Oleh Mujtahid *
MENURUT kisah sejarah, pendidikan yang saat ini dikelola Muhammadiyah usianya lebih tua ketimbang persyarikatan Muhammadiyah itu sendiri. Sehingga tidak jarang, Muhammadiyah dikesankan sebagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Seperti yang banyak diakui, bahwa para founding fathers Muhammadiyah meletakkan pendidikan sebagai bidang garap yang paling utama, selain bidang keagamaan dan sosial lainnya.
Sejak lahir hingga saat ini, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang lebih menempatkan pendidikan sebagai agent pencerahan ummat. Untuk memperbaiki kebodohan dan ketertingggalan serta mengejar persaingan dengan bangsa luar, Muhammadiyah selalu berupaya keras dengan melakukan improvisasi pendidikan. Dengan membentuk model dan gaya pendidikan yang cenderung khas kemodernan, bahkan tak ragu-ragu mengambil sisi potisif dari pendidikan Barat, tetapi dengan tidak meninggalkan substansi pendidikan Islam lewat pesantren.
Dari sekian tahun perjalanan pendidikan Muhammadiyah, kini saatnya harus ditinjau ulang sisi-sisi kemajuan dan kelemahannya. Terlebih lagi, menjelang Muktamar yang ke 46, yang akan diselenggarakan di Yogyakarta, kota kelahirannya, merupakan momentum strategis untuk meninjau ulang konsep pendidikan yang dibawah naungan Muhammadiyah. Sehingga Muktamar nanti, tidak hanya sebagai sarana regenerasi kepemimpinan, tetapi harus mampu merevisi konsep-konsep lama dengan melahirkan konsep baru pada bidang amal usaha Muhammadiyah, termasuk pendidikan.
Di tingkat pendidikan nasional, lembaga pendidikan Muhammadiyah setiap jenjangnya rata-rata telah memberikan kontribusi sebesar 10%, tentu suatu angka yang cukup signifikan. Tetapi jika dilihat agak mendalam, dari sekian persen tersebut yang betul-betul berkualitas hanya sebagian kecil saja. Bahkan, telah terjadi kecenderungan di berbagai daerah sekolah-sekolah Muhammadiyah banyak yang mulai ditinggalkan peminatnya.
Kecenderungan di atas sangat tragis, karena kita sedang menghadapi perubahan menuju era kompetisi global (global competitiveness) yang ditandai dengan AFTA (Asian Free Trade Area) dan perdagangan bebas dunia . Jika kualitas pendidikan Muhammadiyah seperti hingga satu dekade lagi, maka kemunduran bakal terjadi pada diri Muhammadiyah, bahkan Muhammadiyah akan dicap sebagai oraganisasi yang tradisional.
Menyadari akan perubahan tersebut, maka tugas pokok ke depan pendidikan Muhammadiyah adalah melakukan improvisasi konsep pendidikan Muhammadiyah. Mengimprovisasi mulai dari segi basis filosofis, pilihan-pilihan paradigma yang dikembangkan sesuai skala prioritas kebutuhan, dari sarana prasarana, laboratorium, perpustakaan, kualitas tenaga pengajar, sistem kontrol, dan evaluasi yang dilakukan oleh persyarikatan.
Sebagaimana ketika awal Muhammadiyah menyelenggarakan pendidikan, suatu yang menjadi daya dorong adalah rasa “kegelisahan” dan “keprihatinan” yang mendalam terhadap kehidupan umat yang cenderung terpuruk, baik dalam hal keagamaan maupun keduniaan. Hal inilah yang menjadi inspirasi besar Muhammadiyah untuk berlomba-lomba mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, baik mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Rasa kepedulian Muhammadiyah terhadap setiap persoalan umat Islam yang sedemikian kuat, hanya dapat diharapkan dari sisi pendidikan yang berkualitas.
Dasar filosofis yang seharusnya dipegang teguh Muhammadiyah adalah tajdid dan ijtihad. Sesuatu yang menjadi ukuran baik masa dulu, tidak sepenuhnya baik untuk ukuransekarang, sehingga sudah saatnya harus dikaji lagi. Panggilan tajdid dan ijtihad dalam setiap lapisan, termasuk segi pendidikan tidak bisa diabaikan begitu saja. Cara berpikir seperti inilah yang selalu dipesankan oleh K.H. Ahmad Dahlan ketika mengajarkan kepada setiap santrinya. Dengan cara tersebut, akan dapat mencermati setiap kemungkinan perubahan yang akan terjadi di masa depan.
Persoalan Metodologi misalnya, juga masih menjadi perhatian yang perlu di tata. Sejak awal pendidikan Muhammadiyah memang memerlukan etos dan kerja keras yang tinggi. Untuk itu, menurut M. Amin Abdullah, bahwa secara tentatif ada empat ruh atau jiwa yang berhasil membangun paradigma pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah selama ini. Pertama, paradigma kritis hermeneutis; suatu pandangan yang menitik beratkan pada dimensi ajaran “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” dengan dimensi “tajdid dan ijtihad” sosial keagamaan. Dua dimensi tersebut, lanjut Amin Abdullah, dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.
Kedua, paradigma esensialis sekaligus perennialis. Suatu paradigma yang menekankan pada dimensi “purifikasi’. Ketiga, rekonstruksi sosial; suatu paradigma yang mampu menangkap perubahan sosial, berpikir abstraktif dan mempertinggi kerja sosial keagamaan. Keempat, bercorak progresif; suatu pandang yang berorientasi ke masa depan (future oriented). Dengan demikian, semangat untuk memperbaiki, mengorekti dan menyempurnakan cara berfikir dan mekanisme kerja yang sekarang ini sedang berjalan selalu diperioritaskan.
Sejalan dengan perintah ayat al-Qur’an, setiap diri (jiwa) selalu diingatkan supaya senantiasa berlomba-lomba (kompetisi) dalam kebaikan (fastabiqu al-khairat), memperhatikan hal-hal apa yang hendak dilaksanakan untuk hari esok (QS. Al-Hasyr:18). Hal ini berarti agar setiap kegiatan mesti memperhatikan masa depan, mempunyai pandangan yang progesif, dan itu dapat ditempuh, salah satunya dengan melakukan improvisasi.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Selasa, 19 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar