SEJAK dua dekade terakhir ini, sekolah unggulan- dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Umum (SMU)- mulai marak dan menjamur di mana-mana, terutama di kota-kota besar. Jika dilihat dari kemunculannya, fenomena ini merupakan respons positif terhadap merosotnya kualitas/mutu pendidikan yang selama ini dianggap kurang menggembirakan bagi masyarakat.
Salah satu alternatif untuk mengatasi problema di atas, maka sebagian konseptor dan praktisi pendidikan berpikir bahwa untuk memenuhi standar kualitas yang baik, harus ada terobosan baru yakni dengan cara mendirikan sekolah unggulan. Namun, tampilnya sekolah unggulan kepermukaan dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai sekolah yang eksklusif. Sebab sekolah unggulan hanya dapat terjangkau oleh kaum elit masyarakat. Sehingga muncullah kesan bahwa hadirnya sekolah unggulan hanya untuk komoditi kaum elit, dan segelintir orang kaya saja. Sedangkan kaum dhuafa’ dan miskin tidak dapat mengenyam sekolah unggulan.
Sebagian kalangan menilai bahwa secara material, sekolah yang besifat elit ini terkesan “memeras” atau “memaksa” masyarakat untuk memenuhi program dan agenda sekolah. Hal ini dibuktikan dengan besarnya uang sumbangan sekolah atau sering disebut “biaya sumbangan” atau “infak” kadang-kadang melewati batas manusiawi. Akibatnya, siswa yang mampu masuk ke sekolah unggulan rata-rata hanya terjangkau oleh anak-anak seorang pejabat, pengusaha, dosen dan orang-orang tertentu yang hidupnya betul-betul sudah sukses.
Belum lagi, di kalangan masyarakat juga masih terjadi pro-kontra tentang definisi atau maksud sekolah unggulan. Bahkan, para pakar pun masih mempertanyakan tentang substansi dari keberadaan sekolah unggulan. Sebab, jika ditilik dari segi labelnya, ada yang memakai kata “unggulan”, maka proses dan hasilnya juga harus benar-benar unggul dan dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi terkadang luaran atau lulusan sekolah unggulan hanya mencapai mutu rata-rata atau biasa-biasa saja. Lalu di mana letak keistimewaan dan keunggulannya itu. Akibatnya, konsep sekolah unggulan menjadi bias. Atau mungkin yang tanpak hanya menang namanya, sehingga siswa merasa puas karena bisa masuk sekolah yang punya nama (merek).
Anehnya lagi, sekolah unggulan hadir saat bangsa mengalami krisis dan merosotnya sumber perekonomian (pendapatan) yang di peroleh masyarakat. Bayangkan untuk biaya sekolah unggulan, untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari saja belum genap. Pada satu sisi, saat mereka berlomba-lamba membayar “uang pembangunan” sekolah unggulan dengan jumlah rupiah yang besar, sementara pada sisi yang lain, sebagian besar masyarakat ini sedang hidup dalam kekurangan..
Dampak Eksklusif
Menurut Peter J. Drost Sj, kesenjangan “label sekolah” seharusnya tidak perlu terjadi, karena akan melahirkan sebuah dampak negatif, terutama membentuk sikap eksklusif kepada peserta didik. Secara psikologis, mereka yang belajar di sekolah “tak bermerek” dengan sendirinya akan terisolasi pergaulannya, dan juga sebaliknya. Bahkan, di antara siswa satu sama lain, terjadi saling mengejek, lantaran berbeda label sekolah. Belum lagi masalah pola gaya hidup (life style) antar siswa bisa berbeda pula, sebab pengaruh budaya dan lingkungan tempat belajar mereka.
Sekalipun secara kualitatif lebih menjanjikan harapan masyarakat, tetapi kalau harus melahirkan dikotomi budaya dan mental seperti itu akhirnya juga tidak sehat. Karena itu, konsep sekolah unggulan harus lebih disederhanakan lagi. Sebab jika tidak, masyarakat kita nanti akan terpetak-petak menjadi beberapa bagian. Lebih dari itu, konsep yang cenderung menyeret ke dunia “kapitalisme” akan membawa paham kelas, yakni kelas borjuis dan kelas proletar. Sekolah unggulan hanya milik kalangan borjuis (kaum elit, penguasa), sementara sekolah biasa hanya miliki kalangan kaum proletar (kaum lemah, tertindas). Tentu dampak ini tidak mungkin menjadi harapan masyarakat Indonesia.
Nah, lalu kita sekarang berpihak kemana. Supaya terjadi keseimbangan (equilibrium) antara dua sisi yang berbeda, maka sekolah unggulan harus punya orientasi baru agar dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Kalau bisa, mendirikan sekolah unggulan yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat dengan biaya yang ringan. Patokan-patokan standar biaya perlu, tetapi harus mempertimbangkan daya dan kemampuan kapital masyarakat.
Jika sekolah unggulan mampu menawarkan biaya terjangkau secara rata-rata, maka dengan sendirinya dampak “eksklusifme” tersebut akan menjadi cair. Bahkan, eksistensi sekolah unggulan akan semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Masyarakat akan simpatik dan ikut berperan dalam mensukseskan cita-cita dari konsep sekolah unggulan tersebut.
Apalagi perkembangan akhir-akhir ini, perhatian pemerintah terhadap pendidikan (sekolah) agaknya sudah ada tanda-tanda positif. Di Propinsi Jawa Timur misalnya, pihak pemerintah (Gubernur) telah membebaskan biasa sekolah jenjang SD, dan akan diteruskan hingga SLTP, syukur jika mampu sampai SMA. Oleh karena itu, sekolah-sekolah yang tadinya “tak bermerek” akan merasa lebih hidup karena tidak lagi disusahkan dengan penggalian sumber dana. Sehingga dengan demikian, sekolah-sekolah non-unggulan pada akhirnya akan mampu berkompetisi dalam membangun kualitas pendidikannya dengan sekolah unggulan. Hal ini menuntut jika sekolah unggulan tidak segara melakukan perubahan, maka lambat laun akan terasingkan dengan sendirinya.
* Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Senin, 04 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar