Selasa, 04 November 2014

Dzikir Mengasah Kesadaran Nurani



Judul Buku    : Zikrullah; Urgensinya dalam Kehidupan

Penulis          : Usman Said Sarqawi
Penerbit        : Rosdakarya, Bandung
Cetakan       : I (Pertama),  2013
Tebal            : 196 halaman
Peresensi      : Mujtahid *

DZIKIR adalah upaya membangun dimensi kesadaran jiwa, hati dan nurani antara makhluk (manusia) dengan Sang Khaliq (Tuhan). Secara bahasa, dzikir berarti mengingat, memperhatikan, mengambil pelajaran, atau mengenal.  Sebagai pengangan hidup kaum mukmin, al-Qur’an menyerukan supaya kita selalu berdzikir dalam keadaan apa pun (QS. 33: 41; QS.4: 103).

Secara fungsional, makna dzikir yaitu sebagai ”kompas hidup” yang menuntun jalan hidup manusia. Dzikir harus menjadi kekuatan bathiniyah dalam membangun kualitas perilaku, watak dan tindakan yang sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai al-Qur’an dan al-Sunnah. Dzikir bukanlah sekadar sebagai ritual seremonial esoteris (ruhani) yang diucapkan berkali-kali, melainkan sebagai panduan dan kendali gerak tindakan empiris (eksoteris) manusia di muka bumi.

Dzikir dalam al-Qur’an dikaitkan dengan ciri utama ulul albab (QS. 3: 190-191). Yaitu sosok manusia yang pikirannya cerdas, hatinya lembut, pandangannya tajam dan beramal shaleh (profesional). Melalui dzikir, seharusnya manusia mawas diri, tidak berbuat jahat, korupsi, melanggar hukum, dan segala bentuk kejahatan lainnya.

Merespon isu-isu mutakhir mengenai merosotnya kualitas hidup manusia di tanah air, Usman Said Sarqawi, melalui karya ini menawarkan gagasan konstruktif, bahwa dzikir adalah solusi nyata yang menyadarkan nurani manusia supaya hidupnya selaras dengan cita-cita, tujuan, haluan dan taqdir dari Sang Pencipta (khaliq).

Hakikat dzikir yaitu menghadirkan ”keagungan Allah” dalam setiap detak napas diri kita. Sepanjang jiwa raga ini masih bernapas, maka dzikir itu tiada henti diamalkan, baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring. Posisi manusia di muka bumi ini pasti tiga hal itu, yakni berdiri, duduk dan berbaring. Ilustrasi dalam al-Qur’an itulah mengapa ungkapan ”dzikran katsiran” (dzikir sebanyak-banyaknya) tidak hanya dimaknai sebatas kuantitas (jumlah), melainkan jauh lebih penting dari itu ialah nilai kualitas (kebermaknaan) dzikir itu sendiri.

Dalam menjalani hidup di alam semesta ini, dzikir adalah kebutuhan. Dzikir dapat menenangkan jiwa (batin). Dzikir mempengaruhi kualitas dan produktifitas kinerja (profesi). Kualitas dzikir sejatinya menjadi ”equlibrium” (penyeimbang) antara gerak jiwa (nafs) dan raga (jism). Dzikir dapat menyehatkan, baik jasmani maupun ruhani. Dzikir juga dipersepsi mampu memperpanjang umur, sebab terdapat keselarasan (koneksitas) yang holistik (utuh) antara ruh, otak, jiwa, hati dan tindakan. Dzikir membuat sel-sel saraf, urat nadi, dan organ-organ fisik lainnya bekerja secara teratur dan seimbang.

Begitu urgennya makna dzikir, kita harus selalui mengamalkan setiap saat untuk mencerahkan jiwa (tanwirul nafs) dan menyehatkan jasmani. Orang berdzikir semestinya selalu berpikir positif (husnudhan), hidupnya bermanfaat bagi sesama, dan tidak mecelakai orang. Perilaku mudzakir (orang yang berdzikir) harusnya menampakkan kebaikan di manapun mereka berada. Dzikir mestinya menjadi ”monitor” yang selalu mengawasi dirinya saat beraktivitas ditempat kerja, berbicara dengan orang lain di manapun dan kapanpun. Misalnya, dzikir merupakan manifestasi ”kemuliaan Tuhan” tatkala kita melayani ”konsumen”, rapat/sidang di kantor, jual-beli di pasar, mengajar di sekolah, menangkap ikan di laut, mengatur lalu lintas di jalan, dan di mana saja.

Sejalan dengan misi dan tujuan hidup manusia, dzikir sejatinya sebagai penguat jiwa (nafs) dan ruhani manusia agar selalu dalam naungan kebenaran ilahi. Amalan dzikir harus dipahami sebagai ”pembangkit” atau motivasi yang menggerakkan seluruh potensi yang kita miliki untuk berbuat secara arif dan bijaksana (wisdom). Pendek kata, dzikir sebagai peredam setiap tindakan destruktif, baik berupa amarah (penjahat), musawwilah (penipu), lawwamah (pencela) dan bentuk lainnya. 
 
Nilai spiritual edukatif dzikir yaitu ber-takhalli (membersihkan diri dari sifat yang tercela/maksiat lahir maupun batin, dan ber-tajalli (mengisi dengan sikap ihlas (niat tulus/murni), muraqabah (merasa diawasi oleh Sang Khaliq), muhasabah (memperhitungkan kualitas tindakan), hubb (cinta kepada Allah), serta sifat-sifat mulia lainnya.

Dari nilai-nilai hakikat dan makna tersebut, dzikir tidak berarti ditempuh dengan cara uzlah/khalwat (mengasingkan diri) di tempat-tempat dan seremonial tertentu, tetapi justru harus tetap aktif melibatkan diri dalam aktivitas duniawi. Penghayatan dzikir tidak berhenti sebatas pemuas batiniah, melainkan seharusnya memancarkan aura tindakan yang memadukan antara kedalaman spiritual dengan perbuatan nyata (action) yang produktif dan kontributif bagi kemakmuran alam raya.

Sebagai bahan renungan sekaligus pelajaran (ibrah) yang begitu inspiratif dan mendalam, buku ini selayaknya menjadi remote yang menghidupkan kesadaran jiwa, hati dan nurani kita yang barangkali tertidur. Sejuta anugerah potensi pada diri kita, selayaknya perlu diasah, disentuh dan dilatih secara istiqamah supaya hadir penuh makna, baik untuk diri sendiri, orang lain, alam semesta, dan tentu ujungnya ialah memperoleh keridhaan dan kecintaan dari Sang Khaliq Dzat yang Maha Agung dan Kekal. Selamat membaca!

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang


Minggu, 15 Juni 2014

Mengemas Dakwah sebagai Edukasi Sosial


Judul Buku   : Kajian Dakwah Multiperspektif

Penulis         : Asep Muhyiddin, dkk

Penerbit       : Rosdakarya, Bandung

Cetakan       : I (Pertama),  2014

Tebal           : 336 halaman

Peresensi      : Mujtahid *


DAKWAH adalah seruan atau ajakan yang dilaksanakan para penda’i untuk mengajak dan ”mengilhami” semua orang agar mereka senantiasa berbuat baik. Umumnya, pandangan tentang dakwah, masih dimaknai sebatas kegiatan keagamaan (memuaskan dimensi spiritualitas), pengajian (syukuran, peringatan hari besar Islam), dan siraman rohani yang hanya bermuara dakwah bil lisan (ceramah) melalui mimbar, takshow, atau orasi bebas.  


Padahal, dakwah era kontemporer saat ini tidak cukup hanya dengan lisan (ceramah), melainkan harus dengan aksi nyata (bil hal) dan media tulisan (bil kalam). Model dakwah yang menyentuh dan berdampak positif akan membuat masyarakat lebih merasakan langsung ketimbang dengan ceramah melalui mimbar-mimbar, walaupun hal itu penting.


Dakwah merupakan jalan penerang kehidupan manusia. Para nabi dan rasul diutus untuk menjadi penerang (tanwir) yang mengajak umatnya untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan (fastabiqul khairat). Secara historis, kesuksesan dakwah para nabi/rasul adalah karena pilihan format dan tindakan dakwahnya yang sangat menyentuh dan adaptif terhadap kebutuhan umatnya. Dakwah para nabi/rasul tidak mengambil jalan konfrontatif, apalagi menggunakan cara-cara anarkhis. Strategi dakwah profetik (kenabian) selalu mengedepankan nilai-nilai ”keadaban” dan ”kemanusian” yang agung dan mulia.


Misi besar Islam yang diterjemahkan para nabi, rasul serta para penda’i adalah membuat tatanan masyarakat menjadi cerdas, unggul dan maju. Dakwah sebagai tugas mulia, memiliki makna penting yang luarbiasa dalam membangun alam kesadaran intelektual dan perilaku sosial umat manusia yang etis dan luhur.

Merespon cita-cita mendasar seperti hal di atas, Asep Muhyiddin, dkk melalui buku ini, menghadirkan konstruksi teoritis dan praktis mengemas model dakwah yang solutif. Para pegiat dakwah akan melihat fenomena sosial, membaca realitas masyarakat serta mengaitkan isu-isu global dengan nilai-nilai Islam. Selain berlandaskan teoritis dan praktis, karya ini juga menyuguhkan kajian akademik bersumber pada riset-riset ilmiah tentang problem-problem kajian dakwah.


Misi Dakwah: Edukasi Sosial

Dakwah dapat dimaknai sebagai proses edukasi (pembelajaran) oleh pendidik (nabi/rasul, guru, mursyid) kepada semua orang.  Dakwah merupakan wahana untuk mencerdaskan pikiran (otak), menumbuhkan-suburkan spiritual (jiwa/hati), serta membekali ketrampilan (skill) kepada umat. Peran nyata yang diakibatkan oleh kegiatan dakwah, yaitu melakukan misi edukasi sosial yang terus menerus sepanjang zaman.


Dakwah  era kontemporer sekarang ini membutuhkan metode yang tepat sasaran dan efektif. Mengatasi hal itu, kita perlu mengemas strategi dakwah dengan pendekatan multidimensional, yakni melalui cara-cara adaptif-efektif yang relevan dengan kondisi dan situasi masyarakat. Strategi dakwah yang melintas batas bidang kehidupan, seperti masalah sosial, ekonomi, budaya, keagamaan, politik, pendidikan, pertanian, kelautan, kesehatan  dan seterusnya. Dakwah bil hal akan semakin manjur dan efektif dalam membangun akselerasi tatanan kehidupan sosial lebih baik.


Dakwah era kontemporer dapat dilakukan dengan bentuk pendidikan dan latihan (diklat) yang hasilnya lebih kontributif dan nyata (riil). Selain dakwah yang sifatnya monolog (ceramah), kiranya perlu dipikirkan terobosan baru dengan aksi dan kreasi yang kompatibel dengan persoalan umat. Dakwah adalah solusi mengentaskan persoalan (problem solving) umat, dan bukan malah menambah beban umat. Dakwah menjadikan umat ”teredukasi” (tercerahkan, terpelajar) yang dampaknya mereka mampu mengatasi problematika masing-masing.

Upaya hal tersebut memerlukan peran dakwah secara kolektif, yaitu melalui organisasi masyarakat (ormas), terutama Ormas Islam (Muhammadiyah, Al-Irsyad, Nahdlatul Ulama, Persis, Hidayatullah, dll) sebagai pilihan utama untuk mencerdaskan dan membangun kualitas masyarakat terpelajar. Gerakan dakwah perlu diubah dari bersifat monolog (seremonial), menuju aksi (tindakan) nyata, misalnya memperbesar porsi dakwah dibidang pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan melalui pembinaan budidaya tanaman dan perikanan, ekonomi melalui pelatihan usaha kecil dan menengah (UKM), serta bentuk-bentuk usaha kreatif lainnya.


Dakwah masa depan diangankan menjadi kebutuhan edukatif umat dan sebagai jalan solusi problem sosial keagamaan. Sebagai rujukan para juru dakwah, sumber bacaan seperti ini diharapkan menjadi inspirasi dan bekal praktis untuk merespons isu-isu strategis dakwah yang relevan dengan perkembangan zaman.


Gagasan para akademisi ini meneguhkan semangat akademik untuk terus mematangkan dan mengembangkan konstruksi ilmu dakwah, baik secara metodologis maupun ketegasan batasan dan wilayah kajiannya, termasuk menggambarkan ragam problem dan tantangan yang dihadapinya. Selamat Membaca!


*) Mujtahid, Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang



Senin, 10 Februari 2014

Meneladani Spirit Hidup Nabi Muhammad SAW

Mujtahid*

SUDAH menjadi tradisi turun temurun di tanah air, bahwa setiap 12 Rabiul Awwal hijriyah umat Islam memperingati kelahiran (milad) Nabi Muhammad Saw. Tradisi itu bahkan dilembagakan oleh kelompok thariqat atau majelis dzikir tertentu dengan memperingatinya berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan hingga berbulan-bulan.

Nabi Muhammad Saw lahir sebagai seorang anak yatim [QS. 93:6] di tanah Jazirah Arab 14 abad yang silam. Kelahiran tersebut telah disetting oleh Sang Khaliq sebagai aktor pencerah (tanwir) yang agung dan mengagungkan peradaban umat manusia. Jejak perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw telah mampu mengubah tatanan masyarakat jahiliyah (awwam) menjadi masyarakat yang cerdas (khawas), beradab dan berakhlak mulia dalam lintasan ruang dan waktu.

Sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad Saw berhasil mengubah kultur dari perilaku warga yang suka perpecahan (konflik/skisme) menjadi warga yang bersaudara (ukhuwah) antar bani, suku dan ras. Misi besar kerasulan berikutnya adalah menata sistem keyakinan (keimanan) umat manusia dari yang bercorak aninisme atau dinamisme menjadi pengikut yang monotheisme (tauhid). Perjuangan dan pengorbanan Nabi Muhammad Saw hingga mencapai keberhasilan seperti itu memakan rentang waktu lebih kurang 22 tahun lamanya.
           
Teladan Umat Manusia
Nabi Muhammad Saw ditunjuk oleh Allah sebagai panutan, suri tauladan dan pemimpin umat manusia. Sungguh tidak ada manusia di muka bumi ini yang mampu menandingi budi pekerti, kepribadian dan watak perangainya itu. Dari berbagai sumber referensi shirah nabawiyyah, Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai pemimpin yang jujur (shidiq), dapat dipercaya (amanah), cerdas (fathanah) dan komunikatif (tabligh) kepada siapa saja melintas batas hereditas, primordialisme maupun sekat-sekat kesukuan, ras dan keyakinan sekalipun.

Pentingnya memperingati milad Nabi Muhammad Saw setiap tahun itu adalah agar kita dapat meneladani “nilai-nilai kepribadian agung”  tersebut menjadi sumber energi jiwa raga pemeluk umat Islam. Peringatan miladurrasul bukan berhenti sebatas seremonial belaka, melainkan kita peringati melalui aksi nyata dengan mencontoh spirit keluhuran budi pekerti dan perangai Rasulullah itu dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai pengikut Nabi Muhammad Saw (Muhammadiyah), umat Islam harus tampil sebagai pelaku atau aktor penggerak kemajuan dan keunggulan komunitas, masyarakat, dan negara (khaira ummah) [QS. 3:110]. Kunci-kunci meraih kesuksesan hidup, baik di alam dunia maupun akhirat, juga sudah banyak diperagakan oleh Nabi Muhammad Saw. Pertanyaanya, apakah kita sudah sepenuhnya “memperingati” miladurrasul secara sungguh-sungguh, masuk menjadi bagian dari kepribadian kita?

Gambaran ideal sebagai pengikut Nabi Muhammad Saw adalah orang yang dapat menjalankan ritme hidupnya bermanfaat bagi orang lain, keterpaduan antara ucapan dan perbuatannya, keberadaan dirinya dirindukan oleh sesamanya, seimbang antara kesalehan ritual (ibadah) dan sosialnya, serta menjadi sosok yang mampu membaca tanda-tanda perubahan zaman.

Sebagai teladan umat manusia, kehebatan Nabi Muhammad Saw adalah mampu memadukan pandangan integralistik Islam secara komprehensif (utuh/holistik) dalam menjaga hubungan dirinya dengan Sang Khaliq (Hablum Minaallah) dan hubungan dirinya dengan sesama manusia (Hablum Minannas). Cara pandang inilah sebagai kata kunci (keyword) untuk menjadikan diri sebagai manusia pilihan, manusia mulia dan agung, yang terbalut oleh budi pekerti, akhlak mulia dan cerdik cendikia.

Menjaga hubungan dekat antara diri kita dengan Allah dan sesama manusia bukanlah hal yang ringan. Sebab godaan dan rintangan selalu menghadang di mana pun dan kapan pun. Mungkin, kita tidak terasa telah berkongsi (bersekutu) dengan syetan dan Iblis, sehingga jauh dari Allah dan manusia. Nabi Muhammad Saw sukses dan berhasil dalam mengemban misinya, karena teguh dan istiqamah dalam menjaga keseimbangan (equilibrium) hidup antara dekat dengan Tuhan dan Manusia.

Sebagai pengikut Nabi Muhammad Saw, sepantasnya kita perlu merenungkan kembali seraya menata diri untuk memperbaiki kualitas hidup sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam. Kalau hari ini kita belum dapat merubah diri secara menyeluruh, maka kita mulai lakukan dari hal-hal yang mudah dan sederhana terlebih dahulu.  Setelah yang mudah dan sederhana terlewati, kemudian berikutnya kita gerakkan jiwa, pikiran dan hati untuk berkarya yang lebih besar dan berbobot.

Melalui momentum miladurrasul 1435 hijriah, marilah kita sinergikan antara antara gerak pikiran, jiwa dan hati nurani untuk menebarkan kebaikan, kemanfaatan bagi sesama (rahmatan lil ’alamin) sesuai profesi (bidang pekerjaan) kita masing-masing. Tujuan besar dan misi mulia itu akan terwujud, manakala fungsi kesadaran jiwa hidup, kepekaan hati hidup, dan kecerdasan akal juga hidup seperti teladan Nabi Muhammad Saw. Tidak ada bekal yang kekal yang akan kita miliki, kecuali amal shalih dan ketaqwaan kepada Allah serta mencintai dengan cara meneladani spirit hidup Rasulullah Saw.

*) Dosen PAI FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang