendidikan peran guru tidak dapat dilepaskan, karena guru berperan sebagai agen pembaruan, mengarahkan peserta didik dan juga masyarakat mencapai sesuatu yang telah ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Untuk mencapai pembaruan yang diinginkan itu mustahil dilakukan tanpa perubahan. Untuk melakukan perubahan perlu ada pendidikan dan proses pendidikan tidak berjalan dengan sendirinya akan tetapi perlu diarahkan. Di sinilah peranan dan fungsi guru sebagai agen pembaruan.[6]
Hasil belajar memang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain; kemampuan guru, keadaan peserta didik, sarana prasarana dan lain-lain. Namun terlepas dari itu semua, bahwa hasil belajar merupakan tanggungjawab guru. Kegagalan peserta didik dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan adalah kegagalan guru.
Guru pada hakikatnya berhadapan dengan peserta didik calon guru. Guru yang mendidik calon guru mempunyai tugas dan tanggungjawab lebih besar lagi. Karena penampilannya akan menjadi contoh bagi perilaku peserta didiknya dikemudian hari. Guru yang mendidik calon guru tidak cukup mempunyai teori tentang pengelolaan proses belajar mengajar, akan tetapi harus mampu mengaktualisasikan dalam perbuatan dan penampilan segala yang diperlukan bagi kemampuan guru. Taraf belajar yang paling sederhana adalah mencontoh; oleh karena itu bahaya paling besar ialah apabila peserta didik calon guru mencontoh prilaku dan penampilan guru yang tidak benar. Sebaliknya bila guru yang peserta didiknya calon guru dapat memberikan contoh yang benar, maka pendidikan peserta didik calon guru boleh dikatakan sebagian sudah berhasil.
Guru sebagai pendidik dan kelompok profesi perlu menghayati dan menjunjung kode etik. Kode etik profesional sebagai penjabaran nilai-nilai masyarakat secara keseluruhan, yang olehnya akan dilestarikan, wajib pula dihormati sebagaimana mestinya. Keterlibatan guru dalam pendidikan dan dalam relasi kemasyarakatan adalah keterlibatan menyeluruh.

[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Edisi III, hal. 330.
[2] A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia [LP3NI], 1998), hal. 211.
[3] Ibid., hal 212.
[4] Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Cet. IX. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998) hal. 5.
[5] Burhanuddin, dkk., Profesi Keguruan, (Malang: IKIP Malang, 1995), hal. 20.
[6] T. Raka Joni, dkk., Wawasan Kependidikan Guru, (Jakarta: Depdikbud, 1984), hal. 8-9.

Sabtu, 23 Januari 2010

Mengenal Konsep Profesionalisme

Mujtahid*
DALAM Kamus Besar Indonesia, profesionalisme mempunyai makna; mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau yang profesional.[1] Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional. Artinya sebuah term yang menjelaskan bahwa setiap pekerjaan hendaklah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidangnya atau profesinya.[2]
Menurut Supriadi, penggunaan istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, sedang dan rendah. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya.[3]
Konsep profsionalisme, seperti dalam penelitian yang dikembangkan oleh Hall, kata tersebut banyak digunakan peneliti untuk melihat bagaimana para profesional memandang profesinya, yang tercermin dari sikap dan perilaku mereka.[4] Konsep profesionalisme dalam penelitian Sumardi[5] dijelaskan bahwa ia memiliki lima muatan atau prinsip, yaitu: Pertama, afiliasi komunitas (community affilition) yaitu menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal atau kelompok-kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi.
Kedua, kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand) merupakan suatu pendangan bahwa seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, mereka yang bukan anggota profesi). Setiap adanya campur tangan (intervensi) yang datang dari luar, dianggap sebagai hambatan terhadap kemandirian secara profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa untuk membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut yang bersangkutan dalam situasi khusus. Ketiga, keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi (belief self regulation) dimaksud bahwa yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan “orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
Keempat, dedikasi pada profesi (dedication) dicerminkan dari dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan tetap untuk melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik dipandang berkurang. Sikap ini merupakan ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan ruhani dan setelah itu baru materi, dan yang kelima, kewajiban sosial (social obligation) merupakan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
Kelima pengertian di atas merupakan kreteria yang digunakan untuk mengukur derajat sikap profesional seseorang. Berdasarkan defenisi tersebut maka profesionalisme adalah konsepsi yang mengacu pada sikap seseorang atau bahkan bisa kelompok, yang berhasil memenuhi unsur-unsur tersebut secara sempurna.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Edisi III, hal. 897.
[2] Sjafri Sairin, Membangun Profesionalisme Muhammadiyah, (Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Tenaga Profesi [LPTP], 2003), hal 37.
[3] Dedi Supriadi , Op. Cit., hal. 94-95.
[4] Yohanes Sri Guntur, dkk., Analisis Pengalaman Terhadap Profesionalisme dan Analisis Pengaruh Profesionalisme Terhadap Hasil Kerja, dalam Jurnal Manajemen dan Sistem Informasi (MAKSI) Undip, Semarang, Vol. 1, Agustus 2002.
[5] Sumardi, Pengaruh Pengalaman Terhadap Profesionalisme Serta Pengaruh Profesionalisme Terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja, Tesis, Undip, 2001.

Jumat, 22 Januari 2010

Mengenal Konsep Profesional

Mujtahid

DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesional diartikan sebagai “sesuatu yang memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya”.[1] Dengan kata lain, profesional yaitu serangkaian keahlian yang dipersyaratkan untuk melakukan suatu pekerjaan yang dilakukan secara efesien dan efektif dengan tingkat keahlian yang tinggi dalam rangka untuk mencapai tujuan pekerjaan yang maksimal.
Istilah profesional berasal dari kata profesi. Dalam kamus “Theadvanced Learner’s Dictionary of Current English, yang ditulis A.S. Hornby, dkk. Dinyatakan bahwa “profession is accuption, esp. one requiring advanced educational and special training”.[2] Artinya jabatan yang memerlukan suatu pendidikan tinggi dan latihan secara khusus. Suatu jabatan akan menentukan aktivitas-aktivitas sebagai pelaksana tugas. Berarti bukan jabatannya yang menjabat predikat profesional, tetapi keahliannya dalam melaksanakan pekerjaan.
Berlandaskan pada pengertian tersebut di atas, Suharsimi Arikunto memberikan definisi profesional sebagai berikut. Pertama, di dalam pekerjaan profesional diperlukan teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual yang dipelajari dari suatu lembaga (baik formal maupun tidak), kemudian diterapkan di masyarakat untuk pemecahan masalah. Kedua, seorang profesional dapat dibedakan dengan seorang teknisi dalam hal pemilikan filosofi yang kuat untuk mempertanggung-jawabkan pekerjaannya, serta mantap dalam menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya. Ketiga, seorang yang bekerja berdasarkan profesinya memerlukan teknik dan prosedur yang ilmiah serta memiliki dedikasi yang tinggi dalam menyikapi lapangan pekerjaan yang berdasarkan atas sikap seorang ahli.[3]
Menurut Dedi Supriadi, penggunaan istilah profesional dimaksudkan untuk menunjuk pada dua hal, yaitu pertama, penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya. Misalnya “ia sangat profesional”. Kedua, suatu pengertian yang menunjuk pada orangnya. “ia seorang profesional”, seperti dokter, insinyur dan sebagainya.

Ciri-ciri Profesional
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa seorang dikatakan profesional, karena ia mempunyai standar kualitas dan ciri-ciri tertentu. Menurut Anwar Jasin, ciri mendasar dari sebuah makna profesional tersebut antara lain; pertama, tingkat pendidikan spesialisasinya menuntut seseorang melaksanakan jabatan/pekerjaan dengan penuh kapabilitas, kemandirian dalam mengambil keputusan (independent judgement), mahir dan terampil dalam mengerjakan tugasnya.
Kedua, motif dan tujuan utama seseorang memilih jabatan/pekerjaan itu adalah pengabdian kepada kemanusiaan, bukan imbalan kebendaan (bayaran) yang menjadi tujuan utama. Ketiga, terdapat kode etik jabatan yang secara sukarela diterima mejadi pedoman perilaku dan tindakan kelompok profesional yang bersangkutan. Kode etik tersebut menjadi standar perilaku pekerjaannya. Keempat, terdapat kesetia-kawanan seprofesi, yang diwujudkan dengan saling menjalin kerja sama dan tolong menolong antar anggota dalam suatu komunitas tertentu.[4]
Masih mengenai ciri-ciri profesional, pandangan yang hampir senada dengan Jasin juga diungkapkan oleh Tilaar, bahwa para profesional mempunyai ciri-ciri khusus. Mereka sesungguhnya bekerja untuk mengabdi pada suatu profesi. Adapun ciri-ciri dari suatu profesi itu adalah memiliki suatu keahlian, merupakan panggilan hidup, memiliki teori-teori yang baku secara universal, mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri, dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif, memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya, mempunyai kode etik, mempunyai klien yang jelas, mempunyai organisasi yang kuat, dan mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang lain.[5]
Sementara menurut Roestiyah, seorang profesional paling tidak memiliki ciri atau kreteria sebagai berikut. Pertama, berpendidikan professional.. Kedua, mengakui sadar profesinya. Jadi memiliki sikap dan mampu mengembangkan profesinya, dan tidak bermaksud untuk menjadikannya sebagai batu loncatan untuk memasuki profesi lain. Ketiga, menjadi anggota profesionalnya, yang dapat pengakuan pemerintah maupun masyarakat. Keempat, mengakui dan melaksanakan kode etik profesional yang tanpak pada usaha untuk mengembangkan profesi serta ilmu, pengembangan diri, dan mengakui serta menghormati norma-norma masyarakat. Kelima, pengembangan diri dan profesi ini bukan karena tekanan dari luar maupun karena profesi itu, melainkan timbul dari dalam diri yang bersangkutan. Keenam, mengikuti berpartisipasi dengan memanfaatkan alat komunikasi dengan antar anggotanya maupun dengan pihak lembaga lain di luar organisasi profesionalnya. Komunikasi itu antara lain dapat berbentuk publikasi ilmiah dan sebagainya, dan ketujuh, dapat bekerja sama dengan anggota maupun organisasi profesional lain, baik sebagai individu maupun di dalam rangka organisasi.[6]
Dengan kreteria tersebut, seorang profesional merupakan hasil dari suatu yang dipersiapkan dan dibina di pekerjaannya. Oleh sebab profesi tersebut terus berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka seorang profesional adalah seorang yang secara berkembang atau trainable. Trainable dari seorang profesional tentunya akan lebih mudah apabila mereka mempunyai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang kuat.
Menurut Tantri Abeng,[7] istilah profesional memiliki aspek-aspek tertentu. Aspek yang dimaksud adalah menyangkut masalah ilmu pengetahuan (knowledge), aspek ketrampilan (skill), serta sikap mental (attitude). Untuk yang terakhir ini menjadi catatan khusus, yang melekat dalam diri profesional. Artinya terbuka terhadap pandangan ataupun nilai-nilai baru yang lebih positif dan menerima perbedaan pendapat serta berlaku jujur.
Lebih lanjut, Tantri Abeng mengemukakan bahwa aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental setara dan sama petingnya sebagai fondasi untuk membangun kualitas dan mutu profesional. ilmu pengetahuan diperoleh dari hasil pendidikan, oleh sementara ahli disyaratkan sampai pada advanced educational, sedang skill atau keahlian di dapat dari latihan, dan aktivitas melaksanakan pekerjaan atau learned on the job. Adapun attitude atau sikap mental merupakan kepribadian, tetapi bisa dididik lewat pendidikan agama dan pendidikan moral sejak dini, di samping tuntutan yang berasal dari lingkungannya.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Edisi III, hal. 897.
[2] Horn dkk., 1973. The advanced Learner’s Dictionary of Current English,Great Britain: oxford University. hal. 733.
[3] Arikunto, Suharsimi, 1993. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Jakarta: Rineka Cipta. hal. 233.
[4] Anwar Jasin, Pengembangan Profesionalisme Guru dalam rangka Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia, dalam M. Dawam Raharjo, [ed.], Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional, Menjawab Tantangan Kualitas Sumber Daya Manusia Abad 21, (Jakarta: Intermasa, 1997), hal. 35-34.
[5] H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 137-138.
[6] Roestiyah, Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hal. 175.
[7] Tantri Abeng, Dari Meja Tantri Abeng, Gagasan, Wawasan, Terapan dan Renungan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997) hal. 3.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Kamis, 21 Januari 2010

Mengenal Ciri-ciri Profesi

Mujtahid*
PROFESI merupakan pekerjaan yang di dalamnya memerlukan sejumlah persyaratan yang mendukung pekerjaannya. Karena itu, tidak semua pekerjaan menunjuk pada sesuatu profesi. Untuk memahami lebih dalam, menurut Robert W. Richey sebagaimana dikutip oleh Suharsimi Arikunto, memberi batasan ciri-ciri yang terdapat pada profesi. Pertama, lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Kedua, seorang pekerja profesional, secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep serta prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya. Ketiga, memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan. Keempat, memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap dan cara kerja. Kelima, membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi. Keenam, adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar palayanan, disiplin diri dalam profesi, serta kesejahteraan anggotanya. Ketujuh, memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi dan kemandirian, dan kedelapan, memandang profesi sebagai suatu karier hidup (a live career) dan menjadi seorang anggota yang permanen.[1]
Di lain pihak, D. Westby Gibson (1965) dalam Suharsini Arikuto, juga membuat ciri-ciri khusus apa yang sebenarnya dimaksud sebuah profesi itu. Ia menjelaskan ada empat ciri yang melekat pada profesi, yaitu; Pertama, pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja dikategorikan sebagai suatu profesi. Kedua, dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik. Ketiga, diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematik sebelum orang mampu melaksanakan suatu pekerjaan profesional dan keempat, dimilikinya organisasi profesional yang disamping melindungi kepentingan anggotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga, akan tetapi sekaligus selalu berusaha meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat, termasuk tindak-tindak etis profesional kepada anggotanya.[2]
Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh W.E Moore dalam bukunya “The Professions: Roles and Roles”, seperti yang dikutip oleh Oteng Sutisna, bahwa Moore mengidentifikasikan profesi itu memiliki ciri-ciri antara lain; pertama, seorang yang menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya. Kedua, ia terikat oleh suatu panggilan hidup, dan dalam hal ini ia memperlakukan pekerjaannya sebagai seperangkat norma kepatuhan dan perilaku. Ketiga, ia anggota organisasi profesional yang formal. Keempat, ia menguasai pengetahuan yang berguna dan ketrampilan atas dasar latihan spesialisasi atau pendidikan yang sangat khusus. Kelima, ia terikat oleh syarat-syarat kompetensi, kesadaran prestasi, dan pengabdian. Keenam, ia memperoleh ekonomi berdasarkan spesialisasi teknis yang tinggi sekali.[3]
Dalam perspektif Ernest Grennwood dalam bukunya yang terkenal “The Elements of Profeseonalization”, seperti yang dikemukakan oleh Sutisna bahwa profesi mempunyai beberapa unsur-unsur esensial.[4] Pertama, suatu dasar teori sistematis. Kedua, kewenangan (authority) yang diakui oleh klien. Ketiga, sanksi dan pengakuan masyarakat atas kewenangan ini. Keempat, kode etik yang mengatur hubungan-hubungan dari orang-orang profesional dengan klien dan teman sejawat, dan kelima, kebudayaan profesi yang terdiri atas nilai-nilai, norma-norma dan lambang-lambang.
Di bidang pendidikan, juga dilakukan usaha untuk menguraikan unsur-unsur esensial profesi itu. Komisi Kebijaksanaan Pendidikan NEA Amerika Serikat (Educational Policies Commision of the NEA, Professional Organazations in American Education), misalnya menyebut enam kreteria bagi profesi di bidang pendidikan. Pertama, profesi didasarkan atas sejumlah pengetahuan yang dikhususkan. Kedua, mengejar kemajuan dalam kemampuan para anggotanya. Ketiga, profesi melayani kebutuhan para anggotanya akan kesejahteraan dan pertumbuhan profesional. Keempat, profesi memiliki norma-norma etis. Kelima, profesi mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah di bidangnya, yakni mengenai perubahan-perubahan dalam kurikulum, struktur organisasi pendidikan, persiapan profesional dan seterusnya, dan keenam, profesi memiliki solidaritas kelompok profesi.
Masih mengenai ciri-ciri profesi, menurut Supriadi, bahwa profesi paling tidak memiliki lima ciri pokok, yaitu pertama, pekerjaan itu mempunyai fungsi dan signifikansi sosial karena diperlukan mengabdi kepada masyarakat. Di pihak lain, pengakuan masyarakat merupakan syarat mutlak bagi suatu profesi, jauh lebih penting dari pengakuan pemerintah. Kedua, profesi menuntut ketrampilan tertentu yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang serius dan intensif serta dilakukan dalam lembaga tertentu yang secara sosial dapat dipertanggung-jawabkan (accountable). Proses pemerolehan ketrampilan itu bukan hanya rutin, melainkan bersifat pemecahan masalah. Jadi dalam suatu profesi, independent judgment berperan dalam mengambil putusan, bukan sekedar menjalankan tugas.
Ketiga, profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu (a systematic body of knowledge), bukan sekedar serpihan atau hanya common sense. Keempat, ada kode atik yang menjadi pedoman perilaku anggotanya beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik. Pengawasan terhadap ditegakkannya kode etik dilakukan oleh organisasi profesi. Kelima, sebagai konsekuensi dari layanan yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan ataupun kelompok memperoleh imbalan finansial atau material.[5]
Dari formulasi-formulasi tentang pengertian dan ciri-ciri profesi tersebut di atas, walaupun dalam kata-kata yang berbeda, pada hakikatnya memperlihatkan persamaan yang besar dalam substansinya. Kiranya dapat di simpulkan bahwa profesi ideal memiliki ciri atau unsur sebagai berikut.
a. Suatu dasar ilmu atau teori sistematis
b. Kewenangan profesional yang diakui oleh klien
c. Sanksi dan pengakuan masyarakat akan keabsahan kewenangannya
d. Kode etik yang regulatif
e. Kebudayaan profesi, dan
f. Persatuan profesi yang kuat dan berpengaruh
[1] Suharsimi Arikunto, 1993. Manajeman Pengajaran Secara Manusiawi, Jakarta: Rineka Cipta. hal. 235-236.
[2] Suharsimi Arikunto, (1993), Ibid. hal. 236.
[3] Sutisno, Oteng, 1993. Administrasi Pendidikan; Dasar Teoritik Untuk Praktek Profesional, Bandung: Angkasa hal. 303-304.
[4] Sutisno, Oteng, 1993. Ibid., hal. 304.
[5] Supriadi, Dedi, 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. hal. 96-97.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Rabu, 20 Januari 2010

Mengenal Konsep Profesi

Mujtahid*
DEWASA ini, ada kecenderungan dalam masyarakat untuk menuntut profesionalisme dalam bekerja. Sedemikian luas kecenderungan ini, sehingga timbul kesan istilah ini digunakan serampangan tanpa jelas konsepnya. Tidak jarang seseorang dengan mudah mengatakan bahwa yang penting profesional. Tetapi ketika ditanyakan tentang apa yang dimaksud dengan profesional, ia tidak dapat memberikan jawaban yang jelas.[1]
Kata profesionalisme rupanya bukan hanya digunakan untuk pekerjaan yang telah diakui sebagai suatu profesi, melainkan hampir pada semua pekerjaan. Dalam bahasa awam, segala pekerjaan (vocation) kemudian disebut sebagai profesi. Dalam bahasa awam pula, seseorang disebut profesional jika kerjanya baik, cekatan, dan hasilnya memuaskan.
Dalam bahasa populer, profesional dikontraskan dengan amatiran. Seorang amatir dianggap belum mampu bekerja secara trampil, cekatan, dan baru taraf belajar. Dalam dunia olah raga misalnya, hal ini lebih jelas perbedaannya dengan menggunakan ukuran bayaran. Pemain profesional adalah pemain yang berhak mendapatkan bayaran sebagai imbalan dari kesertaannya dalam pertandingan. Pemain amatir, di pihak lain, bermain bukan untuk dibayar, melainkan bermain dan memenangkan pertandingan-meskipun mendapatkan bayaran juga dari induk organisasinya atau bonus dari pemerintah atau swasta.
Secara sosiologis, ada aspek positifnya dibelakang gejala itu, yakni refleksi dari adanya tuntutan yang makin besar dalam masyarakat akan proses dan hasil kerja yang bermutu, penuh tanggungjawab, bukan sekedar asal dikerjakan. Untuk menggambarkan bagaimana definisi profesionalisme, maka terlebih dahulu menurut hemat penulis, harus dimulai dari definisi kata dasarnya. Dan berikut ini akan dibahas asal-usul kata profesionalisme itu.

Pengertian Profesi
Good’s Dictionary of Education mendefinisikan profesi sebagai “suatu pekerjaan yang meminta persiapan spesialisasi yang relatif lama di Perguruan Tinggi dan dikuasai oleh suatu kode etik yang khusus”,[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi diartikan sebagai “bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (seperti ketrampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu.”[3] Dalam pengertian ini, dapat dipertegas bahwa profesi merupakan pekerjaan yang harus dikerjakan dengan bermodal keahlian, ketrampilan dan spesialisasi tertentu. Jika selama ini profesi hanya dimaknai sekedar “pekerjaan”, sementara substansi dibalik makna itu tidak terpaut dengan persyaratan, maka profesi tidak bisa dipakai di dalam semua pekerjaan.
Sehingga pemakaian istilah profesi sesungguhnya menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggungjawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Secara teoritis, suatu profesi tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang sebelumnya tidak dilatih atau disiapkan untuk profesi itu.
Menurut Muchtar Buchori, kata profesi masuk ke dalam kosa kata bahasa Indonesia melalui bahasa Inggris (profession) atau bahasa Belanda (professie). Kedua bahasa ini menerima kata dari bahasa Latin. Dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah “Professio” yang berarti “pengakuan” atau “pernyataan”.[4]
Hal senada juga dikemukakan oleh Yunita Maria YM., secara etimologis profesi memang berasal dari bahasa latin, yaitu “proffesio”. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa proffesio mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi “kegiatan apa saja dan siapa saja untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan keahlian tertentu.” Sedangkan dalam arti sempit, profesi berarti suatu kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut darinya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.[5]
Menurut Frank H. Blackington yang dikutip oleh Sikun Pribadi dari buku School, Society, and the Professional Educator, yang dikutip kembali oleh Jusuf Amir Feisol, bahwa profesi adalah “A profession must satisfy an indispensable social need and be based upon well established and socially acceptable scientific principles” (sebuah profesi harus memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat diperlukan dan didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang diterima oleh masyarakat). Kata Blackington, makna profesi adalah memahami kewajibannya terhadap masyarakat dan mendorong anggotanya untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan etika yang sudah diterima dan sudah mapan. Sementara menurut Leiberman dalam bukunya Education A Profession, yaitu tekanan utamanya terletak pada pengabdian yang harus dilaksanakan ketimbang pada keuntungan ekonomi, sebagai dasar organisasi (profesi), penampilan, dan pengabdian yang dipercayakan oleh masyarakat kepada kelompok profesi.[6]
Dalam pandangan Vollmer –seorang ahli sosiologi- melihat makna profesi dari tinjauan sosiologis. Ia mengemukakan bahwa profesi menunjuk kepada suatu kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan, tetapi menyeiakan suatu model status pekerjaan yang bisa diperoleh bila pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi dengan penuh.[7]
Secara termenologis, definisi profesi banyak diungkap secara berbeda-beda, tetapi untuk melengkapi definisi tersebut, berikut ini tulisan Muchtar Luthfi,[8] yang dikutip dan disempurnakan Ahmad Tafsir, bahwa seseorang disebut profesi bila ia memenuhi 10 kreteria. Adapun kreteria itu antara lain:
1. Profesi harus memiliki keahlian khusus. Keahlian itu tidak dimiliki oleh profesi lain. Artinya, profesi itu mesti ditandai oleh adanya suatu keahlian yang khusus untuk profesi itu. Keahlian itu diperoleh dengan mempelajarinya secara khusus; dan profesi itu bukan diwarisi.
2. Profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu. Profesi dipilih karena dirasakan sebagai kewajiban; sepenuh waktu maksudnya bukan part-time. Sebagai panggilan hidup, maksudnya profesi itu dipilih karena dirasakan itulah panggilan hidupnya, artinya itulah lapangan pengabdiannya.
3. Profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal. Artinya, profesi ini dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, teorinya terbuka. Secara universal pegangannya diakui.
4. Profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk dirinya sendiri. Profesi merupakan alat dalam mengabdikan diri kepada masyarakat bukan untuk kepentingan diri sendiri, seperti untuk mengumpulkan uang atau mengejar kedudukan. Jadi profesi merupakan panggilan hidup.
5. Profesi harus dilengkapi kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif. Kecakapan dan kompetensi ini diperlukan untuk meyakinkan peran profesi itu terhadap kliennya.
6. Pemegang profesi memiliki otonomi dalam menjalankan tugas profesinya. Otonomi ini hanya dapat dan boleh diuji oleh rekan-rekan seprofesinya. Tidak boleh semua orang bicara dalam semua bidang.
7. Profesi hendaknya mempunyai kode etik, ini disebut kode etik profesi. Gunanya ialah untuk dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas profesi. Kode etik ini tidak akan bermanfaat bila tidak diakui oleh pemegang profesi dan juga masyarakat.
8. Profesi harus mempunyai klien yang jelas yaitu orang yang dilayani.
9. Profesi memerlukan organisasi untuk keperluan meningkatkan kualitas profesi itu.
10. Mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain. Sebenarnya tidak ada aspek kehidupan yang hanya ditangani oleh satu profesi. Hal ini mendorong seseorang memiliki spesialisasi.[9]
Bertolak dari sepuluh kreteria di atas, maka diperlukan pengembangan profesi. Menurut Finn (1953) dalam hal ini, seperti yang dikutip Ahmad Tafsir, bahwa profesi harus memerlukan organisasi profesi yang kuat; gunanya untuk memperkuat dan mempertajam keprofesiannya itu. Lebih lanjut, kata Finn, suatu profesi harus mengenali dengan jelas hubungannya dengan profesi lain. Pengenalan ini terutama diperlukan karena ada kalanya suatu garapan melibatkan lebih dari satu profesi.[10] Itulah gambaran mengenai konsep profesi yang selama ini mungkin belum banyak kita pahami secara jelas.

[1] Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998), hal. 93.
[2] Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan, Dasar Teoritis Untuk Praktek Profesional, (Bandung: Angkasa, 1983), hal. 302.
[3] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Edisi III, hal. 897.
[4] Muchtar Buchori, Pendidikan Dalam Pembangunan, (Yogyakarta: Tiara Wacana Bekerjasama dengan IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994), hal. 36.
[5] Yunita Maria Yeni M., Profesi Guru; Antara Pengabdian dan Tuntutan, dalam http://www1.bpkpenabur.or.id
[6] Jusuf Amir Feisol, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 173-174.
[7] HM. Vollmer and D.L. Mills (eds), Professionalization, (Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall., 1956), hal. Vii.
[8] Mukhtar Luthfi, Jurnal Mimbar, Vol. 03. Th. 1994, hal. 44.
[9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet, II, hal. 108-112.
[10] Ibid., hal. 107-108.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Selasa, 19 Januari 2010

Perlunya Improvisasi Pendidikan Muhammadiyah

Oleh Mujtahid *
MENURUT kisah sejarah, pendidikan yang saat ini dikelola Muhammadiyah usianya lebih tua ketimbang persyarikatan Muhammadiyah itu sendiri. Sehingga tidak jarang, Muhammadiyah dikesankan sebagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Seperti yang banyak diakui, bahwa para founding fathers Muhammadiyah meletakkan pendidikan sebagai bidang garap yang paling utama, selain bidang keagamaan dan sosial lainnya.
Sejak lahir hingga saat ini, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang lebih menempatkan pendidikan sebagai agent pencerahan ummat. Untuk memperbaiki kebodohan dan ketertingggalan serta mengejar persaingan dengan bangsa luar, Muhammadiyah selalu berupaya keras dengan melakukan improvisasi pendidikan. Dengan membentuk model dan gaya pendidikan yang cenderung khas kemodernan, bahkan tak ragu-ragu mengambil sisi potisif dari pendidikan Barat, tetapi dengan tidak meninggalkan substansi pendidikan Islam lewat pesantren.
Dari sekian tahun perjalanan pendidikan Muhammadiyah, kini saatnya harus ditinjau ulang sisi-sisi kemajuan dan kelemahannya. Terlebih lagi, menjelang Muktamar yang ke 46, yang akan diselenggarakan di Yogyakarta, kota kelahirannya, merupakan momentum strategis untuk meninjau ulang konsep pendidikan yang dibawah naungan Muhammadiyah. Sehingga Muktamar nanti, tidak hanya sebagai sarana regenerasi kepemimpinan, tetapi harus mampu merevisi konsep-konsep lama dengan melahirkan konsep baru pada bidang amal usaha Muhammadiyah, termasuk pendidikan.
Di tingkat pendidikan nasional, lembaga pendidikan Muhammadiyah setiap jenjangnya rata-rata telah memberikan kontribusi sebesar 10%, tentu suatu angka yang cukup signifikan. Tetapi jika dilihat agak mendalam, dari sekian persen tersebut yang betul-betul berkualitas hanya sebagian kecil saja. Bahkan, telah terjadi kecenderungan di berbagai daerah sekolah-sekolah Muhammadiyah banyak yang mulai ditinggalkan peminatnya.
Kecenderungan di atas sangat tragis, karena kita sedang menghadapi perubahan menuju era kompetisi global (global competitiveness) yang ditandai dengan AFTA (Asian Free Trade Area) dan perdagangan bebas dunia . Jika kualitas pendidikan Muhammadiyah seperti hingga satu dekade lagi, maka kemunduran bakal terjadi pada diri Muhammadiyah, bahkan Muhammadiyah akan dicap sebagai oraganisasi yang tradisional.
Menyadari akan perubahan tersebut, maka tugas pokok ke depan pendidikan Muhammadiyah adalah melakukan improvisasi konsep pendidikan Muhammadiyah. Mengimprovisasi mulai dari segi basis filosofis, pilihan-pilihan paradigma yang dikembangkan sesuai skala prioritas kebutuhan, dari sarana prasarana, laboratorium, perpustakaan, kualitas tenaga pengajar, sistem kontrol, dan evaluasi yang dilakukan oleh persyarikatan.
Sebagaimana ketika awal Muhammadiyah menyelenggarakan pendidikan, suatu yang menjadi daya dorong adalah rasa “kegelisahan” dan “keprihatinan” yang mendalam terhadap kehidupan umat yang cenderung terpuruk, baik dalam hal keagamaan maupun keduniaan. Hal inilah yang menjadi inspirasi besar Muhammadiyah untuk berlomba-lomba mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, baik mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Rasa kepedulian Muhammadiyah terhadap setiap persoalan umat Islam yang sedemikian kuat, hanya dapat diharapkan dari sisi pendidikan yang berkualitas.
Dasar filosofis yang seharusnya dipegang teguh Muhammadiyah adalah tajdid dan ijtihad. Sesuatu yang menjadi ukuran baik masa dulu, tidak sepenuhnya baik untuk ukuransekarang, sehingga sudah saatnya harus dikaji lagi. Panggilan tajdid dan ijtihad dalam setiap lapisan, termasuk segi pendidikan tidak bisa diabaikan begitu saja. Cara berpikir seperti inilah yang selalu dipesankan oleh K.H. Ahmad Dahlan ketika mengajarkan kepada setiap santrinya. Dengan cara tersebut, akan dapat mencermati setiap kemungkinan perubahan yang akan terjadi di masa depan.
Persoalan Metodologi misalnya, juga masih menjadi perhatian yang perlu di tata. Sejak awal pendidikan Muhammadiyah memang memerlukan etos dan kerja keras yang tinggi. Untuk itu, menurut M. Amin Abdullah, bahwa secara tentatif ada empat ruh atau jiwa yang berhasil membangun paradigma pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah selama ini. Pertama, paradigma kritis hermeneutis; suatu pandangan yang menitik beratkan pada dimensi ajaran “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” dengan dimensi “tajdid dan ijtihad” sosial keagamaan. Dua dimensi tersebut, lanjut Amin Abdullah, dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.
Kedua, paradigma esensialis sekaligus perennialis. Suatu paradigma yang menekankan pada dimensi “purifikasi’. Ketiga, rekonstruksi sosial; suatu paradigma yang mampu menangkap perubahan sosial, berpikir abstraktif dan mempertinggi kerja sosial keagamaan. Keempat, bercorak progresif; suatu pandang yang berorientasi ke masa depan (future oriented). Dengan demikian, semangat untuk memperbaiki, mengorekti dan menyempurnakan cara berfikir dan mekanisme kerja yang sekarang ini sedang berjalan selalu diperioritaskan.
Sejalan dengan perintah ayat al-Qur’an, setiap diri (jiwa) selalu diingatkan supaya senantiasa berlomba-lomba (kompetisi) dalam kebaikan (fastabiqu al-khairat), memperhatikan hal-hal apa yang hendak dilaksanakan untuk hari esok (QS. Al-Hasyr:18). Hal ini berarti agar setiap kegiatan mesti memperhatikan masa depan, mempunyai pandangan yang progesif, dan itu dapat ditempuh, salah satunya dengan melakukan improvisasi.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Senin, 18 Januari 2010

Pola Kepemimpinan Sekolah Muhammadiyah

Mujtahid*

MENARIK untuk didiskusikan tentang pola kepemimpinan sekolah Muhammadiyah. Dalam organisasi seperti sekolah, kepemimpnan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan kelangsungan hidupnya. Dan keberhasilan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan terletak pada kemampuannya dalam mengembangkan visi, model serta gaya/pola kepemimpinannya.
Menurut Indrafachrudi, kepemimpinan berarti kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun menggerakkan orang lain agar ia menerima pengaruh itu selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian suatu maksud atau tujuan tertentu.[1] Sementara Oteng Sutisna berpandangan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha-usaha ke arah pencapain tujuan dalam situasi tertentu.[2] Dengan demikian setiap usaha untuk mempengaruhi ke arah yang positif maka dapat dipandang sebagai pelaku dalam kepemimpinan.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Effendi O.U. menyatakan bahwa pemimpin didefinisikan sebagai seseorang yang secara formal diberi status tertentu untuk melaksanakan, menuntun, mengurus, dan menggunakan cara-cara untuk mencapai suatu hasil atau tujuan, pelakunya ialah "pemimpin", yaitu setiap orang yang mempunyai bawahan dan menggerakkan atau mempengaruhi bawahannya ke arah pencapaian tujuan tertentu. Sejalan dengan itu Cattel menyatakan bahwa pemimpin adalah orang yang menciptakan perubahan yang paling efektif dalam kinerja kelompoknya. Rumusan sederhana dalam Modern Dictionary of Sociology, pemimpin dinyatakan sebagai "seseorang yang menempati peranan sentral atau posisi dominan dan pengaruh dalam suatu kelompok" (a person who occupies a central role or position of dominance and influence in a group).[3]
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal, sebagian besar ditentukan oleh pemimpinnya. Oleh karena itu kepemimpinan menjadi pusat perhatian manusia. Kepemimpinan sangat dibutuhkan, karena adanya suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Di satu pihak manusia terbatas kemampuannya untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin. Di sinilah timbulnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diperoleh pengertian bahwa kepemimpinan adalah suatu usaha dengan menggunakan jenis pengaruh, seni, otoritas, pendorong dan mengajak orang-orang untuk bekerja dengan antusias dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kepemimpinan pada dasarnya adalah suatu faktor yang harus ada dalam organisasi, sebab suatu organisasi terdiri atas sekelompok orang yang bekerja di bawah pengarahan kepemimpinan bagi pencapaian tujuan yang pasti.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu diingat apa yang dikemukakan John D. Millet , yaitu ada 4 hal yang penting dalam kepemimpinan antara lain: 1) Kemampuan melihat organisasi secara keseluruhan, 2) Kemampuan mengambil keputusan-keputusan, 3) Kemampuan mendelegasikan wewenang, dan 4) kemampuan menanamkan kesetiaan.
Proses realisasi kepemimpinan sekolah pada umumnya dapat terlihat dalam bentuk kegiatan-kegiatan sebagai berikut. Pertama, mempelopori usaha-usaha kretif dalam kegiatan mendidik dan mengajar. Untuk meningkatkan mutu sekolah sesuai dengan konsepsi-konsepsi serta tuntutan masyarakat modern, maka diperlukan tumbuhnya ide-ide dan cara kretif terutama dari pihak kepala sekolah. Kedua, memberikan sumbangsih yang berarti dalam keberlangsungan sekolah. Dengan kedua kegiatan tersebut, kepemimpinan sekolah akan beruasaha untuk menumbuhkan budaya seokolah secara kreatif.
Dalam perilaku kepemimpinan sekolah dibutuhkan keluasan pengetahuan dan keluwesan budi pekerti. Dua unsur ini sangat memberikan pengaruh terhadap pola kepemimpinan sekolah. Banyak sekolah yang dipimpim seorang yang punya keluasan pengetahuan, tetapi tidak memiliki keluwesan budi pekerti. Akibatnya proses kepemimpinan menjadi otoriter, sentralistis dan seterusnya. Sebaliknya tidak sekolah yang memiliki pemimpin luwes budi pekertinya tetapi tidak luas pandangan dan pengetahuannya maka proses kepemimpinanya menjadi laizzes faire.
Kepemimpinan membutuhkan ilmu perilaku (behavioral science). Artinya seorang pemimpin harus memahami mengenai ilmu psikologi, sosiologi dan antropologi. Dengan ilmu-ilmu perilaku ini diharapkan pemimpin dapat menyadari keberagaman karakter seseorang berbeda-beda. Sehingga pendekatan-pendekatan yang digunakan juga dapat menyentuh persolan dan mampu menyelesaikannya secara cermat.
Gaya atau pola kepemimpinan dalam dapat dikatagorikan menjadi empat hal. Pertama, kepemimpinan otokratis. Pola kepemimpinan ini berasumsi bahwa kewenangan dalam praktek berpusat pada satu pemimpin. Pemimpin ingin bersifat ingin berkuasa dan dalam kondisi yang menegangkan. Pemimpin tidak memberi kebebasan kepada anggotanya untuk turut aktif ambil bagian dalam memutuskan persoalan. Kedua, pola kepemimpinan Laizzes faire. Dalam kepemimpinan ini pemimpin tidak banyak berusaha untuk menjalankan kontrol atau pengaruh terhadap terhadap para anggotanya. Sifat kepemimpinan pada Laizzes faire tidak tanpak, sebab bagi pola demikian ini pemimpin memberikan kebebasan penuh para anggotanya dalam melaksanakan tugasnya, atau secara tidak langusung segala peraturan, kebijaksanaan (policy) suatu institusi berada di tangan anggotanya tanpa dibarengai dengan pengawasan atau pengecekan kembali.
Ketiga, kepemimpinan demokratis. Secara diametral kepemimpinan ini kebalikan dari pola otoriter. Jadi kepemimpinan demokrasi mempertimbangkan keinginan-keinginan dan saran-saran dari para anggota maupun pemimpin. Dalam pola kepemimpinan ini seseorang pemimpin selalu mengikutsertakan anggota dalam mengambil keputusan. Keempat, kepemimpinan pseudu demokratis. Pola kepemimpinan ini menampakkan sifatnya demokratis, tetapi sesungguhnya dibalik itu penuh dengan siasat atau kepentingan-kepentingan. Pola kepemimpin pseudu sering diwarnai dengan manipulasi sehingga apa hendak dicapai dapat terkabulkan.[4]
Kendala yang dihadapi oleh sebagian besar sekolah Muhammadiyah pada saat-saat ini adalah figur kepemimpinan. Sekolah-sekolah Muhammadiyah secara umum hampir mengalami kesulitan mencari pola pemimpin yang benar-benar mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Bahkan terkadang sulit membedakan antara pola kepemimpinan organisasi sekalah dengan organisasi persyarikatan Muhammadiyah. Karena dalam mengelola sekolah, pola kepemimpinannya hampir sama dengan megelola organisasi persyarikatan Muhammadiyah.
Adanya budaya organisasi yang kurang sehat ini mengakibatkan kecenderungan sekolah menjadi tidak berdaya. Sebab, kepemimpinan dalam dalam sekolah tidak dapat disamakan dengan kepemimpinan dalam organisasi persyarikatan. Kepemimpinan di sekolah lebih betsifat “birokratis” ketimbang di organisasi persyarikatan. Dengan demikian, pencampuradukan budaya kepemimpinan organisasi persyarikatan ke dalam sekolah mengakibatkan semakin tidak efektifnya kepemimpinan sekolah.
Kecenderungan budaya kepemimpinan organisasi persyarikatan itu tanpak dalam kepemimpinan di sekolah Muhammadiyah, yaitu berkembangnya pola kepemimpinan Laizzes fair. Gaya kepemimpinan seperti ini memberikan kebebasan kepada personel-personelnya secara leluasa dengan tidak disertai daya kontrol yang kuat. Sehingga hubungan-hubungan yang semestinya menambah kemitraan akhirnya menjadi kurang baik.
Dengan demikian, apa yang menjadi harapan pemimpin sekolah tidak dapat memperoleh hasil yang baik, karena masing-masing personel tidak merasa ada perhatian yang serius. Bahkan kecenderungan pola seperti ini kepemimpinan bisa kehilangan arah dan kontrol. Pemimpin tidak mempunyai konsepsi yang jelas untuk pengembangan sekolah. Pemimpin tidak berdaya untuk menggerakkan personel-personel secara efektif.
Lebih dari itu, tugas kepemimpinan di sekolah Muhammadiyah seringkali terbelangkai. Indikasi ini terlihat ketika kepala sekolah sering sibuk dengan tugas-tugas di luar sekolah. Tugas diluar bukan untuk pengembangan sekolah tetapi tugas dan kepentingan lain. Agaknya indikasi merambah pada sekolah Muhammadiyah. Namun tidak sepenuhnya disalahkan, karena pemimpin sekolah jika dilihat dari segi kesejahteraannya masih masih kurang. Sehingga untuk mencari double income memang sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Dengan keadaan seperti ini akhirnya mempengaruhi integritas dan komitmen tidak berjalan sebagaimana semestinya.
Persoalan ini menjadi dilema pola kepemimpinan sekolah Muhammadiyah. Bahkan sebagian sekolah ada yang tidak menerima gaji kepala sekolah. akhirnya, sikap acuh terhadap pengembangan sekolah bisa saja terjadi pada kelangsungan pola kepemimpinannya. Bahkan, tidak ubahnya seperti kepemimpinan simbolik, pemimpin ada tetapi esensinya tidak ada. Indikasi ini mudah ditemukan di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Untuk menutup uraian ini, maka sudah saatnya bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah mencari pola kepemimpinan yang efektif. Artinya kepemimpinan yang dapat dipertimbangkan dari segala segi, baik integritas dan komitmen maupun latarbelakang sosial-ekonomi. Selain itu, harus ada pemetaan antara budaya kepemimpinan oraganisasi persyarikatan dengan budaya kepemimpinan sekolah. Singkatnya, pola kepemimpinan yang diharapkan adalah pemimpin yang memiliki sikap profesionalisme yang tinggi.

Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
[1] Soekarto Indrafachrudi, Pengantar Kepemimpnan Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), Edisi II., hal. 23. Lihat pula pada Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Toko Agung 1997), Cet. XXV., hal 6-7.
[2] Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis Untuk Praktek Profesional, (Bandung: Angkasa, 1938), hal. 254.
[3] Mardin A. Marhabang, Pola Kepemimpinan Kepala Sekolah dan dampaknya terhadap Motivasi Kerja Guru, dalam (http://www.bpgupg.go.id/mardin.htm)
[4] Soetopo, Hendyat, dan Wasti Soemanto, Kepemimpinan dan Supervisi pendidikan, (Malang: IKIP Malang, 1982) hal. 8-12. Lihat pula Sutisna, hal. 264-266.; Siagian, hal. 41-44.