Mujtahid*
MENARIK untuk didiskusikan tentang pola kepemimpinan sekolah Muhammadiyah. Dalam organisasi seperti sekolah, kepemimpnan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan kelangsungan hidupnya. Dan keberhasilan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan terletak pada kemampuannya dalam mengembangkan visi, model serta gaya/pola kepemimpinannya.
Menurut Indrafachrudi, kepemimpinan berarti kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun menggerakkan orang lain agar ia menerima pengaruh itu selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian suatu maksud atau tujuan tertentu.[1] Sementara Oteng Sutisna berpandangan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha-usaha ke arah pencapain tujuan dalam situasi tertentu.[2] Dengan demikian setiap usaha untuk mempengaruhi ke arah yang positif maka dapat dipandang sebagai pelaku dalam kepemimpinan.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Effendi O.U. menyatakan bahwa pemimpin didefinisikan sebagai seseorang yang secara formal diberi status tertentu untuk melaksanakan, menuntun, mengurus, dan menggunakan cara-cara untuk mencapai suatu hasil atau tujuan, pelakunya ialah "pemimpin", yaitu setiap orang yang mempunyai bawahan dan menggerakkan atau mempengaruhi bawahannya ke arah pencapaian tujuan tertentu. Sejalan dengan itu Cattel menyatakan bahwa pemimpin adalah orang yang menciptakan perubahan yang paling efektif dalam kinerja kelompoknya. Rumusan sederhana dalam Modern Dictionary of Sociology, pemimpin dinyatakan sebagai "seseorang yang menempati peranan sentral atau posisi dominan dan pengaruh dalam suatu kelompok" (a person who occupies a central role or position of dominance and influence in a group).[3]
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal, sebagian besar ditentukan oleh pemimpinnya. Oleh karena itu kepemimpinan menjadi pusat perhatian manusia. Kepemimpinan sangat dibutuhkan, karena adanya suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Di satu pihak manusia terbatas kemampuannya untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin. Di sinilah timbulnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diperoleh pengertian bahwa kepemimpinan adalah suatu usaha dengan menggunakan jenis pengaruh, seni, otoritas, pendorong dan mengajak orang-orang untuk bekerja dengan antusias dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kepemimpinan pada dasarnya adalah suatu faktor yang harus ada dalam organisasi, sebab suatu organisasi terdiri atas sekelompok orang yang bekerja di bawah pengarahan kepemimpinan bagi pencapaian tujuan yang pasti.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu diingat apa yang dikemukakan John D. Millet , yaitu ada 4 hal yang penting dalam kepemimpinan antara lain: 1) Kemampuan melihat organisasi secara keseluruhan, 2) Kemampuan mengambil keputusan-keputusan, 3) Kemampuan mendelegasikan wewenang, dan 4) kemampuan menanamkan kesetiaan.
Proses realisasi kepemimpinan sekolah pada umumnya dapat terlihat dalam bentuk kegiatan-kegiatan sebagai berikut. Pertama, mempelopori usaha-usaha kretif dalam kegiatan mendidik dan mengajar. Untuk meningkatkan mutu sekolah sesuai dengan konsepsi-konsepsi serta tuntutan masyarakat modern, maka diperlukan tumbuhnya ide-ide dan cara kretif terutama dari pihak kepala sekolah. Kedua, memberikan sumbangsih yang berarti dalam keberlangsungan sekolah. Dengan kedua kegiatan tersebut, kepemimpinan sekolah akan beruasaha untuk menumbuhkan budaya seokolah secara kreatif.
Dalam perilaku kepemimpinan sekolah dibutuhkan keluasan pengetahuan dan keluwesan budi pekerti. Dua unsur ini sangat memberikan pengaruh terhadap pola kepemimpinan sekolah. Banyak sekolah yang dipimpim seorang yang punya keluasan pengetahuan, tetapi tidak memiliki keluwesan budi pekerti. Akibatnya proses kepemimpinan menjadi otoriter, sentralistis dan seterusnya. Sebaliknya tidak sekolah yang memiliki pemimpin luwes budi pekertinya tetapi tidak luas pandangan dan pengetahuannya maka proses kepemimpinanya menjadi laizzes faire.
Kepemimpinan membutuhkan ilmu perilaku (behavioral science). Artinya seorang pemimpin harus memahami mengenai ilmu psikologi, sosiologi dan antropologi. Dengan ilmu-ilmu perilaku ini diharapkan pemimpin dapat menyadari keberagaman karakter seseorang berbeda-beda. Sehingga pendekatan-pendekatan yang digunakan juga dapat menyentuh persolan dan mampu menyelesaikannya secara cermat.
Gaya atau pola kepemimpinan dalam dapat dikatagorikan menjadi empat hal. Pertama, kepemimpinan otokratis. Pola kepemimpinan ini berasumsi bahwa kewenangan dalam praktek berpusat pada satu pemimpin. Pemimpin ingin bersifat ingin berkuasa dan dalam kondisi yang menegangkan. Pemimpin tidak memberi kebebasan kepada anggotanya untuk turut aktif ambil bagian dalam memutuskan persoalan. Kedua, pola kepemimpinan Laizzes faire. Dalam kepemimpinan ini pemimpin tidak banyak berusaha untuk menjalankan kontrol atau pengaruh terhadap terhadap para anggotanya. Sifat kepemimpinan pada Laizzes faire tidak tanpak, sebab bagi pola demikian ini pemimpin memberikan kebebasan penuh para anggotanya dalam melaksanakan tugasnya, atau secara tidak langusung segala peraturan, kebijaksanaan (policy) suatu institusi berada di tangan anggotanya tanpa dibarengai dengan pengawasan atau pengecekan kembali.
Ketiga, kepemimpinan demokratis. Secara diametral kepemimpinan ini kebalikan dari pola otoriter. Jadi kepemimpinan demokrasi mempertimbangkan keinginan-keinginan dan saran-saran dari para anggota maupun pemimpin. Dalam pola kepemimpinan ini seseorang pemimpin selalu mengikutsertakan anggota dalam mengambil keputusan. Keempat, kepemimpinan pseudu demokratis. Pola kepemimpinan ini menampakkan sifatnya demokratis, tetapi sesungguhnya dibalik itu penuh dengan siasat atau kepentingan-kepentingan. Pola kepemimpin pseudu sering diwarnai dengan manipulasi sehingga apa hendak dicapai dapat terkabulkan.[4]
Kendala yang dihadapi oleh sebagian besar sekolah Muhammadiyah pada saat-saat ini adalah figur kepemimpinan. Sekolah-sekolah Muhammadiyah secara umum hampir mengalami kesulitan mencari pola pemimpin yang benar-benar mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Bahkan terkadang sulit membedakan antara pola kepemimpinan organisasi sekalah dengan organisasi persyarikatan Muhammadiyah. Karena dalam mengelola sekolah, pola kepemimpinannya hampir sama dengan megelola organisasi persyarikatan Muhammadiyah.
Adanya budaya organisasi yang kurang sehat ini mengakibatkan kecenderungan sekolah menjadi tidak berdaya. Sebab, kepemimpinan dalam dalam sekolah tidak dapat disamakan dengan kepemimpinan dalam organisasi persyarikatan. Kepemimpinan di sekolah lebih betsifat “birokratis” ketimbang di organisasi persyarikatan. Dengan demikian, pencampuradukan budaya kepemimpinan organisasi persyarikatan ke dalam sekolah mengakibatkan semakin tidak efektifnya kepemimpinan sekolah.
Kecenderungan budaya kepemimpinan organisasi persyarikatan itu tanpak dalam kepemimpinan di sekolah Muhammadiyah, yaitu berkembangnya pola kepemimpinan Laizzes fair. Gaya kepemimpinan seperti ini memberikan kebebasan kepada personel-personelnya secara leluasa dengan tidak disertai daya kontrol yang kuat. Sehingga hubungan-hubungan yang semestinya menambah kemitraan akhirnya menjadi kurang baik.
Dengan demikian, apa yang menjadi harapan pemimpin sekolah tidak dapat memperoleh hasil yang baik, karena masing-masing personel tidak merasa ada perhatian yang serius. Bahkan kecenderungan pola seperti ini kepemimpinan bisa kehilangan arah dan kontrol. Pemimpin tidak mempunyai konsepsi yang jelas untuk pengembangan sekolah. Pemimpin tidak berdaya untuk menggerakkan personel-personel secara efektif.
Lebih dari itu, tugas kepemimpinan di sekolah Muhammadiyah seringkali terbelangkai. Indikasi ini terlihat ketika kepala sekolah sering sibuk dengan tugas-tugas di luar sekolah. Tugas diluar bukan untuk pengembangan sekolah tetapi tugas dan kepentingan lain. Agaknya indikasi merambah pada sekolah Muhammadiyah. Namun tidak sepenuhnya disalahkan, karena pemimpin sekolah jika dilihat dari segi kesejahteraannya masih masih kurang. Sehingga untuk mencari double income memang sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Dengan keadaan seperti ini akhirnya mempengaruhi integritas dan komitmen tidak berjalan sebagaimana semestinya.
Persoalan ini menjadi dilema pola kepemimpinan sekolah Muhammadiyah. Bahkan sebagian sekolah ada yang tidak menerima gaji kepala sekolah. akhirnya, sikap acuh terhadap pengembangan sekolah bisa saja terjadi pada kelangsungan pola kepemimpinannya. Bahkan, tidak ubahnya seperti kepemimpinan simbolik, pemimpin ada tetapi esensinya tidak ada. Indikasi ini mudah ditemukan di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Untuk menutup uraian ini, maka sudah saatnya bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah mencari pola kepemimpinan yang efektif. Artinya kepemimpinan yang dapat dipertimbangkan dari segala segi, baik integritas dan komitmen maupun latarbelakang sosial-ekonomi. Selain itu, harus ada pemetaan antara budaya kepemimpinan oraganisasi persyarikatan dengan budaya kepemimpinan sekolah. Singkatnya, pola kepemimpinan yang diharapkan adalah pemimpin yang memiliki sikap profesionalisme yang tinggi.
Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
[1] Soekarto Indrafachrudi, Pengantar Kepemimpnan Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), Edisi II., hal. 23. Lihat pula pada Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Toko Agung 1997), Cet. XXV., hal 6-7.
[2] Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis Untuk Praktek Profesional, (Bandung: Angkasa, 1938), hal. 254.
[3] Mardin A. Marhabang, Pola Kepemimpinan Kepala Sekolah dan dampaknya terhadap Motivasi Kerja Guru, dalam (http://www.bpgupg.go.id/mardin.htm)
[4] Soetopo, Hendyat, dan Wasti Soemanto, Kepemimpinan dan Supervisi pendidikan, (Malang: IKIP Malang, 1982) hal. 8-12. Lihat pula Sutisna, hal. 264-266.; Siagian, hal. 41-44.
Senin, 18 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar