Mujtahid*
KEMAJUAN sains modern telah mengilhami dua kontribusi paradoks bagi Islam. Pertama, pencerahan sains telah menyumbangkan ‘kebenaran’ terhadap ayat-ayat kauniyah hasil ciptaan Tuhan yang selama ini belum terungkap. Hasil temuan-temuan mutakhir para ilmuan semakin jelas mengukuhkan bahwa Islam sesungguhnya compatible dengan kemajuan sains dan teknologi.
Kedua, sains dan teknologi modern cenderung mereduksi nilai-nilai kebenaran ilahi yang bersifat mutlak dan menggantikannya dengan nilai-nilai relativitas yang merupakan kelanjutan dari paham positivisme. Akibatnya, hubungan sains dan agama mudah renggang dan menjadi kurang harmonis.
Bentuk kontribusi yang kedua dipandang oleh sebagian pemikir muslim telah menyimpang dari keteraturan alam (sunnatullah) sebagaimana mestinya. Terlebih, ketika sains menampakkan dirinya sebagai otoritas mutlak yang cenderung melawan atau berseberangan dengan otoritas Tuhan. Dengan dalih pembenaran demi kepentingan manusia, sains seringkali dijadikan sarana penghancuran.
Sejak 1970-an hingga belakangan ini, di kalangan sarjana dan ilmuan Muslim, masih terjadi sengketa pandangan mengenai sains islami (islamisasi ilmu). Munculnya islamisasi sains paling tidak dilatarbelakangi dua hal. Pertama, dunia Islam tidak mempunyai tradisi ilmu sosial yang berkembang se zaman dengan ilmu-ilmu keagamaan. Kedua, ilmu-ilmu sosial yang berkembang di kalangan masyarakat Islam belum mampu menunjukkan kemampuannya mengatasi masalah sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi sebagain besar dunia Islam sendiri.
Sebagai respon terhadap situasi tersebut, tampil pemikir-pemikir Muslim kaliber dunia seperti Seyyed Hossen Nasr, Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas dan lain-lain. Dalam pandangan mereka, perkembangan sains telah menyimpang dari hakikatnya. Sains berubah menjadi sebuah ancaman bagi manusia karena cenderung berwatak reduksionis dan bebas nilai. Sains yang dibangun dengan paradigma positivisme modern di Barat, kini justru menjauhkan diri dari nilai-nilai keadaban manusia itu sendiri.
Menurut Armehedi Mahzar, (penulis buku Revolusi integralisme Islam), melakukan pembongkaran dan kritik tajam terhadap sains dan teknologi modern yang bebas nilai tersebut. Ia merumuskan paradigma baru antara sains dan Islam secara intergral. Karena secara sintesis, keduanya harus bersatu padu, saling memberi dan menerima koreksi.
Penulis juga berkeyakinan bahwa hubungan sains dan agama (Islam) bukanlah suatu masalah besar, sebagaimana yang diyakini banyak orang. Sebab, secara intrinsik keduanya tidak ada pertentangan yang perlu dibesar-besarkan lagi. Berdasarkan perspektif wahyu maupun sunnah tidak terdapat satu pun dasar yang menyebutkan kontradiktif.
Pendeknya, tidak ada pertentangan yang akut antara sains dan Islam. Sains dalam pengertiannya yang modern adalah pengembangan filsafat alam yang merupakan bagian dari filsafat yang menyeluruh dalam khazanah keilmuan Yunani. Tetapi, filsafat Yunani terlalu deduktif, yang lebih berdasarkan pemikiran spekulatif. Sehingga perlu dilengkapi dengan pengamatan empiris yang diperintahkan dalam kitab suci Islam.
Di kalangan gerakan Islam modern, sains dan Islam tak ada masalah. Mereka meyakini bahwa Islam sebagai agama universal merupakan penyempurna bagi sains modern Barat yang dianggapnya universal. Tetapi, di Barat sendiri konsep universalisme sains menjadi satu persoalan. Itulah mengapa integralisme menjadi harapan yang perlu dikembangkan bagi manusia.
Pemikir-pemikir Muslim di atas, beralasan bahwa sains modern yang tak islami itu adalah merujuk pada krisis peradaban kontemporer. Suatu peradaban yang meruntuhkan sendi moral manusia, mengisolasi sisi sakralitas dan profanitas, serta tidak ada batas antara yang immanen dan permanen. Semuanya serba menjadi relatif dan diserahkan sepenuhnya kepada pelakunya.
Padahal, sains bukanlah produk yang statis yang bisa diwarnai begitu saja oleh pemakainya. Sains Barat modern terus berkembang dan mengalami transformasi sesuai dengan adaptasi sosio-kultural terhadap teknologi sebagai aplikasi sains, serta implikasi filosofis penemuan-penemuan teoretik di dalam sains itu sendiri.
Karena itu, sudah seharusnya ada sebuah alternatif baru untuk membuka jalan agar terjadi integralisme universal. Neoperenialisme menyuguhkan suatu pandangan menyeluruh yang mengintegrasikan paradigma materialisme ilmiah secara dua tahap menjadi integralisme universal. Dengan paradigma ini, sains dan teknologi yang hendak dibangun akan berkesesuaian dengan nilai-nilai ketuhanan dan kodrat manusia.
Dari proses rumusan paradigma tersebut, penerapan sains menjadi lebih berempati pada nilai keadaban manusia. Sains dan teknologi akan mengangkat derajat manusia yang lebih terhormat. Sehingga dampak sains dan teknologi yang cenderung menakutkan, berubah menjadi harapan dan cita-cita kehidupan manusia secara umum. Dari sinilah rasa ketakutan selama ini yang berupa militeristik (bom atom, senjata pemusna massal), kerusakan ekologis, sekat sosiologis, serta psikologis menjadi lebih menjamin ketenanga dan harmoni bagi hidup manusia.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Rabu, 13 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar