Mujtahid*
Mengacu pada rumusan UU RI No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari segala aspek dan dimensinya. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pengajaran/pembelajaran di sekolah/madrasah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru seperti amanah Peraturan Pemerintah (PP) No. 19. Tahun 2005 pada Bab I, Pasal 1, ayat 7, adalah dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan maupun program dalam jabatan. Tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan kualified. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat.
Mungkin sudah terlanjur, bahwa masyarakat saat ini telah mempercayai, mengakui dan menyerahkan sepenuhnya kepada guru untuk mendidik anak-anak mereka. Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Namun seringkali tak sebanding lurus dengan apa yang diharapkan. Karena sudah terlanjur seperti itu, maka implikasinya adalah guru harus memiliki kualitas yang memadai. Kualitas tidak hanya pada tataran normatif, melainkan juga dalam tataran yuridis-empiris, bahwa seorang guru harus menunjukkan empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi personal (kepribadian), kompetensi profesional, maupun kompetensi sosial dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan. Hal tersebut karena guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan tataran strategis, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek "guru" dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya dalam satu manajemen pendidikan yang meritokratis.
Membangun kualitas pendidikan sangat erat kaitannya dengan membangun kualitas pembelajaran. Sementara kualitas pembelajaran sangat ditentukan oleh kualitas tenaga pendidik (guru). Meski guru bukanlah satu-satunya instrumen dalam dunia pendidikan, tetapi gurulah yang memegang peranan penting serta sebagai ujung tombak sukses dan gagalnya suatu pendidikan. Mulyasa mensinyalir bahwa dalam proses pembelajaran seringkali guru melakukan kesalahan. Setidaknya Mulyasa mengidentifikasi ada tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru, yaitu 1). mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, 2). menunggu peserta didik berperilaku negatif, 3). Menggunakan destructive dicipline, 4) mengabaikan perbedaan peserta didik, 5). Merasa paling pandai, 6) tidak adil (diskriminatif), dan 7). Memaksa hak peserta didik.
Dari uraian di atas itulah, pentingnya mengapa guru memerlukan layanan supervisi (pembinaan) pengajaran, karakteristik dan rasional apa yang dilakukan dalam supervisi pengajaran sebagai upaya peningkatan kualitas guru?
Pengertian Supervisi Pengajaran
Istilah supervisi pengajaran sebenarnya bukanlah istilah yang baru dalam pendidikan. Namun seringkali tidak semua orang mengerti dan paham apa hakikat sebenarnya. Kadang-kadang pahami sama dengan penilai atau inspeksi. Padahal tidak demikian maksudnya.
Ada sebuah konsep modern dirumuskan oleh Kimball Wiles (1967) sebagai berikut: “Supervision is assistance in the devolepment of a better teaching learning situation”. Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan situasi belajar mengajar (goal, material, technique, method, teacher, student, an environment). Situasi belajar inilah yang seharusnya diperbaiki dan ditingkatkan melalui layanan kegiatan supervisi. Dengan demikian layanan supervisi tersebut mencakup seluruh aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Konsep supervisi tidak bisa disamakan dengan inspeksi, inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan dan bersifat otoriter, sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara guru-guru, karena bersifat demokratis.
Istilah supervisi pendidikan dapat dijelaskan baik menurut asal usul (etimologi), bentuk perkataannya (morfologi), maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu (semantik). Secara etimologi, istilah supervisi diambil dalam perkataan bahasa Inggris “Supervision” artinya pengawasan di bidang pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor. Sedangkan secara morfologis, supervisi dapat dijelaskan menurut bentuk perkataannya. Supervisi terdiri dari dua kata Super berarti atas, lebih. Visi berarti lihat, tilik, awasi. Seorang supervisor memang mempunyai posisi diatas atau mempunyai kedudukan yang lebih dari orang yang disupervisinya. Adapun dari segi semantik, pada hakikatnya isi yang terandung dalam definisi yang rumusannya tentang sesuatu tergantung dari orang yang mendefinisikan. Wiles secara singkat telah merumuskan bahwa supervisi sebagai bantuan pengembangan situasi mengajar belajar agar lebih baik.
Menurut Adam dan Dickey seperti yang dikutip Sahertian & Frans Mataheru, merumuskan supervisi sebagai pelayanan khususnya menyangkut perbaikan proses belajar mengajar. Sebuah program yang berencana untuk memperbaiki hal belajar dan mengajar. Sedangkan Depdiknas (1994) merumuskan supervisi sebagai berikut: “Pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik“. Dengan demikian, supervisi ditujukan kepada penciptaan atau pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik.
Untuk itu ada dua hal yang perlu diperhatikan: a). Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. b). Hal-hal yang menunjang kegiatan belajar mengajar. Karena aspek utama adalah guru, maka layanan dan aktivitas kesupervisian harus lebih diarahkan kepada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Untuk itu guru harus memiliki empat kompetensi yakni: 1) kompetensi Pedagogik, 2) kompetensi profesional 3) kompetensi personal, dan 4) kompetensi sosial. Melalui keempat kompetensi tersebut, seorang guru mampu dalam merancang, melaksanakan dan mengevaluasi pengajarannya.
Atas dasar uraian diatas, maka pengertian supervisi dapat dirumuskan sebagai berikut “serangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh supervisor (Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar.
Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada “pembinaan profesional guru“, maka pembinaan lebih diarahkan pada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan profesional guru. Supervisi dapat kita artikan sebagai pembinaan. Sedangkan sasaran pembinaan tersebut bisa untuk kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha. Namun yang menjadi sasaran supervisi diartikan pula pembinaan guru.
Karakteristik Supervisi Pengajaran
Di abad sekarang ini, yaitu era globalisasi dimana semuanya serba digital, akses informasi sangat cepat dan persaingan hidup semakin ketat, semua bangsa berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia. Hanya manusia yang mempunyai sumber daya unggul dapat bersaing dan mempertahankan diri dari dampak persaingan global yang ketat. Termasuk sumber daya pendidikan. Yang termasuk dalam sumber daya pendidikan yaitu ketenagaan, dana dan sarana dan prasarana.
Guru merupakan pelaku yang menentukan tujuan pengajaran. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab II, Pasal 39 ayat 2 di jelaskan bahwa Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Sahertian mengemukakan ada dua metafora untuk menggambarkan pentingnya pengembangan sumber daya guru. Pertama, jabatan guru diumpamakan dengan sumber air. Sebagai sumber air, maka ia harus terus menerus bertambah, sehingga sungai itu dapat mengalirkan air terus-menerus dan tidak pernah asat (kering). Sebab, bila tidak dilakukan demikian, maka sumber air itu lama kelamaan akan habis dan kering. Demikianlah bila seorang guru tidak pernah membaca informasi yang baru, tidak menambah ilmu pengetahuan tentang apa yang diajarkan, maka ia tidak mungkin memberi ilmu dan pengetahuan dengan cara yang lebih menyegarkan kepada peserta didik. Kedua, jabatan guru diumpamakan dengan sebatang pohon buah-buahan. Pohon itu tidak akan berbuah lebat, bila akar induk pohon tidak menyerap zat-zat makanan yang berguna bagi pertumbuhan pohon itu. Begitu juga dengan jabatan guru yang perlu bertumbuh dan berkembang. Baik itu pertumbuhan pribadi guru maupun pertumbuhan profesi guru. Setiap guru perlu menyadari bahwa pertumbuhan dan pengembangan profesi merupakan suatu keharusan untuk menghasilkan output pendidikan berkualitas.
Itulah sebabnya guru perlu belajar terus menerus, membaca informasi terbaru dan mengembangkan ide-ide kreatif dalam pembelajaran agar suasana belajar mengajar menggairahkan dan menyenangkan baik bagi guru apalagi bagi peserta didik.Peningkatan sumber daya guru bisa dilaksanakan dengan bantuan supervisor, yaitu orang ataupun instansi yang melaksanakan kegiatan supervisi terhadap guru. Perlunya bantuan supervisi terhadap guru berakar mendalam dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Swearingen, seperti yang dikutip Sahertian, mengungkapkan latar belakang perlunya supervisi berakar mendalam dalam kebutuhan masyarakat dengan latar belakang sebagai berikut:
1. Latar belakang Kultural. Pendidikan berakar dari budaya arif lokal setempat. Sejak dini pengalaman belajar dan kegiatan belajar-mengajar harus diangkat dari isi kebudayaan yang hidup di masyarakat itu. Sekolah bertugas untuk mengkoordinasi semua usaha dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
2. Latar belakang filosofis. Suatu sistem pendidikan yang berhasil guna dan berdaya guna bila ia berakar mendalam pada nilai-nilai filosofis pandangan hidup suatu bangsa.
3. Latar belakang psikologis. Secara psikologis supervisi itu berakar mendalam pada pengalaman manusia. Tugas supervisi ialah menciptakan suasana sekolah yang penuh kehangatan sehingga setiap orang dapat menjadi dirinya sendiri.
4. Latar belakang sosial. Seorang supervisor dalam melakukan tanggung jawabnya harus mampu mengembangkan potensi kreativitas dari orang yang dibina melalui cara mengikutsertakan orang lain untuk berpartisipasi bersama. Supervisi harus bersumber pada kondisi masyarakat.
5. Latar belakang sosiologis. Secara sosiologis perubahan masyarakat punya dampak terhadap tata nilai. Supervisor bertugas menukar ide dan pengalaman tentang mensikapi perubahan tata nilai dalam masyarakat secara arif dan bijaksana.
6. Latar belakang pertumbuhan jabatan. Supervisi bertugas memelihara, merawat dan menstimulasi pertumbuhan jabatan guru. Diharapkan guru menjadi semakin professional dalam mengemban amanat jabatannya dan dapat meningkatkan posisi tawar guru di masyarakat dan pemerintah, bahwa guru punya peranan utama dalam pembentukan harkat dan martabat manusia. Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif.
Menurut Supandi, ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi dalam proses pengajaran. Pertama, perkembangan kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.
Kedua, pengembangan personel senantiasa dilakukan guna meningkatkan upaya yang terus-menerus dalam suatu organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, lokakarya dan sejenisnya. Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, latihan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya. Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Secara umum ada dua kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran, yakni: pertama, supervisi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru. Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan lembar observasi yang sudah dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.
Kedua, supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kinerja. Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8 Sekolah. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi:
a. Bidang Akademik, mencakup kegiatan: 1) menyusun program tahunan dan semester, 2) mengatur jadwal pelajaran, 3) mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran, 4) menentukan norma kenaikan kelas, 5) menentukan norma penilaian, 6) mengatur pelaksanaan evaluasi belajar, 7) meningkatkan perbaikan mengajar, 8) mengatur kegiatan kelas apabila guru tidak hadir, dan 9) mengatur disiplin dan tata tertib kelas.
b. Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan: 1) mengatur pelaksanaan penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan siswa baru, 2) mengelola layanan bimbingan dan konseling, 3) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan 4) mengatur dan mengelola kegiatan ekstra kurikuler.
c. Bidang Personalia, mencakup kegiatan: 1) mengatur pembagian tugas guru, 2) mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru, 3) mengatur program kesejahteraan guru, 4) mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan 5) mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru.
d. Bidang Keuangan, mencakup kegiatan: 1) menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah, 2) mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah, 3) mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan 4) mempertang-gungjawabkan keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
e. Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan: 1) penyediaan dan seleksi buku pegangan guru, 2) layanan perpustakaan dan laboratorium, 3) penggunaan alat peraga, 4) kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah, 5) keindahan dan kebersihan kelas, dan 6) perbaikan kelengkapan kelas.
f. Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan: 1) kerjasama sekolah dengan orangtua siswa, 2) kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah, 3) kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan 4) kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar.
Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya: penggunaan program semester, penggunaan rencana pembelajaran, penyusunan rencana harian, program dan pelaksanaan evaluasi, kumpulan soal, buku pekerjaan siswa, Buku daftar nilai, buku analisis hasil evaluasii. Buku program perbaikan dan pengayaan, buku program Bimbingan dan Konseling, Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler
Rasional Supervisi Pengajaran
Dewasa ini, setiap pekerjaan menuntut adanya sikap profesional. Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani makhluk hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai karakteristik yang berbeda. Pekerjaaan guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi. Guru yang profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Studi yang dilakukan oleh Ace Suryani menunjukkan bahwa Guru yang bermutu dapat diukur dengan lima indikator, yaitu: pertama, kemampuan profesional (professional capacity), sebagaimana terukur dari ijazah, jenjang pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua, upaya profesional (professional efforts), sebagaimana terukur dari kegiatan mengajar, pengabdian dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (teacher's time), sebagaimana terukur dari masa jabatan, pengalaman mengajar serta lainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya (link and match), sebagaimana terukur dari mata pelajaran yang diampu, apakah telah sesuai dengan spesialisasinya atau tidak, serta kelima, tingkat kesejahteraan (prosperiousity) sebagaimana terukur dari upah, honor atau penghasilan rutinnya. Tingkat kesejahteraan yang rendah bisa mendorong seorang pendidik untuk melakukan kerja sambilan, dan bilamana kerja sambilan ini sukses, bisa jadi profesi mengajarnya berubah menjadi sambilan. Guru profesional memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum.
Akhir-akhir ini banyak guru, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat sibuk sehingga mereka tidak dapat fokus mencapai tujuan pengajaran. Seringkali kesejahteraan yang kurang atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan tugas utamanya. Implikasinya adalah banyak kegiatan pengajaran yang tidak sesuai dengan tujuan umum pengajaran, kebutuhan siswa, dan tujuan sekolah. Guru memasuki kelas tidak mengetahui tujuan yang pasti, yang penting demi menggugurkan kewajiban. Idealisme menjadi luntur ketika yang dihadapi ternyata masih anak-anak dan kalah dalam pengalaman. Banyak guru enggan meningkatkan kualitas pribadinya dengan kebiasaan membaca untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang secara rutin pergi ke perpustakaan untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebiasaan membeli buku menjadi suatu kebiasaan yang mustahil dilakukan karena guru sudah merasa puas mengajar dengan menggunakan LKS (Lembar Kegiatan Siswa) yang berupa soal serta sedikit ringkasan materi. Dapat dilihat daftar pengunjung di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan umum, jarang sekali guru memberi contoh untuk mengunjungi perpustakaan secara rutin.
Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership pernah menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional. Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni: 1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya. 2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. 3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar. 4) Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa. 5) guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya.
Dalam konteks yang aplikatif, dengan adanya supervisi pengajaran diharapkan para guru menguasai sepuluh kompetensi sebagai berikut:
1) Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi (standar kompetensi dan kompetensi dasar seperti digariskan dalam kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi atau pengembangan bahan ajar yang lebih luas.
2) Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
3) Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4) Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.
5) Menguasai landasan-landasan pendidikan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pengajaran.
6) Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar yang dapat menyentuh aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
7) Dapat mengevaluasi hasil belajar dan pengajaran yang menjadi bahan pertimbangan untuk membenahi kepentingan pelajaran selanjutnya.
8) Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.
9) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Alasan rasional mengapa supervisi itu penting adalah untuk perbaikan pengajaran/pembelajaran. Adapun untuk mendukung proses pembelajaran yang bermutu ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang akan ada di dalam sekolah dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut Townsend dan Butterworth, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pembelajaran yang bermutu, yakni:
1) keefektifan kepemimpinan kepala sekolah
2) partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf,
3) proses belajar-mengajar yang efektif,
4) pengembangan staf yang terpogram,
5) kurikulum yang relevan,
6) memiliki visi dan misi yang jelas,
7) iklim sekolah yang kondusif,
8) penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan,
9) komunikasi efektif baik internal maupun eksternal, dan
10) keterlibatan orang tua dan masyarakat secara instrinsik.
Melalui supervisi pengajaran, maka peran guru secara lebih luas, didorong untuk meningkatkan mutu dan makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu.
Dalam konteks pengajaran, seorang guru menentukan mulai dari input, proses, dan output. Input pengajaran adalah segala sesuatu sumber dan bahan ajar yang tersedia untuk berlangsungnya proses pengajaran. Proses pengajaran merupakan transformasi sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran dengan mengintegrasikan input sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Output pengajaran adalah kinerja guru yang dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya melalui prestasi hasil belajar siswa.
Makna positif lain yang dapat dipetik dari supervisi adalah mengurangi beban guru. Fullan & Stiegerbauer dalam "The New Meaning of Educational Change" mencatat bahwa setiap tahun banyak guru yang berurusan dengan banyak problem yang hal itu menjasi sumber stres bagi mereka. Mungkin tak aneh bila dilaporkan banyak guru mengalami stres dan jenuh. Dengan dukungan supervisi, maka guru dapat dibantu untuk memecahkan serangkaian problema yang mereka derita itu. Sehingga dengan demikian mereka dapat terkurangi bebannya.
Supervisi juga menjadi pertukaran pengalaman dan transfer pengetahuan baru. Supriadi mengatakan: "orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pengajaran, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan". Sejak awal, supervisi harus di sesuaikan dengan sebuah kondisi yang perlu diperhitungkan, mulai substansi sampai kondisi-kondisi lokal tempat institusi itu diimplementasikan. Intinya, supervisi merupakan cara untuk melakukan suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu memerlukan pikiran, tenaga dan waktu. Supervisi dijalankan berdasarkan kriteria yang jelas, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya oleh pihak yang melaksanakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Depdiknas. 2001. Data Standardisasi Kompetensi Guru. (http://www.depdiknas.go.id.html).
Berliner, David. 2000. Educational Reform in an Era of Disinformation. (http://www.olam.asu.edu/epaa/v1n2.html).
Depdiknas. 1997. Petunjuk Pengelolaan Adminstrasi Sekolah Dasar.Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta: Depdiknas.
Fullan & Stiegerbauer. 1991. The New Meaning of Educational Change. Boston: Houghton Mifflin Company.
http://s1pgsd.blogspot.com/2009/02/supervisi-pendidikan-1.html
Mujtahid, 2009. Pengembangan Profesionalisme Guru, Malang: UIN-Malang Press.
Mulyasa, 2005. Menjadi Guru Profesional; Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Rosdakarya.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan kompetensi Guru.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah RI, Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Sahertian, Piet A. 2000. Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sapari, Achmad. Pemahaman Guru Terhadap Inovasi Pendidikan. Kompas (16 Agustus 2002).
Supandi. 1996. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Suparlan, 2005. Menjadi Guru Efektif, Yogyakarta: Hikayat.
Supriadi, Dedi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Supriadi, Dedi. Laporan Akhir Tahun Bidang Pendidikan & Kebudayaan. Kompas, 2002.
Suprihatin, MD. 1989. Administrasi Pendidikan, Fungsi dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah sebagai Administrator dan Supervisor Sekolah. Semarang: IKIP Semarang Press.
Suryasubrata.1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Townsend, Diana & Butterworth. 1992. Your Child's Scholl. New York: A Plime Book.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
Usman, Moh Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya
Wardani, IGK. 1996. Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). Jakarta: Dirjen Dikti.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar