Mujtahid*
DALAM jiwa manusia, terdapat dua tabiat yang cenderung bersifat paradoks, yaitu tabiat hasanah (baik) dan sayyi’ah (jelek). Selain manusia dikenal sebagai makhluk yang kasih sayang, lemah lembut, suka menolong, juga dikenal sebagai makhluk yang kejam, otoriter, dan sadis. Kedua tabiat tersebut mengiringi organisme manusia sepanjang hayatnya.
Tetapi, tabiat yang bertolak belakang secara diametral tersebut, masih sangat ditentukan oleh eksistensi kalbu, sebagai potensi (al-quwwah, fakultas) yang menentukan pilihan dan tindakan (action) manusia. Dengan potensi kalbu, manusia dapat membedakan antara baik dan buruk; antara benar dan salah.
Menurut Ibnu Athaillah Al- Sakandari (seorang yang kapasitasnya sebagai sufi), bahwa Dunia tasawuf (sufi) merupakan dunia yang dikenal dekat dengan hati (kalbu). Karena salah satu aspek untuk mencapai derajat sampai ma’rifat, ia harus dapat menundukkan kalbunya terlebih dahulu. Untuk menjadi sufi, sepintas memang terkesan agak sulit, tetapi jika dijalani dengan penuh kesungguhan dan istiqamah tentu pasti akan tercapai. Lantas, bagaimana metode menundukkan hati (kalbu)? Buku yang berjudul Menjaga Kesucian Kalbu, telah menyuguhkan kurang lebih 40 essai supaya kita benar-benar sukses menjaga kesucian kalbu ini.
Sederetan nama sufi, Athaillah merupakan tokoh ulama yang zahid, wara’ serta sebagai duta orang-orang ‘arif dan imam para sufi. Sufi asal Iskandariyah itu sejak usia dini memang memiliki semangat berguru pada mursid-mursid (guru sufi) pendahulunya. Atas keberhasilannya, ia sangat dikagumi pada zamannya, khususnya kepiawiannya dalam bidang ilmu syari’at dan hakikat. Demikianlah sekilas “otobiografi” sang penulis buku ini.
Dalam sebuah tulisannya, Athaillah menegaskan bahwa untuk meraih derajat tinggi dan tempat mulia di hadapan Allah, diperlukan kedalaman pengetahuan pada diri Muhammad Saw, sebagai utusan Allah. Bagi kaum Muslim, figur utama yang perlu diikuti dan dihormati adalah Rasulullah, kata Athailah dengan nada semangat. Dengan mengikuti sunnah Rasul, secara pasti kehidupan ini akan terbimbing ke arah jalan yang diridhai Allah.
Metode ampuh untuk menjaga kesucian kalbu adalah dengan taubat. Secara bahasa, taubat berakar dari kata taaba yang berarti kembali. Artinya kembali dari sifat-sifat tercela menuju sifat yang terpuji, kembali lari larangan Allah menuju perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju taat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridha’i-Nya, kembali dari yang saling bertentangan menuju yang saling menyenangkan, dan seterusnya.
Jalan taubat sengaja di buka oleh Allah guna apabila seorang Muslim melakukan kesalahan, baik yang besar maupun kecil, ia wajib segera kembali kepada jalan Allah. Dengan mengutip ayat al-Qur’an, Athaillah menyerukan: “Kembalilah kamu sekalian kepada jalan Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. Mengapa manusia perlu bertaubat? Kata Athailah, karena manusia dihidupkan dan dimatikan hanya oleh Allah. Sehingga modal untuk kembali kepada Allah hanyalah dengan keadaan Suci (fitrah) dari segala bentuk dosa dan perbuatan maksiat, yang menentang kemahakuasaan Allah.
Hal menarik lainnya dari essai Athaillah adalah muhasabah (introspeksi diri). Manusia seharusnya punya kesadaran bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah di manapun ia berada, baik siang maupun malam. Dengan demikian, manusia akan terdorong untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri, perhitungan, evaluasi) terhadap amal perbuatan, tingkah laku dan sikap kalbunya sendiri. Menurut Athailah, Muhasabah dapat direncanakan sebelum melakukan sesuatu dengan secara tepat dan matang. Mempertimbangkan terlebih dahulu baik-buruk dan manfaat perbuatannya itu.
Satu hal lagi yang menjadi catatan Athaillah agar Kalbu tetap suci adalah sikap ikhlas. Secara etimologis, ikhlas berakar dari khalasha yang berarti bersih, jernih, murni; tidak tercampur. Ikhlas bagaikan air bening yang belum tercapur oleh zat apapun. Sikap ikhlas berarti membersihkan atau memurnikan dari setiap kemauan, keinginan yang didasarkan bukan kepada Allah.
Masih mangenai ikhlas, ia menjelaskan bahwa segala amal perbuatan yang dikerjakan manusia jika tidak ikhlas, maka amal perbuatan tersebut tidak diterima Allah. Dengan kata lain, ihklas mengajarkan supaya manusia berbuat tanpa pamrih, hanya semata-mata mengharapkan ridha Allah.. Karenanya, setiap perbuatan harus diawali dengan kata niat. Seperti yang dianjurkan Nabi: “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niat. Dan sesungguhnya setiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya”.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Subhanalloh, artikel ini sangat bermanfa'at untuku..
BalasHapusHatur nuhun..
bermanfaat banget mas, jadi tau nih cara bersikap dalam menjaga hati kita, thx yah
BalasHapusAlhamdulillah ya allah semoga hamba mu nie mendapatkan petunjuk dan keridhoan mu untuk diri ku . perkenankan lah doa ku ya allah . hidup dan mati ku semua karena mu ya allah
BalasHapus