Oleh Mujtahid*
SAMPAI saat ini, persoalan pelik yang sering dihadapi kaum perempuan adalah ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan dan sebagainya, yang semua itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Ada kesan, dalam setiap penanganan kasus pelanggaran HAM, perempuan kurang mendapat perhatian, padahal yang terakhir ini paling banyak menjadi korban dari kasus-kasus HAM.
Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diproklamasikan PBB pada 1948, setiap orang tanpa kecuali berhak atas hak-hak asasi dan kebebasannya. Artinya, secara normatif DUHAM tidak membeda-bedakan manusia, termasuk tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan, karena sebagai manusia keduanya memiliki hak-hak asasi dan kewajiban yang sama.
Namun, dalam realitas sosiologis di masyarakat dijumpai begitu banyak pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dalam bentuk eksploitasi, diskriminasi, dan berbagai bentuk kekerasan. Kekerasan perempuan menyeruak di mana-mana, baik dinegara muslim maupun non muslim. Kekerasan tersebut misalnya, perkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan, dan perusakan alat reproduksi, pornografi, pelacuran paksa, perdagangan perempuan (trafficking), dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, baik yang terjadi dilingkungan keluarga, di tengah masyarakat, maupun yang dilakukan oleh negara.
Persoalan ini dialami kaum perempuan dalam kehidupan di berbagai tempat, waktu, dan keadaan secara terus menerus. Berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan serta menghambat kemajuan mereka.
Tidak heran kalau kemudian muncul kesan DUHAM disusun berdasarkan parameter yang secara konseptual berasal dari pandangan patriarki. Akibatnya, HAM dipandang sangat sempit, yakni hanya menekankan pada hak-hak sipil dan politik publik (masyarakat) dalam berhadapan dengan negara. Artinya, hak-hak privat atau hak-hak perempuan berada di luar jangkauan orbit HAM. Pemahaman seperti ini muncul karen alaki-laki dipahami berada di ruang publik, sedangkan perempuan berada di ruang domestik, privat atau keluarga.
Ketidakadilan gender di atas, menggambarkan bahwa perempuan seolah-olah tidak penting atau sekadar pelengkap dari kepentingan laki-laki. Subodinasi perempuan terjadi baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Bentuk ketidakadilan gender telah melahirkan beraneka bentuk kekerasan dan diskriminasi. Intensitas kekerasan pada perempuan Indonesia dinilai sangat tinggi. Perempuan tahun 2000 menjelaskan bahwa dari penduduk Indonesia yang berjumlah 217 juta, 11,4% diantaranya atau sekitar 24 juta penduduk perempuan, tertama dipedesaan, mengaku pernah mengalami perlakuan kekerasan, dan sebagian besar berupa kekerasan di rumah tangga, tempat yang selama ini dianggap paling aman buat perempuan.
Sebagai manusia, perempuan tentu saja mendambakan perlakuan yang adil dari sesamanya serta terbebaskan dari perlakuan diskriminasi dan kekerasan oleh siapa pun, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun. Merespon kenyataan pahit di atas, kelompok pembela perempuan menyerukan dalam berbagai pertemuan internasional untuk segera mengambil langkah-langkah pencegahan.
Perlindungan HAM
Upaya tersebut diantaranya Konvensi tentang Pengupahan yang Sama bagi Perempuan dan Laki-laki untuk Pekerjaan yang Sama nilainya, Konvensi tentang Hak Politik Perempuan, Konvensi tentang kewarganegaraan perempuan yang Menikah, konvensi Anti Diskriminasi dalam Pendidikan, Konvensi tentang Persetujuan Perkawinan, Umur minimum bagi Perempuan dan Pencatatan Perkawinan, dan Konvensi penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Dalam konferensi HAM PBB di Wina, Austria, Tahun 1993, telah ditegaskan bahwa hak-hak kaum perempuan harus terlindungi. Dinyatakan secara tegas bahwa Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia (Women’s Right are Human Right). Deklarasi dan Program Aksi Konferensi ini menegaskan 3 butir penting, yaitu (1) Hak Asasi Perempuan dan Anak Perempuan merupakan bagian tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia secara menyeleruh. (2) Partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial, dan budaya pada tingkat nasional, regional, dan internasional; serta penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin merupakan tujuan utama masyarakat sedunia. (3) kekerasan berbasis gender dan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia serta harus dihapuskan.
Melalui konferensi ini masyarakat internasional untuk pertama kalinya mengakui bahwa pemberdayaan perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan. Program Aksi Kairo melahirkan sejumlah sejumlah kesepakatan internasional untuk memajukan kesetaraan dan keadilan gender (gender equality and equity) dalam seluruh bidang pembangunan.Bagi Indonesia, tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan isi deklarasi dan program tersebut karena penegasan Hak Asasi Perempuan sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Wina sejalan dengan ideologi Pancasila, Khususnya sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Adapun landasan konstitusionalnya adalah Undang-undang Dasar 1945, yang menjamin persamaan kedudukan dan hak bagi semua warga negara; laki-laki perempuan, baik didepan hukum dan pemerintahan maupun atas pekerjaan yang penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
*). Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar