Kamis, 07 Januari 2010

Pasang Surut Estetika Islam

Mujtahid *

KARYA seni Islam dalam deretan khazanah pengetahuan tergolong karya cukup langka. Berbeda dengan manuskrip bidang keislaman lainnya seperti tafsir, teologi, fiqh dan tasawuf, perkembangan estetika Islam, agaknya, jauh tertinggal daripada bidang kajian di atas.
Perhatian kaum muslim terhadap nilai estetika Islam tampaknya juga tidak begitu antusias. Buktinya masyarakat Indonesia, sebagai pemeluk mayoritas Islam, masih minim pengetahuannya terhadap aspek-aspek estetika Islam monumental yang pernah tercipta saat peradaban Islam berkembang spektakuler, baik di kawasan Arabia maupun Timur Tengah, khususnya Persia dan Bagdad.
Sekalipun terdapat buku yang mungkin agak berharga bagi Islam, yakni Atlas Budaya Islam, karya Ismail Raji al-Faruqi dan Seni Islam dan Spiritualitas, karya Seyyed Hossein Nasr belumlah mewakili untuk memaparkan nilai-nilai estetika Islam yang pernah terukir di zaman keemasan Islam.
Stagnasi peradaban seni Islam hampir tak kunjung bangkit. Krisis karya seni Islam tentu ada sebuah somethink lack-untuk tidak menyebutnya sebagai something wrong-- dalam memahami makna dan hakikat seni dalam konteks Islam. Akibatnya, kini generasi muslim terasa kehilangan jejak dan akar-akar tradisi estetika Islam yang sangat berharga.
Pada tahun 1999 di Mesir, ada sebuah buku--sebelumnya ditulis hasil penelitian Disertasi--yang sangat kontroversial. Buku tersebut berjudul “al-Fannu fi al-qur’an al-Karim” karya Muhammad Khalafullah, yang intinya adalah bahwa kisah-kisah sastra atau seni dalam al-qur’an bukanlah sepenuhnya benar terjadi, tetapi hanya sebagai ‘metafor’ yang dapat diambil makna atau pesan (sosial, moral, spiritual) dibalik kisah tersebut dari salah satu nilai estetik yang diungkap al-qur’an.
Karena dianggap kontroversial, beberapa saat ditangguhkan, karya tersebut harus dikonsultasikan lewat badan fatwa agama (Mufti negara). Dan akhirnya, karya ini dicap sebagai karya yang provokatif dan berlawanan dengan kalangan mufassir tradisional dan revivalis. Para mufassir menyatakan bahwa kisah sastra atau seni dalam al-qur’an merupakan kebenaran multak yang tidak bisa diotak-atik lagi.
Dari fenomena di atas, dapat kita pahami bahwa kesadaran estetika kaum muslim masih rendah. Secara akedemis temuan yang jelas berlandaskan metodologi yang sah, ternyata dikalahkan dengan jalur agama, yang notabenenya tidak menggunakan kerangka berfikir rasional dan tidak berkompetensi pada wilayah “seni atau sastra”.
Ada sebuah buku yang ditulis Oliver Leaman, mengenai “Islamic Aesthetics” ia mengajak kaum muslim agar mau melihat kembali akar sejarah estetika Islam. Estetika Islam yang hanya diwujudkan dalam bentuk kaligrafi arabes (arabesque), lukisan atau gamabar (picture), musik dan seterusnya bukalah satu-satunya ekspresi seni Islam, melainkan bisa ditampilkan secara modern sesuai dengan konteks zamannya.
Dalam tulisannya, ia mengkritik terhadap ekpresi seni yang selama ini ditampilkan yaitu tidak adanya corak dan kekhasan yang dimiliki oleh seni Islam. Citra seni Islam, kata Leaman, tak jauh beda dengan seni-seni umumnya. Lalu apa yang menjadi titik beda dari seni yang lain?
Di sinilah pentingnya melacak kembali akar-akar estetika Islam. Relasi estetika Islam dan sejarah sosial harus dipahami secara utuh dan komprehensif. Dulu, seni Islam dicipta dari multiaspek, yakni menyiratkan aspek sosial, moral, spiritual (teologis) yang memiliki pesan-pesan tersirat sangat tinggi. Tetapi belakangan ini, seni cenderung manampilkan diri sebagai “nilai seni”, tidak lagi mengemban nilai positif.
Leaman berani mengemukakan alasan bahwa ada sebelas kesalahan umum tentang seni Islam. Setidaknya, terlihat bahwa seni Islam masih dibanyang-banyangi oleh dua sumbu utama, yaitu antara nilai esoteris dan nilai eksoteris. Kaum sufisme misalnya, lebih mengekspresikan nilai seninya lewat jalur esoteris. Sementara di luar itu, ada yang menginginkan bahwa seni Islam harus tampil dengan wilayah eksoteris saja.
Diakui atau tidak, seni dalam istiadat apa pun selalu memiliki kaitan agama, begitu pula halnya dalam Islam. Namun, tidak semua seni Islam memiliki nilai estetika yang sebagaimana sejatinya diharapkan oleh cabang filsafat itu. Estetika adalah cara pandang sesuatu sebagai sesuatu yang lain. Artinya, bahwa sesuatu itu tidak sekedar sesuatu, tetapi juga menyimpulkan atau berkaitan dengan yang lain, yang lebih besar, lebih kecil, yang lebih luas, atau lebih dalam.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

1 komentar:

  1. aslm...
    syukron ya ats infonya...sya senang dengan tulisan2 anda, sya bangga muhammadiyah malang punya intelktual yang teramat pruduktif dalam menyumbang ide dan pengalaman di dunia maya seperti anda....
    sekali lg syukron ya..

    BalasHapus