Rabu, 22 Desember 2010

Dari Civil Society menuju Global Society

Mujtahid

DARI sejumlah pengalaman banyak negara, demokrasi merupakan jalan berliku dan penuh duri yang membutuhkan terobosan manajemen gerakan dari aktor organisasi masyarakat sipil. Dalam konteks Indonesia misalnya, kebekuan demokrasi selama bertahun-tahun hanya mampu dilawan dan dipecahkan lewat peran masyarakat sipil.
Peran civil society (masyarakat sipil) dimungkinkan dapat menembus lintas batas sektoral yang menghadangnya. Sebab tantangan serius bagi civil society, baik secara domestik maupun global, pasti akan berhadapan dengan “kekuasaan” dan “kekuatan kapital” yang itu merupakan musuh internal dan eksternal suatu bangsa.
Saat ini negara-negara maju menginginkan bagaimana caranya agar civil society mefungsikan peran-peran organisasi sosialnya; seperti media, perguruan tinggi, ormas, kelompok agama, kelompok adat, ikut berpartisipasi melakukan check and balance terhadap power negara dan tekanan kapital yang meruntuhkan pilar-pilar demokrasi.
Dengan mengefektifkan organisasi sosial tersebut, sendi-sendi demokrasi dapat dibangun di atas kepentingan bersama, walaupun harus berbeda partai, suku, agama, status pendidikan dan sosial, demi memajukan pembangunan bangsa.
Harus diakui bahwa sampai saat ini, organisasi civil society di Indonesia masih lemah dan memiliki kapasitas terbatas. Hal ini terutama disebabkan karena sebagian besar dari organisasi tersebut belum mandiri, khususnya ketika bersinggungan dengan pendanaan, yang ujung-ujungnya sering ketergantungan dengan “agen asing” dari yang memberikan bantuan itu.
Dalam pandangan Andiwidjayanto (2007), dikatakan bahwa betapa derasnya arus perubahan sosial, budaya dan politik terjadi ditingkat global yang ikut mempengaruhi dinamika kehidupan nasional. Akibat fenomena ini, maka organisasi masyarakat sipil seharusnya mengadopsi sebuah prinsip atau jargon “think globlly, act locally”.
Prinsip di atas mengajarkan bahwa dalam bentindak pada level lokal, seseorang harus pula memahami bagaimana kekuatan global (pengaruh eksternal) mempengaruhi realitas keadaan lokal (internal). Prinsip ini hendak mengatakan bahwa upaya menghadapi masalah-masalah lokal tanpa mengetahui dan memahami kekuatan proses tingkat global yang semakin meningkat merupakan kesalahan taktik.
Menurut Rajesh Tandon, mantan ketua CIVICUS: World Alliance for Citizen Parcipation, mengusulkan bahwa para aktivis sosial perlu berpikir secara global dan bertindak secara lokal, karena kenyataan globalisasi telah merasuk ke dalam jantung tatanan nasional kita.
Saat ini, terdapat sejumlah aktor global civil society actor, termasuk keorganisasi internasional seperti Amnesty International dan Greenpeace, juga ornop international otonom seperti human right watch. Jejeringan masyarakat sipil telah berkembang di sekitar area-area isu spesifik yang menjadi perhatian sebagian besar masyarakat di dunia.
Gerakan-gerakan transnational civil society movements terus melakukan proses pemantauan terhadap power dan praktik sistem negara-bangsa. Mereka telah menentang hukum internasional dan terpenting menentang geopolitik negara-negara kaya dunia yang dianggap hanya memenuhi ambisi mereka sendiri.
Liberalisasi kapital dan perkembangan teknologi membawa dampak positif dan negatif terhadap eksistensi masyarakat sipil. Masalah tatanan dunia global terletak pada keputusan-keputusan yang diambil oleh pusat-pusat kekuasaan, yakni negara, institusi multilateral, dan perusahaan internasional serta modal keuangan telah melampaui batas teritorial negara. Padahal, partisipasi demokrasi dan kesepakatan sosial tetap berdasarkan batasan teritorial dalam sebuah negara.
Dengan menggerakkan partisipasi masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan global, maka menjadi alternatif untuk menjadikan sistem global lebih demokratis, membatasi hegemoni negara dalam praktikan hukum rimba di dalam forum internasional serta mengusahakan keterbukaan proses pengambilan keputusan di hadapan publik dunia.
Kehadiran masyarakat sipil global diyakini akan memperbaiki sistem karena adanya keterwakilan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Samuel Huntington misalnya, menyatakan bahwa demokratisasi, khususnya yang ia sebut sebagai demokratisasi gelombang ketiga, disuburkan oleh kehadiran masyarakat sipil.
Peran masyarakat sipil di Indonesia, seperti yang pernah dibahas oleh AS. Hikam dan Buchori dalam sebuah forum diskusi, dinyatakan bahwa civil society sangat mempengaruhi pada debirokratisasi dan desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan masyarakat. Hal serupa juga digambarkan oleh Eldridge, bahwa organisasi civil society mampu mengembangkan kapasitas self-management di antara kelompok-kelompok yang seringkali sangat dirugikan.
Proses transnasionalisasi masyarakat sipil harus disertai dengan inisiasi suatu cara pandang baru yang dapat menghubungkan poros warga dengan poros negara dan atau poros pasar. Cara pandang baru tersebut harus meletakkan poros masyarakat akar rumput sebagai batu penjuru yang akan menopang bekerjasama suatu proses tranformasi global.
Masyarakat sipil bukanlah institusi yang berorientasi pada kekuasaan dan bertujuan maksimalisasi kapital. Kelompok ini lahir dari rahim kesadaran untuk memperjuangkan nilai-nilai universal manusia yang tidak melihat pada perbedaan bangsa, status sosial, ekonomi, ideologi, agama, dan identitas primordial lainnya.
Untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi di atas kepentingan nasionalisme, membutuhkan apresiasi yang positif dari siapapun, mulai dari kaum awam, intelektual hingga kaum pejabat-birokrat ditingkat pemerintahan.

*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang

Minggu, 12 Desember 2010

Melacak Jejak Spiritual Abdul Muhyi

Mujtahid

SEJAK pertengahan abad ke tujuh belas, tokoh besar sekaligus ulama sufi Abdul Muhyi mendakwakan ajaran Islam di Jawa Barat. Ulama tersohor ini konon dikenal juga sebagai seorang wali di kalangan masyarakat; khususnya di Tasikmalaya Selatan, Kecamatan Bantarkalong. Jejak spiritualitasnya meninggalkan magnit luar biasa terhadap para pengikutnya sampai sekarang ini.
Abdul Muhyi sendiri aslinya adalah dari Jawa Tengah, Mataram-Surakarta. Dia sempat dibesarkan di Gresik dari ibu Raden Ajeng Tangeunjiah dan bapak Lebe Wartakusumah. Ulama sufi ini mengaku masih ada hubungan hereditas dengan keluarga Rasulullah Saw. dari jalur keluarga ibunya.
Perjalanan dakwah dan spiritual Abdul Muhyi tidak bisa dilepaskan dengan Gua Pamijahan. Melalui Gua Pamijahan, yang terletak di kaki bukit Bantarkalong, disinilah dia menemukan ketenangan bathiniyah, sekaligus sebagai tempat “riyâdhah spiritual”. Titik pusat penyebaran ajaran-ajarannya memang diawali dari tempat itu. Bahkan, sampai sekarang Gua tersebut masih di keramatkan oleh sebagian warga setempat.
Abdul Muhyi adalah ulama yang menyambung mata rantai ajaran tarekat syathâriyah di pulau Jawa. Dia meneruskan paham gurunya Syekh Abdul Rauf al-Sinkili. Jalan spiritual atau tarekat menurut ajaran Muhyi sendiri adalah ketetapan dzikir rohani, yang mengungkapkan keyakinan yang berpusat pada kalimah thayyibah atau kalimah tauhîd yang tertuang dalam lafadz lâ ilâha illallâh.
Makna kalimah thayyibah tersebut, kata Abdul Muhyi, bila dihayati secara benar dan baik, maka ia bisa menjadi modal fondasi yang kokoh untuk kebaikan hidup seseorang. Tarekat Syathâriyah membolehkan dzikir secara sirr (di dalam hati) maupun secara jahrr (suara keras).
Tarekat Syathâriyah yang dikembangkan Abdul Muhyi merupakan perpaduan antara tarekat Qâdiriyah dan Naqsabandiyah. Warna lain kedua tarekat ini terlihat kuat di dalam sistem dzikir yang dipakai Abdul Muhyi, yaitu dzikir al-jahr dan dzikir al-sirr. Dzikir al-jahr adalah dzikir yang digunakan oleh Tarekat Qâdiriyah, yaitu menyuarakan keras-keras kalimah thayyibah kemudian diresapkan ke dalam hati, agar hati tercerahkan dengan cahaya ilahiyah. Sedangkan dzikir al-sirr adalah dzikir yang praktekkan oleh Tarekat Naqsabandiyyah, yakni dengan menghaluskan bacaan di dalam hati dengan pendekatan nafyi (tiada Tuhan) dan istbât (kecuali Allah).
Untuk menuju tahapan spiritual menjadi sufi, Abdul Muhyi mensyaratkan seseorang empat tahapan, yaitu murid mubtadî, murid mutawâssith, murid kâmil, dan murid kâmil mukammil.
Pertama, murid mubtadî yaitu murid yang masih berbuat maksiat, akan tetapi hatinya tetap tertuju kepada Allah semata. Atau hatinya masih salim (selamat) dari perbauatan syirik dan sifat munafik. Seperti lazimnya tradisi sufi, ia dalam perjalanan spiritualnya akan mendapatkan keadaan Fanâ, yakni proses integrasi atau peleburan diri dalam kebesaran Tuhan.
Kedua, murid mutawâssith adalah seorang yang mempunyai hati sudah bersih dari getaran kalbu selain kepada Allah, disebut juga dengan hati tawajjuh, yaitu hati yang senantiasa ingat dan tertuju kepada Allah semata. Adapun tingkatan Fanâ kelompok ini adalah Fanâ di dalam sifat, maqamnya adalah maqam al-jam’ yaitu tingkat integrasi dengan Allah, karena selalu mengingat dan merasa disertai Allah.
Ketiga, murid kâmil adalah kalangan dengan hati dan suasana rohani yang sudah bersih dari seluruh getaran selain Allah. Kalangan ini berhasil menjauhkan dirinya secara utuh dari seluruh daya tarik makhluk (materi), yang berarti hatinya sudah murni (Mujarrad). Bentuk dzikir tingkatan ini adalah dzikir muntahâ, yakni menyebut maujud (ada) kecuali Allah. Kalangan ini sudah lebih tinggi, setingkat âlam jabarrût (pandangan ruhaninya telah sirna, menyatu di dalam dzat Allah).
Keempat, murid kâmil mukammil, yaitu seorang murid yang sudah memiliki penyaksian yang kuat (syuhûd) dan menyatu di dalam zat Allah. Hati seperti ini adalah hati rabbani, yakni hati yang sudah diliputi dan dinaungi hanya oleh Allah. Tingkatan ilmunya sudah mencapai akmâl yaqîn (dapat melihat dan mengetahui Allah secara nyata). Abdul Muhyi menyebutnya dengan wahda al-syuhûd.
Ajaran lain yang bisa diambil dari Abdul Muhyi sendiri berkaitan dengan proses perjalanan spritual seseorang dalam dunia sufistik adalah konsepsinya tentang syâhadataian. Dia membaginya menjadi dua bagian, yaitu lâ ilâha illallâh sebagai hakikat dan Muhammad Rasulullâh sebagai syarî’ah; keduanya disebut dengan tarekat Muhammadiyah. Kedua-duanya, antara syari’at dan hakikat harus menyatu, sebab kedua merupakan komponen yang saling melengkap kualitas keimanan seseorang.
Keberhasilan Abdul Muhyi dalam mengembangkan ajaran syathâriyah tidak luput dari jaringan dengan ulama-ulama besar, baik dalam maupun luar Nusantara. Keterikatan jaringan inilah yang memengaruhi jalan pemikirannya. Hasil penelitian M. Wildan Yahya (2007), menyebutkan bahwa beliau sempat kontak dengan ajaran Wujudiyyah di Aceh, ajaran Khalwatiyyah di Makassar, ajaran Samaniyah di Palembang dan di Banjarmasing.
Abdul Muhyi juga tercatat sebagai tokoh kunci yang meletakkan dasar ajaran “martabat tujuh” di tanah Jawa. Ajaran beliau kemudian mengembang dan meluas hingga mewarnai berbagai paham dan budaya pada kepustakaan mistik Islam (perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam) di Jawa. Ajaran “martabat tujuh” hanya mengakui bahwa Tuhan merupakan aspek batin dari segala yang ada di alam semesta. Semua yang ada di alam semseta adalah wujûd majâzî dari satu hakikat yang tunggal.

*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Malang

Rabu, 01 Desember 2010

Memaknai Kembali Misi Hijrah

Oleh: Mujtahid

SEBAGAI sebuah agama, Islam adalah ajaran yang menekankan bentuk kepasrahan totalitas. Seperti namanya, sebuah kata dalam bahasa Arab bahwa makna Islam yaitu sikap pasrah kepada Allah secara keseluruhan, karena menaruh kepercayaan kepada Allah Swt.

Dalam kitab suci al-qur’an ditegaskan bahwa manusia tidak dibenarkan bertindak setengah-setengah. Dijelaskan di dalam al-Qur’an, bahwa manusia boleh memilih untuk berpihak kepada Sang Pencipta (Allah), dan menerima tantangan moral-Nya. Jika ia memilih jalan ini, jalan menuju Allah, maka Allah dengan rahmat-Nya akan membimbing manusia beriman, dan menentukannya menuju berbagai jalan untuk menjadikan dirinya pribadi yang lurus dan bersih, bahagia dan selamat.

Islam dan Kenabian
Islam sebagai agama terakhir yang dibawa Nabi Muhammad Saw memiliki dimensi kesejarahan yang sangat menarik. Menarik bukan saja dari segi doktrin dan risalahnya, namun juga tidak kalah pentingnya adalah dari sudut peristiwa-peristiwa kenabian (profetik) yang dialaminya sebagai rasul terakhir.

Jika dilihat dari sudut ajarannya, Islam adalah agama yang memiliki banyak piranti, diantaranya; dimensi pembaruan (tajdid), pembebasan (tauhid) dan universal (rahmatan lil alamin). Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-qur’an bahwa misi kerasulan Muhammad Saw adalah titah universal, yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu (QS. 21:107). Mengemban misi universalisme Islam, berarti dalam kerasulannya bukan hanya mendemontrasikan aspek-aspek kehidupan yang bersifat ukhrawi (sakral), melainkan juga memberikan tauladan kemanusiaan, bahwa Nabi Muhammad sendiri menekankan betapa pentingya aspek-aspek kehidupan duniawi (profan) yang tidak bisa diabaikan begitu saja (QS. 28:77). Karena aspek yang kedua ini merupakan bagian dari sekian banyak pilar yang akan ikut memformat kehidupan kehidupan jangka panjang atau eskatologis (ukhrawi).

Hijrah sebagaimana yang dikenal dalam sejarah kenabian (Muhammad) adalah rangkaian dari misi kerasulannya sebagai figur mujaddid (reformer, pembaru) moral kemanusiaan. Ia telah melakukan tranformasi kehidupan besar-besaran, dari sosio-kultural yang otoritatif (zalim, musyrik) menuju tatanan masyarakat madani (civil society), adil dan penuh kerahmatan. Jika ditilik dari segi termenologis, kata hijrah berasal dari bahasa arab, yang artinya pindah atau perpindahan. Dengan demikian, hijrah berarti perjalanan dengan niat religius.

Perjalanan itu dimaksudkan untuk membuka era baru yang selama ini kehilangan makna, dan menghadapi segala penindasan. Sehingga hijrah dimengerti sebagai perubahan dari tatanan semula yang kurang beradab menjadi beradab, baik menyangkut masalah keyakinan maupun masalah kaidah-kaidah kemasyarakatan.
Hijrah mengadung pesan moral yang sangat tinggi untuk merespons ancaman terhadap kelangsungan hidup dan keamanan sosial (QS. 2:218). Pesan hijrah diantaranya adalah telah melahirkan sendi-sendi kehidupan yang berprinsip pada tauhid (liberty). Semula orang Arab menganggap bahwa benda patung adalah Tuhan mereka, yang dianggap mampu memberikan kepastian dan keselamatan hidup. Dengan kedatangan Muhammad, masyarakat Arab berubah keyakinan menjadi monotheisme, meski tidak semua penduduk mempercayainya.

Di samping itu, pesan moral hijrah adalah adanya pengakuan prinsip equality (persamaan). Kehadiran Nabi Muhammad di tengah-tengah masyarakat, tidak pernah menomorduakan warganya, lantaran sentimen agama, kelompok, ras dan budaya. Semua warga memiliki hak yang sama untuk dihormati dan diperhatikan sebagaimana yang lain, selama tidak saling mengganggu dan memusuhinya.
Kesaksian hijrah ditunjukkan dengan sikap moral yang luhur bahwa betapa pentingnya sikap tasamuh (toleransi) dalam kehidupan sosial. Kemauan bertasamuh merupakan sikap moral yang sadar dan terbuka. Kemauan ini berarti menuntut keberanian dalam menerima perbedaan-perbedaan yang ada.

Seruan moral selanjutnya adalah adanya negara hukum. Sebagai sebuah perangkat kehidupan masyarakat, hukum merupakan jantung dari sendi-sendi kedamaian dan keadilan. Rasa kedamain dan keadilan merupakan tujuan kehidupan manusia dalam membangun cita-cita masyarakat, bangsa dan negara. Jadi hijrah merupakan kemauan dalam menegakkan hukum untuk melindungi segala kedzaliman yang terjadi. Tujuan ini adalah melindungai jiwa dan agama sekaligus mengurangi penderitaan kaum tertindas akibat perbuatan yang melanggar hukum (QS. 3:195, 4:100). Seruan ini dipraktekkan Muhammad selama dalam proses kenabiaannya. Dengan ketegasannya itu ia mengatakan bahwa ‘’jika Fathimah (putrinya) mencuri, maka ia akan dipotong tangannya”, seruan ini benar-benar tegas dan lugas tidak memangdang status sosial apapun.

Tidak heran kalau kebanyakan pakar melihat bahwa semangat profetik, jika dikaji dari kacamata akademis bukanlah hal yang berlebihan. Namun, pada kenyataannya Nabi Muhammad sebagai figur historis tidak hanya diakui oleh penganutnya sendiri, tetapi juga diakui orang atheis sekalipun. Maxim Rodinson misalnya, ilmuan atheis yang memiliki andil besar dalam memperkenalkan ketokohan Muhammad kepada masyarakat Barat. Belum lagi ilmuan lain seperti Montgomery Watt, Annemarie Schimmel, Martin Lings, ataupun Karen Armstrong yang selama 9 tahun aktif sebagai biarawati. Mereka itu, melalui karya tulisannya dengan segala kelebihan dan kekurangan telah melakukan pembelaan historis-akedemis terhadap reputasi Nabi Muhammad sebagai salah seorang dari sekian tokoh sejarah yang meletakkan dasar, pedoman dan spirit bagi pembangunan peradaban manusia.

Karena itu, merupakan keharusan ilmiah belaka jika ilmuan semacam Philip K. Kitti ataupun Marshall G. Hodgson melihat Nabi Muhammad dan agama Islam yang diwariskannya telah sanggup menyulap dunia Arab dari padang pasir gundul menjadi mata air peradaban yang pada gilirannya secara signifikan ikut mewarnai wacana dan perjalanan panjang sejarah dunia.

Dari sekian banyak ilmuan Barat di atas mengakui bahwa Muhammad tidak hanya menjadi panutan umat muslim, tetapi merupakan manusia pilihan yang memiliki integritas moral kemanusiaan yang sangat luhur dan bijak. yang menjunjung tinggi moral kemanusiaan.

Dengan demikian, hijrah merupakan tahap paling peting dalam perjalanan spiritual manusia kepada jalan ilahi (ketentraman dan kedamaian). Begitu juga, implikasi sosialnya sangat luas dalam membersihkan bentuk-bentuk kemunkaran dan kedzaliman menuju proses pembersihan diri demi tegaknya agama, sebagai pandangan hidup dalam memformat sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan ketatanegaraan.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Senin, 22 November 2010

Meneladani Spirit Gajah Mada

Mujtahid

KALAU kita mendengar nama Gajah Mada, selalu teringat kesaktian, ketulusan dan keuletannya dalam mengabdi pada kerajaan/pemerintahan. Dalam kisah sejarah, beliau adalah orang yang lahir dari keluarga biasa, alias bukan dari kaum bangsawan. Namun namanya menjadi agung dan mengangungkan tanah jawa, yang tatkala waktu itu masih dibawah kekuasaan kerajaan terbesar di Tanah Jawa, yaitu kerajaan Majapahit.
Sebagai seorang yang berlatar belakang biasa, Gajah Mada menjadi sangat penting kita angkat sebagai contoh tauladan kehidupan manusia saat ini. Ketenaran dan kebesaran nama yang disandangnya itu bukan melekat dengan sendirinya, melainkan dengan usaha dan tekad yang kuat untuk memberikan prestasi dan kontribusi yang besar bagi kerajaan dan rakyat jelata kala itu.
Pengabdiannya kepada raja tidak pernah dijadikan ukuran untuk naik pangkat dan merebut jabatan. Tetapi apa yang diperbuat adalah bagaimana khalayak umum (masyarakat) dapat menikmati kehidupan yang tentram dan nyaman. Sikap dan perilakunya yang jauh dari nilai transaksional, mengakibatkan banyak orang menaruh kepercayaan dan simpatik kepadanya.
Itulah kehebatan Gajah Mada dalam mengemban tugas dan tanggungjawabnya, baik tatkala masih menjadi prajurit, patih, hingga panglima perang. Sosok yang tegas, berwibawa dan komitmen mengalahkan sikap kebimbangan dan segala bentuk keraguan yang muncul, baik dari dirinya sendiri maupun dari teman seperjuangannya.
Gajah Mada dikenal sebagai sosok yang arif dan bijaksana. Ketauladanan itu sudah dibuktikan dengan banyak prestasi yang beliau berikan kepada sang raja dan kerajaan itu, tetapi ia tidak pernah meminta jabatan, apalagi ingin menguasai dan merebut menjadi raja. Sikap itu barangkali yang membedakan dengan kawan-kawannya, yang ketika sudah sukses sedikit lantas meminta jabatan, proyek, dan hal lain yang dapat menguntungkan untuk dirinya.
Tatkala kerajaan Majapahit diserang oleh Ra Kuti--- salah seorang anak asuh dari Ramapati---Gajah Mada menyelematkan raja Jayanagara beserta keluarganya. Apa yang diperbuatnya merupakan tugas mulia yang tidak pernah dipikirkan untuk mendapatkan apa ketika kelak mampu menumpas habis dan lari tunggang langgang para pemberontak itu. Hal itu berbeda dengan saat ini, ketika sudah sukses mengantarkan seseorang jadi bupati/walikota, gubernur, presiden, lalu mereka akan menagih apa imbalan yang bakal diterimanya. Sikap transaksional inilah mendorong tumbuh suburnya KKN (korupsi, kolosi dan nepotisme) ditengah masyarakat kita yang justru menjadi biang kerok kehancuran negeri ini.
Gajah Maja dijuluki sebagai sosok yang tahan luwih (poso/puasa). Bahkah beliau tidak akan meninggalkan puasa sebelum menyatukan nusantara. Kenyataan itulah yang sering kita kenal dengan sebutan sumpah Palapa. Tugas yang amat berat itu ia lakoni dengan menahan diri dari segala godaan sifat duniawi demi meraih cita-cita itu. Berikut saya berikan kutipan sumpah Palapa yang pernah diucapkan Gajah Mada:
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
Terjemahannya:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Andaikan saja para pimpinan di negeri ini mau meniru dan meneladani Gajah Mada, maka lembaga penegak hukum menjadi ringan tugasnya. Penyakit dan penyebab ketidakadilan hukum adalah karena pemimpinya tidak tegas, tidak memiliki wibawa dan tidak ulet (komitmen) dengan pendirian dirinya sendiri. Mungkin karena terlalu banyak orang yang berjasa pada dirinya (pemimpin), sehingga tidak dapat berlaku adil dan bijak untuk menghukum orang itu. Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada kala itu mampu menembus batas-batas hereditas (kekeluargaan), persahabatan/perkawanan, dan segala hal yang justru mengakibatkan penghalang untuk maju dan berkembang.

Tata, Titi, dan Tutu
Semboyan yang dapat kita petik dari Gajah Mada adalah Tata, Titi, dan Tutu. Istilah itu berasal dari bahasa jawa, yang artinya tata (perencanaan dan pelaksanan yang sesuai), titi (tegas, teguh pendirian, komitmen), dan tutu (proses pejuangan, latihan, penggemblengan). Ketiga hal itulah mejadi cerminan dari sikap, perilaku dan tindakan Gajah Mada di manapun ia berada.
Barangkalai saat ini yang diperlukan untuk membekali seorang pemimpin adalah tiga hal di atas, selain modal ilmu pengetahuan yang unggul. Dan kelihatannya, slogan itu dipraktikkan dalam pendidikan militer. Seorang prajurit militer harus memiliki sikap perencanaan yang matang, komitmen yang tinggi dalam membela kedaulatan tanah air, serta dengan proses perjuangan yang tinggi.
Gajah Mada mengajarkan bahwa apa yang tergelar di muka bumi ini harus di-tata (dikelola/dimanej) secara baik. Salah dalam merencanakan, maka akibatnya akan berdampak luas bagi kelanjutan bagi sebuah dinamika organisasi atau lembaga itu sendiri. Perencanaan yang baik membutuhkan proses berfikir yang jernih, imajinasi, dan mimpi-mimpi yang mampu membakar semangat. Hal itu telah ditanamkan Gajah Mada jauh sebelum konsep-konsep modern yang saat ini berkembang.
Untuk mewujudkan perencanaan tersebut, Gajah Mada mendidik kita agar teguh pendirian dan komitmen. Banyak orang mampu merencakanan dengan baik, tetapi tidak dapat menjaga dan merawat perencanaan itu secara komit, kukuh dan tegas. Sehingga di tengah perjalanan goyah pendirian dan justru dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya. Walau ditengah perjalanan harus memaksa berubah haluan, karena satu hal situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, namun tetap harus sesuai dengan tujuan perencanaan semula. Komitmen dan perjuangan tanpa mengenal lelah akan membuah hasil yang maksimal dan bermanfaat bagi semua pihak.
Pengalaman yang ajarkan Gajah Mada kepada kita tentang “tutu” adalah perjuangan tanpa embel-embel (pamrih). Implikasi dari perjuangan tanpa pamrih adalah jauh akan melahirkan daya (kekuatan) yang berlipat ganda, yang mampu mengajak semua orang untuk bahu menbahu, saling memikul peran dan tanggungjawab, karena keikhlasan yang dicontohkan oleh seorang pemimpin.
Dalam kehidupan masyarakat dibutuhkan seorang pemimpin yang mau berkorban untuk ummatnya, yang rela segala “kepunyaannya” disedekahkan untuk mengangkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banya. Bukan seorang pemimpin yang berlindung dengan kekuasaannya untuk meraih dan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan golongannya, partainya, apalagi untuk dirinya sendiri.
Kini nama Gajah Mada diabadikan sebagai nama sebuah universitas di Jogjakarta, dan sebutan sumpah “palapa” dipakai untuk sebuah jaringan telekomunikasi. Kehormatan dan kemuliaan Gajah Mada tidak cukup hanya dijadikan sebagai simbol nama sebuah lembaga/organisasi atau usaha, melainkan harus diwarisi spiritnya, perjuangan dan kiprahnya dalam menyatukan dan mensejahterahkan nusantara ini.
Rintangan dan tanjakan karier Gajah Mada juga perlu menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Tidak ada ceritanya orang tiba-tiba menjadi sukses, terkenal dan mendapatkan amanah jabatan yang prestisius tanpa sebuah perjuangan dan pengorbanan yang terlebih dahulu. Karier Gajah Mada dilalui mulai setapak demi setapak hingga sampai menjadi panglima yang sangat disegani dan dihormati.
Dewasa ini, spirit Gajah Mada seperti itu masuk kategori barang langka, yang kiranya perlu direnungkan kembali untuk menumbuhkan nasionalisme kebangsaan. Budaya kerja keras, bersungguh-sungguh, serta tidak pernah berpretensi mendapatkan jabatan, proyek dan sejenisnya harus menjadi mental dan sikap kita. Sebab, mencari jiwa seorang ”Gajah Mada” baru membutuhkan sejarah lain yang syarat dengan pendidikan berkarakter, bersumber pada nilai-nilai spiritual dan kesadaran.
Semoga para pemimpin negeri ini dapat belajar dari sosok Gajah Mada, dalam mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan nusantara dalam bingkai budaya, agama dan etos (semangat) yang kuat. Gajah Mada--- walau tanpa bekal titel/gelar akademik apapun---mampu menorehkan sejumlah prestasi dan hasil yang mencengangkan banyak orang, maka saat ini pemimpin dengan sederet pengalaman akademik, dan politiknya harus lebih baik dari Gajah Mada.

*) Mujtahid, Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Jumat, 19 November 2010

Konsep, Karakteristik dan Rasional Supervisi Pendidikan

Mujtahid*

Mengacu pada rumusan UU RI No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari segala aspek dan dimensinya. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pengajaran/pembelajaran di sekolah/madrasah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru seperti amanah Peraturan Pemerintah (PP) No. 19. Tahun 2005 pada Bab I, Pasal 1, ayat 7, adalah dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan maupun program dalam jabatan. Tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan kualified. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat.
Mungkin sudah terlanjur, bahwa masyarakat saat ini telah mempercayai, mengakui dan menyerahkan sepenuhnya kepada guru untuk mendidik anak-anak mereka. Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Namun seringkali tak sebanding lurus dengan apa yang diharapkan. Karena sudah terlanjur seperti itu, maka implikasinya adalah guru harus memiliki kualitas yang memadai. Kualitas tidak hanya pada tataran normatif, melainkan juga dalam tataran yuridis-empiris, bahwa seorang guru harus menunjukkan empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi personal (kepribadian), kompetensi profesional, maupun kompetensi sosial dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan. Hal tersebut karena guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan tataran strategis, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek "guru" dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya dalam satu manajemen pendidikan yang meritokratis.
Membangun kualitas pendidikan sangat erat kaitannya dengan membangun kualitas pembelajaran. Sementara kualitas pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas tenaga pendidik (guru). Meski guru bukanlah satu-satunya instrumen dalam dunia pendidikan, tetapi gurulah yang memegang peranan penting serta sebagai ujung tombak sukses dan gagalnya suatu pendidikan. Mulyasa mensinyalir bahwa dalam proses pembelajaran seringkali guru melakukan kesalahan. Setidaknya Mulyasa mengidentifikasi ada tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru, yaitu 1). mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, 2). menunggu peserta didik berperilaku negatif, 3). Menggunakan destructive dicipline, 4) mengabaikan perbedaan peserta didik, 5). Merasa paling pandai, 6) tidak adil (diskriminatif), dan 7). Memaksa hak peserta didik.
Dari uraian di atas itulah, pentingnya mengapa guru memerlukan layanan supervisi (pembinaan) pengajaran, karakteristik dan rasional apa yang dilakukan dalam supervisi pengajaran sebagai upaya peningkatan kualitas guru?

Pengertian Supervisi Pengajaran
Istilah supervisi pengajaran sebenarnya bukanlah istilah yang baru dalam pendidikan. Namun seringkali tidak semua orang mengerti dan paham apa hakikat sebenarnya. Kadang-kadang pahami sama dengan penilai atau inspeksi. Padahal tidak demikian maksudnya.
Ada sebuah konsep modern dirumuskan oleh Kimball Wiles (1967) sebagai berikut: “Supervision is assistance in the devolepment of a better teaching learning situation”. Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan situasi belajar mengajar (goal, material, technique, method, teacher, student, an environment). Situasi belajar inilah yang seharusnya diperbaiki dan ditingkatkan melalui layanan kegiatan supervisi. Dengan demikian layanan supervisi tersebut mencakup seluruh aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Konsep supervisi tidak bisa disamakan dengan inspeksi, inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan dan bersifat otoriter, sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara guru-guru, karena bersifat demokratis.
Istilah supervisi pendidikan dapat dijelaskan baik menurut asal usul (etimologi), bentuk perkataannya (morfologi), maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu (semantik). Secara etimologi, istilah supervisi diambil dalam perkataan bahasa Inggris “Supervision” artinya pengawasan di bidang pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor. Sedangkan secara morfologis, supervisi dapat dijelaskan menurut bentuk perkataannya. Supervisi terdiri dari dua kata Super berarti atas, lebih. Visi berarti lihat, tilik, awasi. Seorang supervisor memang mempunyai posisi diatas atau mempunyai kedudukan yang lebih dari orang yang disupervisinya. Adapun dari segi semantik, pada hakikatnya isi yang terandung dalam definisi yang rumusannya tentang sesuatu tergantung dari orang yang mendefinisikan. Wiles secara singkat telah merumuskan bahwa supervisi sebagai bantuan pengembangan situasi mengajar belajar agar lebih baik.
Menurut Adam dan Dickey seperti yang dikutip Sahertian & Frans Mataheru, merumuskan supervisi sebagai pelayanan khususnya menyangkut perbaikan proses belajar mengajar. Sebuah program yang berencana untuk memperbaiki hal belajar dan mengajar. Sedangkan Depdiknas (1994) merumuskan supervisi sebagai berikut: “Pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik“. Dengan demikian, supervisi ditujukan kepada penciptaan atau pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik.
Untuk itu ada dua hal yang perlu diperhatikan: a). Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. b). Hal-hal yang menunjang kegiatan belajar mengajar. Karena aspek utama adalah guru, maka layanan dan aktivitas kesupervisian harus lebih diarahkan kepada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Untuk itu guru harus memiliki empat kompetensi yakni: 1) kompetensi Pedagogik, 2) kompetensi profesional 3) kompetensi personal, dan 4) kompetensi sosial. Melalui keempat kompetensi tersebut, seorang guru mampu dalam merancang, melaksanakan dan mengevaluasi pengajarannya.
Atas dasar uraian diatas, maka pengertian supervisi dapat dirumuskan sebagai berikut “serangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh supervisor (Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar.
Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada “pembinaan profesional guru“, maka pembinaan lebih diarahkan pada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan profesional guru. Supervisi dapat kita artikan sebagai pembinaan. Sedangkan sasaran pembinaan tersebut bisa untuk kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha. Namun yang menjadi sasaran supervisi diartikan pula pembinaan guru.

Karakteristik Supervisi Pengajaran
Di abad sekarang ini, yaitu era globalisasi dimana semuanya serba digital, akses informasi sangat cepat dan persaingan hidup semakin ketat, semua bangsa berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia. Hanya manusia yang mempunyai sumber daya unggul dapat bersaing dan mempertahankan diri dari dampak persaingan global yang ketat. Termasuk sumber daya pendidikan. Yang termasuk dalam sumber daya pendidikan yaitu ketenagaan, dana dan sarana dan prasarana.
Guru merupakan pelaku yang menentukan tujuan pengajaran. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab II, Pasal 39 ayat 2 di jelaskan bahwa Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Sahertian mengemukakan ada dua metafora untuk menggambarkan pentingnya pengembangan sumber daya guru. Pertama, jabatan guru diumpamakan dengan sumber air. Sebagai sumber air, maka ia harus terus menerus bertambah, sehingga sungai itu dapat mengalirkan air terus-menerus dan tidak pernah asat (kering). Sebab, bila tidak dilakukan demikian, maka sumber air itu lama kelamaan akan habis dan kering. Demikianlah bila seorang guru tidak pernah membaca informasi yang baru, tidak menambah ilmu pengetahuan tentang apa yang diajarkan, maka ia tidak mungkin memberi ilmu dan pengetahuan dengan cara yang lebih menyegarkan kepada peserta didik. Kedua, jabatan guru diumpamakan dengan sebatang pohon buah-buahan. Pohon itu tidak akan berbuah lebat, bila akar induk pohon tidak menyerap zat-zat makanan yang berguna bagi pertumbuhan pohon itu. Begitu juga dengan jabatan guru yang perlu bertumbuh dan berkembang. Baik itu pertumbuhan pribadi guru maupun pertumbuhan profesi guru. Setiap guru perlu menyadari bahwa pertumbuhan dan pengembangan profesi merupakan suatu keharusan untuk menghasilkan output pendidikan berkualitas.
Itulah sebabnya guru perlu belajar terus menerus, membaca informasi terbaru dan mengembangkan ide-ide kreatif dalam pembelajaran agar suasana belajar mengajar menggairahkan dan menyenangkan baik bagi guru apalagi bagi peserta didik.Peningkatan sumber daya guru bisa dilaksanakan dengan bantuan supervisor, yaitu orang ataupun instansi yang melaksanakan kegiatan supervisi terhadap guru. Perlunya bantuan supervisi terhadap guru berakar mendalam dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Swearingen, seperti yang dikutip Sahertian, mengungkapkan latar belakang perlunya supervisi berakar mendalam dalam kebutuhan masyarakat dengan latar belakang sebagai berikut:
1. Latar belakang Kultural. Pendidikan berakar dari budaya arif lokal setempat. Sejak dini pengalaman belajar dan kegiatan belajar-mengajar harus diangkat dari isi kebudayaan yang hidup di masyarakat itu. Sekolah bertugas untuk mengkoordinasi semua usaha dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
2. Latar belakang filosofis. Suatu sistem pendidikan yang berhasil guna dan berdaya guna bila ia berakar mendalam pada nilai-nilai filosofis pandangan hidup suatu bangsa.
3. Latar belakang psikologis. Secara psikologis supervisi itu berakar mendalam pada pengalaman manusia. Tugas supervisi ialah menciptakan suasana sekolah yang penuh kehangatan sehingga setiap orang dapat menjadi dirinya sendiri.
4. Latar belakang sosial. Seorang supervisor dalam melakukan tanggung jawabnya harus mampu mengembangkan potensi kreativitas dari orang yang dibina melalui cara mengikutsertakan orang lain untuk berpartisipasi bersama. Supervisi harus bersumber pada kondisi masyarakat.
5. Latar belakang sosiologis. Secara sosiologis perubahan masyarakat punya dampak terhadap tata nilai. Supervisor bertugas menukar ide dan pengalaman tentang mensikapi perubahan tata nilai dalam masyarakat secara arif dan bijaksana.
6. Latar belakang pertumbuhan jabatan. Supervisi bertugas memelihara, merawat dan menstimulasi pertumbuhan jabatan guru. Diharapkan guru menjadi semakin professional dalam mengemban amanat jabatannya dan dapat meningkatkan posisi tawar guru di masyarakat dan pemerintah, bahwa guru punya peranan utama dalam pembentukan harkat dan martabat manusia. Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif.
Menurut Supandi, ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi dalam proses pengajaran. Pertama, perkembangan kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.
Kedua, pengembangan personel senantiasa dilakukan guna meningkatkan upaya yang terus-menerus dalam suatu organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, lokakarya dan sejenisnya. Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, latihan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya. Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Secara umum ada dua kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran, yakni: pertama, supervisi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru. Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan lembar observasi yang sudah dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.
Kedua, supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kinerja. Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8 Sekolah. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi:
a. Bidang Akademik, mencakup kegiatan: 1) menyusun program tahunan dan semester, 2) mengatur jadwal pelajaran, 3) mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran, 4) menentukan norma kenaikan kelas, 5) menentukan norma penilaian, 6) mengatur pelaksanaan evaluasi belajar, 7) meningkatkan perbaikan mengajar, 8) mengatur kegiatan kelas apabila guru tidak hadir, dan 9) mengatur disiplin dan tata tertib kelas.
b. Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan: 1) mengatur pelaksanaan penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan siswa baru, 2) mengelola layanan bimbingan dan konseling, 3) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan 4) mengatur dan mengelola kegiatan ekstra kurikuler.
c. Bidang Personalia, mencakup kegiatan: 1) mengatur pembagian tugas guru, 2) mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru, 3) mengatur program kesejahteraan guru, 4) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan 5) mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru.
d. Bidang Keuangan, mencakup kegiatan: 1) menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah, 2) mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah, 3) mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan 4) mempertang-gungjawabkan keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
e. Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan: 1) penyediaan dan seleksi buku pegangan guru, 2) layanan perpustakaan dan laboratorium, 3) penggunaan alat peraga, 4) kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah, 5) keindahan dan kebersihan kelas, dan 6) perbaikan kelengkapan kelas.
f. Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan: 1) kerjasama sekolah dengan orangtua siswa, 2) kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah, 3) kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan 4) kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar.
Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya: penggunaan program semester, penggunaan rencana pembelajaran, penyusunan rencana harian, program dan pelaksanaan evaluasi, kumpulan soal, buku pekerjaan siswa, Buku daftar nilai, buku analisis hasil evaluasii. Buku program perbaikan dan pengayaan, buku program Bimbingan dan Konseling, Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler

Rasional Supervisi Pengajaran
Dewasa ini, setiap pekerjaan menuntut adanya sikap profesional. Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani makhluk hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai karakteristik yang berbeda. Pekerjaaan guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi. Guru yang profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Studi yang dilakukan oleh Ace Suryani menunjukkan bahwa Guru yang bermutu dapat diukur dengan lima indikator, yaitu: pertama, kemampuan profesional (professional capacity), sebagaimana terukur dari ijazah, jenjang pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua, upaya profesional (professional efforts), sebagaimana terukur dari kegiatan mengajar, pengabdian dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (teacher's time), sebagaimana terukur dari masa jabatan, pengalaman mengajar serta lainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya (link and match), sebagaimana terukur dari mata pelajaran yang diampu, apakah telah sesuai dengan spesialisasinya atau tidak, serta kelima, tingkat kesejahteraan (prosperiousity) sebagaimana terukur dari upah, honor atau penghasilan rutinnya. Tingkat kesejahteraan yang rendah bisa mendorong seorang pendidik untuk melakukan kerja sambilan, dan bilamana kerja sambilan ini sukses, bisa jadi profesi mengajarnya berubah menjadi sambilan. Guru profesional memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum.
Akhir-akhir ini banyak guru, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat sibuk sehingga mereka tidak dapat fokus mencapai tujuan pengajaran. Seringkali kesejahteraan yang kurang atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan tugas utamanya. Implikasinya adalah banyak kegiatan pengajaran yang tidak sesuai dengan tujuan umum pengajaran, kebutuhan siswa, dan tujuan sekolah. Guru memasuki kelas tidak mengetahui tujuan yang pasti, yang penting demi menggugurkan kewajiban. Idealisme menjadi luntur ketika yang dihadapi ternyata masih anak-anak dan kalah dalam pengalaman. Banyak guru enggan meningkatkan kualitas pribadinya dengan kebiasaan membaca untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang secara rutin pergi ke perpustakaan untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebiasaan membeli buku menjadi suatu kebiasaan yang mustahil dilakukan karena guru sudah merasa puas mengajar dengan menggunakan LKS (Lembar Kegiatan Siswa) yang berupa soal serta sedikit ringkasan materi. Dapat dilihat daftar pengunjung di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan umum, jarang sekali guru memberi contoh untuk mengunjungi perpustakaan secara rutin.
Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership pernah menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional. Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni: 1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya. 2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. 3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar. 4) Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa. 5) guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya.
Dalam konteks yang aplikatif, dengan adanya supervisi pengajaran diharapkan para guru menguasai sepuluh kompetensi sebagai berikut:
1) Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi (standar kompetensi dan kompetensi dasar seperti digariskan dalam kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi atau pengembangan bahan ajar yang lebih luas.
2) Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
3) Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4) Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.
5) Menguasai landasan-landasan pendidikan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pengajaran.
6) Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar yang dapat menyentuh aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
7) Dapat mengevaluasi hasil belajar dan pengajaran yang menjadi bahan pertimbangan untuk membenahi kepentingan pelajaran selanjutnya.
8) Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.
9) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Alasan rasional mengapa supervisi itu penting adalah untuk perbaikan pengajaran/pembelajaran. Adapun untuk mendukung proses pembelajaran yang bermutu ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang akan ada di dalam sekolah dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut Townsend dan Butterworth, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pembelajaran yang bermutu, yakni:
1) keefektifan kepemimpinan kepala sekolah
2) partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf,
3) proses belajar-mengajar yang efektif,
4) pengembangan staf yang terpogram,
5) kurikulum yang relevan,
6) memiliki visi dan misi yang jelas,
7) iklim sekolah yang kondusif,
8) penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan,
9) komunikasi efektif baik internal maupun eksternal, dan
10) keterlibatan orang tua dan masyarakat secara instrinsik.
Melalui supervisi pengajaran, maka peran guru secara lebih luas, didorong untuk meningkatkan mutu dan makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu.
Dalam konteks pengajaran, seorang guru menentukan mulai dari input, proses, dan output. Input pengajaran adalah segala sesuatu sumber dan bahan ajar yang tersedia untuk berlangsungnya proses pengajaran. Proses pengajaran merupakan transformasi sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran dengan mengintegrasikan input sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Output pengajaran adalah kinerja guru yang dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya melalui prestasi hasil belajar siswa.
Makna positif lain yang dapat dipetik dari supervisi adalah mengurangi beban guru. Fullan & Stiegerbauer dalam "The New Meaning of Educational Change" mencatat bahwa setiap tahun banyak guru yang berurusan dengan banyak problem yang hal itu menjasi sumber stres bagi mereka. Mungkin tak aneh bila dilaporkan banyak guru mengalami stres dan jenuh. Dengan dukungan supervisi, maka guru dapat dibantu untuk memecahkan serangkaian problema yang mereka derita itu. Sehingga dengan demikian mereka dapat terkurangi bebannya.
Supervisi juga menjadi pertukaran pengalaman dan transfer pengetahuan baru. Supriadi mengatakan: "orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pengajaran, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan". Sejak awal, supervisi harus di sesuaikan dengan sebuah kondisi yang perlu diperhitungkan, mulai substansi sampai kondisi-kondisi lokal tempat institusi itu diimplementasikan. Intinya, supervisi merupakan cara untuk melakukan suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu memerlukan pikiran, tenaga dan waktu. Supervisi dijalankan berdasarkan kriteria yang jelas, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya oleh pihak yang melaksanakannya.


DAFTAR PUSTAKA

Balitbang Depdiknas. 2001. Data Standardisasi Kompetensi Guru. (http://www.depdiknas.go.id.html).
Berliner, David. 2000. Educational Reform in an Era of Disinformation. (http://www.olam.asu.edu/epaa/v1n2.html).
Depdiknas. 1997. Petunjuk Pengelolaan Adminstrasi Sekolah Dasar.Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta: Depdiknas.
Fullan & Stiegerbauer. 1991. The New Meaning of Educational Change. Boston: Houghton Mifflin Company.
http://s1pgsd.blogspot.com/2009/02/supervisi-pendidikan-1.html
Mujtahid, 2009. Pengembangan Profesionalisme Guru, Malang: UIN-Malang Press.
Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional; Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Rosdakarya.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan kompetensi Guru.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah RI, Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Sahertian, Piet A. 2000. Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sapari, Achmad. Pemahaman Guru Terhadap Inovasi Pendidikan. Kompas (16 Agustus 2002).
Supandi. 1996. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Suparlan, 2005. Menjadi Guru Efektif, Yogyakarta: Hikayat.
Supriadi, Dedi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Supriadi, Dedi. Laporan Akhir Tahun Bidang Pendidikan & Kebudayaan. Kompas, 2002.
Suprihatin, MD. 1989. Administrasi Pendidikan, Fungsi dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah sebagai Administrator dan Supervisor Sekolah. Semarang: IKIP Semarang Press.
Suryasubrata.1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Townsend, Diana & Butterworth. 1992. Your Child's Scholl. New York: A Plime Book.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
Usman, Moh Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya
Wardani, IGK. 1996. Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). Jakarta: Dirjen Dikti.

Kamis, 18 November 2010

Mendaki Puncak Kemabruran Haji

Mujtahid*

RITUAL haji adalah perjalanan spiritual menuju baitullah (rumah Allah). Dalam rukun Islam, haji ditempatkan pada rukun yang terakhir sebagai puncak tangga menuju kesempurnaan menjalankan syari’at Islam. Berbeda dengan shalat, zakat, dan puasa, ibadah haji lebih memperlihatkan sebuah sarana pendakian yang unik, karena ritual haji dapat langsung mempertemukan dimensi ruhani di pusat kiblat umat Islam se-alam semesta.
Secara kodrati, manusia pasti menginginkan sebuah kesempurnaan dalam segala aspek kehidupannya, juga termasuk ibadah haji. Jadi wajar kalau ada orang ingin kaya, terhormat, pinter dan seterusnya. Bahkan, seberat apa pun kendala dan rintangan menghadangnya, seorang begitu gigih dan kuat demi meraih apa yang menjadi keinginan dan cita-citanya.
Kegigihan untuk mencapai kesempurnaan itu, kata Paul G. Stoltz, adalah AQ (Adversity Quotient). Yakni satu kecerdasan berupa kegigihan untuk mengatasi segala rintangan demi mendaki tangga kesempurnaan yang diinginkan. Hidup ini tak ubahnya seperti mendaki gunung. Kesuksesan atau kepuasan diperoleh melalui upaya yang tak kenal lelah untuk terus mendaki, walau terkadang langkah demi langkah yang ditapaki terasa lambat dan menyakitkan.
Menyempurnakan Gagasan Paul G. Stoltz seperti di atas, C. Ramli Bihar Anwar dan Haidar Bagir menambahkan dengan istilah "spiritual". Hal itu seperti tanpak pada judul bukunya “Adversity Spiritual Quotient (ASQ) (2004. AQ (Adversity Quotient)saja bulum cukup, akan tetapi membutuhkan “rasa kendali” dengan kekuatan Tuhan. Jadi suasana batin ke Atas (kepada Sang Khaliq) akan membuat orang selalu siap untuk segera bangkit dari ketersungkuran yang paling dalam sekalipun.
ASQ (adversity Spiritual Quotient) adalah cara baru untuk menyusun kiat-kiat kesuksesan yang tidak hanya terbatas material, tetapi juga kesuksesan dan kepuasan spiritual. ASQ ingin membawa makna fitrah ke pengertian yang seutuhnya. Secara fitriyah, manusia pada dasarnya punya ketergantungan dengan sang Pencipta, yang hal ini diwujudkan melalui bentuk ritual keagamaan. Haji termasuk bagian penting untuk mencari kesuksesan bathin dan spiritual.
Dengan ASQ, manusia dapat meraih kekuatan fitriyahnya. Kekuatan ini sebagai sumber kesucian dan kebaikan dalam dirinya. Sementara Haji adalah sarana terpenting di dalam mengembalikan fitriahnya manusia. Terlebih dapat berjumpa dengan pusat peribadatan yang menjadi kiblatnya Islam seluruh umat muslim.

Haji Mabrur
Kemabruran haji, sesungguhnya dapat diukur dengan beberapa hal. Pertama, ongkos yang digunakan untuk membayar perjalanan haji harus halal. Sebab, jika tidak, akan sangat mengganggu konsentrasi ibadah, bahkan perhatian ibadahnya bukan ditujukan kepada Allah melainkan sebagai cara untuk mendapatkan derajad sosial di tengah kehidupan masyarakat.
Kedua, kesiapan mental yang bersih, tulus, serta ihklas karena ingin bertaqarrup kepada Allah. Kemabruran haji, bisa diukur dari sifat ini selepas dari tanah suci dengan peningkatan spiritualnya semakin bagus. Cara mengukurnya adalah seberapa rajin para hujjaj yang datang dari Tanah Suci itu melakukan shalat jama’ah, menyantuni anak yatim dan orang fakir miskin, dan seterusnya.
Ketiga, menjauhkan diri dari sifat-sifat jelek yang dapat mengotori fitrah. Jika sifat-sifat yang bertentangan masih menjadi kebiasaan, maka itu tandanya kegagalan meraih kemabruran haji. Tidak melakukan tindakan tercela, baik berupa kata-kata maupun tindakan/perbuatan. Tanda haji mabrur adalah orang yang semakin bertambah tawadhu’ dan istiqamah nilai kebaikannya, bukan malah menjadi rakus dan tama’ dalam hidup kesehariannya. Sikap benci, sombong, riya dan sejenisnya seyogyanya terhempas suhu spiritualitas haji selama di Makkah al-Mukarramah.
Keempat, mendapatkan ketenangan bathin yang semakin mantap dan teguh dalam memegangi ajaran agama. Begitu juga kecerdasan atau kepekaan spiritual dan sosialnya semakin meningkat. Sehingga selepas melaksanakan haji, bukannya semakin jauh dari agama, lari dari tanggungjawab sosial, tetapi justru semakin dekat dengan Tuhan dan peka terhadap urusan kemanusiaan.
Dari beberapa indikator di atas, sesungguhnya ibadah haji adalah ibadah penyempurnya dari serangkaian ibadah-ibadah lainya. Oleh karena itu, puncak kemabruran haji tidak bisa hanya diukur dengan menjalankan sahnya ritualitas di tanah suci saja. Akan tetapi, ditandai dengan keberangkatannya mulai bekal syahadah, shalat, zakat dan puasa. Keempat bekal tersebut tidak bisa dilompati hingga ada salah satu yang kosong. Pendek kata, harus sempurna dulu menjalankan rukun-rukun sebelumnya, barulah bisa mendapat tiket untuk berhaji.
Setelah syarat dan rukun haji dijalankan selama prosesi haji di Tanah Suci, yang merupakan ritual pokoknya, maka yang tidak kalah pentingnya yaitu memaknai kembali ritualitas itu. Proses haji harus dihayati dan dimalkan setelah tiba di Tanah Air dengan melahirkan sikap kesalehan yang lebih sempurna pada jiwa dan raganya. Kalau itu dapat diwujudkan, maka dampaknya adalah semakin meningkatnya akhlak dan spiritual umat Islam.
Semoga kegigihan meraih haji mabrur para jama’ah haji dari tahun ke tahun dapat terwujud dan hal itu menjadi modal penting untuk memperbaiki kondisi dan keadaan bangsa yang sedang dilanda krisis moral ini. Bangsa ini merindukan solidaritas agung yang tulus ikhlas dari semua para jama’ah yang menjadi tauladan dan contoh bagi masyarakat dan bangsanya. Ialah seorang yang dapat ditiru dan digugu dari segala sikap, perilaku, pikiran, ucapan dan tindakannya.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Rabu, 17 November 2010

Memahami Etos Pembaruan Pendidikan Muhammadiyah

Mujtahid*

SECARA geneologis, kelahiran Muhammadiyah diilhami oleh dua hal, yaitu pemahaman terhadap sumber ajaran Islam yakni al-qur’an dan hadits serta keprihatinan atas fenomena sosial keagamaan yang mendera kehidupan umat Islam. Dua hal itulah menjadi spirit KH. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan mendirikan organisasi Muhammadiyah yang didalamnya melahirkan amal usaha di bidang pendidikan. Menurut kisah sejarah, pendidikan yang kini menjadi amal usaha terbesar Muhammadiyah itu, konon lebih tua ketimbang usia gerakan Muhammadiyah itu sendiri.
Kemunculan pendidikan Muhammadiyah merupakan perjuangan yang gigih dan tak kenal kelah para pendirinya, yang tanpa pamrih mereka rela mengorbankan apa saja demi tercapainya misi pendidikan modern dan mampu menjawab tantangan zaman. Pendidikan Muhammadiyah memiliki ciri khas, yaitu mensintesakan antara pendidikan yang dikelola kolonial Belanda yang mengajarkan ilmu-ilmu alam dan sosial (profan) dengan pendidikan berciri khas Islam, seperti madrasah, pesantren atau sejenisnya yang mengajarkan masalah agama (sakral). Bagi Muhammadiyah, keduanya sangat penting untuk diraih agar umat Islam hidupnya berkualitas, baik di dunia maupun akhirat kelak.
Dari sisi landasannya, sesungguhnya pendidikan Muhammadiyah sudah sangat tepat, karena mengintegrasikan antara al-Qur’an dan Hadits dengan pemikiran pembaruan, antara muatan keilmuan umum yang berguna untuk meraih keunggulan duniawi dengan muatan ilmu agama yang menjadi basis kekuatan spiritual dan moral. Paradigma tersebut adalah spirit etis yang menjadi inti perjuangan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah untuk merancang, mendesain pendidikan yang berkualitas sesuai dengan tuntutan masyarakat global.
Memenuhi tuntutan global saat ini, pendidikan Muhammadiyah perlu kembali mereformulasi konsep baru yang relevan dengan kebutuhan stakeholders, memunculkan ide-ide yang inspiratif, hingga strategi dan cara-cara inovatif untuk mengembangkan pendidikan. Dengan begitu pendidikan yang mengemban misi peradaban ummat mampu melahirkan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan keadaan zaman.
Pendidikan Muhammadiyah sesungguhnya bukanlah pendidikan yang baru kemarin berdiri, melainkan telah mengarungi rentang masa yang cukup lama, yakni lebih dari satu abad lamanya. Bahkan, sebelum pendidikan nasional berkiprah, pendidikan Muhammadiyah telah lebih dulu ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, akhir-akhir ini pendidikan Muhammadiyah tengah menghadapi problematika yang tidak ringan. Dikatakan tidak ringan, karena selain gempuran sekolah atau madrasah negeri yang tidak memberikan ruang gerak pada pendidikan swasta, kebijakan pemerintah yang kurang menguntungkan pendidikan swasta, juga ditambah dengan semangat dan kreasi para pelaku pendidikan Muhammadiyah agak mulai menurun. Beberapa sekolah Muhammadiyah yang tersebar di berbagai daerah yang dulu tampak sangat maju dan ramai peminatnya, kini mengalami suasana yang cukup rawan dan mengkhawatirkan, bahkan tidak sedikit mengalami stagnasi.

Etos Pembaruan
Peta persoalan tersebut di atas, perlu dipikirkan dan dicarikan jalan pemecahannya agar pendidikan Muhammadiyah terus berkibar dan survive di tengah persaingan yang kompetitif itu. Saatnya para pimpinan Muhammadiyah mulai dari tingkat pusat, wilayah, daerah hingga cabang dan ranting memusatkan perhatian pada bidang pendidikan, selain bidang-bidang lainnya untuk terus mengembangkan etos pembaruan yang selama ini dipahami dan diyakini oleh warga Muhammadiyah.
Tatkala dulu KH. Ahmad Dahlan masih aktif berkecimpung dalam pendidikan, pesan yang beliau ajarkan adalah etos kemajuan. Melalui etos kemajuan itulah setapak demi setapak pendidikan Muhammadiyah menunjukkan keberhasilan yang membanggakan umat Islam. Nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan yang dibarengi dengan jiwa tulus ikhlas yang dulu tampak menjadi spirit etis pendiri Muhammadiyah, kini perlu dipupuk kembali dan dijadikan tema besar untuk membangkitkan pendidikan Muhammadiyah yang cemerlang.
Memasuki abad kedua, Muhammadiyah perlu memetakan sebuah gerakan yang sesuai dengan konteks zaman saat ini. Menjelang muktamar ke 46 di Yogyakarta, ada tema yang cukup menarik yang sering dibahas pada forum-forum diskusi terbatas, baik di kantor-kantor PDM maupun di amal usaha Muhammadiyah, yaitu gerakan ilmu. Dan pendidikan merupakan salah satu gerakan yang relevan untuk mewujudkan gerakan ilmu tersebut, yang sekaligus menandai dan menjadi ciri utama gerakan Muhammadiyah.
Membangun gerakan ilmu atau pendidikan adalah membangun peradaban, melahirkan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, serta menumbuhkan sikap dewasa dan kearifan manusia. Supaya gerakan itu berhasil, maka membutuhkan spirit perjuangan bagi semua pihak, baik para pimpinan Muhammadiyah maupun pelaku di masing-masing sekolah atau madrasah. Spirit perjuangan dan etos pembaruan itu sesungguhnya modal utama untuk membangun prestasi pendidikan Muhammadiyah.
Dibanding dengan organisasi lain, Muhammadiyah telah memiliki sumber daya manusia (SDM) yang lebih baik. Artinya, itu merupakan modal yang sangat berharga untuk diajak membenahi pendidikan Muhammadiyah. Namun pertanyaannya, apakah mereka yang secara SDM sangat baik, mau dan mampu meluangkan waktunya, tenaganya serta segala yang dimilikinya untuk memajukan pendidikan Muhammadiyah.
Menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita renungkan pepatah yang pernah diwariskan oleh sang pendiri Muhammadiyah, yaitu ”hidup hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah”. Pepatah itu relevan bahwa tidak sedikit saat ini orang cenderung serba transaksional, suka jabatan dan cari kesempatan, yang ujung-ujungnya akan jadi penghambat pendidikan Muhammadiyah itu sendiri. Berbekal dengan nilai-nilai etos pembaruan diharapkan semua pelaku pendidikan Muhammadiyah mampu menghayati dan mengamalkan dalam setiap aktivitasnya untuk mengambil kebijakan dan keputusan.

*) Mujtahid, Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan Islam (MPI) PPs UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Selasa, 16 November 2010

Menjangkau Pendidikan Murah Melalui BOS

Mujtahid*
SEJAK Juli 2005 yang lalu, pemerintah memunculkan kebijakan strategis, sebagai langkah serius, nyata dan urgen untuk mewujudkan wajib belajar (wajar) 9 tahun, yaitu Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kebijakan stretegis itu dimaksudkan untuk pemerataan sekaligus penyegaran kembali akan pentingnya kesadaran pendidikan yang terjangkau (murah) dan bermutu bagi semua anak negeri di tanah air.
Cita-cita dan amanat UUD 1945 yang menjadi payung hukum tertinggi di negeri ini serta UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sebagai pijakan pemerintah, melalui Kemendiknas agar semua warga negara berusia 7-15 tahun atau setingkat SD hingga SMP wajib memperoleh hak untuk mendapat pendidikan. Hal ini selaras dengan misi dunia bahwa pendidikan adalah untuk semua (education for all) yang menembus batas benua, negara, pulau, etnis, ras, suku dan agama.
Perbedaan geografis bangsa Indonesia yang begitu majemuk, mengakibatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat atau daerah tidak dapat berkembang secara pesat dan merata. Faktor perbedaan sosial-ekonomi itulah sebagai salah satu kendala utama, selain faktor-faktor lain, dalam rangka menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Sebagai upaya menjembatani perbedaan itu dan ditambah dengan jumlah masyarakat kurang mampu (miskin) yang tidak sedikit, pemerintah melalui Kemendiknas memberikan program BOS guna pemenuhan kebutuhan belajar mengajar siswa yang diterimakan langsung ke semua sekolah tingkat dasar (SD/SMP). Artinya, program BOS mendorong agar semua warga negara Indonesia mengenyam pendidikan sekurang-kurangnya tingkat dasar.
Dari rentang waktu lima tahun terakhir, besaran program BOS dari tahun 2005 hingga tahun 2009 telah mengalami peningkatan secara signifikan. Program BOS merupakan program yang sebanding lurus dengan kebijakan pemerintah yang mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sebagai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Manfaatnya, lebih dari 30 juta murid SD/MI dan 12,5 juta SMP/MTs telah merasakan program BOS yang hasilnya sangat positif untuk pengentasan wajib belajar 9 tahun.
Bahkan, menurut laporan Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, penuntasan program wajar 9 tahun mengalami peningkatan secara signifikan, yaitu mencapai 98,11% Angka Partisipasi Kasar (APK). Prestasi ini melebihi target dari yang dirancang sebelumnya, yakni untuk menuntaskan wajar 9 tahun paling lambat tahun 2015. Program BOS dinilai menghasilkan kemajuan yang pesat. Secara riil, indikator keberhasilan program BOS adalah mampu mengurangi beban orangtua untuk biaya pendidikan anaknya, sehingga menurunkan angka putus sekolah (drop out), mengurangi angka mengulang kelas, meminimalisir tingkat ketidakhadiran, dan meningkatkan angka melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs.
Seiring dengan prestasi yang menggembirakan tersebut di atas, pengelolaan program BOS dituntut harus sesuai dan tepat sasaran. Sebab, tak jarang program BOS juga masih menyisakan persoalan yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Persoalan dimaksud, yaitu tentang transparansi, pertanggungjawaban (akuntabilitas) dan partisipasi. Program BOS adalah program sensitif yang seringkali menimbulkan mosi saling tidak percaya antara satu pihak dengan pihak yang lain, disamping juga rawan penyelewengan. Untuk menjawab persoalan sekaligus anggapan itu, sekolah sebagai pihak penerima program BOS perlu secara bersama-sama merancang, menyusun dan melaksanakannya secara kolektif, yakni melibatkan peran komite sekolah, orangtua dan masyarakat.
Komitmen pelaksanaan program BOS harus dijalankan di atas kesepahaman dan kesepengetahuan bersama tanpa harus ditutup-tutupi, apalagi dirahasiakan. Program BOS adalah uang rakyat bersumberkan pada APBN, maka dalam aturannya harus dikelola dengan transparan dan akuntabel, baik secara moral, teknis, legal dan administrasinya. Melalui program BOS, diharapkan kepala sekolah/madrasah lebih kreatif dan imajinatif dalam mengembangkan mutu pendidikan baik aspek muatan kurikulumnya, kegiatan pembelajarannya dan aspek-aspek kegiatan lainnya. Hadirnya program BOS, dimaksudkan bukan malah menghambat dan menjadikan kepala sekolah/madrasah tidak berkembang, karena takut salah dan menyeret dirinya masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP). Kalau itu terjadi, maka kita yakin sebabnya adalah karena mereka tidak memahami pedoman dan menyalahi aturan terkait dengan transparansi dan akuntabilitasnya.
Pemerintah, selain meningkatkan anggaran program BOS, dari 5,1 triliun pada awal program BOS digulirkan tahun 2005 hingga menjadi 19,4 triliun saat ini, juga meningkatkan sosialisasi dan pengawasannya. Upaya ini dilakukan, karena tidak sedikit dari sekolah/madrasah yang menerima program BOS terkadang kurang memahami cara pengelolaan dan penggunaannya. Langkah yang ditempuh oleh pemerintah melalui Ditjen Mandikdasmen adalah menerbitkan buku pedoman yang harus dipahami segenap stakeholder program BOS, mulai pejabat pusat, daerah, hingga sekolah. Meski buku pedoman itu sudah ada sebelumnya, tahun ini buku tersebut lebih disempurnakan. Agar terukur dan terbukti tingkat transparansi dan akuntabilitasnya, program BOS dilakukan audit kinerja dan audit keuangan secara khusus oleh BPKP secara tahunan, dan pengawas/penyidik oleh pihak berwenang.
Akses penggunaan program BOS dapat dinikmati oleh semua pihak. Tidak saja bagi orangtua siswa, yang secara ekonomi menjadi lebih ringan beban tanggungannya, melainkan juga bagi sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran yang lebih maksimal. Program BOS juga tidak menghalangi peserta didik, orangtua, atau pihak-pihak lain (pemda/swasta) yang mampu untuk memberikan sumbangan sukarela yang tidak mengikat kepada sekolah.
Program BOS yang diberikan pemerintah kepada sekolah harus disyukuri bersama. Sebab ditengah kehidupan yang demikian sulit sekarang ini apapun bentuk dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah harus ditunaikan secara jujur dan penuh tanggungjawab. Hanya dengan tekad yang kuat dan semangat yang besar disertai dengan kejujuran dan amanah, mutu pendidikan Indonesia dapat bersaing di belahan dunia. Program BOS hanyalah salah satu cara pemerintah untuk mengentaskan dari secuil persoalan yang mendera pendidikan kita.
Untuk mewujudkan dan meningkatkan program BOS agar lebih efektif, maka diperlukan keluasan berpikir dan kedalaman hati (nurani) dari semua pihak. Upaya-upaya untuk menyalahgunakan program BOS merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Sebab pendidikan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dijalankan sesuai dengan cara-cara manusiawi. Kalau saja diingkari, apalagi dimiliki untuk diri sendiri, maka tamatlah harapan dan cita-cita generasi unggul, tunas bangsa, generasi yang akan mewarisi dan melanjutkan peradaban masa depan bangsa Indonesia.
Melalui program BOS diharapkan semua warga negara Indonesia dapat menikmati pendidikan yang terjangkau, murah dan bermutu. Meski banyak orang bertanya, apakah dengan biaya pendidikan murah dapat menjamin pendidikan bermutu? Anggapan itu harus dijawab, bahwa melalui program BOS, pendidikan Indonesia harus bisa bangkit untuk mencapai standar mutu pendidikan yang layak dibanggakan. Negeri ini kaya akan pengalaman dan tradisi bagaimana cara memainkan sumber ”kekuatan minimal” menjadi sumber kesuksesan dan keberhasilan, ialah ketekunan, keuletan, kearifan, perjuangan dan pengorbanan.
Ibarat senjata, program BOS adalah bambu runcing yang mampu bicara dan mengantarkan negeri ini menjadi merdeka. Bambu runcing kala itu mampu mengalahkan senjata pistol, bahkan meriam kolonial. Sebenarnya, letak kehebatan itu bukan karena pistol atau bambu runcingnya, tetapi karena tekad, semangat perjuangan dan pengorbanan itulah yang mampu mengantarkan kesuksesan bangsa ini. Kalau kita bicara atau diskusi terus menerus soal ”senjata”, tidak akan pernah selesai sampai kapan pun. Semoga program BOS mampu menjadi alternatif pendidikan yang terjangkau, murah dan bermutu ditengah mahalnya biaya pendidikan saat ini.

*) Mujtahid, Mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Senin, 15 November 2010

Bisnis dan Layanan Prima

SALAH satu elemen marketing yang kini mulai digemari pebisnis adalah servis (pelayanan). Pelaku bisnis berpikir bahwa servis sudah merupakan the ultimate level. Artinya, sudah tidak ada lagi konsep paling tinggi dari ini. Servis menjadi penting, karena tuntutan persaingan (competition), perubahan (change), perseroan (company) yang harus bergerak terus.
Dewasa ini, banyak perusahaan-perusahaan besar mulai membidik pangsa pasarnya dengan menanamkan nilai kepercayaan melalui pelayanan (service). Servis dimaksudkan sebagai pilihan efektif pemasaran, ketimbang dengan cara memasang iklan di media apapun. Hermawan Kartajaya menyebut istilah ini sebagai “gethok tular” atau word of mouth. Pelanggan yang terpuaskan dengan sendirinya akan “ngomong” tentang produk yang dihasilkan.
Dengan sistem baru ini, perusahaan dapat mengurangi pengeluaran dari pemasangan iklan yang menguras jutaan rupiah. Cara hemat ini sudah terbukti dalam bisnis perbankan, baik kelas regional, nasional maupun kalas dunia. Kesusksesan yang sama juga pernah diterapkan di beberapa perusahaan di negara-negara modern atau maju.
Hermawan Kartajaya, selaku presiden Markplus& Co sudah belasan tahun mengamati model marketing yang ada di negara-negara luar. Menurutnya, salah satu indikator dari keberhasilan perusahaan adalah melakukan pelayanan yang memuaskan (service exellence). Pelaku bisnis harus bisa mengerti dan menunjukkan kebutuhan pelanggan, karena tidak setiap pelanggan mengerti dan tahu kebutuhannaya. Pelayanan lebih seperti inilah menjadi nilai tambah (core value) dan daya tawar bagi kelangsungan bisnis yang baik.
Pelayanan merupakan suatu proses yang menghasilkan kepuasan atau produk yang diberikan kepada konsumen. Pelayanan dapat dibedakan mejadi tiga kelompok. Pertama, core service yaitu suatu pelayanan yang ditawarkan kepada pelanggan yang merupakan produk utamanya. Kedua, facilitating service, yaitu fasilitas layanan tambahan yang diberikan pada konsumen. Ketiga, supporting service yaitu pelayanan tambahan (pendukung) untuk meningkatkan nilai pelayanan atau untuk membedakan dengan pelayanan-pelayanan dari pesaingnya.
Pelayanan bisnis (service business) merupakan suatu proses interaksi antara konsumen dan perusahaan. Pelayanan juga bertujuan untuk memberdayakan pelanggan agar mereka tetap percaya terhadap produk atau jasa yang Anda diberikan. Bagi perusahaan yang berorientasi profite (keuntungan), servis dapat dipandang sebagai jurus untuk meningkatkan pendapatan yang lebih tinggi.
Selama ini, masih banyak orang belum mengerti tentang konsep pelayanan. Pelayanan sering disama-artikan dengan keramahan. Padahal, servis adalah tindakan aktif dan nyata, baik dari segi produk maupun jasa. Pramugari pesawat misalnya, dapat memberi contoh kualitas tidaknya layanan jasa kepada para pelanggan. Begitu pula terjadi pada layanan produk, HP Nokia 810 Car Phone sebagai contoh bentuk layanan kumunikasi dalam mobil, yang di jaman modern seperti ini sangat dibutuhkan untuk kenyamanan bagi pengemudi mobil.
Dengan pelayanan yang baik, selanjutnya akan terjadi kemitraan pelanggan. Kemitraan pelanggan yang efektif membuat palanggan terus kembali, apa pun yang terjadi dalam keadaan baik atau buruk, di masa senang dan susah. Kemitraan pelanggan ini harus selalu dipupuk dengan pelayanan yang prima.

Idikator Layanan
Untuk mengukur baik atau tidaknya kualitas layanan, dapat ditilik dari lima hal. Pertama, reability, yaitu seberapa jauh Anda bisa memenuhi apa yang anda janjikan atau yang anda tawarkan kepada pelanggan. Banyak produk hancur karena setelah rumusan janji tidak sesuai dengan kenyataannya. Ini justru berbahaya, bahkan bisa membunuh karakter Anda sendiri. Yang jelas jangan sampai terjadi over-promise under promise. Jika sampai terjadi, pelanggan akan mengecap Anda sebagai tukang bohong, hancurlah kredibilitas Anda di mata pelanggan.
Kedua, Responsiveness, yaitu kemampuan untuk memenuhi permintaan pelanggan sesuai dengan perubahan perkembangan lingkungan usaha. Setiap produk yang Anda hasilkan harus berkelanjutan dan relevan dengan berbagai perubahan dalam lingkungan bisnis, seperti perubahan persaingan, perilaku pelanggan, perubahan sosial budaya, dan sebagainya. Jika produk/layanan Anda merasa tidak relevan dengan kondisi lingkungan, maka Anda harus segera merubahnya (repositioning) agar tidak di cap kuno.
Ketiga, assurance yang terkait dengan kemampuan atau sumber daya yang dimiliki dan akan menentukan mampu atau tidaknya memenuhi apa yang ditawarkan ataupun yang dijanjikan.
Keempat, empathy, upaya memahami diri sang pelanggan. Layanan yang baik yaitu harus mencerminkan bagaimana pelanggan dapat terpuaskan sesuai dengan kebutuhannya. Sikap empathy yang ditunjukkan kepada pelanggan harus spartan (totalitas), karena dengan begitu jati diri Anda semakin kuat dan mudah dikenang di benak mereka.
Kelima, tangible, yaitu penampilan fisik yang membuat suatu layanan akan berlangsung lebih baik. Layanan itu harus mencerminkan “keunikan”, yang berarti dengan mudah mendiferensiasikan (membedakan) diri dari para kompetitor. Cara seperti ini sangat efektif untuk menanakman kecintaan kepada pelanggan. Karena positioning Anda akan sulit ditiru (diduplikat) oleh pesaing Anda. Dari positioning ini akan mengangkat citra Anda dan sekaligus akan menjaga sutainable lebih lama lagi.
Dari kelima standar layanan di atas, sampai saat ini service masih dipahami sebagai cara yang efektif dalam membangun citra Anda di mata pelanggan. Karena service akan menempatkan usaha Anda lebih dipercaya oleh pelanggan. Jika terjadi demikian, maka Anda termasuk berhasil dalam membangun kesan, image, di benak konsumen, bahwa layanan produk atau jasa Anda layak dipercaya dan kompeten.
Sebagai bekal untuk mengefektifkan usaha atau aktivitas Anda, maka indikator-indikator layanan di atas sangat cocok menjadi pijakan dalam memberikan kesan dan hasil yang baik. Tindakan melayani orang merupakan akumulasi dari sebuah analisis rasional, taktis dan sistematis sehingga siapa saja yang Anda layani merasa terpuaskan. Dengan tindakan seperti itu sebenarnya akhirnya menjadi investasi yang luar biasa dan sulit untuk dilupakan oleh orang lain.

*) Mujtahid, Humas UIN Maliki Malang

Senin, 01 November 2010

Menjaga Hati Agar Tetap Bersih

Mujtahid*

DALAM jiwa manusia, terdapat dua tabiat yang cenderung bersifat paradoks, yaitu tabiat hasanah (baik) dan sayyi’ah (jelek). Selain manusia dikenal sebagai makhluk yang kasih sayang, lemah lembut, suka menolong, juga dikenal sebagai makhluk yang kejam, otoriter, dan sadis. Kedua tabiat tersebut mengiringi organisme manusia sepanjang hayatnya.
Tetapi, tabiat yang bertolak belakang secara diametral tersebut, masih sangat ditentukan oleh eksistensi kalbu, sebagai potensi (al-quwwah, fakultas) yang menentukan pilihan dan tindakan (action) manusia. Dengan potensi kalbu, manusia dapat membedakan antara baik dan buruk; antara benar dan salah.
Menurut Ibnu Athaillah Al- Sakandari (seorang yang kapasitasnya sebagai sufi), bahwa Dunia tasawuf (sufi) merupakan dunia yang dikenal dekat dengan hati (kalbu). Karena salah satu aspek untuk mencapai derajat sampai ma’rifat, ia harus dapat menundukkan kalbunya terlebih dahulu. Untuk menjadi sufi, sepintas memang terkesan agak sulit, tetapi jika dijalani dengan penuh kesungguhan dan istiqamah tentu pasti akan tercapai. Lantas, bagaimana metode menundukkan hati (kalbu)? Buku yang berjudul Menjaga Kesucian Kalbu, telah menyuguhkan kurang lebih 40 essai supaya kita benar-benar sukses menjaga kesucian kalbu ini.
Sederetan nama sufi, Athaillah merupakan tokoh ulama yang zahid, wara’ serta sebagai duta orang-orang ‘arif dan imam para sufi. Sufi asal Iskandariyah itu sejak usia dini memang memiliki semangat berguru pada mursid-mursid (guru sufi) pendahulunya. Atas keberhasilannya, ia sangat dikagumi pada zamannya, khususnya kepiawiannya dalam bidang ilmu syari’at dan hakikat. Demikianlah sekilas “otobiografi” sang penulis buku ini.
Dalam sebuah tulisannya, Athaillah menegaskan bahwa untuk meraih derajat tinggi dan tempat mulia di hadapan Allah, diperlukan kedalaman pengetahuan pada diri Muhammad Saw, sebagai utusan Allah. Bagi kaum Muslim, figur utama yang perlu diikuti dan dihormati adalah Rasulullah, kata Athailah dengan nada semangat. Dengan mengikuti sunnah Rasul, secara pasti kehidupan ini akan terbimbing ke arah jalan yang diridhai Allah.
Metode ampuh untuk menjaga kesucian kalbu adalah dengan taubat. Secara bahasa, taubat berakar dari kata taaba yang berarti kembali. Artinya kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji, kembali lari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridha’i-Nya, kembali dari yang saling bertentangan menuju yang saling menyenangkan, dan seterusnya.
Jalan taubat sengaja di buka oleh Allah guna apabila seorang Muslim melakukan kesalahan, baik yang besar maupun kecil, ia wajib segera kembali kepada jalan Allah. Dengan mengutip ayat al-Qur’an, Athaillah menyerukan: “Kembalilah kamu sekalian kepada jalan Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. Mengapa manusia perlu bertaubat? Kata Athailah, karena manusia dihidupkan dan dimatikan hanya oleh Allah. Sehingga modal untuk kembali kepada Allah hanyalah dengan keadaan Suci (fitrah) dari segala bentuk dosa dan perbuatan maksiat, yang menentang kemahakuasaan Allah.
Hal menarik lainnya dari essai Athaillah adalah muhasabah (introspeksi diri). Manusia seharusnya punya kesadaran bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah di manapun ia berada, baik siang maupun malam. Dengan demikian, manusia akan terdorong untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri, perhitungan, evaluasi) terhadap amal perbuatan, tingkah laku dan sikap kalbunya sendiri. Menurut Athailah, Muhasabah dapat direncanakan sebelum melakukan sesuatu dengan secara tepat dan matang. Mempertimbangkan terlebih dahulu baik-buruk dan manfaat perbuatannya itu.
Satu hal lagi yang menjadi catatan Athaillah agar Kalbu tetap suci adalah sikap ikhlas. Secara etimologis, ikhlas berakar dari khalasha yang berarti bersih, jernih, murni; tidak tercampur. Ikhlas bagaikan air bening yang belum tercapur oleh zat apapun. Sikap ikhlas berarti membersihkan atau memurnikan dari setiap kemauan, keinginan yang didasarkan bukan kepada Allah.
Masih mangenai ikhlas, ia menjelaskan bahwa segala amal perbuatan yang dikerjakan manusia jika tidak ikhlas, maka amal perbuatan tersebut tidak diterima Allah. Dengan kata lain, ihklas mengajarkan supaya manusia berbuat tanpa pamrih, hanya semata-mata mengharapkan ridha Allah.. Karenanya, setiap perbuatan harus diawali dengan kata niat. Seperti yang dianjurkan Nabi: “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niat. Dan sesungguhnya setiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya”.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Minggu, 17 Oktober 2010

Wacana Studi Kritik Hadits

Mujtahid*

BERBEDA dengan al-Qur’an, keotentikan hadits seringkali dipersoalkan. Sejumlah kritikan ditujukan kepada hadits, bahkan ada yang menolaknya. Sekalipun telah sekian lama melengkapi sumber ajaran agama Islam (al-qur’an), hadits sekiranya masih perlu diuji keabsahan dan validitasnya. Salah satu penyebabnya adalah selain tidak adanya jaminan yang tegas, juga akibat keterlambatan penulisan hadits. Sehingga sangat mungkin diduga periwayatan hadits banyak yang palsu.
Mengapa kritik hadits itu perlu dilakukan, karena banyak silang pendapat, perbedaan, serta konflik di tengah kehidupan masyarakat muslim akibat hadits-hadits yang mengundang interpretatif, baik dari sanad dan matannya. Padahal, hadits adalah pendamping al-Qur’an yang keduanya harus menjadi sumber rujukan sebagai penjelas (bayan), petunjuk (hudan), serta sebagai obat (syifa) bagi ummatnya.
Sebagai sumber kedua ajaran Islam, tentunya bukanlah hadits sembarangan. Yaitu hadits yang kadar sanad dan matanya tidak jelas dan tidak memiliki sandaran yang kuat. Untuk mengukur kedhabitan (mantap/valid) hadits, biasa dikalangan akademis lebih memilih istilah kritik hadits. Ialah sebuah acara untuk menilai dan menimbang dari berbagai sisi, baik dari segi sanad dan matannya yang memungkinkan diterimanya keabsahan dan kedhabitan hadits tersebut.
Wacana studi kritik hadits selain dipandang penting untuk menguji validitas hadits, juga untuk melahirkan ilmu hadits. Sebab semakin berkembang ilmu hadits, akan menjadikan wilayah studi Islam semakin luas. Dengan begitu diharapkan wacana studi kritik hadits bermanfaat bagi dinamika perkembangan peradaban Islam.
Menurut Badri Khaeruman, seperti yang tertuang dalam karyanya ”Otentisitas hadits,” (2004) mengatakan bahwa tujuan dari kritik hadits adalah menjamin keselamatan hadits itu sendiri. Kritik hadits membuka peluang untuk melakukan studi terhadap keabsahan dan validitasnya, baik segi taman dan sanadnya. Setelah itu, baru kita dapat menilai posisi hadits tersebut, apakah masuk kategori hadits shahih, maqbul (diterima) atau dha’if, mardud (ditolak).
Dengan adanya kritik hadits, diharapkan agar kita mengetahui dengan pasti otentisitas suatu riwayat. Selain itu, kritik hadis juga bermanfaat untuk menguji validitasnya dalam rangka menetapkan suatu riwayat. Sebuah kritik merupakan kerja intelektual yang melibatkan cabang ilmu hadits (Ulum al-Hadits). Kerja intelektual ini dalam ilmu hadits masuk dalam konsep al-Jarh wa al-Ta’dil, suatu ilmu untuk menilai diterima dan ditolaknya seorang sanad dan rawi hadits.
Salah seorang kritikus hadits terkenal, Abu Ruyyah, menggugat adanya kaidah yang berbunyi al-Shahabatu Kullum Udul (para sahabat adalah adil). Dalam sebuah bukunya yang ternama “Adwa ala al-Sunnah Muhammadiyah aw Difa’u an al-Hadits (1957), Abu Ruyyah menyanggah bahwa tidak semua sahabat itu tergolong adil dalam meriwayatkan hadits. Pandangan Abu Ruyyah terhadap hadits, melalui karya “kotroversial” ini pernah menggemparkan dunia Islam, khususnya Mesir. Terutama fokus yang digugat atau dikritiknya adalah Abu Hurairah, seorang sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Dalam pandangan Abu Ruyyah, masa pergaulan Nabi Muhammad Saw dengan Abu Hurairah hanya berkisar satu tahun. Ukuran waktu yang singkat. Sehingga sangat tidak wajar kalau waktu yang sangat singkat itu Abu Hurairah dapat meriwayatkan hadits begitu banyak. Padahal, sahabat Nabi yang sejak awal mendampinginya tidak sebanyak hadits Abu Hurairah.
Gugatan keabsahan dan validitas hadits Abu Hurairah disampaikan banyak kalangan. Tidak hanya Abu Ruyyah, Muhammad al-Gahazali dan Musthafa al-‘Azami juga mempertanyakannya, bahkan menurut Jalaluddin Rahmad (kang Jalal), menilai Abu Hurairah sebagai tadlis, yang tidak dipercaya.
Adanya kritik dan penilaian tersebut, menurut Badri, merupakan kesadarna sejarah yang kuat dalam kalangan umat Islam tempo dulu. Dengan kesadaran inilah kebenaran sejarah akan mampu menepis setiap bentuk penyimpangan (bid’ah) dari ajaran yang sebenarnya di masa yang akan datang. Sehingga kemurnian Islam khususnya yang disampaikan Nabi akan tetap abadi hingga akhir zaman.
Pengkajian terhadap hadits selalu menarik perhatian. Menarik karena dalam sejarahnya, pernah terjadi “musibah” besar yang menimpa sejumlah kalangan yang sejatinya sebagai sanad hadits. Di lihat dari kodifikasinya, hadits baru terkumpul sekitar seratus tahun setalah Nabi Muhammad wafat. Belum lagi, masalah pemalsuan hadits yang berdasarkan kepentingan mereka, terutama kepentingan politik dan mazhab fiqh. Karena itu, untuk ‘mensterilkan’ hadits dari noda-noda tersebut, diperlukan kritik dan penelitian yang sangat mendalam.
Sebagian besar kritikus hadits menilai bahwa jika ada sebuah hadits yang bertentangan dengan makna ayat al-Qur’an, maka hadits itu dinyatakan jelas-jelas palsu. Sebab posisi hadits di depan al-Qur’an hanya sebagai bayan (penjelas) terhadap sebagian ayat al-Qur’an yang masih memerlukan penjelasan yang lebih rinci. Sementara hadits yang demikian ini, masih merajalela dan berkeliaran di kalangan masyarakat Islam.
Muhammad al-Ghazali misalnya, mengkritik sebagian kalangan umat Islam yang menyibukkan diri “memelihara” hadits yang sejatinya bertolak belakang dengan al-Qur’an. Bahkan, untuk menilai hadits, kata al-Ghazili, perlu di konfirmasikan terlebih dahulu dengan al-Qur’an. Jadi tidak ada kata “pembelaan” dari ulama sekalipun, kalau memang benar-benar ditemukan bahwa hadits itu tidak sepaham dengan al-Qur’an. Sikap seperti ini bukan dipandang sebagai sikap anti hadits, tetapi justru sebaliknya yakni ingin menjunjung tinggi nilai dan harga diri hadits.
Sebagai sebuah kajian ilmu hadis, wacana kritik hadits memang dipandang perlu untuk menambah keyakinan dan kemantapan kita terhadap hadits itu. Dengan semakin banyak informasi yang diperoleh, baik dari sisi riwayat dan pesan yang terkandung di dalmnya, kita akan semakin mantap dan yakin untuk menjadikan sebagai dasar dalam kehidupan sehari-hari. Studi kritik hadits difungsikan untuk menguji kualitas dan otensitasnya agar kita dapat membedakan dan mengambil yang terbaik dari sekian hadits-hadits yang ada.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Minggu, 10 Oktober 2010

Cinta dalam Etika Islam dan Kristen

Mujtahid*

RELASI antara Islam dan Kristen merupakan relasi teologis-dialektis. Keduanya sama-sama lahir dari satu rumpun agama, yakni agama monoteisme. Bahkan, sebagian sumber ajaran dan doktrinnya terdapat persamaan-persmaan yang sulit dipisahkan satu sama lain.
Namun belakangan ini, tak jarang kedua agama tersebut terkadang menyimpan rasa kecurigaan dan kebenciaan. Dalam beberapa hal, mereka tidak lagi menunjukkan keharmonisan dan kerukunan. Ketidakharmonisan itu akan lebih tampak, ketika mereka telah mengkaji teks-teks sucinya. Tentu saja, ketika mereka memahami doktrin-doktrin secara “artifisial” dengan mengesampingkan interpretatif kontekstual, sehingga mengakibatkan perbedaan yang cenderung mengundang konflik dan bencana.
Dalam sebuah karya berjudul “Wajah Cinta Islam dan Kristen” (2004) yang ditulis Mahnaz Heydarpoor –seorang ilmuan muda Syi’ah berkebangsaan Iran- mengelaborasi bagaimana makna cinta dari dua sudut agama tersebut. Makna cinta sebenarnya yang terdapat pada agama apa pun, tak terkecuali agama Islam dan Kristen. Sisi lain yang menjadi kontribusi dari studi Mahnaz adalah menyumbangkan bentuk ‘dialog’ antar agama yang mampu memberikan jalan tengah sebagai alternatif meredam konflik yang ada selama ini. Selain itu, hasil studi yang dilakukan Mahnaz adalah upaya untuk mencari pemahaman yang benar dan terbebas dari strereotipe kuno dan modern yang lebih mengedepankan di Barat, berkat karya sarjana seperti John Esposito dan Ninian Smart.
Di kalangan teolog-teolog Kristen maupun Muslim, ada sejumlah sarjana yang percaya pada ketergantungan penuh ‘moralitas’ (etika) pada perintah dan wahyu Tuhan, sebagaimana juga ada sebagian sarjana lainnya percaya pada otonomi moralitas. Menurut kelompok pertama, “benar secara moral” berarti ‘diperintah Tuhan’, dan “salah secara moral” berarti ‘salah oleh Tuhan’.
Etika agama dapat didefinisikan sebagai sejenis etika yang memperoleh keabsahannya dari otoritas keagamaan. Karena itu, ajaran-ajaran yang diwahyukan’ dari otoritas itu memiliki peran penting dalam memutuskan apa yang “benar” dan apa yang “salah”. Ajaran-ajaran otoritas itu ditemukan dalam kitab suci agama tersebut, seperti al-Kitab untuk umat Kristen dan al-Qur’an untuk umat Islam. Sehingga Kitab suci Kristen maupun Islam, pada intinya adalah sumber moral atau etika yang utama.
Selain kitab suci, sumber etika kedua adalah institusi dan tradisi agama. Dalam agama Kristen misalnya, sumber-sumber dalam tradisi Katolik Romawi berbicara tentang Gereja sebagai mekanisme yang ditetapkan oleh Tuhan untuk menafsirkan kitab suci bagi setiap zaman baru. Sementara dalam Islam, terdapat Sunnah Nabi, yang menjadi pelengkap dan penyempurna Kitab suci (al-Qur’an).
Sumber kekuatan etika ketiga yaitu akal/rasio. Dalam Islam, akal ditempatkan sebagai sumber yang signifikan. Karena kemampuan inilah yang secara potensial telah membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Akal merupakan pemberian Tuhan yang berguna untuk melengkapi potensi-potensi lain yang melekat pada diri manusia.
Sumber pengetahuan etika keempat adalah keteraturan alam. Menurut Ian Markham, separti yang dikutip Heydarpoor, bahwa agama Katolik Roma adalah tradisi terbaik yang dikenal menggunakan prinsip keteraturan alam. Dia merujuk St. Thomas Aquinas (yang mengikuti Aristoteles) yang meyakini bahwa Tuhan telah menetapkan hukum alam di dalam struktur ciptaan-Nya.
Baik Islam dan Kristen, memandang bahwa cinta itu ditujukan kepada Tuhan dan manusia. Cinta Tuhan merupakan cinta abadi (kekal), suatu cinta yang substantif, karena Tuhan sendiri adalah Cinta. Sementara cinta manusia merupakan cinta predikat, sesuatu yang bersifat kontingen (tidak niscaya), dan dapat terlepas dari esensinya.
Terakhir, sumber nilai-nilai etika adalah pengalaman religius. Beberapa tradisi meyakini bahwa kita dapat menemukan apa yang diinginkan Tuhan bagi kita melalui pengalaman keagamaan dan do’a, dan kadang-kadang berlawanan dengan etika zaman yang diterima.
Dari beberapa sumber etika di atas, terdapat komitmen bersama di antara agama-agama untuk saling mencintai dan menyayangi. Sekalipun dipahami dengan cara berbeda dalam tradisi yang berbeda, hal ini merupakan kebajikan yang diakui secara universal. Dalam agama-agama ini, ritual memiliki peran sentral dalam membentuk manusia yang berakhlak mulia. Ritual adalah mekanisme yang bertujuan menciptakan kehidupan religius. Ritual mempertalikan seluruh aspek kehidupan, termasuk awal dan akhir kehidupan. Kalender-kalender keagamaan melibatkan ritual pada hari, pekan, bulan, dan tahun tertentu. Puasa pada hari-hari suci tertentu lazim dijumpai pada hampir seluruh tradisi agama.ritual membantu dalam mendukung moralitas dan membentuk disiplin yang melindungi manusia dari kejahatan.
Dalam Islam, cinta dipahami sesuatu yang abstrak dan transenden. Sedangkan dalam Kristen, cinta Tuhan kepada manusia benar-benar tampak dalam parental (hubungan orangtua terhadap anak). Cinta Tuhan memiliki kualitas tentang ideal dan tidak mementingkan diri sendiri. Tuhan tidak mendapatkan apa pun dari cinta itu sendiri atau dari yang ia cintai. Tuhan menciptakan dunia ini untuk menunjukkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan-Nya sendiri. Tuhan menciptakan manusia agar dikenal.
Sebagai sebuah gagasan yang mengusung tema studi ‘komparatif’ agama, tentunya apa yang disampaikan Mahnaz perlu dikaji kembali untuk meningkatkan pemahaman akan titik temu kesamaan dari kedua agama berbeda tersebut. Dengan begitu diharapkan akan muncul sebuah hasil temuan yang mampu menyadarkan bagi semua pemeluk agama, khususnya Islam dan Kristen. Implikasinya adalah untuk melahirkan sikap “toleran” yang tanpa mencurigai dan membenci, melainkan tumbuh sikap harmonisasi sebagai bentuk persaudaraan umat beragama.

*) Mujtahid, Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Sabtu, 02 Oktober 2010

Beriman Kepada Allah melalui Alam Semesta

Mujtahid*

BELAKANGAN ini, para sarjana Muslim Barat sedang giat melakukan pengkajian ilmu-ilmu alam (kosmologi). Berbeda dengan para saintis modern, sarjana muslim melihatnya dari perspektif qur’ani (wahyu). Bahkan, mereka memadukan pengkajian keteraturan alam itu dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan normatif dan ilmiah. Pendekatan normatif biasanya lebih menggunakan kitab suci (al-qur’an) sebagai rujukan pertama, sedangkan pendekatan ilmiah memilih pada ilmu atau penciptaan alam semesta ini. Keduanya saat ini menjadi sangat penting untuk dikembangkan agar terjadi titik temu yang sama-sama membuka jalan untuk menambah keimanan kepada Allah Swt. (Sang Maha Pencipta).
Adalah Bruno Guiderdoni, --- seorang sarjana Muslim Prancis ahli di bidang Fisika dan Astronomi modern--- mengemukakan bahwa “Alam Semesta” sesungguhnya mampu menjadi kitab (bacaan) yang menggiring kepada manusia untuk mendekatkan diri kepada sang khaliq. Dalam sebuah karyanya berjudul “Membaca Alam Membaya Ayat” (2004), Bruno memperlihatkan kepada kita bahwa mempelajari alam sama halnya dengan mempelajari ayat al-qur’an. Artinya, bahwa tanda-tanda ayat Tuhan bukan hanya termaktub dalam wahyu normatif, melainkan juga terhampar luas di muka bumi ini.
Islam sangat menghargai kreatifitas manusia. Temuan-temuan sains modern yang merupakan hasil kreasi manusia itu kini semakin membuktikan kebenaran bahwa Islam adalah agama yang bersumber pada kitab integratif, yakni teologis yang berupa wahyu kitab suci dan kosmologis yang berupa hamparan alam semesta berserta isinya itu. Melalui kreasi dan riset-riset ilmiah diharapkan kepada saintis Muslim modern mampu membuktikan banyak temuan-temuan ilmiah yang mampu mengundang daya ta’jub dan kebesaran akan Allah Swt. melalui hasil penciptaan-Nya itu.
Islam memberi kesempatan kepada manusia supaya mendayagunakan intelektualnya untuk mencari kebenaran. Pemikiran kosmologi seperti yang diungkapkan Guiderdoni, menunjukkan kepada kita bahwa aspek kauniyah masih langka disentuh manusia. Selama ini, kata Guiderdoni, wilayah kosmologi sering dipandang terpisah dari kesatuan bangunan Islam maupun iman.
Padahal, Islam/iman merupakan bentuk pengakuan bathiniyah dan lahiriyah yang secara bersama-sama harus terjalin erat secara sepadan. Urusan iman bukan hanya seputar masalah teologi, tetapi juga menyangkut masalah tatanan alam. Banyak kesalahpahaman terhadap masalah ini. Akibatnya, kepekaan manusia pada masalah alam sangat rendah. Tak berlebihan, jika penggundulan hutan menyeruak, pencemaran dan polusi terjadi dimana-mana, lantaran ketimpangan kesadaran yang tidak integratif.
Tuhan telah menciptakan alam ini untuk kepentingan manusia. Dan salah satu fungsi utama dari adanya gagasan tentang Tuhan adalah untuk menjelaskan keteraturan dan kesatuan alam semesta. Dalam Islam, kesatuan alam semesta dipandang sebagai citra kesatuan prinsip ilahi (tauhid).
Kesatuan alam yang berdasarkan prinsip tauhid telah melahirkan tata kosmos dan energi pada kehidupan manusia. Tata kosmos, baik secara makro maupun mikro adalah refleksi-refleksi ilahiyah yang membuktikan adanya “eksistensi” yang realistis, yang mustahil bisa diingkari manusia. Sebab, ketergantungan manusia kepada alam selama ini adalah ketergantungan kepada Allah Swt yang mengatur dan menentukan nasip manusia itu sendiri.
Keabsahan tata kosmos memunculkan dirinya sebagai tanda-tanda yang dahsyat yang sulit diukur dengan jangkauan logika. Tata kosmos besar, yang beredar dalam formasi spiral, memberi keterangan kepada manusia bahwa sesuatu yang teratur menurut garis aturnya disengajakan oleh satu energi dahsyat yaitu energi Tuhan.
Energi adalah dinamika spiritual yang ghaib yang hanya dimiliki Tuhan. Tuhan melimpahkan energi itu kepada wujud-wujud material. Semua benda yang ada di dalamnya mempunyai tenaga dan daya. Semua benda di alam ini hidup dan bergerak dengan arah yang pasti sesuai garis takdir-Nya.
Temuan-temuan sains Guiderdoni seputar kosmologis adalah kebenaran yang korelatif dengan ayat-ayat Tuhan. Tujuan sains dalam Islam adalah untuk memperlihatkan kesatuan alam semesta. Yaitu keteraturan seluruh bagian aspeknya, bahwa tidak ada pelanggaran hukum (sunnahtullah) dalam jagad raya ini merupakan kesalahan organis.
Aspek Rububiyah dalam Islam adalah menjamin pertumbuhan alam melalui tahapan-tahapan yang berbeda-beda sampai mencapai kesempurnaan. Karenanya, alam bersifat teleologis, berorientasi pertumbuhan dan ditakdirkan menuju kesempurnaan. Sebab kalau tidak ada capur tangan Tuhan dalam keteraturan alam ini niscaya tidak terpenuhi.
Jadi, kapasitas hukum-hukum yang mengatur keteraturan dan keharmonisan alam ini karena alam ini di ciptakan Tuhan dengan benar. Kebenaran alam ciptaan Tuhan ini mengandung implikasi bahwa alam tunduk dan patuh tanpa syarat kepada aturan dan hukum-hukum-Nya.
Pemahaman dan pandangan kosmologi menghendaki keterlibatan positif manusia dalam hidup dunia ini. Sehingga kosmologi mengandung dalam dirinya bahwa alam ini tertib, harmonis, indah, bermakna (mempunyai tujuan, kegunaan, tidak sia-sia). Pendek kata, kosmologi membimbing kita kepada sikap berpengharapan atau optimis kepada alam ciptaan Tuhan, yang sikap itu sendiri merupakan konsekuensi sikap serupa kepada Tuhan.
Dari konsep ini, Islam menuntut manusia agar menyelidiki dan memahami pola-pola Tuhan dalam alam, tidak hanya pola-pola yang terkandung dalam ilmu-ilmu kealaman, tapi juga yang termanifestasi dalam tatanan umum dan keindahan alam.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang