Senin, 14 November 2011

Karakteristik Kepemimpinan Profetik

KEPEMIMPINAN adalah upaya menggerakkan, mempengaruhi, mengelola, dan membawa berita gembira kepada semua orang. Seorang pemimpin itu merupakan tauladan (contoh), inspirator, motivator dan pembangkit semangat bagi para pengikutnya untuk tergerak hatinya, pikirannya dan perbuatannya mencapai harapan, cita-cita dan tujuan hidup yang ter baik dan mulia.

Kepemimpinan profetik adalah model kepemimpinan yang digali dari cara rasul/nabi memimpin ummatnya. Para nabi dan rasul, sebagai pemimpin umat manusia di muka bumi ini, memiliki beberapa karakter dan sifat yang sangat agung dan mulia. Berbekalkan sifat dan karakter tersebut, maka semua nabi dan rasul sukses membawa perubahan dan kemajuan membangun sikap hidup pengikut dan masyarakatnya sesuai dengan zamannya masing-masing.

Kepemimpinan profetik dipandang sebagai pola kepemimpinan yang paling sukses dalam membentuk sebuah tatanan kehidupan manusia yang berkualitas. Nilai-nilai kepemimpinan profetik seyogyanya dapat ditransformasikan ke dalam model kepemimpinan pada lingkup organisasi sosial keagmaan, pendidikan, bahkan tata pemerintahan sekalipun.

Setidaknya ada tujuh karakteristik kepemimpinan profetik yang bisa saya uraikan dalam tulisan ini, yaitu antara lain;

1. Memiliki karakter shidiq (jujur). Kepemimpinan profetik mengedepankan integritas moral (akhlak), satunya kata dan perbuatan, kejujuran, sikap dan perilaku etis. Sifat jujur merupakan nilai-nilai transedental yang mencintai dan mengacu kepada kebenaran yang datangnya dari Allah SWT (Shiddiq) dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Perilaku pemimpin yang ”shiddiq” (shadiqun) selalu mendasarkan pada kebenaran dari keyakinannya, jujur dan tulus, adil, serta menghormati kebenaran yang diyakini pihak lain yang mungkin berbeda dengan keyakinannya, bukan merasa diri atau pihaknya paling benar.

2. Memiliki karakter amanah. Kepemimpinan profetik mengahadirkan nilai-nilai bertanggungjawab, dapat dipercaya, dapat diandalkan, jaminan kepastian dan rasa aman, cakap, profesional dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya. Karakter tanggungjawab, terpercaya atau trustworthy (amanah) adalah sifat pemimpin yang senantiasa menjaga kepercayaan (trust) yang diberikan orang lain. Karakter amanah dapat menajamkan kepekaan bathin seorang pemimpin untuk bisa memisahkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik/organisasi.

3. Memiliki karakter tabligh. Kepemimpinan profetik menggunakan kemampuan komunikasi secara efektif, memiliki visi, inspirasi dan motivasi yang jauh ke depan. Seorang pemimpin itu memerlukan kemampuan komunikasi dan diplomasi dengan bahasa yang mudah dipahami, diamalkan, dan dialami orang lain (tabligh). Sosok pemimpin (seperti karakter nabi dan rasul) bahasanya sangat berbobot, penuh visi dan menginspirasi orang lain.

4. Memiliki karakter fathanah (cerdas). Kepemimpinan profetik itu mempunyai kecerdasan, baik intelektual, emosional maupun spiritual, kreativitas, peka terhadap kondisi yang ada dan menciptakan peluang untuk kemajuan. Sosok pemimpin itu harus cerdas, kompeten, dan profesional (fathanah). Pemimpin yang mengacu sifat fathonah nabi adalah pemimpin pembelajar, mampu mengambil pelajaran/hikmah dari pengalaman, percaya diri, cermat, inovatif tetapi tepat azas, tepat sasaran, berkomitmen pada keunggulan, bertindak dengan motivasi tinggi, serta sadar bahwa yang dijalankan adalah untuk mewujudkan suatu cita-cita bersama yang akan dicapai dengan cara-cara yang etis.

5. Memiliki karekter istiqamah (konsisten/teguh pendirian). Kepemimpinan profetik mengutamakan perbaikan berkelanjutan (continuous improvement (Istiqamah). Pemimpin yang istiqomah adalah pemimpin yang taat azas, tekun, disiplin, pantang menyerah, bersungguh-sungguh, dan terbuka terhadap perubahan dan pengembangan.

6. Memiliki karakter mahabbah (cinta, kasih-sayang). Kepemimpinan profetik mengutamakan ajaran cinta (mahabbah) bukan kebencian dan pemaksaan. Karakter pemimpin profetik selalu peduli (care) terhadap moral dan kemanusiaan, mudah memahami orang lain/berempati, suka memberi tanpa pamrih (altruistik), mencintai semua makhluk karena Allah, dan dicintai para pengikutnya dengan loyalitas sangat tinggi.

7. Memiliki karakter shaleh/ma’ruf (baik, arif, bijak). Kepemimpinan profetik adalah wujud sebuah ketaatan kepada Allah dan mendarmabaktikan dirinya untuk kesalehan, kearifan dan kebajikan bagi masyarakatnya. Ketaatan dan keshalehan para nabi atau rasul berpedoman pada wahyu dan mu’jizat dari Allah. Karakter shaleh/arif dapat melahirkan pesona kharismatik yang merupakan ilham dari ilahi, yang terpancar pada permukaan kulit, tutur kata, pancaran mata, sikap, tindakan, dan penampilan. Seorang pemimpin yang shaleh mempunyai kualitas kepribadian individu yang utuh sehingga menyebabkan orang lain menaruh simpati, percaya dan menganut apa yang diinginkannya. Pemimpin shaleh berarti pemimpin yang dirinya diakui pengikut, karena ketaatannya kepada Allah.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Selasa, 06 September 2011

Mengenal Budaya dan Kemajuan Lamongan

Mujtahid

LAMONGAN adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur yang mengalami pembangunan sangat cepat, terutama infrastruktur, industri dan wisata. Sejak satu dasawarsa terakhir, Lamongan dikenal sebagai daerah yang beberapa kali meraih penghargaan otonomi award dari propinsi Jawa Timur dan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Keberhasilan lainnya adalah merebut sebagai kabupaten yang mampu menciptakan good goverment.

Lamongan memiliki tradisi dan budaya yang beragam (multi culture). Warga lamongan sangat dikenal memiliki etos yang tinggi, pekerja keras, dan tidak mudah menyerah. Orang Lamongan sangat menghargai kesempatan dan waktu untuk digunakan hal-hal produktif. Orang Lamongan, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja di sektor apa pun. Namun yang lebih mengesankan adalah adanya kerjasama dan komunikasi yang baik antara suami dan istri yang rela saling berbagi pekerjaan demi menunjang kesuksesan keluarga.

Mayoritas mata pencarian warga Lamongan adalah petani dan nelayan. Sisanya ada yang menjadi pedagang, Guru, PNS, dan TKI di negara jiran Malaysia. Budaya warga Lamongan adalah tidak selalu menggantungkan seorang suami sebagai kepala keluarga, tetapi suami-istri sama-sama mengambil peran masing-masing. Dalam soal pekerjaan untuk mendapatkan rezeki, suami-istri kerja di sawah adalah hal yang biasa. Suami pergi ke laut dan istri membetulkan jala/jaring adalah hal yang lumrah. Itulah hidup kebersamaan yang tampak sehat dan harminis. Hal lain yang dapat ditemui yaitu jarang terjadi perceraian suami-istri, sebagaimana orang yang hidup diperkotaan, apalagi perilaku seorang artis di ibu kota.

Resep hidup kebersamaan itulah menjadi modal utama bagi orang Lamongan untuk membangun sebuah keluarga sakinah mawaddah warahmah. Orang Lamongan suka hidup apa adanya, tanpa harus menunjukkan sesuatu yang bukan menjadi milik dan kepunyaannya. Kehebatan budaya Lamongan ialah semangat menghargai dan mencintai kebersamaan dalam berbagai keberbedaan yang ada. Budaya seperti itu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dalam lingkup keluarga, dan lebih-lebih di tengah masyarakat.

Wilayah Lamongan terbagi menjadi beberapa bagian, yakni pesisir, tengah kota dan pedalaman. Ketiga wilayah itu selain memiliki kesamaan juga memiliki kharakteristik dan ciri berbeda. Biasanya, budaya pesisir dikenal sebagai budaya yang keras dan orang-orangnya bermental pantang menyerah. Warga pesisir dijuluki sebagai warga yang berperilaku religius. Paham keagamaan mereka sangat kuat dan rajin menjalankan ibadah. Shalat jama'ah lima waktu dibeberapa masjid dan mushalla tampak ramai seperti shalat jum'at. Demikian halnya dengan puasa, walau mereka bekerja sangat berat dan menantang karena sengatan matahari begitu panas, akan tetapi mereka jarang sekali meninggalkan puasanya hanya gara-gara pekerjaan dan sengatan terik matahari. Hal ini sangat berbeda sekali dengan perilaku orang kota---- yang terbiasa hidup manja dan enak---- mereka mudah menggugurkan sebuah perintah dan kewajibannya hanya sebuah halangan dan tantangan yang tidak begitu berat.

Sentuhan Pemimpin Kreatif
Sejak kepemimpinan Bupati Masfuk sepuluh tahun silam, Lamongan bagaikan disulap menjadi daerah yang maju, inovatif dan terkelola dengan baik. Potensi daerah yang selama ini masih belum tergali dan dimanfaatkannya, kini dioptimalkan dengan sangat luar biasa. Sebut saja misalnya, Masfuk membangun Wisata Bahari Lamongan (WBL), melengkapi Goa Maharani dengan binatang yang saat ini menjadi Maharani Zoo dan mendirikan hotel yang startegis di pesisir Laut Tanjung Kodok, membangun pelabuhan, pusat-pusat perbelanjaan, hingga sampai penciptaan becak bermotor, agar orang yang meraik becak tidak lagi bermodalkan "dengkul" tatapi dengan mesin.

Meski potensi itu sudah ada sejak dulu kala, bahkan takdir sunnahtullah serasa tidak seperti sekarang ini yang kita bayangkan. Tanjung Kodok sebagai kelebihan bibir pantai Lamongan sama sekali tidak pernah dipikirkan. Melalui tangan dingin Masfuk, semua potensi tersebut dimanfaatkan sebagai objek wisata dengan menggandeng investor asing untuk menginvestasikan modalnya di Lamongan. Jadilah Wisata yang menawan para pengunjung dan penziarah untuk melihat keindahan yang Allah takdirkan berjuta-juta tahun yang silam.

Saat ini ikon Lamongan terpusat pada WBL, sebagai tempat jujukan wisata para datang dari mana pun. Sekalipun lamongan memiliki wisata yang begitu eksotik, tetapi Lamongan tidak mau meninggalkan buadanya, yaitu religius. Lihat saja, di area WBL dibangun sebuah Masjid yang megah dan strategis bagi para pengunjung yang akan menunaikan shalat. Para wisatawan yang hendak shalat tidak perlu lagi menemui kesulitan mencari tempat shalat sebagaimana tempat wisata lainnya. Itulah sebuah ciri khas Lamongan yang sekalipun mengusung budaya modern, tetapi tetapi menghargai nilai-nilai yang religius yang masih kental diyakini orang.

Keberadaan WBL tidak lepas dari sebuah masyarakat pesisir Paciran-Lamongan. Masyarakat ini dikenal sangat kuat mempertahankan nilai-nilai religiusnya. Bahkan, untuk hari libur saja, orang Paciran lebih memilih hari jum'at ketimbang hari minggu. Tentu saja budaya tersebut lahir, bukan tanpa maksud. Bahwa hari jum'at adalah hari yang harus di hormati, karena seorang laki-laki wajib shalat jum'at. Sehingga sekolah/madrasah liburnya memilih hari jum'at, beberapa pekerja (nelayan dan buruh), memilih jum'at sebagai hari libur.

Keberhasilan Lamongan yang perlu diapresiasi adalah dari kabupaten yang sama sekali tidak diperhitungkan dan dikunjungi orang, kini menjadi kabupaten yang rata-rata perharinya tidak kurang dari 5000 pengunjung menengok keindahan wisata Lamongan, baik itu WBL, Maharani Zoo, maupun Makam Sunan Drajat. Bisa kita bayangkan, berapa putaran roda ekonomi yang terjadi dimasyarakat sekitarnya, yang mampu memberi penghidupan masyarakat.

Selain itu, Lamongan juga dikenal sebagai tempat makam salah satu walisongo, yaitu Sunan Drajat. Sunan Drajat adalah seorang wali yang hidupnya sangat sederhana dan memiliki kekhasan dalam berdakwah. Sunan Drajat berhasil mengislamkan daerah pesisir tanpa harus konfrontasi (berkonflik) dengan adat istiadat dan budaya setempat. Islam yang diajarkan Sunan Drajat adalah Islam mengayomi dan melindungi semua warga masyakatnya.

Tidak luput perhatian dari pemimpin Lamongan, Masfuk memainkan Makam Sunan Drajat sebagai potensi religi yang sangat penting untuk dikelola sebagai tempat wisata yang menguntungkan daerah dan masyarakat sekitar. Potensi ekonomi menjadi hidup berdampingan dengan wisata budaya religi yang menyatu dengan daerah setempat. Setelah dibangun dan dilengkapi dengan berbagai pusat perbelanjaan, kini pengunjung Makam Sunan Drajat datang dari berbagai wilayah di Indonesia.

Lamongan juga membangun sebuah pelabuhan bernama PT. Lamongan Integrated Shorebase (LIS). Pelabuhan ini akan difungsikan untuk menyediakan sentra logistik terpadu bertaraf internasional. Dengan adanya pelabuhan itu, maka sentra logistik akan mampu melayani industri Migas yang beroperasi di Jawa Timur dan Indonesia Timur dengan konsep One Stop Hypermarket. Capaian ini merupakan keberhasilan Lamongan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.
Sumber potensi lamongan lainnya adalah padi dan ikan. Untuk Propinsi Jawa Timur, Lamongan telah surplus menyumbangkan beras untuk masyarakatnya dan kelebihannya di ekspor ke luar daerah Lamongan. Lamongan termasuk lumbungnya padi. Demikian halnya dengan ikan, Lamongan memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI) terbesar di Jawa Timur, yaitu pelabuhan Brondong yang dulu diresmikan oleh Presiden Soeharto Tahun 1980an. Ikan yang bongkar muat di pelabuhan Brondong mampu mesuplai semua warga Lamongan hingga dapat dikomsumsi sampai ke berbagai daerah di pulau Jawa dan keluar pulau Jawa.

Dari cabang olah raga, Lamongan juga dikenal dengan sepak bolanya. Persatuan Sepak Bola Lamongan (Persela) mampu mengangkat reputasi nama Lamongan di pentas nasional. Persela beberapa kali telah menorehkan juara I Propinsi Jawa Timur. Tahun 2011 ini, persela U21 telah menyabet juara I Nasional. Prestasi demi prestasi yang lahir tentu bukan lahir dari sebuah ketidaksengajaan, akan tetapi merupakan upaya yang dirancang, dipersiapkan dan dikelola dengan baik.

Dari sekian banyak kemajuan yang ditorehkan Lamongan tersebut, yang perlu mendapat aksentuasi (perhatian/penekanan) yaitu adanya sikap mau maju, serius dan komitmen dalam memegang tugas dan amanah. Warga Lamongan tidak suka hidup kepura-puraan, akan tetapi menyukai hidup yang lugas, apa adanya dan tanpa pamrih.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Kamis, 01 September 2011

Menanam Kebajikan dengan Bersilaturrahim

Mujtahid

SETELAH sebulan berpuasa di bulan ramadhan, tradisi umat Islam tanah air adalah merayakan hari raya idul fitri. Hari raya idul fitri merupakan momentum saling kunjung mengunjungi dan bersalam-salaman, serta saling maaf memaafkan. Tradisi sangat mulia itu sudah turun temurun sejak zaman dahulu kala.

Suasana silaturrahim seperti itu menjadi sangat indah dan mengesankan. Mengesankan karena silaturrahim sangat dianjurkan oleh Islam, bahkan menjadi sumber rezeki dan panjang umur seseorang. Tidak sebatas menjadi sumber rezeki dan memperpanjang umur, tetapi bahkan juga dikaitkan dengan melengkapi bulan suci ramadhan, yaitu sebagai penutup dan menyempurnakan ibadah puasa.

Manfaat silaturrahim ialah menjadikan umat Islam agar bisa hidup bersatu dan saling menjaga kebersamaan. Kelebihan lainnya yaitu untuk mengenal lebih dekat para keluarga, sanak kerabat, teman sejawat, dan para kolega yang selama ini kita mengenalnya sebatas melalui bentuk formal, atau acara-acara tertentu yang serba terbatas. Silaturrahim dapat menyambungkan hati ke hati, pikiran ke pikiran dan obsesi-obsesi selama ini belum terjalin atau karena satu hal yang menyebabkan putus kontak.

Sebagai sebuah tradisi yang begitu mensejarah di negeri ini, silaturrahim belum dapat tergeser oleh arus teknologi informasi. Sekalipun sudah banyak handphone sebagai penggati alat komunikasi, tetapi rasanya masih kurang afdhal bila belum berkunjung dan berjabat tangan. Sebab, sebagai nilai-nilai tradisi di masyarakat, seseorang belum dikatakan silaturrahim manakala belum mengulurkan tangan dan bertemu langsung sebagai tanda permohonan maaf.

Begitu pentingnya makna silaturrahim sebagai penyatu keluarga, mempererat ikatan kerabat, dan kolega ditempat kita bekerja, maka hari raya idul fitri menjadi ajang untuk saling kunjung mengunjungi, saling memberi dan menerima maaf satu sama lain. Bahkan tradisi jawa sebelum ramadhan dan hari raya tiba, biasanya ada ater-ater (mengantarkan nasi atau kuwe) dari rumah ke rumah sebagai tanda jalinan kemanusiaan untuk memupuk hati dan sanubari menjadi lebih subur.

Rasa penuh kekerabatan dan persaudaraan itu mestinya tidak sebatas seremonial dan berbasa-basi di kulit luarnya (lahiriyah) saja, akan tetapi harus tumbuh secara utuh antara yang diucapkan/ditampakkan dan dihayati dan tercermin dalam hati sanubarinya. Sebab dengan begitu, makna silaturrahim akan memberikan kemantapan dan keberkahan mendalam sesama kita. Budaya saling memaafkan dan mendo'akan adalah anjuran yang sangat mulia yang perlu kita gerakkan dalam kehidupan sehari-sehari.

Tali silaturrahim membuka kesempatan untuk mengukuhkan sifat kemanusiaan yang paling mendasar untuk saling menjalin hubungan satu sama lain. Manusia diciptakan Allah tidak mungkin ada yang sempurna seperti halnya malaikat, karena dalam dirinya masih ada sifat jahat, riya', takabbur, dan seterusnya. Sehingga tali silaturrahim adalah upaya untuk membersihkan noda-noda dan segala macam sifat tercela yang pernah dilakukan oleh bani adam itu.

Semangat silaturrahim juga mengukuhkan bahwa hubungan sesama manusia itu sangat penting. Barangkali karena kita kurang berhubungan dengan sesema manusia, kita tidak dapat mengalami kemajuan yang cukup berarti. Sebab dimensi silaturrahim itu sangat luas---- tidak saja dalam konteks minal aidin wal faizin atau mohon maaf lahir dan batin ---akan tetapi berkaitan dengan segi pendidikan, moral, sosial, ekonomi dan lain-lain.

Itulah dulu banyak orang berhasil dan sukses karena ada suasana silaturrahim yang tumbuh dan berkembang secara alamiah. Para santri atau murid dulu sering bersilaturrahim kepada guru atau ulama untuk menimba ilmu kepadanya. Tidak saja ilmu yang ditimba, tetapi juga sifat dan perilaku gurunya. Inilah yang sekiranya perlu ditumbuhkan untuk memperbaiki generasi saat ini.

Pada zaman dulu, para santri rela menelusuri jalan yang berbelok dan gelap gulita demi mendapatkan ilmu dengan cara bertemu atau bersilaturrahim kepada guru yang didengarnya. Sebagai tamu (murid) maka selalu mengikuti apa yang diperintahkan oleh gurunya. Sebab tamu itu bagaikan mayit (al-dhuyuf kal mayyit). Seorang tamu tidak boleh mengatur tuan rumah (shahibul bait), apalagi sampai memerintah tuan rumahnya. Itu artinya sebagai tamu yang transaksional, suka mengatur dan hanya ingin untuknya sendiri.

Sehingga makna silaturrahim bila dikaitkan dengan panjang umur, itu memang benar karena silaturrahim yang berkualitas. Silaturrahim yang tidak saja sekedar berjabat tangan lalu pulang, akan tetapi yang mendapatkan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu lalu seseorang akan dapat hidup yang bermutu dan sangat panjang jika ilmunya itu diamalkan kepada sesamanya.

Silaturrahim tidak boleh hanya untuk kepentingan politik (karena atasan, atau orang memiliki kuasa), apalagi untuk hal-hal yang sifatnya transaksional. Hidup ini harus dibangun antara gerak badan dan suara hati harus seirama. Tidak boleh kalau hati berbicara iya, lalu tangan dan mulut bicara tidak. Itu artinya hidup belum seirama dan sebangun antara luar dan dalamnya. Silaturrahim sesungguhnya menyatukan antara yang luar (lahiriyah) dan yang dalam (batiniyah).

Untuk menyatukan lahiriyah dan batiniyah membutuhkan sikap wara'. Banyak orang yang secara luar terasa tampak indah dan manis, akan tetapi di dalamnya masih menyimpan rasa dendam dan musuh. Sifat inilah oleh Allah akan menjadi bahaya karena bertolak belakang dengan kehidupan sejatinya. Silaturrhamim harus mampu menghapus rasa dendam dan musuh yang selalu mengganjal dalam hati sanubarinya.

Semoga silaturrahim pada tahun ini dapat membuka lembaran baru guna melangkah hidup yang lebih bermakna dan bermanfaat bagi sesama. Silaturrahim memberikan jalan kemudahan bagi siapapun untuk mendapatkan pertolongan dan bantuan. Silaturrahim dapat menghempaskan segala macam sifat keburukan dan menanamkan kebajikan untuk sesama manusia. Sehingga manusia dapat mencapai kehidupan yang mulia, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana do'a yang selalu kita ucapkan "rabbana atina fi dunya hasanah wafil akhiratina hasanah". Itulah sesungguhnya silaturrahim yang hendak kita bangun agar hidup kita mampu menyeimbangkan kemuliyaan antara dimensi hidup di dunia dan di akhirat.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Sabtu, 27 Agustus 2011

Meraih Hari Kemenangan




SEBENTAR lagi, umat Islam akan merayakan hari raya idul fitri 1432 hijriyah. Jika puasa pada bulan ramadhan kali ini berusia 29 hari, maka hari raya (1 Syawal 1432) akan jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011. Tetapi umat Islam Indonesia masih menunggu hasil keputusan rukyat yang akan dilakukan Kementerian Agama RI di seluruh wilayah Indonesia.

Sekalipun tahun ini misalnya harus berbeda penentuan hari raya idul fitri seperti yang pernah terjadi tahun-tahun sebelumnya, sebab Muhammadiyah telah lebih dulu menetapkan 1 Syawal 1432 H bertepatan 30 Agustus 2011, tidak perlu ada perpecahan dan saling menghujat satu sama lain. Menurut prediksi beberapa pakar ilmu falak atau astronomi dikemukakan melalui media maupun dialog-dialog di sebuah forum, bahwa besar kemungkinan akan terjadi perbedaan dalam penentuan hari raya idul fitri kali ini.

Selama ini umat Islam memandang bahwa idul fitri adalah hari kemenangan, hari kembalinya jiwa umat Islam menjadi suci, baik dosa kepada Allah maupun sifat-sifat tercela yang dilakukan kepada sesamanya. Namun apakah setiap muslim secara otomatis mendapatkan hari kemenangan itu? Sebab ramadhan sebagai bulan "madrasatul nafs war ruh" hanyalah proses untuk memberikan pencerahan dan perubahan terhadap jiwa dan perilaku seseorang. Sebagai sarana pencerahan dan perubahan, maka apakah ramadhan dijadikan sebagai latihan pembiasaan yang mampu mengantarkan mereka untuk meraih prestasi kemenangan itu.


Untuk menggapai kemenangan itu biasanya memerlukan beberapa syarat. Pertama, seseorang harus memiliki niat dan motivasi yang kuat. Sekalipun niat dan motivasi itu bentuknya sangat sulit diukur---- sebab niat itu muncul dalam hati atau jiwa ---namun pengaruh niat dan motivasi sangat besar dampaknya bagi keberhasilan untuk menuai sebuah kemenangan. Bahkan, Rasulullah memberikan penjelasan bahwa jika sebuah amal perbuatan tidak diiringi dengan niat, maka semua amal perbuatan tersebut akan sia-sia.


Kemenangan--- apapun bentuk dan macamnya---tidak selalu hadir dengan sendirinya tanpa dibarengi dengan usaha atau ikhtiar. Akan tetapi kemenangan adalah sebuah proses yang melibatkan mata hati dengan sungguh-sungguh tanpa pamrih, riya' dan takabbur. Niat dan motivasi selalu dikaitkan dengan tujuan, harapan dan cita-cita untuk mendapatkan sesuatu, ialah ridha Allah Swt.

Niat dan motivasi menjadikan seseorang mudah bergerak jiwa dan fisiknya untuk melakukan sesuatu, walaupun terkadang agak sulit dan berat dikerjakan. Puasa mendorong orang untuk bersabar, berdisiplin, bertawakkal, serta menjaga lisan dan perbuatan yang tidak pastas dilakukan. Karena dorongan niat dan motivasi, semuanya amal kebaikan yang kita kerjakan menjadi ringan dan mudah.


Jadi niat dan motivasi sepanjang bulan puasa itu adalah modal yang sangat besar untuk menggapai hari kemenangan idul fitri. Artinya pasca ramadhan, niat dan motivasi itu harus kita jaga, bila perlu kita tingkatkan menjadi sebuah kebiasaan yang dapat menyatu dengan jiwa dan raga ini. Itulah cara bagaimana meraih kemenangan harus bersumber pada niat dan motivasi yang benar.


Kedua, kunci meraih kemenangan adalah kesediaan untuk berjuang dan berkorban. Ada banyak orang ingin menang dan berhasil dalam hidupnya, tetapi tidak dilakukan dengan berjuang dan berkorban. Cari ini biasanya didapat dengan cara curang, jalan pintas atau menghalalkan segala cara. Kemenangan mesti harus direbut melalui cara yang etis, sportif dan tanpa mengganggu orang lain.


Puasa selama satu bulan penuh senyatanya mengajarkan tentang pentingnya berjuang dan berkorban. Berjuang dan berkorban, selalu dikaitkan antara harta dan jiwa. Beberapa ayat dalam al-Qur'an, Allah memerintahkan bahwa berjuang dan berkorban itu harus dengan harta dan baru kemudian disusul dengan jiwa raga. Ayat al-Qur'an tersebut khithabnya ditujukan bagi orang yang sekiranya mampu, baik secara finansial (kekayaan) maupun kemampuan jiwa raganya. Namun bentuk pengorbanan itu dapat dikeluarkan sesuai tingkat kemampuannya masing-masing.

Namun tatkala kita melihat beberapa tayangan telivisi, bahwa orang yang selalu tulus ihlas berjuang dan berkorban adalah orang yang hidupnya sederhana, bahkan pas-pasan. Sebaliknya, banyak orang yang secara finalsial cukup dan kaya, tetapi justru semangat memperoleh rezeki dengan cara tidak halal dan menipu. Puasa sesungguhnya mengajari satunya hati dan perbuatan. Apa yang tertanam dihati tercermin atau tampak dari perbuatannya.

Sikap berjuang dan berkorban itu mengalahkan segala macam rintangan serta godaan yang membelenggu kita. Tatkala puasa, kita berjuang untuk tidak marah, tidak menggunjing, tidak menyakiti dan berjuang untuk tidak meninggalkan amal ibadah yang diperintahkan Allah. Dengan berpuasa, kita terasa ringan untuk melaksanakan shalat malam berjama'ah, beri'tikaf di masjid atau mushalla, membaca al-Qur'an hingga khatam, serta masih banyak lagi. Namun anehnya, pasca idul fitri semua aktivitas yang indah dan mulia itu tidak terlihat kembali.


Puasa juga membelajarkan umat Islam untuk membiasakan berkorban. Kalau saat ramadhan seseorang dengan ringan mengeluarkan sedekah, membantu pembangunan masjid, memberi ta'jil, mengeluarkan zakat, serta memberikan beberapa hadiah untuk orang-orang yang perlu mendapatkannya. Sikap berjuang dan berkorban inilah yang kira-kira akan menjadi kunci meraih sebuah hari kemenangan. Tanpa berjuang dan berkorban sulit rasanya untuk meraihnya.

Ketiga, kunci kemenangan memerlukan komunikasi dengan Allah dan sesama manusia. Agar tidak melahirkan sikap takabbur dan egois, bahwa sesungguhnya kemenangan itu adalah semata-mata datangnya dari Allah. Kemenangan juga dapat terjadi karena upaya dan sentuhan oleh orang lain, walaupun usaha berasal dari diri sendiri. Sukses tentu melibatkan kehadiran Allah dan sesama manusia sebagai media yang menyebabkan kita berhasi menang.


Puasa membelajarkan manusia agar dekat dengan Allah dan dekat dengan sesama manusia. Tidak ada satu pun ayat atau hadits yang mengajarkan bahwa pada bulan puasa supaya kita uzlah (menyendiri) meninggalkan aktivitas dan kerjasama dengan orang lain.


Semakin dekat dengan Allah langkah seseorang untuk menjalankan kebaikan akan semakin mudah. Begitu pula dengan bersama-sama (berjama'ah) seseorang menjadi lebih ringan melangkan kakinya untuk datang shalat ke masjid, melantunkan tartil al-qur'an, serta meringankan tangannya untuk menyalurkan rezikinya untuk kepentingan dan kemaslahatan ummat.

Puasa membelajarkan manusia agar terbangun hubungan yang kuat baik kepada Allah dan manusia (hablum minallah wa hablum minan nas). Barangkali karena hubungan kita kurang dekat dengan sesama manusia, maka rezeki menjadi macet, ilmu yang diperoleh tidak barakah (manfaat),serta tidak dapat menyumbangkan kontribusi untuk orang lain. Puasa selain untuk mendekatkan diri kepada Allah, juga mendekatkan diri kepada sesamanya.

Dari ketiga kunci tersebut di atas, semoga kita termasuk orang yang akan mendapat predikat kemenangan itu. Walau kita nanti tidak berada pada bulan ramadhan, kita dapat mempertahankan dan meningkatkan amal ibadah sebagaimana selama bulan ramadhan itu. Orang yang merayakan hari kemenangan idul fitri adalah orang yang mampu mempertahankan serta meningkatkan seluruh amal ibadah seperti bulan ramadhan. Sebaliknya, orang yang tidak menang alias merugi adalah orang yang tidak mampu mempertahankan, apalagi meningkatkan kualitas amal ibadahnya.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Rabu, 24 Agustus 2011

Tradisi Mudik Kian Mengasyikkan

SETIAP tahun, jumlah pemudik lebaran mengalami peningkatan. Tahun ini diprediksi meningkat lebih banyak dari tahun kemarin. Ritual tahunan ini selain membuat ruas jalan transportasi arus utama menjadi sangat padat, juga rawan kecelakaan (bahaya) dan mengundang tindakan kriminal bagi sekelompok orang yang memanfaatkan kesempatan mudik ini. Tak hanya itu, harga tiketpun juga sebagian mengalami kenaikan sesaat yang dinilai sangat memberatkan para pemudik.

Kalau setiap tahun mengalami kenaikan kuantitas pemudik, berarti pada setiap tahunnya juga mengalami “urbanisasi” pada semua kelas masyarakat, baik para pekerja, pelajar, pedagang, politisi ataupun para “pengemis”. Suasana mudik memang menjadi khas budaya Indonesia, yang memiliki makna dan nilai sangat urgent bagi kehidupan sosial. Mudik adalah tradisi masyarakat untuk merayakan hari raya atau hari besar Islam dengan cara kembali ke tanah air atau kampong halaman. Mereka mudik (kembali) ke kampong halamannya ialah untuk menjalin silaturrahim kepada orangtua, sanak saudara dan para tetangga yang dulu pernah hidup bersama-sama.

Mudik dari tahun ke tahun tidak pernah mengalami sepi, melainkan justru semakin bertambah ramai. Ramainya para pemudik itu juga ikut menyemarakkan lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Mereka pulang kampong dengan membawa oleh-oleh khas, mulai dari barang yang berupa sandang/pakaian, makanan, buah-buahan yang sudah diawetkan, obat-obatan, hingga berupa harta/uang untuk dibagi kepada anggota keluarganya.

Rasanya kita sebagai umat Islam, harus menyempurnakan ibadah puasa itu dengan menyambung silaturrahim kepada orangtua, sanak keluarga dan orang-orang yang selalu dekat dengan kita. Sehingga walaupun tempat/daerah itu terasa jauh, kita rela mudik dengan biaya, tenaga dan pengorbanan yang tidak ringan, demi untuk menjalin silaturrahim, saling berma’afan dan menikmati “kebersamaan” atau “bercengkrama” dengan orang yang selama ini lama kita tinggalkan.

Tradisi mudik memang sangat unik. Dibilang unik karena ada sebuah ‘magnit batin’ atau ikatan emosional antara pelaku dengan keluarga, sanak saudara, komunitas kampungnya, serta kekhasan lain, seperti kerinduan akan makanan, minuman, budaya dan sebagainya.

Budaya lebaran atau “riyayan” hingga saat ini ternyata masih sangat kuat. Padahal di zaman yang sudah mengalami perubahan sangat besar khususnya teknologi dan informasi juga tidak mampu menggantikan tradisi dan ritual tahunan ini. Sejak dulu masyarakat Indonesia, mulai dari aspek tradisi-budaya hingga kesukuan, memang dikenal sangat kuat jiwa paternalistiknya. Penyatuan mereka terasa kembali utuh jika mereka bisa bertemu dengan orang-orang dekat, keluarga, bahasa, kampung, serta karakteristik lainnya.

Jiwa rindu, cinta, dan kasih sayang pantas hanya untuk insan (manusia) yang berhati suci. Tatkala mereka lama meninggalkan segala apa yang mereka tinggalkan, maka ada saatnya mereka untuk bisa bertemu kembali, yaitu melalui mudik lebaran. Ada luapan perasaan dari lubuk hati sanubari yang dalam yakni suka cita yang terpancar disaat berkumpul bersama orangtua, suami, istri, anak, dan keluarga dekat.

Kalau boleh diilustrasikan, sepertinya ada semacam suntikan energi (cahaya/kekuatan baru) yang merasuk kedalam dada sanubari seorang insan, setelah bersilaturrahim dengan mereka itu. Jiwa saling memafkan, mendo’akan, “berbagi” merupakan “manhaj” atau jalan untuk melepaskan rasa kangen dan menyambung kembali tali ikat persaudaraan (ukhuwah) yang telah terputus, karena pekerjaan, tugas belajar, merantau mencari nasib keberuntungan, dan seterusnya.

Untuk menata jalan ‘hidup yang panjang’ memang butuh nasehat, pengalaman, dan do’a dari orangtua, keluarga kerabat bahkan dari siapapun. Sehingga sesukses apapun orang, jalan itu sangat penting untuk tetap dilestarikan. Yaitu dengan cara menyapa orangtua, saudara, keluarga dekat, guru, serta siapa saja yang pernah berjasa. Moment lebaran adalah suasana untuk memperkukuh tali persaudaraan yang terputus dan melepaskan segala prasangka buruk dan keji kepada siapapun.

Semoga para pemudik tahun ini dapat menemukan makna dan arti yang hakiki dari tradisi ritual yang mensejarah itu. Proses mudik yang dilakukan tidak menambah beban kepada banyak pihak, tetapi mampu menemukan solusi, menumbuhkan jiwa yang fitri, tulus, jujur dan sabar.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malang

Minggu, 14 Agustus 2011

Asah Kreativitas Guru Melalui PLPG


Mujtahid*)

SEJAK seminggu yang lalu Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menyelenggarakan kegiatan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) bagi guru-guru Pendidikan Agama Islam (PAI) sekolah umum dan Islam. Pelatihan yang diikuti oleh para guru SD hingga SMA itu merupakan agenda tahunan yang diselenggarakan Fakultas Tarbiyah sebagai lembaga LPTK yang berhak untuk mensertifikasi guru PAI dilingkungan Kementerian Agama RI.
Berbeda dengan format tahun sebelumnya, saat ini sertifikasi guru langsung mengikuti PLPG tanpa melalui tahap uji penilaian portofolio guru seperti biasanya. Portofolio guru adalah kumpulan dokumen outentik yang pernah dilaksanakan atau diraih guru sepanjang menjabat tugas sebagai guru dan ditunjang dengan bukti-bukti administrasi lain yang sah. Sertifikasi guru melalui jalur penilain portofolio guru pada tahun ini sepertinya dihentikan karena beberapa alasan yang kurang efektif dan kredibel.
Memang sejak awal digulirkan, sertifikasi guru melalui penilaian portofolio dipandang kurang efektif dan fokus untuk melihat dan mengukur kompetensi guru. Kalau ukurannya peningkatan kompetensi, rasanya sulit jika alat ukurnya adalah hanya melalui penilaian dokumen. Apalagi, akhir-akhir ini, tidak sedikit para guru yang berhasil lulus sertifikasi jalur portofolio itu justru bukan dari upayanya sendiri, melainkan atas sentuhan pihak lain atau dari upaya biro jasa (penyedia bukti-bukti fiktif) yang menjajakan kepada guru. Jadi tingkat kredibilitas kelulusan sertifikasi guru dianggap kurang mantap, karena ulah sebagian guru yang merekayasa dokumen palsu tersebut.
Perubahan kebijakan seperti itu biasanya selalu membawa dampak atau pengaruh bagi pelaku, yakni para guru dan asesor. Bagi guru, perubahan tersebut berimplikasi positif atau menyenangkan karena mereka tidak lagi bersusah payah menghimpun lembar demi lembar berkas dokumen serta bukti-bukti administrasi yang begitu berat. Belum lagi penggadaan dokumen tersebut yang tentu saja akan merogoh kocek tidak sedikit yang harus mereka keluarkan untuk penggandaan portofolio.
Sementara bagi asesor, kebijakan tersebut tentu saja tidak menggembirakan karena dapat mengurangi ‘pemasukan' yang biasanya lumayan besar. Meski demikian, kebijakan itu harus disambut dengan penuh rasa syukur dan gembira karena asesor masih memperoleh ‘berkah' dari kegiatan PLPG. Seperti biasanya, kegiatan PLPG dilaksanakan 10 hari sekali angkatan, yang tentu saja dapat mengganti penilaian berkas portofolio itu.

Asah Kreativitas dan Tumbuhkan Inspirasi
Kebijakan sertifikasi guru yang kini melalui jalur PLPG merupakan pilihan yang tepat dan efesien. Sebab, PLPG yang menggantikan penilaian dokumen adalah penilaian berbasis proses yang jauh lebih riil bermanfaatnya bagi para guru. Sekalipun hanya sepuluh hari lamanya, mereka dilatih dan dibimbing untuk memahami aspek kompetensi pedagogi, profesional, sosial dan kepribadian sebagaimana amanat PP. 19 tahun 2005.
Pelaksanaan PLPG di LPTK Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang diformat sesuai dengan visi-misi dan tujuan universitas, yaitu mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan akhlak, serta menyebarluaskan ilmu dan ketrampilan. Tak ketinggalan, semua peserta juga diajari shalawat irfan, yang merupakan ciri khas shalawat UIN Maliki Malang. Peserta PLPG juga diajak shalat jama'ah bersama, terutama shalat tarawih yang secara bergantian dari kelompok ke kelompok yang menjadi petugas adzan, imam, penceramah dan seterusnya adalah para guru itu sendiri. Pelatihan tersebut tanpak indah sekali dan benar-benar proses pendidikan yang mengajarkan kedisiplinan, ketulusan, serta menumbuhkan kebiasaan-kebiasan yang berbudi pekerti luhur.
Untuk mengasah kompetensi pedagogi, para peserta PLPG diajak mempelajari model/pendekatan dan strategi pembelajaran. Materi ini dikemas dengan pendekatan pembelajaran yang memadukan antara teori dan praktik. Para guru dibekali teori pembelajaran oleh masing-masing asesor dan kemudian dipraktikkan. Yang menyenangkan adalah mereka dapat saling bekerjasama, berbagi pengalaman, dan saling membantu dalam setiap kegiatan praktik mengajar.
Target dari materi model pembelajaran ialah untuk meningkatkan kemampuan mendesain dan mempraktikkan pembelajaran yang kreatif, inovatif serta inspiratif. Melalu materi tersebut para guru dapat memacu kreatifitasnya guna memperoleh pengalaman baru dalam menggali bentuk-bentuk pembelajaran yang kontekstual dan unggul. Tujuannya materi ini ialah semua peserta diklat dapat menerapkan model dan strategi itu pada sekolahnya masing-masing. Dari PLPG itu dapat dipetik pelajaran bahwa mengasah "kreativitas" dan energi potensi positif agar tumbuh dan berkembang secara efektif, ternyata membutuhkan jiwa kebersamaan, kerjasama, saling percaya, berberjuang keras dan berkorban. Para peserta itu sepanjang yang saya lihat memiliki jiwa itu, walau mereka berasal dari berbagai daerah kabupaten/kota dan sekolah yang berbeda-beda pula.
Sekalipun status mereka guru tetapi merasa dirinya tidak canggung walau jadi murid (peserta), yang siap menerima dan diminta untuk mempraktikkan model dan strategi pembelajaran. Tatkala salah seorang peserta diminta praktik/tampil untuk mencoba beberapa strategi pembelajaran, meraka juga dapat memposisikan diri sebagai murid, walau yang tampil adalah temannya sendiri. Modal kebersamaan dan kerjasama itulah sesungguhnya kekuatan sekaligus cara mulia untuk membangun kompetensi guru.
Selain itu, para peserta PLPG juga mendapat materi pengembangan materi PAI, perencanaan pebelajaran, evaluasi pembelajaran dan penelitian tindakan kelas (PTK). Sama seperti materi model dan strategi pembelajaran, para guru juga lebih ditekankan pada praktik. Matari Pengembangan PAI misalnya, para guru membuat peta konsep tentang masing-masing kompetensi dasar PAI yang perlu dikembangkan secara luas dan integral dengan pengetahuan lain. Seperti membahas tentang binatang halal dan haram. Dalam sebuah diskusi kelompok itu ada yang mempresentasikan bahwa binatang haram seperti babi, sekarang ini menjadi halal. Halal karena daging babi diproses terlebih dahulu dan dicapur dengan bahan lain untuk digunakan makanan binatang lainnya, seperti ayam, bebek, ikan, dan seterusnya. Ternyata ikan, bebek, ayam tersebut menjadi lebih sehat dan cepat pertumbuhannya karena berkat asupan daging babi itu. Pengembangan seperti itu merupakan terobosan baru untuk memperluas materi fiqih yang selama ini memandang bahwa binatang babi adalah binatang haram dan secara serta merta kita sangat benci. Itulah gambaran inspirasi guru bagaimana membicarakan soal pengembangan materi yang biasanya sulit diterjemahkan oleh para guru PAI, dan masih banyak hal lagi yang mereka hadirkan pada kegiatan PLPG itu.
Begitu halnya dengan materi-materi lainnya, para narasumber/instruktur mengasah mereka menumbuhkan sikap kreatif dan inspirasi kegiatan pembelajaran di PLPG. Kegiatan pembelajaran, apapun tingkatannya memang membutuhkan pergumulan, transfer pengalaman, serta keberanian dalam mengekspresikan potensi yang dimilikinya, tak terkecuali para guru itu sendiri. Semoga para guru yang telah mengikuti PLPG selama 10 hari itu mampu menggerakkan inovasi sekolahnya, menjadi pelopor para rekan sejawatnya, serta yang tidak kalah pentingnya ialah sebagai contoh tauladan bagi murid-muridnya.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Kamis, 26 Mei 2011

Kecerdasan Spiritual

MANUSIA adalah makhluk yang paling cerdas, dan Tuhan, melengkapi manusia dengan komponen kecerdasan yang paling kompleks. Sejumlah temuan para ahli mengarah pada fakta bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan paling sempurna dan akan menjadi sempurna asalkan bisa menggunakan keunggulan potensinya. Kemampuan menggunakan potensi tersebut sebagai faktor yang membedakan antara orang jenius dan orang yang tidak jenius di bidangnya.
Bila kita lacak secara holistik, maka di dalam diri manusia terdapat banyak sekali kecerdasan. Thorndike (1994), membagi kecerdasan manusia menjadi tiga hal, yaitu kecerdasan abstrak (kemampuan memahami simbol matematis atau bahasa), Kecerdasan kongkrit (kemampuan memahami objek nyata) dan Kecerdasan Sosial (kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan manusia yang dikatakan menjadi akar istilah Kecerdasan Emosional)
Pakar lain seperti Charles Handy (1990) juga punya daftar kecerdasan yang lebih banyak, yaitu: Kecerdasan Logika (menalar dan menghitung), Kecerdasan Praktek (kemampuan mempraktekkan ide), Kecerdasan Verbal (bahasa komunikasi), Kecerdasan Musik, Kecerdasan Intrapersonal (berhubungan ke dalam diri), Kecerdasan Interpersonal (berhubungan ke luar diri dengan orang lain) dan Kecerdasan Spasial)
Bahkan pakar Psikologi semacam Howard Gardner & Associates konon memiliki daftar 25 nama kecerdasan manusia termasuk misalnya saja Kecerdasan Visual/Spasial, Kecerdasan Natural (kemampuan untuk menyelaraskan diri dengan alam), atau Kecerdasan Linguistik (kemampuan membaca, menulis, berkata-kata), Kecerdasan Logika (menalar atau menghitung), Kecerdasan Kinestik/Fisik (kemampuan mengolah fisik seperti penari, atlet, dll), Kecerdasan sosial yang dibagi menjadi Intrapersonal dan Interpersonal.
Danah Zohar dan Ian Marshall, menambahkan bahwa dalam diri manusia terdapat kecerdasan spiritual. Suatu kecerdasan yang memberikan pencerahan jiwa manusia. Ia menuangkan betapa pentingnya kecerdasan spiritual memengaruhi setiap prilaku, sikap dan tindakan manusia, baik yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Di samping kecerdasan intelektual dan emosi, kecerdasan spiritual mengangkat jalan hidup manusia lebih bermakna.
Untuk menjadi diri sendiri yang handal, seseorang tidak hanya perlu memiliki kecerdasan intelektual dan emosi, melainkan juga kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual itu merupakan kemampuan seseorang untuk menyelaraskan hati dan budi sehingga menjadi orang yang berkarakter dan berwatak positif.
Plato, seorang filosof pernah berucap bahwa kesengsaraan pada dasarnya disebabkan oleh kebodohan (ignorance). Kebodohan tersebut berakar pada ketidakmampuan seseorang mengenali dirinya sendiri. Oleh karena itu, unsur spiritual sangat diperlukan seperti halnya unsur fisik agar seseorang mampu melihat lebih dalam.
Danah Zohar dan Ian Marshall menekankan bahwa kecerdasan spiritual mampu mengarahkan manusia pada pencarian hakikat kemanusiaannya. Sebab, hakikat manusia itu bisa ditemukan dalam perjumpaan manusia dengan Tuhan. Mistisisme membantu manusia untuk mencari something out there that are unknown (sesuatu di luar sana yang tidak diketahui).
Sehingga kecerdasan spiritual sangat membantu meningkatkan kompetensi seseorang untuk mengambil jalan hidup yang lebih hakiki. Tujuan SQ adalah untuk menaklukkan diri dan mengatur hidup begitu rupa sehingga tidak ada suatu pandangan hidup di bawah pengaruh sikap kelekatan pada apa pun. Kecerdasan spiritual bersifat eksistensial dan memiliki sense of mission.
Kecerdasan spiritual yang memadukan antara kecerdasan intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah. Terutama pada masa sekarang, di mana manusia modern terkadang melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu.
Danah Zohar dan Ian Marshall, sebagai penggagas awal istilah tehnis SQ (Kecerdasan Spiritual) mengatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’.
Kecerdasan ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi ter-kavling-kavling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri manusia, sehingga tak mungkin juga dapat dipisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. Seperti kata Thomas Jefferson atau Anthony Robbins, meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan pengetahuan dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi dalam pelaksanaannya, perlu dijalankan sefleksibel orang berenang.
Aplikasi dari kecerdasan spiritual dan didukung dengan kecerdasan lainnya hanyalah satu dari sekian tak terhitung cara hidup, dan seperti kata Bruce Lee, strategi yang paling baik adalah strategi yang kita temukan sendiri di dalam diri kita. “Kalau kamu berkelahi hanya berpaku pada penggunaan strategi yang diajarkan buku di kelas, namanya bukan berkelahi (tetapi belajar berkelahi)”.
*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang

Senin, 18 April 2011

Menjadikan Islam Sebagai Pandangan Hidup

Mujtahid

SEJAK dulu, umat Islam dalam memahami ajaran Islam tak pernah surut. Segala potensi dan metodologis digunakan untuk memberi jalan kemudahan mengenal Islam dari berbagai sudut dimensi. Singkatnya, banyak jalan bagaimana memahami Islam secara utuh dan komprehensif.
Islam adalah denyut nadi yang mensejarah sepanjang peradaban manusia. Sampai kapan pun, Islam tak akan pernah kering dari perhatian orang. Studi-studi agama menempatkan Islam sebagai kajian menarik yang dilakukan setiap orang. Lebih dari itu, kini Islam di Barat menjadi perhatian orang-orang yang tengah kehilangan pegangan hidup yang pasti. Tidak sedikit, orang Barat tertarik mempelajari Islam, bahkan memeluknya sebagai pegangan hidup.
Intensitas pengkajian terhadap Islam sungguh di luar dugaan. Tidak saja di pesantren-pesantren, sebagai basis mendalami ajaran Islam, melainkan di perguruan tinggi ramai mempelajari Islam. Meski ajaran Islam terkesan doktriner dan final, tetapi justru membuat banyak orang tertarik melakukan pengkajian terhadapnya. Cara pandang seseorang pun bisa berbeda, orang awam berbeda dengan kaum cendikiawan, orang kaya berbeda dengan orang miskin, politikus berbeda dengan ekonom, dan begitu seterusnya.
Memang, dari dulu ajaran Islam tetap sama. Namun setiap kepala orang dapat berbeda dalam mengartikulasikan Islam. Hal ini karena Islam mengandung nilai universalitas yang cukup memberi peluang setiap pemeluknya untuk berbeda. Meski berbeda memahami Islam, semangat untuk menghayati dan mengamalkan Islam justru semakin dinamis. Hal ini bisa terlihat dari semangat banyaknya organisasi Islam yang tak pernah sepi dari upaya kreatif memahami Islam.
Upaya-upaya tersebut di atas, sebenarnya mengajak para pemeluk Islam untuk melakukan sebuah refleksi baru mengenai apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai “reinterpretasi ajaran Islam”. Tugas ini merupakan suatu keniscayaan, sebagai salah satu upaya dalam rangka peningkatan kualitas dakwah dan pendidikan Islam, baik dilingkungan formal, informal, maupun nonformal. Islam dapat berkembang maju pesat karena dua kekuatan itu, yakni melalui dakwah dan pendidikan.
Salah satu tugas dakwah dan pendidikan Islam yang paling berat adalah “mengislamkan orang-orang Islam”. Tantangan ini semakin gamblang ketika penelitian Martin Van Bruinessen menyebutkan bahwa orang Islam yang masuk ke nusantara ini cenderung bercorak kefiqhian. Realita sejarah seperti itu, disadari atau tidak, telah membentuk karakter Islam tersendiri. Sehingga oleh Nurcholis Madjid menyebutnya dengan Islam Indonesia, sebuah ciri khas Islam lokal. Ke depan, Islam harus tampil sebagai agama yang menjawab segala kebutuhan umat manusia, tidak saja masalah ritual keagamaan, tetapi masalah peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Islam perlu dihadirkan kembali sesuai dengan sejatinya. Berbagai alternatif memahami Islam banyak ditampilkan cendikiawan muslim. Apalagi Islam masuk ke nusantara banyak melewati babakan sejarah panjang dengan berbagai motif budaya lokal yang kental. Tidak ada cara lain kecuali menerjemahkan kembali Islam sebagai ajaran murni sesuai dengan petunjuk kitab suci yang sangat kaya tentang masalah sosial, ilmu pengetahuan, pendidikan dan seterusnya. Pendek kata, perlu semacam recoveri strategi dalam memahami Islam yang betul-betul otentik demi mengembangkan kualitas umat Islam.
Memahami ajaran Islam membutuhkan rujukan aslinya. Dari sumber itu baru dapat dipahami secara korelatif, integratif dan berkesinambungan. Dengan melibatkan berbagai pendekatan (interdisipliner), secara utuh Islam dapat dipahami lebih terbuka dan kontekstual sesuai dengan tingkat peradaban umat manusia. Islam tampil sebagai kekuatan penggerak spiritual, moral, ilmu dan amal saleh.
Aktualisasi ajaran Islam adalah penting. Hal ini seperti pesan Qur’an maupun hadits yang menyuruh umat Islam agar selalu mengerahkan ‘aql atau pemikiran dan sekaligus menyesuaikan perkembangan dan perubahan zaman.
Islam sebagai agama sekaligus doktrin, setidaknya ada tiga hal yang pertu dipetik, yakni Islam sebagai sumber kekuatan dan keyakinan spiritual, Islam sebagai wawasan dan pandangan hidup (world view) dan Islam sebagai komitmen hidup dan perjuangan. Pemahaman seperti inilah akan memberikan jawaban terhadap persolaan di tengah tantangan kehidupan manusia dewasa ini. Islam menjadi petunjuk yang selalu up to date sepanjang masa.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Jumat, 18 Maret 2011

Peran Guru Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan

Mujtahid*
DINAMIKA pendidikan Islam atau yang sering disebut dengan istilah sekolah yang berlabelkan Islam, nampaknya masih menjadi kajian menarik. Pada dekade terakhir ini, sekolah yang bernafaskan Islam seringkali mendapat sorotan yang cenderung kurang menggembirakan dan membanggakan bagi semua pihak. Secara kolektif, hampir rata-rata mutu sekolah Islam rendah, bahkan lulusan sekolah Islam tergolong minoritas yang bisa masuk perguruan tinggi.
Menurut pengamatan A. Malik Fadjar, bahwa kenyataan mendasar dari sebagian dari lembaga pendidikan Islam kini telah kehilangan “mekanisme alokasi posisional”. Artinya, bahwa sistem kelembagaan pendidikan Islam telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat untuk menyalurkan peserta didiknya ke dalam posisi-posisi ideal tertentu. Berdasarkan pengamatan ini, penulis semakin percaya bahwa lembaga pendidikan Islam pasti ada “sesuatu” yang tidak berjalan secara wajar dan fungsional.
Lebih jauh lagi, sorotan yang lebih menukik ke dalam dataran sistem pendidikan dan pengajaran yang terjadi pada sejumlah lembaga pendidikan Islam di kesankan bahwa kelembagaan pendidikan Islam tanpaknya masih dalam posisi “cagar budaya” untuk menumbuhkan faham-faham keagamaan tertentu, belum berorientasi pada “taraf dan mutu”. Artinya, dalam kerangka pembelajaran belum menempatkan peserta didik atau lulusannya pada “taraf dan mutu”, serta pada konteks kemasyarakatan yang lebih luas.
Masalah kualitas, mulai dari raw-in put, proses maupun out put dinilai sangat rendah. Salah satu indikatornya adalah rata-rata nilai NEM siswa hasil didikan sekolah Islam tertinggal jauh dari sekolah negeri ataupun sekolah lain yang dikelola orang luar Islam. Kehadiran lembaga pendidikan seperti itu, secara tidak sadar akan menempatkan dirinya pada “kelas pinggiran”, yang satu persatu mengalami penyusutan karena kehilangan kepercayaan dari ummat maupun peminatnya. Kalau sistem pendidikan semacam ini masih tetap dipartahankan, maka boleh jadi pendidikan bukan saja tidak menolong masa depan peserta didik, tapi lebih jauh dari itu dapat dinilai sebagai perbuatan yang merugikan. Pendidikan yang tidak dikelola dan didasarkan pada orientasi yang jelas dapat mengakibatkan kegagalan dalam hidup secara berantai dari generasi ke genarasi. Oleh karena itu, persoalan mendasar ini termasuk bagian dari masalah yang peka dan rawan.
Sebagai lembaga pendidikan yang mengemban misi pencerahan peradaban umat masa depan, biasanya pendidikan Islam mudah terjebak pada determinisme-ideologis sehingga mengabaikan proporsionalitas dan profesionalitas serta proses-proses pengelolaannya. Dalam pandangan A. Malik Fadjar, bahwa ada sementara pihak dari kalangan umat Islam yang tidak risau menyaksikan masih lemahnya daya saing mutu lulusan sekolah-sekolah Islam dibanding dengan lulusan sekolah umum lainnya. Jika fenomena tersebut masih menjadi sikap umum sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan Islam, maka dalam perspektif metodologis-pedagogis jelas demikian itu telah menyimpang dari aspek-aspek fundamental dalam dunia pendidikan.
Dari pelbagai penilaian pakar pendidikan, ada yang menyatakan bahwa sistem pendidikan Islam, baik yang bernaung dalam Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, maupun Yayasan-yayasan Islam lainnya, tengah mengalami penurunan kreativitas, metodologis, dan kekaburan orientasi pengajaran. Bahkan sebagian pendapat mensinyalir bahwa pendidikan Islam kurang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM). Orientasi pendidikan Islam lebih terjebak pada kegiatan yang formalistik, dan tidak ada sedikitpun terlihat nuansa pengembangan keilmuan.
Ironisnya, pada setiap level kehidupan, hampir semua sektor lembaga formal maupun non-formal, termasuk di dalamnya lembaga pendidikan (sekolah) sedang mengembangkan suatu sikap tentang adanya tuntutan utama yakni profesionalisme dan modernisme. Di samping itu, bagi lembaga pendidikan diharuskan mencari model dan pola baru yang lebih inovatif guna memberikan nuansa segar bagi penyelenggaraan proses belajar-mengajar di sekolah.
Jika inovasi lembaga pendidikan Islam selalu dilakukan setiap saat, maka kemungkinan besar dirinya akan bertahan kokoh dalam menghadapi perubahan-perubahan dan perkembangan mutakhir yang semakin kompleks ini. Karena itu, pada batas-batas tertentu sesuatu yang sebelumnya sudah dianggap mapan, kini hal itu bisa menjadi ketinggalan zaman.

A. Eksistensi Guru
Guru merupakan salah satu komponen terpenting dalam dunia pendidikan. Ruh pendidikan sesungguhnya terletak dipundak guru. Bahkan, baik buruknya atau berhasil tidaknya pendidikan hakikatnya ada di tangan guru. Sebab, sosok guru memiliki peranan yang strategis dalam ”mengukir” peserta didik menjadi pandai, cerdas, terampil, bermoral dan berpengetahuan luas.
Namun kini banyak gelombang aksi tuntutan mengenai profesionalisme guru. Eksistensi guru menjadi bagian inheren yang tidak dapat dipisahkan dari satu kesatuan interaksi pedagogis dalam sistem pengelolaan pengajaran pendidikan (sekolah). Dalam pengamatan penulis, tuntutan tersebut sejalan dengan cita-cita yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3, yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Karena itu, sikap profesionalisme dalam dunia pendidikan (sekolah), tidak sekadar dinilai formalitas tetapi harus fungsional dan menjadi prinsip dasar yang melandasai aksi operasionalnya. Tuntutan demikian ini wajar karena dalam dunia modern, khususnya dalam rangka persaingan global, memerlukan sumber daya manusia yang bermutu dan selalu melakukan improvisasi diri secara terus menerus. Sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga pendidik atau guru merupakan cetak biru (blueprint) bagi penyelenggaran pendidikan.
Seorang guru yang baik adalah mereka yang memenuhi persyaratan kemampuan profesional baik sebagai pendidik maupun sebagai pengajar atau pelatih. Di sinilah letak pentingnya standar mutu profesional guru untuk menjamin proses belajar mengajar dan hasil belajar yang bermutu.
Seperti yang terungkap di atas, bahwa salah satu “kejenuhan” yang di alami pendidikan Islam akhir-akhir ini adalah kualitas guru. Sejalan dengan tuntutan dunia kerja modern, termasuk lapangan kerja dalam bidang pelayanan jasa seperti sekolah, secara kualitatif menuntut seseorang mengusai metode, cara dan alat kerja yang efesien, efektif, dan canggih (modern). Metode pelayanan yang masih menggunakan cara lama harus diubah dengan cara pelayanan baru yang memperoleh daya guna secara efektif dan efesien sehingga tercapainya tujuan yang maksimal.
Sebagai tenaga edukatif dalam lingkup sekolah, guru harus memiliki kompetensi-kompetensi dasar kependidikan. Sebab dalam interaksi pembelajaran peserta didik, seorang guru harus bisa melakukan demonstrasi yang hidup dan menyenangkan bagi peserta didik. Sehingga kompetensi tersebut menyebabkan pembelajaran semakin bertambah baik.
Untuk menuju proses kegiatan belajar yang baik, maka tugas pokok guru adalah mempersiapkan rancangan-rancangan pembelajaran yang sistematis dan berkelanjutan. Membuat perangkat pembelajaran tersebut merupakan bagian dari tugas pendidik. Di samping ia juga harus memiliki kemampuan tertentu yang sesuai dengan nilai dan norma yang seharusnya dimilikinya. Misalnya, berkepribadian dewasa, mandiri dan bertanggung jawab terutama secara moral sehingga dapat dijadikan identifikasi peserta didiknya.
Itulah mengapa seorang guru harus memiliki jiwa profesionalisme. Keberadaan guru yang sangat strategis tersebut diharapkan melalui jiwa profesionalisme dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran yang berkualitas dan menjadi tonggak yang kokoh bagi lembaga pendidikan. Oleh karena itu, kata profesionalisme perlu kita kaji secara mendalam guna melahirkan pemahaman yang holistik dan komprehensif.
Kata dasar profesionalisme sesungguhnya berakar dari kata profesi, yakni memerlukan kepandaian khusus untuk menjelaskannya. Sutisno mendefisikan profesional adalah menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya, terikat oleh pandangan hidup (world view atau weltanschaung) tertentu yang dalam hal ini ia memerlukan pekerjaannya sebagai seperangkat norma, kepatuhan terhadap perilaku, dan terikat pada syarat-syarat kompetensi serta kesadaran berprestasi dan pengabdian. Dengan demikian, istilah profesional yang dimaksud adalah serangkaian keahlian yang dipersyaratkan untuk melakukan suatu pekerjaan yang dilakukan secara efesien dan efektif dengan tingkat keahlian yang tinggi dalam mencapai tujuan pekerjaan tersebut.
Maksud dari sikap profesionalisme tersebut paling tidak mencerminkan empat ciri mendasar berikut ini, yakni pertama, tingkat pendidikan spesialisasinya menuntut seseorang melaksanakan jabatan/pekerjaan dengan penuh kapabilitas, kemandirian dalam mengambil keputusan (independent judgement), mahir dan terampil dalam mengerjakan tugasnya. Kedua, motif dan tujuan utama seseorang memilih jabatan/pekerjaan itu adalah pengabdian kepada kemanusiaan, bukan imbalan kebendaan (bayaran) yang menjadi tujuan utama. Ketiga, terdapat kode etik jabatan yang secara sukarela diterima mejadi pedoman perilaku dan tindakan kelompok profesional yang bersangkutan. Kode etik tersebut menjadi standar perilaku pekerjaannya. Keempat, terdapat kesetia-kawanan seprofesi, yang diwujudkan dengan saling menjalin kerja sama dan tolong menolong antar anggota dalam suatu komunitas tertentu.
Seseorang dikatakan profesional, bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbarui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zaman di masa depan.
Sesuai dengan UU RI No. 14 tahun 2005 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari rumusan tersebut di atas bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan perpaduan antara bimbingan, pengajaran dan latihan. Kegiatan bimbingan lebih ditekankan pada proses pengembangan mental spiritual (rohaniah, moral dan sosial). Kegiatan pengajaran ditekankan pada proses pengembangan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Guru sebagai pendidik yang profesional, berarti harus mempunyai keahlian dalam mengelola ketiga kegiatan tersebut.
Sebagai sebuah institusi, lembaga sekolah dalam prosesnya harus selalu berupaya meningkatkan profesionalisme guru dan inovasi pembelajaran. Salah satu upaya untuk meningkatan mutu pembelajaran di sekolah adalah terbentuknya kultur dan sikap profesionalisme guru yang dedikatif tinggi.
Sudah menjadi kewajiban bagi suatu lembaga pendidikan (sekolah), bahwa pengembangan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab besar yang tidak bisa ditunda lagi. Sebab, menunda hal ini berarti mengorbankan generasi masa depan yang notabenenya sebagai cagar peradaban umat. Karenanya, proses peningkatan kualitas bagi lembaga pendidikan seharusnya menyadari dan melakukan pembenahan sedini mungkin supaya pengembangan kualitas kelembagaan sekolah dan lulusannya dapat memenuhi harapan masyarakat luas. Mutu tidaknya sebuah sekolah akan dapat dilihat dari mekanisme struktural di dalamnya, apakah ada rencana yang terstruktur, sistematis, terprogram dan berkelanjutan.
Dari paparan tersebut, sudah sepatutnya lembaga pendidikan/sekolah untuk lebih meningkatkan pada orientasi mutu, termasuk salah satu di dalamnya mutu profesi guru dan sistem kegiatan belajar mengajarnya. Orientasi pendidikan yang berjalan saat ini, bukan tidak mungkin akan kehilangan elan vital-nya di masa depan, sebab kurang didukung oleh pengelola pendidikan yang profesional. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa guru merupakan faktor penting yang menetukan keberhasilan mutu pendidikan. Hasil ini menunjukkan bahwa sampai saat ini betapa eksisnya peran guru diperlukan dalam dunia pendidikan.
Salah satu upaya untuk mengatasi kebutuhan tersebut adalah mengubah orientasi sekolah yang masih berpola lama dengan inovasi yang berpola baru. Artinya, kalau sekolah masih dikelola dengan cara lama maka sudah saatnya digantikan dengan cara baru. Hal ini penting, mengingat peran lembaga pendidikan akan selalu berdialektika dengan perubahan yang terus berkembang.
Karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan harus mempertegas visi dan misi yang akan dikembangkan di masa mendatang, supaya tidak terjadi kekaburan orientasi dan kehilangan arah yang pasti. Sebab, jika tidak dilakukan maka akan berdampak pada kualitas sekolah itu sendiri. Salah satu ukuran kualitas lembaga pendidikan dapat dilihat dari proses kegiatan (non fisik), selain sarana fisiknya juga mendukung. Sehingga berbagai upaya peningkatan mutu perlu ada komitmen yang kuat dari pihak penyelenggara sekolah.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Jumat, 18 Februari 2011

Studi tentang Pengembangan Profesi Guru

Mujtahid*
Studi tentang pengembangan profesi guru memang membutuhkan keseriusan dalam sebuah tata administrasi modern. Disadari ataupun tidak, hakikat segala sesuatu yang tergelar di dunia ini perlu diatur. Pengaturan dimaksud mengarah kepada usaha kelancaran, keteraturan, kedinamisan dan ketertiban suatu usaha. Menurut Charles A. Beard, seperti yang dikutip oleh Albert Lepawzley dalam bukunya “Administration”- dan dikutip kembali oleh Siagian, bahwa “tidak ada satu hal untuk abad modern sekarang ini yang lebih penting dari administrasi.”
Menurut The Liang Gie bahwa administrasi adalah segenap serangkaian kegiatan penataan terhadap pekerjaan pokok yang dilakukan oleh kelompok orang dalam bekerjasama mencapai tujuan tertentu. Memahami maksud tersebut bahwa “segala pengaturan atau penataan seluruh sumber daya (manusia dan non manusia) dalam rangka kerjasama untuk mencapai tujuan bersama” terdapat kandungan makna penting yaitu 1) adanya kegiatan pengaturan atau penataan, 2) adanya sumber daya yang ditata, 3) adanya kerjasama dalam menata, dan 4) adanya tujuan bersama dari kegiatan pengaturan atau penataan.
Pengertian yang hampir senada juga disampaikan Sondang P. Siagian, bahwa administrasi merupakan keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dari pemahaman ini ada beberapa unsur penting yaitu; 1) adanya dua manusia atau lebih, 2) adanya tujuan yang akan dicapai, 3) adanya tugas-tugas yang harus dilaksanakan, 4) adanya perlengkapan atau peralatan untuk melaksanakan, dan 5) adanya proses kerjasama.
Dengan mendalami pengertian administrasi sekolah secara luas diharapkan terdapat keluasan horizon pemahaman terhadap aktivitas di dalamnya. Jadi administrasi bukan lagi terbayang sebagai pekerjaan tulis-menulis dibelakang meja, tetapi mencakup pengaturan manusia dan non-manusia yang dilakukan secara kerjasama.
Administrasi sekolah modern mendudukkan faktor manusia dalam puncak hierarkhi, sehingga menjadi faktor yang menentukan. Sejarah manusia dalam berorganisasi menunjukkan bahwa tiadanya peran manusia akan menghancurkan sistem administrasi. Manusialah yang membuat policy, melaksanakan, menata, mengkoordinasikan dan mengevaluasi segala aktivitas pendidikan.
Dalam studi ilmu manajemen, terdapat lima gugusan penting dalam pendidikan, yang salah satunya yaitu guru. Dalam proses belajar-mengajar, guru merupakan sosok yang memiliki peran besar dalam membantu keberhasilan siswanya. Ia menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan setiap upaya pendidikan. Meskipun diakui ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses belajar-mengajar, akan tetapi guru tetap menjadi faktor yang dominan.
Syukri Zarkasyi, pengasuh pondok modern Gontor pernah menyatakan: “al-thariqatu ahammu min al- maddah, walaakinna al-mudarrisa ahammu min al-thariqah, wa ruh al-mudarris ahammu min al-mudarris nafsihi” (Metode itu lebih penting dari pada materi, akan tetapi guru lebih penting dari metode, dan jiwa guru lebih penting dari guru itu sendiri). Ungkapan ini menegaskan bahwa faktor guru sangat menentukan dalam keberhasilan proses belajar-mengajar. Guru yang baik dan profesional akan dapat menyampaikan materi apapun secara optimal kepada anak didiknya dengan metode apa saja. Begitu juga sebaliknya, guru yang tidak memiliki kapabilitas dan profesionalisme tidak dapat menyampaikan materi secara optimal meskipun telah dipilihkan metode dan materi yang terbaik sekalipun. Oleh karena itu profesionalisme dalam proses belajar mengajar mutlak diperlukan bagi seorang guru.
Persoalan guru dalam dunia pendidikan senantiasa mendapat perhatian besar dari pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah memandang mereka sebagai media yang sangat penting artinya bagi pembinaan dan pengembangan bangsa. Mereka adalah pengemban tugas-tugas sosio-kultural yang berfungsi mempersiapkan generasi muda sesuai dengan cita-cita bangsa.
Sementara masyarakat memandang pekerjaan guru merupakan pekerjaan istimewa yang berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Dalam pandangan masyarakat, pekerjaan guru bukan semata-mata sebagai mata pencaharian belaka yang sejajar dengan pekerjaan tukang kayu atau pedagang atau yang lain. Pekerjaan guru menyangkut pendidikan anak, pembangunan negara dan masa depan bangsa. Masyarakat menaruh harapan besar pada guru guna melahirkan generasi masa depan yang lebih baik. Mereka diharapkan menjadi suri tauladan bagi anak didiknya dan mampu membimbing mereka menuju pola hidup yang menjunjung tinggi moral dan etika. Guru telah diposisikan sebagai faktor terpenting dalam proses belajar mengajar. Kualitas dan kompetensi guru dianggap memiliki pengaruh terbesar terhadap kualitas pendidikan.
Oleh sebab itu sudah sewajarnya apabila guru dituntut untuk bertindak secara profesional dalam melaksanakan proses belajar mengajar guna meningkatkan kualitas pendidikan yang mereka lakukan. Tuntutan seperti ini sejalan dengan perkembangan masyarakat modern yang menghendaki bermacam-macam spesialisasi yang sangat diperlukan dalam masyarakat yang semakin lama semakin kompleks. Tuntutan kerja secara profesional juga dimaksudkan agar guru berbuat dan bekerja sesuai dengan profesi yang disandangnya.
Profesionalisme berasal dari kata profesi, yakni jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para anggotanya. Sebagai sebuah profesi, tidak bisa dikerjakan oleh sembarangan orang yang tidak terlatih dan tidak dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Semantara makna profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dikerjakan oleh mereka yang secara khusus dipersiapkan untuk itu.
Berbicara tentang kinerja yang profesional maka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian profesi sebagai bentuk dasar kata profesional tersebut. Sikun Pribadi sebagaimana dikutip oleh Oemar Hamalik mendefinisikan profesi sebagai berikut:
“Profesi itu pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau janji terbuka, bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan atau pekerjaan dalam arti biasa, karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu.”
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa sebuah profesi mengandung sejumlah makna yang dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan. (2) Profesi dipilih oleh seseorang atas kesadaran yang dalam. (3) Dalam profesi terkandung unsur pengabdian.
Dengan demikian, bekerja secara profesional berarti bekerja secara baik dan dengan penuh pengabdian pada satu pekerjaan tertentu yang telah menjadi pilihannya. Guru yang profesional akan bekerja dalam bidang kependidikan secara optimal dan penuh dedikasi guna membina anak didiknya menjadi tenaga-tenaga terdidik yang ahli dalam bidang yang menjadi spesialisnya.
Hal tersebut dengan sendirinya menuntut adanya kemampuan atau ketrampilan kerja tertentu. Dari sisi ini maka ketrampilan kerja merupakan salah satu syarat dari suatu profesi. Namun tidak setiap orang yang memiliki ketrampilan kerja pada satu bidang tertentu dapat disebut sebagai profesional. Ketrampilan kerja yang profesional didukung oleh konsep dan teori terkait. Dengan dukungan teori ini memungkinkan orang yang bersangkutan tidak saja menguasai bidang itu akan tetapi juga mampu memprediksi dan mengontrol suatu gejala yang dijelaskan oleh teori itu. Atas dasar inilah maka pekerjaan profesional memerlukan pendidikan dan latihan yang bertaraf tinggi yang kalau diukur dari jenjang pendidikan yang ditempuh memerlukan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi.
Selain itu, bekerja secara profesional juga menuntut kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilakukannya. Ini bererati bahwa pekerjaan tersebut dilakukan melalui pertimbangan yang matang dan pemikiran yang mendalam dengan senantiasa mempertimbangkan dinamika kehidupan masyarakat yang mengitarinya.
Dari penjelasan di atas, Muhammad Ali memberikan batasan bahwa sebuah pekerjaan dapat dikatakan profesional apabila memiliki tolok ukur sebagai berikut:
1. Adanya ketrampilan kerja yang dilandasi konsep dan teori dari cabang ilmu yang terkait.
2. Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang yang terkait dengan profesi yang bersangkutan.
3. Secara formal menuntut adanya persyaratan penyelesaian tingkat pendidikan tinggi.
4. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakan
5. Memungkinkan pengembangan sejalan dengan dinamika perkembangan tuntutan dalam kehidupan.
Dengan memperhatikan kriterian profesional tersebut, maka tuntutan agar guru bertindak secara profesional tidak dapat dilepaskan dari tugas profesi dan sosial guru. Pekerjaan guru merupakan profesi atau jabatan yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Menurut Moh. Uzeir Usman, tugas profesi guru meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan ketrampilan-ketrampilan kepada anak didik.
Sementara tugas sosial guru tidak hanya terbatas pada masyarakat saja, akan tetapi lebih jauh guru adalah orang yang diharapkan mampu mencerdaskan bangsa dan mempersiapkan manusia-manusia yang cerdas, trampil dan beradab yang akan membangun masa depan bangsa dan negara. Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin tercipta dan terbinanya sumber daya manusia yang handal dalam melakukan pembangunan bangsa.
Tuntutan agar guru bekerja secara profesional tidak mungkin diabaikan guna mempersiapkan sumber daya manusia yang siap menghadapi perkembangan zaman. Tuntutan tersebut tentu saja membutuhkan kompetensi-kompetensi tertentu. Kompetensi yang dimaksud adalah hal-hal yang oleh Muhammad Ali disebutkan memiliki indikator sebagi berikut:
1. Kompetensi ditunjang oleh latar belakang pengetahuan
2. Kompetensi dapat dikenali dari adanya penampilan dalam melakukan pekerjaan itu sesuai dengan tuntutan.
3. Dalam melakukan kegiatan itu digunakan prosedur dan teknik yang jelas dan nalar
4. Dapat dikenalinya hasil pekerjaan yang dicapai.
Dengan melihat indikator di atas, dapat dipahami bahwa kompetensi menggambarkan adanya ketrampilan dan kecakapan khusus yang ditunjang oleh konsep atau teori. Apabila hal ini dikaitkan dengan pekerjaan guru di lapangan, maka perlu harus diketahui kompetensi-kompetensi apa yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pengenalan terhadap kompetensi-kompetensi tersebut penting untuk dikaji dalam rangka memahami dan mengukur serta mempersiapkan tenaga pengajar yang berkualitas yang mampu melakukan kerja secara efektif dan efesien dalam proses belajar mengajar sehingga dapat melahirkan produk dan out put yang berkualitas pula.
Lebih jauh Muhammad Ali mengatakan, bahwa secara umum kompetensi guru merujuk kepada tiga faktor utama, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional, dan kompetensi kemasyarakatan. Dengan mengutip kriteria yang ditetapkan oleh Asian Institute for Teacher Educators ia merumuskan perincian kompetensi seorang guru sebagi berikut:
1. Kompetensi pribadi yang berkaitan dengan:
a. Pengetahuan tentang adat istiadat (sosial dan agama)
b. Pengetahuan tentang tradisi dan budaya
c. Pengetahuan tentang inti demokrasi
d. Pengetahuan tentang estetika
e. Apresiasi dan kesadaran sosial
f. Sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan
g. Setia kepada harkat dan martabat manusia
2. Kompetensi mata pelajaran, yakni mempunyai pengetahuan yang memadahi tentang mata pelajaran yang menjadi tanggungjawabnya.
3. Kompetensi profesional, mencakup kemampuan dalam hal:
a. Mengerti dan dapat menerapkan landasan pendidikan, baik filosofis, psikologis, maupun landasan lainnya.
b. Mengerti dan dapat menerapkan teori belajar sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku anak
c. Mampu menangani mata pelajaran yang ditugaskan kepadanya
d. Mengerti dan dapat menerapkan metode mengajar yang sesuai
e. Dapat menggunakan berbagai alat pelajaran dan fasilitas belajar lain
f. Dapat mengorganisasi dan melaksanakan program pengajaran
g. Dapat melaksanakan evaluasi
h. Dapat menumbuhkan kepribadian anak
Kompetensi yang ditetapkan di atas memberikan penegasan tentang tugas dan fungsi guru yang diharapkan mampu memahami tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakatnya di samping menguasai bidang ilmu yang menjadi spesialisnya serta diharapkan memiliki kapabilitas untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi dan budaya serta ilmu pengetahuan tersebut kemudian mentranfer dan menanamkannya pada anak didik melalui proses pendidikan yang efektif dan efesien.

Rabu, 12 Januari 2011

PERENCANAAN MADRASAH DAN SEKOLAH ISLAM UNGGULAN

A. Pendahuluan
Lahirnya lembaga pendidikan Islam unggulan dewasa ini merupakan buah dari gagasan modernisasi Islam di Indonesia. Pembaruan pemikiran Islam dan pelaksanaan pendidikan Islam di tanah air tidak selalu sejalan lurus dengan cita-cita dan semangat ajaran Islam. Islam selain dipahami sebagai ajaran ritual dan sumber nilai, juga sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban umat manusia. Seperti yang pernah diungkapkan oleh HAR. Gibb, bahwa “Islam is indeed much more than a system of teology, if is complete civilization” (Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi ia merupakan peradaban yang lengkap). Pernyataan tersebut, berarti Islam merupakan agama yang aktual, relevan dengan segala urusan manusia, termasuk di bidang pendidikan.
Dalam konteks Indonesia, lembaga pendidikan Islam unggulan (madrasah dan sekolah Islam) telah menemukan momentumnya pada akhir abad ke 20. Meskipun pada awal abad tersebut telah muncul beberapa model lembaga pendidikan Islam dengan format dan tampilan yang berbeda, untuk tidak mengatakan modern, dari karakteristik lembaga pendidikan Islam yang ada sebelumnya, misalnya lembaga pendidikan dibawah naungan organisasi Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’.
Secara umum lembaga pendidikan Islam unggulan diformat dengan model dan gaya modern yang mengadopsi sisi-sisi meritokrasi dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai pendidikan tradisional atau konvensional sebelumnya. Bahkan, lembaga pendidikan Islam unggulan mencoba menawarkan bentuk sintesa baru yang mengkolaborasi antara tujuan pendidikan umum dengan tujuan pendidikan (agama) Islam yang sepadan. Bentuk sintesa ini kemudian diiringi dengan dukungan kualitas akademik, sumber daya manusia (SDM), sarana prasarana, sumber pendanaan yang kuat serta penciptaan lingkungan yang baik.
Kalau melihat gejala dan nuansa kebangkitan lembaga pendidikan Islam unggulan (madrasah dan sekolah Islam) nampaknya pada wilayah praksis baru muncul tahun 1980-an atau 1990-an. Baik madrasah maupun sekolah Islam unggulan mengadopsi dari sistem pendidikan umum, yang hal itu merupakan warisan dari sistem pendidikan kolonial Belanda, melalui modernisasi dari para pelaku dan praktisi pendidik orang muslim dengan menambahkan porsi materi agama Islam lebih banyak.
Eksistensi madrasah dan sekolah Islam unggulan tersebut diharapkan mampu menjawab tantangan dan tuntutan modernisasi, kemajuan globalisasi dan informasi. Hadirnya lembaga pendidikan Islam unggulan dalam konstelasi nasional sempat memancing perhatian dan perbincangan dari berbagai pakar dan ahli pendidikan untuk menangkap makna terhadap gejala dan fenomena yang terpendam dibalik itu. Hal ini wajar, karena sistem pendidikan nasional masih dianggap belum mampu menunjukkan mutu pendidikan yang signifikan.
Mencuatnya resesi moral (akhlak), perkelahian, tindak anarkhis, serta berbagai tindakan menyimpang dikalangan pelajar merupakan reasoning (pemikiran) tersendiri bagi para pelaku pendidikan untuk menghadirkan madrasah dan sekolah Islam unggulan. Wajah baru lembaga pendidikan Islam Unggulan tersebut, selain ingin menampilkan lulusan yang unggul di bidang akademiknya, juga unggul di bidang akhlak dan spiritualnya. Untuk meraih kedua misi tersebut diperlukan ”wadah baru” berupa madrasah atau sekolah Islam yang benar-benar memberikan corak dan ciri khas yang kuat dan handal dari segala lingkup dan komponennya.

B. Defenisi Madrasah dan Sekolah Islam Unggulan
Sebelum mendefinisikan madrasah atau sekolah Islam unggulan, terlebih dahulu penulis ingin mengemukakan tentang beberapa sebutan istilah atau term yang barangkali memiliki makna hampir serupa. Kata lain dari ”unggulan” seringkali disebuat dengan istilah ”model” atau ”percontohan”. Selain itu juga ada yang memakai istilah ”terpadu”, ”laboratorium” atau ”elite”.
Beberapa lembaga pendidikan Islam ada yang lebih senang memakai istilah ”model” ketimbang ”unggulan”. Sehingga wajar saja kalau ada istilah ”sekolah/madrasah model”, ”sekolah/madrasah percontohan”, atau ”sekolah/madrasah terpadu”. Madrasah atau sekolah Islam model (unggulan) merupakan representasi dari kebangkitan umat Islam untuk kalangan menengah.
Dari segi pelabelan namanya, nampak sudah jelas dapat ditebak bahwa sekolah atau madrasah model (unggulan) semacam itu tampil dengan penuh visi dan inspirasi yang mengundang penasaran banyak orang. Dari segi nama, tampaknya lebih gagah dan menjanjikan kualitas masa depan para murid.
Istilah sekolah unggul pertama kali diperkenalkan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Wardiman Djojonegoro, tepatnya setahun setelah pengangkatannya, tahun 1994. Istilah sekolah unggul lahir dari satu visi yang jauh menjangkau ke depan, wawasan keunggulan. Menurut Wardiman, selain mengharapkan terjadinya distribusi ilmu pengetahuan, dengan membuat sekolah unggul ditiap-tiap propinsi, peningkatan SDM menjadi sasaran berikutnya. Lebih lanjut, Wardiman menambahkan bahwa kehadiran sekolah unggul bukan untuk diskriminasi, tetapi untuk menyiapkan SDM yang berkualitas dan memiliki wawasan keunggulan.
Di lingkungan kementerian agama, definisi madrasah unggulan adalah madrasah program unggulan yang lahir dari sebuah keinginan untuk memiliki madrasah yang mampu berprestasi di tingkat nasional dan dunia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi ditunjang oleh akhlakul karimah. Sementara sekolah Islam unggulan adalah sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (out put) pendidikannya. Untuk mencapai keunggulan tersebut, maka masukan (input), proses pendidikan, guru dan tenaga kependidikan, manajemen, layanan pendidikan, serta sarana penunjangnya harus diarahkan untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut.
Menurut Moedjirto, setidaknya dalam praktik dilapangan terdapat tiga tipe madrasah atau sekolah Islam unggulan. Pertama, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada anak cerdas. Tipe seperti ini sekolah atau madrasah hanya menerima dan menyeleksi secara ketat calon siswa yang masuk dengan kriteria memiliki prestasi akademik yang tinggi. Meskipun proses belajar-mengajar di lingkungan madrasah atau sekolah Islam tersebut tidak terlalu istimewa bahkan biasa-biasa saja, namun karena input siswa yang unggul, maka mempengaruhi outputnya tetap berkualitas.
Kedua, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada fasilitas. Sekolah Islam atau madrasah semacam ini cenderung menawarkan fasilitas yang serba lengkap dan memadahi untuk menunjang kegiatan pembelajarannya. Tipe ini cenderung memasang tarif lebih tinggi ketimbang rata-rata sekolah atau madrasah pada umumnya. Untuk tingkat dasar, madrasah atau sekolah Islam unggulan di Kota Malang, misalnya, rata-rata uang pangkalnya saja bisa sekitar lebih dari 5 hingga 10 juta. Biaya yang tinggi tersebut digunakan untuk pemenuhan sarana dan prasarana serta sejumlah fasilitas penunjang lainnya.
Ketiga, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasi pada iklim belajar. Tipe ini cenderung menekankan pada iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah/madrasah. Lembaga pendidikan dapat menerima dan mampu memproses siswa yang masuk (input) dengan prestasi rendah menjadi lulusan (output) yang bermutu tinggi. Tipe ketiga ini termasuk agak langka, karena harus bekerja ekstra keras untuk menghasilkan kualitas yang bagus.
Dari uraian di atas dapat didefinisikan bahwa sekolah Islam atau madrasah unggulan adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki komponen unggul, yang tercermin pada sumber daya manusia (pendidik, tenaga kependidikan, dan siswa) sarana prasarana, serta fasilitas pendukung lainnya untuk menghasilkan lulusan yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara terampil, memiliki kekokohan spiritual (iman dan/atau Islam), dan memiliki kepribadian akhlak mulia.



C. Unsur Pendukung Madrasah dan Sekolah Islam Unggulan
Dalam pelaksanaannya, madrasah dan sekolah Islam unggulan perlu mendapat dukungan beberapa unsur pokok yang harus terpenuhi. Idealnya kata unggulan itu memiliki performansi yang sebanding lurus dengan amanah yang diembannya guna memenuhi harapan dan kepercayaan dari stakeholders, orangtua siswa, masyarakat dan pemerintah.
Menurut Imron Arifin, unsur pendukung madrasah atau sekolah Islam berprestasi (unggul) itu setidaknya ada sembilan faktor, yaitu:
1. Faktor sarana dan prasarana. Meliputi (a) fasilitas sekolah yang lengkap dan memadahi, (b) sumber belajar yang memadahi dan (c) sarana penunjang belajar yang memadahi.
2. Faktor guru. Meliputi (a) tenaga guru mempunyai kualifikasi memadahi, (b) kesejahteraan guru terpenuhi, (c) rasio guru-murid ideal, (d) loyalitas dan komitmen tinggi, dan (e) motivasi dan semangat kerja guru tinggi.
3. Faktor murid. Meliputi (a) pembelajaran yang terdiferensiasi, (b) kegiatan intra dan ekstrakulikuler bervariasi, (c) motivasi dan semangat belajar tinggi, (d) pemberdayaan belajar bermakna.
4. Faktor tatanan organisasi dan mekanisme kerja. Meliputi (a) tatanan organisasi yang rasional dan relevan, (b) program organisasi yang rasional dan relevan, (c) mekanisme kerja yang jelas dan terorganisasi secara tepat.
5. Faktor kemitraan. Meliputi (a) kepercayaan dan harapan orangtua tinggi, (b) dukungan dan peran serta masyarakat tinggi, (c) dukungan dan bantuan pemerintah tinggi.
6. Faktor komitmen/sistem nilai. Meliputi (a) budaya lokal yang saling mendukung, (b) nilai-nilai agama yang memicu timbulnya dukungan positif.
7. Faktor motivasi, iklim kerja, dan semangat kerja. Meliputi (a) motivasi berprestasi pada semua komunitas sekolah, (b) suasana, iklim kerja dan iklim belajar sehat dan positif, dan (c) semangat kerja dan berprestasi tinggi.
8. Faktor keterlibatan Wakil Kepala sekolah dan guru-guru. Meliputi (a) keterwakilan kepala sekolah dalam pembuatan kebijakan dan pengimplementasiannya, (b) keterwakilan kepala sekolah dan guru-guru dalam menyusun kurikulum dan program-program sekolah, dan (c) keterlibatan wakil kepala sekolah dan guru-guru dalam perbaikan dan inovasi pembelajaran.
9. Faktor kepemimpinan kepala sekolah. Meliputi (a) piawai memanfaatkan nilai religio-kultural, (b) piawai mengkomunikasikan visi, inisiatif, dan kreativitas, (c) piawai menimbulkan motivasi dan membangkitkan semangat, (d) piawai memperbaiki pembelajaran yang terdiferensiasi, (e) piawai menjadi pelopor dan teladan, dan (f) paiwai mengelola administrasi sekolah.
Selain dari pandangan di atas, penulis ingin menjelaskan dan barangkali menambahkan beberapa unsur pendukung utama yang harus dimiliki oleh madrasah dan sekolah Islam unggulan. Paling tidak, ada tiga hal yang perlu tersedia, yaitu (1) sumber daya manusia unggul, (2) sarana prasarana akademik yang representatif, dan (3) fasilitas penunjang internalisasi nilai keislaman.

1. Sumberdaya Manusia Unggul
Sumber daya manusia (SDM) merupakan asset terpenting yang dimiliki oleh madrasah dan sekolah Islam unggulan. Rekrutmen dan pengembangan SDM harus dilakukan secara terus menerus karena merupakan salah satu perioritas untuk menggapai kualitas/mutu akademik yang baik. Sumber daya manusia dimaksud meliputi; guru, tenaga administrasi (karyawan), dan tenaga laboran.
Sebagai lembaga unggulan, madrasah dan sekolah Islam harus membuat profil sumber daya manusia, terutama bagi guru-guru, dengan kreteria performent sebagai berikut:
1. Menampakkan diri sebagai sosok muslim dimana saja ia berada.
2. Memiliki wawasan keilmuan yang luas dan profesionalisme yang tinggi, kreatif, dinamis dan inovatif dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
3. Menunjukkan sikap dan perilaku jujur, amanah dan berakhlak mulia serta dapat menjadi panutan bagi kolega, siswa dan siapa saja.
4. Menampakkan dedikasi dan disiplin tinggi serta mematuhi kode etik profesi guru
5. Memiliki kesadaran tinggi dalam bekerja yang didasari oleh niat beribadah dan selalu berupaya meningkatkan kualitas pribadi
6. Bertindak secara arif dan bijak dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap masalah.
7. Memiliki sifat sabar, ikhlas dan akomodatif dalam pergaulan
8. Mengedepankan prasangka baik dan menjahui prasangka buruk
Dari delapan performent tersebut di atas diharapkan cita-cita dan harapan masyarakat terhadap madrasah dan sekolah Islam unggulan lebih mantap dan yakin. Sebab lembaga pendidikan Islam dituntut menjadi pionir dan tauladan dalam mengedepankan kualitas, menjunjung etika atau moral dan sikap profesionalisme.
Profesionalisme guru sangat dibutuhkan untuk mengembangkan mutu dan daya saing institusi. Dalam Kamus Besar Indonesia, profesionalisme mempunyai makna; mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau yang profesional. Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional. Artinya sebuah term yang menjelaskan bahwa setiap pekerjaan hendaklah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidangnya atau profesinya.
Menurut Supriadi, penggunaan istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, sedang dan rendah. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya.
Konsep profsionalisme, seperti yang dikembangkan oleh Hall, kata tersebut banyak digunakan peneliti untuk melihat bagaimana para profesional memandang profesinya, yang tercermin dari sikap dan perilaku mereka. Konsep profesionalisme seperti yang dijelaskan Sumardi, bahwa ia memiliki lima prinsip atau muatan pokok, yaitu: pertama, afiliasi komunitas (community affilition) yaitu menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal atau kelompok-kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi.
Kedua, kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand) merupakan suatu pendangan bahwa seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, mereka yang bukan anggota profesi). Setiap adanya campur tangan (intervensi) yang datang dari luar, dianggap sebagai hambatan terhadap kemandirian secara profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa untuk membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut yang bersangkutan dalam situasi khusus. Ketiga, keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi (belief self regulation) dimaksud bahwa yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan “orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
Keempat, dedikasi pada profesi (dedication) dicerminkan dari dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan tetap untuk melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik dipandang berkurang. Sikap ini merupakan ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan ruhani dan setelah itu baru materi, dan yang kelima, kewajiban sosial (social obligation) merupakan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.
Kelima pengertian di atas merupakan kreteria yang digunakan untuk mengukur derajat sikap profesional seseorang. Berdasarkan defenisi tersebut maka profesionalisme adalah konsepsi yang mengacu pada sikap seseorang atau bahkan bisa kelompok, yang berhasil memenuhi unsur-unsur tersebut secara sempurna. Itulah gambaran bagaimana sikap profesionalisme sumber daya manusia unggul yang disertai dengan jiwa dan semangat yang tinggi terhadap profesi (pekerjaan) yang disandangnya.
2. Sarana dan Prasarana Akademik
Untuk menunjang program pendidikan yang berkualitas tinggi diperlukan sarana dan prasarana akademik yang representatif. Setidaknya ada lima hal yang harus dipenuhi dalam menunjang kegiatan pendidikan di madarsah dan sekolah Islam unggulan.

a. Ruang Belajar yang Representatif
Madrasah dan sekolah unggulan biasanya dapat dengan mudah kita dilihat dari segi fisiknya, yaitu tatanan gedung sekolah yang megah dan indah yang mampu menciptakan lingkungan yang edukatif. Gedung sekolah memang setidaknya menjadi daya tarik dan sekaligus kenyamanan dalam suasana belajar. Faktor eksternal ini penting, karena pembelajaran sangat membutuhkan sebuah ruang belajar yang memadahi dan representatif.
Untuk mendukung efektifitas dan efesiensi belajar, madrasah dan sekolah Islam unggulan perlu menyediakan ruang belajar yang asri dan nyaman bagi para murid. Ruang belajar merupakan sarana yang urgen dan pokok, sehingga semua ruang kelas belajar dapat dipenuhi fasilitas yang menunjang kegiatan belajar, misalnya dilengkapi LCD dan komputer, VCD player untuk menjelaskan materi yang berbasis CD/VCD, bahkan bila mungkin setiap ruang/gedung dilengkapi dengan CCTV agar proses belajar mengajar dapat dipantau secara maksimal. Untuk kebutuhan khusus, ruang belajar dapat didesain secara menarik, agar terjadi interaksi dan pergumulan belajar yang mampu menumbuhkan budaya dan kultur akademik yang tinggi.
Melalui ruang belajar yang representatif itu perlu dikembangkan lebih lanjut dengan pembelajaran yang menerapkan sistem berbasis klasikal dan dipadu dengan berbasis riset atau eksperimen melalui laboratorium atau ruang yang khusus untuk pembelajaran materi tertentu. Bila perlu, terdapat layanan free hotspot yang telah di back up (disterilkan dari website terlarang) terlebih dahulu untuk menambahkan suasana belajar lebih menarik.

b. Perpustakaan
Perpustakaan adalah jantungnya sebuah lembaga pendidikan. Keberadaaan perpustakaan sekolah atau madrasah dimaksudkan untuk menampung koleksi buku, jurnal, majalah, CD pembelajaran yang berguna mengembangkan keilmuan para peserta didik di sekolah dan madrasah.
Sesuai dengan tingkat kebutuhan para pelajar, perpustakaan dapat dilengkapi dengan alat digital yang canggih untuk melayani sistem peminjaman dan pengembalian secara elektronik. Buku-buku yang terkoleksi tidak saja berbahasa Indonesia, akan tetapi bahasa asing (arab dan/atau inggris). Selain buku, perpustakaan juga menyediakan sumber koleksi jurnal, hasil penelitian, CD corner, dan majalah.


c. Laboratorium
Sebagai penunjang mutu pengembangan akademik, laboratorium difungsikan untuk meningkatkan kompetensi dan skill siswa. Melalui laboratorium para guru dan siswa dapat melakukan riset dan eksperimen bersama-sama guna menghasilkan temuan-temuan yang handal, hebat dan bermanfaat yang berguna tidak saja bagi pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk kebutuhan masyarakat luas.
Dalam madrasah dan sekolah Islam unggulan semestinya laboratorium dirancang untuk menghasilkan temuan-temuan baru yang berbasis integratif, yakni dengan memadukan antara perspektif Islam (al-Qur’ani –Hadits) dan sains. Bila hal ini dapat dilakukan para guru dan siswa, maka kontekstualisasi pembelajaran semakin lebih berbobot.
Para siswa diajak untuk melihat gejala dan fenomena ilmu pengetahuan dengan sentuhan nilai-nilai ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan hadits. Laboratorium sebagai pusat pembelajaran sangat menjanjikan kualitas masa depan para siswa, karena melalui observasi, riset dan eksperimen mereka akan mendapat pengalaman yang lebih berarti bagi dirinya.

3. Fasilitas Penunjang Internalisasi Nilai Keislaman
a. Boarding (Asrama/ma’had)
Beberapa madrasah dan sekolah Islam unggulan yang ada di tanah air, baik tingkat dasar sampai menengah atas, ada yang memadukan antara sistem pendidikan madrasah atau sekolah dengan sistem pesantren (ma’had/asrama). Keberadaan ma’had ini sangat penting dan strategis untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu terwujudnya kepribadian, kemandirian, serta menanamkan nilai-nilai spiritual dan akhlak kepada siswa.
Di samping itu, fungsi ma’had adalah untuk mengembangkan pembelajaran bahasa asing, yaitu bahasa Arab dan Inggris. Sebagai salah bentuk keunggulan yang harus dimiliki oleh madrasah atau sekolah Islam unggulan. Tujuan didirikannya ma’had dilingkungan madrasah atau sekolah Islam adalah untuk menciptakan suasana kondusif bagi pembiasaan belajar berkomunikasi bahasa asing, melatih dan membiasakan shalat berjama’ah, membaca dan menghafalkan al-qur’an, serta melakukan kajian-kajian keislaman.

b. Masjid
Masjid merupakan pilar utama yang dikembangkan di lingkungan madrasah dan sekolah Islam. Untuk menerjemahkan visi-misi dan tujuan pendidikan madrasah dan sekolah Islam unggulan itu, maka masjid dapat difungsikan untuk mengisi kedalaman spiritual bagi semua warga sekolah atau madrasah. Melalui masjid, kepala sekolah, para wakil kepala sekolah, para guru dan karyawan, serta semua siswa dapat membiasakan shalat jama’ah, dzikir bersama, khatmul qur’an, hifdzul qur’an serta sebagai pusat kajian-kajian keislaman.
Kalau madrasah dan sekolah Islam itu menerapkan sistem boarding (asrama), maka peran masjid menjadi sangat sentral. Semua warga sekolah atau madrasah dapat secara bersama sama memfungsikan masjid sebagai sarana ibadah dan tempat mendalami kandungan al-qur’an dan hadits. Masjid digunakan sebagai wahana pembinaan spiritual bagi seluruh siswa, terutama menumbuh-kembangkan mental, moral dan karakter siswa yang mereka selama 24 jam hidup di lingkungan madrasah atau sekolah.

D. Perencanaan Madrasah dan Sekolah Unggulan
1. Reformulasi Visi-Misi dan Tujuan Kelembagaan
Setiap madrasah dan sekolah Islam unggulan memiliki visi-misi dan tujuan yang berjangkaun luas. Hadirnya pendidikan madrasah dan sekolah Islam unggulan adalah untuk mewujudkan sistem pendidikan yang berkualitas dan memberi kontribusi pada perbaikan kualitas SDM Indonesia yang lebih mumpuni.
Umat Islam pada umumnya merindukan sebuah lembaga pendidikan Islam yang unggul dan berprestasi. Menurut Azumardi Azra, bahwa tujuan munculnya madrasah atau sekolah Islam unggulan merupakan proses “santrinisai” masyarakat muslim Indonesia. Proses santrinisasi itu dapat digambarkan melalui dua cara. Pertama, siswa pada umumnya telah mengalami “islamisasi” namun perlu mendapat perhatian dan penekanan lebih mendalam lagi, selain mempelajari ilmu-ilmu umum secara berkualitas. Mereka dibimbing lebih intensif bagaimana membaca al-Qur’an secara fasih, melaksanakan shalat dengan tepat dan benar, hingga memahami nilai-nilai ajaran substansial dalam Islam.
Kedua, ketika para siswa belajar di madrasah dan sekolah Islam unggulan itu pulang ke rumah, mereka dapat mengajarkan kepada keluarga dan lingkungan sekitarnya. Paling tidak, para siswa memiliki rasa tanggungjawab kepada orangtua dan keluarganya untuk mendakwahkan misi dan tujuan Islam yang mulia itu.
Untuk menjadikan madrasah dan sekolah Islam itu benar-benar unggul, perlu sebuah formulasi konsep, visi-misi dan tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga itu. Sekolah Islam/madrasah unggulan bukan sekadar slogan dan nama, melainkan mengemban amanah yang mulia untuk melahirkan lulusan yang mutunya baik. Visi-misi dan tujuan itu kemudian dijadikan sebagai acuan dan nilai-nilai bagi para pimpinan, guru dan karyawan serta para siswa untuk mendasari setiap aktivitas dan kegiatan pembelajarannya.
Melalui visi-misi dan tujuan itu, maka madrasah dan sekolah Islam unggulan akan dapat memetakan rencana strategis dan serangkaian program yang relevan dan signifikan. Misalnya apakah sistem madrasah dan sekolah Islam itu diformat dengan sistem perpaduan antara pesantren dengan pendidikan madrasah/sekolah, atau menentukan program full day school sebagai langkah dan upaya untuk mencapai kualitas pembelajaran yang diinginkannya.
Penyusunan visi-misi dan tujuan kelembagaan membutuhkan kerja kolektif antara pimpinan, para guru dan warga sekolah/madrasah. Sebab, rumusan itu harus dapat diterima oleh semua pihak dan dapat dijalankan siapa saja yang berada di lingkungan institusi tersebut.

2. Analisis Kebutuhan Sistem Akademik dan kelembagaan
Madrasah dan sekolah Islam unggulan membutuhkan perencanaan yang holistik dan padu. Misalnya analisis tentang pengembangan sumberdaya, sarana dan prasarana, manajemen kesiswaan, peningkatan manajerial kepala madrasah/sekolah dan pengembangan kurikulum.
Keunggulan madrasah dan sekolah Islam bisa dilihat dalam dalam beberapa ciri pokok yaitu: (1) kepemimpinan dan manajemen yang kuat (2) kualitas sumberdaya yang unggul (3) input siswa berkualitas (4) sarana dan prasarana yang mendukung, termasuk sistem asrama jika dimungkinkan (5) kurikulum yang berkembang secara adaptif, termasuk ekstrakurikuler (6) kerjasama kelembagaan dan dukungan masyarakat luas.
Pada aspek kepemimpinan dan manajemen, kepemimpinan madrasah dan sekolah Islam unggulan dipacu dengan peningkatan kualitas kepribadian, peningkatan kemampuan manajerial dan pengetahuan konsep-konsep pendidikan kontemporer yang dilakukan melalui pendidikan short-course, orientasi program, yang dilaksanakan secara simultan dan kontinyu.
Peningkatan kualitas sumberdaya dimulai dengan peningkatan kualitas guru bidang studi dengan memberikan kesempatan belajar kejenjang pendidikan S-2/S-3 di dalam dan luar negeri dan short-course sesuai dengan kebutuhan. Peningkatan kualitas tenaga kependidikan seperti tenaga ahli perpustakaan, laborat dan administrasi juga merupakan fokus garapan dalam peningkatan kualitas madrasah/sekolah unggulan. Program-program yang dikembangkan juga beragam. Dan yang unik, peningkatan kualitas sumberdaya manusia juga melibatkan komite madrasah/sekolah, pengawas pendidikan, pengurus Kelompok Kerja Guru (KKG) baik ditingkat kecamatan, maupun kota/kabupaten.
Peningkatan mutu sarana dan prasarana pendidikan difokuskan untuk pengadaan peralatan dan ruangan Laboratorium terpadu, Lab Fisika, Biologi, Bahasa dipadukan dengan Lab. Komputer. Dengan adanya Lab terpadu ini, madrasah dan sekolah Islam unggulan dimungkinkan dapat melakukan pembelajaran mandiri, sebab sudah dilengkapi dengan modul-modul yang memacu pembelajaran aktif (active learning) dan pembelajaran berbasis kompetensi. Selain itu fasilitas penunjang lain seperti masjid dan pesantren dapat difungsikan untuk memacu soft skill bagi para guru dan siswa.
Kurikulum madrasah dan sekolah Islam juga digarap sedemikian rupa untuk memacu keunggulan dalam aspek muatan lokal, ketrampilan-ketrampilan vokasional, dan ekstra kurikuler. Dalam pengembangan muatan lokal di madrasah model dimungkinkan penambahan jam belajar diluar jam sekolah/madrasah, sehingga siswa berada lebih lama di lingkungan sekolah/madrasah. Muatan lokal bisa berbentuk ciri khas keunggulan daerah seperti kesenian, budaya, bahasa, ketrampilan khusus, sesuai dengan kebutuhan.
Ketrampilan vokasional merupakan ketrampilan yang dibutuhkan untuk memperoleh kahlian khusus di bidang-bidang pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus, seperti pertanian, perbengkelan, tata-busana, tata-boga, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan ekstra adalah kegiatan pendukung yang memungkinkan siswa untuk meningkatkan minat dan bakat, misalnya seni, pramuka, palang-merah, pecinta-alam, organisasi siswa, koperasi pelajar, musik, drumband, komputer, dan lain sebagainya.
Kerjasama kelembagaan dan menggerakkan dukungan msyarakat merupakan keunggulan madrasah dan sekolah Islam yang memang sudah menjadi ciri khas, sebab pada dasarnya madrasah dan sekolah Islam merupakan community based education. Ketersediaan pendanaan sektor pendidikan madrasah yang terbatas dan sustainabilitas program pengembangan madrasah mutlak membutuhkan dukungan masyarakat dan kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah maupun swasta. Hal ini sudah dirintis sejak program perintisan madrasah model, unggulan dan terpadu, seagai sebuah exit strategy yang diterapkan dengan melibatkan masyarakat dan pemrintah terkait dalam perencanaan program dan evaluasi.

3. Memahami Konteks Geografis dan Budaya
Dewasa ini kecenderungan madrasah dan sekolah Islam unggulan dapat tumbuh dan menjamur di mana-mana. Pada dekade 90-an, sekolah Islam unggulan semacam itu hanya dapat tumbuh di sejumlah kota, seperti Jakarta, Surabaya, Cirebon, Semarang dan beberapa kota lainnya. Kini sekolah Islam unggulan itu tidak selalu identik dengan budaya kota, tetapi telah merambah ke desa-desa.
Ada kelebihan dan keunggulan yang tampak dimiliki oleh madrasah dan sekolah Islam unggulan bila posisinya berada di wilayah desa, bila dibanding dengan berada di kota-kota besar. Kelebihan itu adalah tingkat atmosfir dan dialektika pergaulan sehari-hari para siswa masih alami dan natural, dibanding dengan wilayah kota, yang telah terkontaminasi oleh kultur/budaya asing, bahasa, dan pergaulan yang bebas.
Dalam lingkup konteks Malang misalnya, sekolah Islam unggulan itu justru berada di wilayah pinggiran kota. Misalnya Al-Rahma dan Al-Izza yang letaknya di pinggiran kota, saat ini menjadi salah satu sekolah Islam unggulan yang cukup mendapat animo dan minat di hati masyarakat, tidak saja dari warga Malang Raya, tetapi juga dari luar wilayah Malang. Nuansa lokal itu akan lebih memberikan iklim dan budaya belajar lebih baik, karena jauh dari keramaian dari pusat perbelanjaan (mall), tempat pertunjukan dan permainan, serta godaan lainnya. Apalagi sistem pendidikannya dipadu dengan model pesantren, mereka harus tinggal di dalam asrama hingga tamat belajar.

E. Pengembangan Madrasah dan Sekolah Unggulan
Dalam rangka mewujudkan pengembangan madrasah dan sekolah Islam unggulan memerlukan langkah dan upaya yang fisibel dan kredibel. Sebab saat ini madrasah dan sekolah Islam unggulan harus bersaing dengan beberapa lembaga pendidikan yang sedang mencanangkan program rintisan madrasah bertaraf internasional (RMBI) atau rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).
Perencanaan (pengembangan) membutuhkan langkah strategis untuk mengembangkan keunggulan madrasah dan sekolah Islam unggulan. Penguatan keunggulan lembaga tersebut melalui cara membangun cita dan kultur akademik yang kokoh. Cita-cita didirikannya madrasah dan sekolah Islam adalah sangat mulia, yaitu ingin melahirkan lulusan yang unggul di bidang akademik, spiritual dan moral. Selama ini, hanya ada dua lembaga pendidikan yang melahirkan identitas ilmuwan yang berbeda. Yaitu pondok pesantren yang ingin melahirkan ulama’ (ahli agama) dan sekolah umum yang ingin melahirkan kaum intelektual (akademis). Madrasah dan sekolah Islam unggulan selama ini sesungguhnya bercita-cita ingin meraih kedua corak tersebut, yakni mencetak calon ulama’ sekaligus intelek atau intelek yang sekaligus ulama’.
Visi dan misi yang ideal tersebut harus diperjuangkan dan diwujudkan melalui pembenahan berbagai aspek, baik terkait dengan konsep bangunan keilmuannya (kurikulum), sumber daya manusia, pengembangan sarana dan prasarana, kelembagaan maupun leadership dan managerialnya.
Langkah strategis untuk melakukan pengembangan madrasah dan sekolah Islam unggulan tersebut memerlukan upaya sebagai berikut:

1. Membangun Mindset Secara Kolektif
Untuk mengembangkan mutu madrasah dan sekolah Islam unggulan membutuhkan pandangan, cita-cita, imajinasi, nilai-nilai keyakinan yang kuat dan kolektif. Walaupun seringkali muncul sebuah perbedaan (konflik) di madrasah atau sekolah Islam, yang cukup mengganggu kepentingan institusi yang akan dikembangkan bersama-sama. Tatkala tumbuh konflik kepentingan, antara kepentingan individu dan institusi, maka yang harus dimenangkan adalah kepentingan institusi. Aspek kepentingan institusi harus dibangun secara kolektif dengan orientasi yang sama. Kepentingan institusi harus dikedepankan daripada kepentingan individu.
Mindset yang perlu dibangun pada lembaga pendidikan Islam unggulan adalah menanamkan keyakinan dan tekad bersama kepada seluruh warga sekolah atau madrasah. Mereka digerakkan untuk memperjuangkan keunggulan institusi, dengan cara mengimplementasikan visi, misi, tradisi, orientasi dan mimpi-mimpinya ke depan selalu disosialisasikan oleh pimpinan di semua tingkatan melalui berbagai bentuk publikasi, baik secara lisan, tulisan dan bahkan media lainnya secara terus menerus ke seluruh warga madrasah atau sekolah.
Mindset secara kolektif tersebut menjadi modal sosial (social capital) bagi pengembangan kultur akademik di madrasah atau sekolah Islam unggulan ke depan. Madrasah atau sekolah unggulan membutuhkan lingkungan akademik yang handal dan tekad bersama. Inspirasi dan semangat inilah yang harus dibangun dan dikembangkan untuk meningkatkan mutu akademik dan institusinya.
Pengembangan cita dan kultur akademik sesungguhnya selaras dengan visi dan misi madrasah dan sekolah Islam unggulan. Kata ”keunggulan” menyiratkan adanya kekuatan dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain pada umumnya. Ciri dan karakteristik tersebut harus dijaga sekaligus dihidupkan agar persepsi masyarakat tidak salah tangkap. Istilah unggulan bukan hanya sekadar nama dan label, akan tetapi merupakan gambaran utuh yang didalamnya terdapat suasana akademik yang unggul, kultur lembaga (budaya organisasi) yang efektif, kualitas pembelajaran (learning quality) yang kreatif dan inovatif, serta internalisasi nilai-nilai keislaman yang aktual dalam setiap perilaku, sikap dan perbuatan sehari-hari di madrasah dan sekolah Islam.

2. Menciptakan Inovasi secara Terus Menerus
Keunggulan lembaga madrasah dan sekolah Islam sesungguhnya terletak pada inovasinya. Inovasi merupakan usaha dan kerja nyata untuk mencari dan membuat hal baru demi meraih kemajuan dan keunggulan bagi lembaga pendidikan itu sendiri. Inovasi harus didasarkan pada kebutuhan idealita dan realita agar lembaga madrasah dan sekolah Islam itu terus maju dan berkembang.
Inovasi tiada henti harus terus menerus digerakkan untuk memacu kualitas dan daya saing yang tinggi. Inovasi tidak saja diperlukan untuk selalu menyempurnakan kondisi madrasah, tetapi juga penting untuk membangun keutuhan (holistika) tujuan pendidikan madrasah dan sekolah Islam. Usaha dan kerja nyata itu ditempuh secara serentak, menyeluruh dan padu di antara beberapa elemen yang ada di madrasah dan sekolah Islam.
Bentuk inovasi itu misalnya, perbaikan atau penambahan sarana fisik, akademik, tenaga guru dan karyawan, perekrutan siswa dan seluruh aspek yang ada. Inovasi lainnya misalnya menciptakan kultur madrasah atau sekolah Islam berbasis bilingual, mentradisikan hafalan al-qur’an, menggerakkan pusat seni dan olah raga, dan seterusnya. Modal seperti inilah yang harus dituangkan dalam visi dan orientasi madrasah dan sekolah Islam unggul itu.
Melalui usaha demikian dimaksudkan agar madrasah dan sekolah Islam unggulan dapat menawarkan sesuatu yang baru, yang khas dan memiliki keunikan yang diperhitungkan oleh banyak orang. Tugas ini membutuhkan seorang pemimpin yang imajinatif dan didukung oleh warga sekolah atau mdrasah yang dedikatif dan istiqamah. Tanpa modal itu inovasi sulit diwujudkan dalam kerangka operesional di lapangan.

3. Memanfaatkan Teknologi Informasi
Menurut hemat penulis, untuk memajukan madrasah dan sekolah Islam yang merata dan berkualitas membutuhkan energi pikiran, tenaga dan usaha yang tiada henti. Madrasah dan sekolah Islam unggulan saatnya mengembangkan pembelajaran berbasis digital, selain yang sudah ada, guna mengefektifkan program dan kegiatan pendidikan yang lebih maksimal.
Pendidikan madrasah dan sekolah Islam unggulan jangan sampai tertinggal di bidang teknologi informasinya. Dengan pemanfaat IT tersebut para siswa dapat belajar lebih intensif, disamping melalui sistem reguler dan kurikuler. IT dimanfaatkan sebagai sumber belajar yang mudah dan berjangkauan luas, tanpa hambatan waktu dan tempat.
Untuk menciptakan mutu layanan akademik, menurut hemat penulis dapat kembangkan sistem digital di sekolah atau madrasah. Hampir semua aktivitas akademik melibatkan internet, sehingga program-program sekolah atau madrasah dapat berjalan secara sinergis antara unit satu dengan unit-unit lainnya. Melalui proses digital ini, upaya untuk memajukan madrasah atau sekolah sangatlah mudah diukur dan dirasakan oleh para pengguna.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Imron, 2008. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengelola Sekolah Berprestasi, Yogyakarta: Aditya Media.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta:Logos.
M. Natsir, 1954. Kapita Selekta, Jakarta: Bulan Bintang.
Moedjiarto, 2002. Sekolah Unggul, Surabaya: Duta Graha Pustaka.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Edisi III.
SINERGI, Jurnal Populer Seumber Daya Manusia, Volume 1, No. 1 Januari-Maret 1998.
Sjafri Sairin, Membangun Profesionalisme Muhammadiyah, (Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Tenaga Profesi [LPTP], 2003), hal 37.
Sumardi, Pengaruh Pengalaman Terhadap Profesionalisme Serta Pengaruh Profesionalisme Terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja, Tesis, Undip, 2001.
Supiana, 2008. Sistem Pendidikan Madrasah Unggulan, Depag RI: Balitbang dan Diklat.
Supriadi, Dedi, 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Yohanes Sri Guntur, dkk., Analisis Pengalaman Terhadap Profesionalisme dan Analisis Pengaruh Profesionalisme Terhadap Hasil Kerja, dalam Jurnal Manajemen dan Sistem Informasi (MAKSI) Undip, Semarang, Vol. 1, Agustus 2002.