SETIAP tahun, jumlah pemudik lebaran mengalami peningkatan. Tahun ini diprediksi meningkat lebih banyak dari tahun kemarin. Ritual tahunan ini selain membuat ruas jalan transportasi arus utama menjadi sangat padat, juga rawan kecelakaan (bahaya) dan mengundang tindakan kriminal bagi sekelompok orang yang memanfaatkan kesempatan mudik ini. Tak hanya itu, harga tiketpun juga sebagian mengalami kenaikan sesaat yang dinilai sangat memberatkan para pemudik.
Kalau setiap tahun mengalami kenaikan kuantitas pemudik, berarti pada setiap tahunnya juga mengalami “urbanisasi” pada semua kelas masyarakat, baik para pekerja, pelajar, pedagang, politisi ataupun para “pengemis”. Suasana mudik memang menjadi khas budaya Indonesia, yang memiliki makna dan nilai sangat urgent bagi kehidupan sosial. Mudik adalah tradisi masyarakat untuk merayakan hari raya atau hari besar Islam dengan cara kembali ke tanah air atau kampong halaman. Mereka mudik (kembali) ke kampong halamannya ialah untuk menjalin silaturrahim kepada orangtua, sanak saudara dan para tetangga yang dulu pernah hidup bersama-sama.
Mudik dari tahun ke tahun tidak pernah mengalami sepi, melainkan justru semakin bertambah ramai. Ramainya para pemudik itu juga ikut menyemarakkan lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Mereka pulang kampong dengan membawa oleh-oleh khas, mulai dari barang yang berupa sandang/pakaian, makanan, buah-buahan yang sudah diawetkan, obat-obatan, hingga berupa harta/uang untuk dibagi kepada anggota keluarganya.
Rasanya kita sebagai umat Islam, harus menyempurnakan ibadah puasa itu dengan menyambung silaturrahim kepada orangtua, sanak keluarga dan orang-orang yang selalu dekat dengan kita. Sehingga walaupun tempat/daerah itu terasa jauh, kita rela mudik dengan biaya, tenaga dan pengorbanan yang tidak ringan, demi untuk menjalin silaturrahim, saling berma’afan dan menikmati “kebersamaan” atau “bercengkrama” dengan orang yang selama ini lama kita tinggalkan.
Tradisi mudik memang sangat unik. Dibilang unik karena ada sebuah ‘magnit batin’ atau ikatan emosional antara pelaku dengan keluarga, sanak saudara, komunitas kampungnya, serta kekhasan lain, seperti kerinduan akan makanan, minuman, budaya dan sebagainya.
Budaya lebaran atau “riyayan” hingga saat ini ternyata masih sangat kuat. Padahal di zaman yang sudah mengalami perubahan sangat besar khususnya teknologi dan informasi juga tidak mampu menggantikan tradisi dan ritual tahunan ini. Sejak dulu masyarakat Indonesia, mulai dari aspek tradisi-budaya hingga kesukuan, memang dikenal sangat kuat jiwa paternalistiknya. Penyatuan mereka terasa kembali utuh jika mereka bisa bertemu dengan orang-orang dekat, keluarga, bahasa, kampung, serta karakteristik lainnya.
Jiwa rindu, cinta, dan kasih sayang pantas hanya untuk insan (manusia) yang berhati suci. Tatkala mereka lama meninggalkan segala apa yang mereka tinggalkan, maka ada saatnya mereka untuk bisa bertemu kembali, yaitu melalui mudik lebaran. Ada luapan perasaan dari lubuk hati sanubari yang dalam yakni suka cita yang terpancar disaat berkumpul bersama orangtua, suami, istri, anak, dan keluarga dekat.
Kalau boleh diilustrasikan, sepertinya ada semacam suntikan energi (cahaya/kekuatan baru) yang merasuk kedalam dada sanubari seorang insan, setelah bersilaturrahim dengan mereka itu. Jiwa saling memafkan, mendo’akan, “berbagi” merupakan “manhaj” atau jalan untuk melepaskan rasa kangen dan menyambung kembali tali ikat persaudaraan (ukhuwah) yang telah terputus, karena pekerjaan, tugas belajar, merantau mencari nasib keberuntungan, dan seterusnya.
Untuk menata jalan ‘hidup yang panjang’ memang butuh nasehat, pengalaman, dan do’a dari orangtua, keluarga kerabat bahkan dari siapapun. Sehingga sesukses apapun orang, jalan itu sangat penting untuk tetap dilestarikan. Yaitu dengan cara menyapa orangtua, saudara, keluarga dekat, guru, serta siapa saja yang pernah berjasa. Moment lebaran adalah suasana untuk memperkukuh tali persaudaraan yang terputus dan melepaskan segala prasangka buruk dan keji kepada siapapun.
Semoga para pemudik tahun ini dapat menemukan makna dan arti yang hakiki dari tradisi ritual yang mensejarah itu. Proses mudik yang dilakukan tidak menambah beban kepada banyak pihak, tetapi mampu menemukan solusi, menumbuhkan jiwa yang fitri, tulus, jujur dan sabar.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar