Mujtahid*
DEWASA ini, dinamisasi pendidikan nasional seringkali mendapat sorotan yang cenderung pejoratif (miring). Sebagian pakar pendidikan menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional tengah mengalami penurunan kreatifitas, inovasi dan kekaburan orientasi. Mereka mensinyalir bahwa pendidikan seharusnya memiliki orientasi menyeluruh. Sebab, indikasi ini cenderung dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir yang semakin komplek.
Sebagai sebuah instrumen proses pengajaran dan pembentukan budaya, Pendidikan tentu dalam kelangsungannya tidak bisa lepas dari pengaruh global yang mengelilinginya. Perubahan tersebut, bagi pendidikan semestinya harus disikapi secara positif sebagai proses pembentukan pola hidup bermasyarakat modern.
Bagi lembaga pendidikan, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan tanggung jawab besar yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, menunda pekerjaan berarti mengorbankan masa depan. Karenanya, pendidikan adalah intrumen yang tepat untuk membina dan mengembangkan kualitas manusia secara terstruktur, sistematis, terprogram dan berkelanjutan. Dinamika perkembangan masyarakat harus diiringi pula dengan dinamika lembaga pendidikan.
Dalam perspektif global, peran pendidikan masa depan adalah cetak biru (blue print) masa depan manusia. Pola kehidupan masyarakat sekarang, secara tidak sadar tengah mempraktekkan gaya hidup yang modern. Lebih-lebih era industrialisasi, selain perubahan itu telah berdampak positif yakni meningkatnya kuantitas pendapatan ekonomi masyarakat pada satu sisi, juga telah berdampak negatif yakni menipisnya tradisi dan nilai-nilai etis pada sisi yang lain.
Karena itu, sudah sepatutnya lembaga pendidikan formal maupun non formal lebih meningkatkan pada orientasi mutu, kaitannya dengan masa depan manusia. Orientasi pendidikan yang berjalan saat ini, bukan tidak mungkin akan kehilangan elan vital-nya di masa depan, sebab kurang memiliki orientasi yang jelas dan jangkauan yang panjang. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan tulang punggung yang akan menjawab problematika kemanusian masa depan.
Arus global yang semakin tidak terbendung lagi, tentu akan mempengaruhi proses dinamika pendidikan. Era globalisasi budaya misalnya, bangsa kita dengan serta merta telah terpengaruh secara kasat mata, khususnya masalah pangan, model pakaian dan kesenangan hidup. Secara terang-terangan, budaya tersebut semakin bisa kira rasakan belakangan ini. Karena itu, perubahan paradigma kehidupan dari sikap transisi menuju sikap modern tak selamanya akan menguntungkan bagi sendi-sendi kehidupan manusia secara luas. Justru banyak tantangan yang harus segera diatasi dalam rangka mengeluarkan dari jurang yang cenderung destruktif tersebut.
Salah satu upaya untuk mengatasi perubahan era tersebut adalah mengubah orientasi atau paradigma pendidikan. Artinya, kalau dulu pendidikan hanya berkutat pada proses belajar mengajar di dalam sekolah, maka pendidikan sekarang juga harus mengimbangi dengan cara pembentukan nilai, moral dan nilai budaya. Hal penting, mengingat peran pendidikan adalah agen perubahan yang sangat strategis bagi pembentukan pola hidup manusia.
Satu-satunya intrumen yang tangguh untuk melakukan perubahan, hanya terpulang pada pendidikan. Karena di sinilah tugas dan tanggung jawab masa depan generasi yang akan mewarisi budaya itu. Kalau kekayaan potensi itu tidak ditangani oleh tenaga pendidik yang berkualitas, maka dapat dipastikan akan megalami kekaburan orientasi masa depan manusia.
Karena itu, sudah saatnya pendidikan harus mempertegas visi dan misi yang akan dikembangkan di masa mendatang. Supaya tidak terjadi kekaburan orientasi dan kehilangan arah yang pasti. Sehubungan dengan itu, perlu adanya langkah-langkah strategis yang harus dikerjakan pendidikan, yakni; Pertama, meningkatkan efesiensi dan efektivitas menajemen pendidikan baik secara makro (nasional dan daerah) maupun pada tingkat mikro yaitu pada pendidikan itu sendiri. Hal ini penting, karena akan berdampak pada penghematan sumber daya yang biasanya terbatas, baik dana maupun sarana dan prasarana. Sehingga berbagai bentuk pemborosan dapat terhindari secara tepat. Upaya ini perlu komitmen yang kuat terhadap kebijakan dan program yang lebih terarah pada sasaran dan kegiatan tinggi prioritasnya (priority targeting), diukur dengan dampaknya langsung terhadap mutu dan pemerataan pendidikan.
Kedua, menciptakan kelembagaan agar daerah mempunyai peranan dan keterlibatan yang lebih besar dalam penyelenggaraan pendidikan. Sesuai dengan geografis, bangsa kita adalah bangsa yang besar dan majemuk. Kondisi demikian, tidak mungkin dilakukan sebuah pendidikan menajemen terpusat. Karena manajemen pendidikan nasional perlu bersifat desentralisasi dengan tetap memperhatikan wawasan kebangsaan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Desentralisasi pendidikan bukan berarti harus mengorbankan kepentingan nasional, namun sebaliknya memperkukuhnya, sesuai dengan prinsip Bhineka Tunggal Eka.
Ketiga, mendorong peran serta masyarakat termasuk lembaga sosial kemasyarakatan dan dunia usaha sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pendidikan. Keempat, tersedianya fasilitas yang memadahi agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, dinamis, kreatif dan produktif. Biasanya, hal ini sering diperoleh diperkotaan besar yang cenderung sempit lahan untuk menyediakan fasilitas pendidikan, khususnya olah raga. Akhirnya energi dan kreativitas anak tidak tersalurkan. Sehingga banyak problema siswa yang dihadapi lembaga pendidikan, mulai dari tawuran siswa sampai tindakan-tindakan lain yang destruktif bagi psikologis siswa maupun bagi lembaga pendidikan itu sendiri.
Kelima, terciptanya sistem pendidikan proaktif dan lentur (fleksibel). Pergeseran pola hidup yang semakin cepat, maka pendidikan harus bisa bersikap terbuka atau memberikan ruang gerak yang bebas. Artinya peserta didik dibekali dengan ilmu pengetahuan yang mumpuni sesuai dengan perkembangan dan pergeseran tersebut. Pendidikan bersifat dinamis dan bukan bersikap pasif. Dengan segala kecanggihan alat-alat modern sekarang, maka lembaga pendidikan harus bisa memanfaatkan dan mendayagunakan kecanggihan alat tersebut. Karena itu, materi yang disampaikan pada peserta didik, setidaknya mampu membekali dengan pengetahuan untuk membangun kemajuan iptek, bukan teknologi semata.
Keenam, menciptakan suasana proses belajar mengajar yang mampu membangkitkan daya kreativitas, inovasi, dan minat. Proses belajar mengajar harus menciptakan kreativitas, sebab kreativitas adalah modal utama untuk melakukan suatu inovasi, yang pada akhirnya inovasi merupakan sumber penguasaan teknologi.
Ketujuh, menanamkan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi sejak dini. Budaya Iptek harus menjadi nafas kehidupan dan menjadi bagian dari budaya bangsa agar dapat berhasil menuju pada era gloablisasi. Karenanya, metode pengajaran harus menarik dan menyenangkan. Peserta didik harus ditanamkan kesadaran bahwa sesungguhnya potensi yang terdapat pada alam ini terkandung ilmu pengetahuan yang luas sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Dengan demikian, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan akan disertai dengan keimanan terhadap ke-Maha-Kuasaan Tuhan sehingga menjadi spirit utama dan sumber nilai dalam pola pembentukan manusia Iptek dan Imtak.
Kedelapan, menumbuh-kembangkan daya juang (fighting spirit), profesionalisme dan wawasan keunggulan. Dalam perspektif global, profesioanlisme dan wawasan keunggulan merupakan kata kunci yang mutlak dilakukan. Proses pendidikan berupaya mengarahkan peserta didik kepada sikap mandiri dan kewiraswastaan. Kesembilan, menumbuh kembangkan sikap hidup yang hemat, cermat, teliti, tertip, tekun dan disiplin. Memasuki era modernisasi, penanaman nilai tersebut sangat penting untuk menciptakan etos kerja.
Terakhir, menumbuh-kembangkan moral dan budi pekerti luhur sebagai pengejewantahan dari keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penanaman ini juga penting untuk membentuk siswa yang berbudi pekerti luhur dan etis, serta bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah moral (akhlak) secara luas (Hidayat Syarief, 1997).
Berpijak pada rumusan di atas, tersedianya paradigma pendidikan dengan segala keterbukaan akan mengalami pergeseran orientasi. Dengan cita-cita inilah diharapkan terbentuknya masyarakat terdidik yang akan segera terealisir secara nyata. Paradigma pendidikan bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan, melainkan harus bisa menciptakan lompatan-lompatan yang lebih memuaskan bagi masa depan manusia.
Dengan demikian, perubahan paradigma itu harus disikapi secara gradual. Sebab, tanpa penyikapan gradual, perubahan paradigma akan menimbulkan culture shock. Melalui proses gradual ini diharapkan dengan sendirinya akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu secara bertingkat.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Rabu, 06 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar