Kamis, 18 November 2010

Mendaki Puncak Kemabruran Haji

Mujtahid*

RITUAL haji adalah perjalanan spiritual menuju baitullah (rumah Allah). Dalam rukun Islam, haji ditempatkan pada rukun yang terakhir sebagai puncak tangga menuju kesempurnaan menjalankan syari’at Islam. Berbeda dengan shalat, zakat, dan puasa, ibadah haji lebih memperlihatkan sebuah sarana pendakian yang unik, karena ritual haji dapat langsung mempertemukan dimensi ruhani di pusat kiblat umat Islam se-alam semesta.
Secara kodrati, manusia pasti menginginkan sebuah kesempurnaan dalam segala aspek kehidupannya, juga termasuk ibadah haji. Jadi wajar kalau ada orang ingin kaya, terhormat, pinter dan seterusnya. Bahkan, seberat apa pun kendala dan rintangan menghadangnya, seorang begitu gigih dan kuat demi meraih apa yang menjadi keinginan dan cita-citanya.
Kegigihan untuk mencapai kesempurnaan itu, kata Paul G. Stoltz, adalah AQ (Adversity Quotient). Yakni satu kecerdasan berupa kegigihan untuk mengatasi segala rintangan demi mendaki tangga kesempurnaan yang diinginkan. Hidup ini tak ubahnya seperti mendaki gunung. Kesuksesan atau kepuasan diperoleh melalui upaya yang tak kenal lelah untuk terus mendaki, walau terkadang langkah demi langkah yang ditapaki terasa lambat dan menyakitkan.
Menyempurnakan Gagasan Paul G. Stoltz seperti di atas, C. Ramli Bihar Anwar dan Haidar Bagir menambahkan dengan istilah "spiritual". Hal itu seperti tanpak pada judul bukunya “Adversity Spiritual Quotient (ASQ) (2004. AQ (Adversity Quotient)saja bulum cukup, akan tetapi membutuhkan “rasa kendali” dengan kekuatan Tuhan. Jadi suasana batin ke Atas (kepada Sang Khaliq) akan membuat orang selalu siap untuk segera bangkit dari ketersungkuran yang paling dalam sekalipun.
ASQ (adversity Spiritual Quotient) adalah cara baru untuk menyusun kiat-kiat kesuksesan yang tidak hanya terbatas material, tetapi juga kesuksesan dan kepuasan spiritual. ASQ ingin membawa makna fitrah ke pengertian yang seutuhnya. Secara fitriyah, manusia pada dasarnya punya ketergantungan dengan sang Pencipta, yang hal ini diwujudkan melalui bentuk ritual keagamaan. Haji termasuk bagian penting untuk mencari kesuksesan bathin dan spiritual.
Dengan ASQ, manusia dapat meraih kekuatan fitriyahnya. Kekuatan ini sebagai sumber kesucian dan kebaikan dalam dirinya. Sementara Haji adalah sarana terpenting di dalam mengembalikan fitriahnya manusia. Terlebih dapat berjumpa dengan pusat peribadatan yang menjadi kiblatnya Islam seluruh umat muslim.

Haji Mabrur
Kemabruran haji, sesungguhnya dapat diukur dengan beberapa hal. Pertama, ongkos yang digunakan untuk membayar perjalanan haji harus halal. Sebab, jika tidak, akan sangat mengganggu konsentrasi ibadah, bahkan perhatian ibadahnya bukan ditujukan kepada Allah melainkan sebagai cara untuk mendapatkan derajad sosial di tengah kehidupan masyarakat.
Kedua, kesiapan mental yang bersih, tulus, serta ihklas karena ingin bertaqarrup kepada Allah. Kemabruran haji, bisa diukur dari sifat ini selepas dari tanah suci dengan peningkatan spiritualnya semakin bagus. Cara mengukurnya adalah seberapa rajin para hujjaj yang datang dari Tanah Suci itu melakukan shalat jama’ah, menyantuni anak yatim dan orang fakir miskin, dan seterusnya.
Ketiga, menjauhkan diri dari sifat-sifat jelek yang dapat mengotori fitrah. Jika sifat-sifat yang bertentangan masih menjadi kebiasaan, maka itu tandanya kegagalan meraih kemabruran haji. Tidak melakukan tindakan tercela, baik berupa kata-kata maupun tindakan/perbuatan. Tanda haji mabrur adalah orang yang semakin bertambah tawadhu’ dan istiqamah nilai kebaikannya, bukan malah menjadi rakus dan tama’ dalam hidup kesehariannya. Sikap benci, sombong, riya dan sejenisnya seyogyanya terhempas suhu spiritualitas haji selama di Makkah al-Mukarramah.
Keempat, mendapatkan ketenangan bathin yang semakin mantap dan teguh dalam memegangi ajaran agama. Begitu juga kecerdasan atau kepekaan spiritual dan sosialnya semakin meningkat. Sehingga selepas melaksanakan haji, bukannya semakin jauh dari agama, lari dari tanggungjawab sosial, tetapi justru semakin dekat dengan Tuhan dan peka terhadap urusan kemanusiaan.
Dari beberapa indikator di atas, sesungguhnya ibadah haji adalah ibadah penyempurnya dari serangkaian ibadah-ibadah lainya. Oleh karena itu, puncak kemabruran haji tidak bisa hanya diukur dengan menjalankan sahnya ritualitas di tanah suci saja. Akan tetapi, ditandai dengan keberangkatannya mulai bekal syahadah, shalat, zakat dan puasa. Keempat bekal tersebut tidak bisa dilompati hingga ada salah satu yang kosong. Pendek kata, harus sempurna dulu menjalankan rukun-rukun sebelumnya, barulah bisa mendapat tiket untuk berhaji.
Setelah syarat dan rukun haji dijalankan selama prosesi haji di Tanah Suci, yang merupakan ritual pokoknya, maka yang tidak kalah pentingnya yaitu memaknai kembali ritualitas itu. Proses haji harus dihayati dan dimalkan setelah tiba di Tanah Air dengan melahirkan sikap kesalehan yang lebih sempurna pada jiwa dan raganya. Kalau itu dapat diwujudkan, maka dampaknya adalah semakin meningkatnya akhlak dan spiritual umat Islam.
Semoga kegigihan meraih haji mabrur para jama’ah haji dari tahun ke tahun dapat terwujud dan hal itu menjadi modal penting untuk memperbaiki kondisi dan keadaan bangsa yang sedang dilanda krisis moral ini. Bangsa ini merindukan solidaritas agung yang tulus ikhlas dari semua para jama’ah yang menjadi tauladan dan contoh bagi masyarakat dan bangsanya. Ialah seorang yang dapat ditiru dan digugu dari segala sikap, perilaku, pikiran, ucapan dan tindakannya.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

1 komentar:

  1. AssWrWb...Bapak Mujtahid yang terhormat, saya sangat senang membaca beberapa tulisan Bapak dan setelah saya membaca tentang Mendaki Puncak Kemabruran Haji saya berpikir keras tentang diri kami berdua dikarenakan ketika kami mulai ada sebuah kesasadaran tentang agama kami, mendadak di tahun 2000 kami diberi hidayah serta kesempatan untuk berangkat ke Tanah Suci..

    Namun dalam tulisan Bapak seyogyanya sebelum berhaji harus sempurna dulu menjalankan rukun-rukun sebelumnya...dan itu tidak kami lalui, pintu gerbang pertama yang kami lalui adalah berhaji..dan diberikan kesempatan kedua di tahun 2005 untuk ketanah suci kembali..

    Kami berangkat yang pertama bersama kedua orang tua dan yang kedua bersama kedua mertua yang kebetulan kalau kami renungkan semua mendapat hidayah serta kesempatan yang langka karena segalanya begitu dipermudah..

    Saat ini usia kami berdua di 47th dan apakah haji kami tergolong belum Mabrur pak..mohon di berikan advise..

    Wassalam/Sudjatmiko Eko Utomo
    Bali

    BalasHapus