Oleh: Mujtahid *
FENOMENA terorisme seringkali dikaitkan dengan agama. Padahal penjelasan mengenai terorisme dalam ajaran agama hampir tidak pernah dijumpai. Anehnya, justru semua agama, termasuk Islam, melarang bahkan mengharamkan bentuk terorisme itu sendiri. Lalu mengapa agama dikait-kaitkan dengan terorisme?
Sebulum pertanyaan itu kita jawab, kita perlu melihat kembali apa sesungguhnya agama itu. Bahwa agama adalah seperangkat aturan, ajaran, norma-norma serta nilai yang mendasari tujuan hidup manusia. Agama merupakan sumber kedamaian, keteduhan dan kasih sayang bagi sesamanya. Setiap gerak napas sepanjang hayat manusia di muka bumi ini, maka ia tidak dapat melepaskan diri dari agama.
Namun, tak selamanya agama berfungsi sebagaimana semestinya. Justru kadang-kadang dengan agama manusia dapat berlaku sebaliknya. Agama selain diyakini sebagai media integratif, juga mendorong terjadinya disintegratif bagi umat manusia. Karena agama, manusia bisa saling berlomba-lomba berbuat kebajikan, saling mencintai dan menolong satu sama lain. Tetapi, atas nama agama pula, manusia bisa saling berperang, menghancurkan dan bahkan membunuh sesama manusia sendiri.
Karena itulah upaya untuk menafsir agama (Islam) yang santun dan bermanfaat harus terus menerus dilakukan untuk menemukan hakikat (kebenaran) sesuai dengan konteksnya. Usaha untuk memaknai kembali agama merupakan tugas setiap anak generasi penerus umat beragama yang kreatif dan peduli terhadap kemajuan peradaban manusia.
Bagi umat Islam, keyakinan atas sumber ajaran suci (al-qur’an dan sunnah) adalah hal mendasar yang harus dimengerti, baik secara harfiah maupun maknawi. Selain itu, umat Islam juga diberi pelung untuk ber-ijtihad mencari formula baru untuk menerjemahkan kitab suci tersebut menjadi sumber nilai-nilai luhur yang relevan dengan konteks kehidupan.
Dalam konteks seperti sekarang ini dibutuhkan kecerdasan dan kearifan dalam menggerakkan jihad, sekaligus menegakkan agama tidak cukup hanya dengan cara berkhotbah. Karena misi besar agama Islam yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran secara santun bagi sesama manusia tanpa pandang derajat dan agamanya. Masalah kesantunan, keadilan, keharmonisan adalah prinsip yang kini nyaris hilang dari setiap agama.
Padahal, jika kita buka kitab suci (al-qur’an), persoalan kesantunan, kasih sayang dan keadilan dijadikan pilar yang amat dihormati dan junjung tinggi. Persoalan itu misalnya, bagaimana cara kita menegakkan keadilan secara santun di muka bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi, tentu juga di bidang budaya. Ketimbang memperdebatkan soal jenggot, memendekkan ujung celana, Qunut, dan sebagainya yang bersifat furu'iyyah. Sekali lagi, bahwa keadilan tidak cukup dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.
Pemahaman kontekstual di atas seringkali dikalahkan dengan sikap fanatisisme dan intoleransi. Sikap tersebut sebagai akibat prasangka (prejudice), kekakuan (rigidity), dan kepicikan pandangan (lack of insight). Sikap ini lalu menggiring mereka memaksa orang lain, baik dalam bentuk terorisme intelektual seperti fitnah dan tuduhan penganut bid'ah (mengada-ada), kafir, fasik (penyimpang), murtad, dan sebagainya, yang lebih terrifying daripada terorisme fisik.
Selain itu, ada kelompok yang suka berlebih-lebihan atau melampaui batas. Misalnya, ada saja kelompok agama yang cenderung mengambil garis keras (hard-line) yang hobi berdemonstrasi dengan makian, hasutan, bahkan ancaman bom. Para penganjur agama kelompok ini mendoktrinasi suasana batin orang awam dengan cara memanipulisasi solidaritas kelompok.
Begitu pula dengan munculnya sebuah pemahaman “nyeleneh” yang membebani orang lain tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi. Hal ini adalah ciri ekstremisme agama yang tiranik dan tidak egaliter. Dampaknya jelas bahwa bisa merusak atau membahayakan hak-hak orang lain. Ekstremisme juga melahirkan bahaya dan ketidakamanan, serta mencabut rasa aman dan perlindungan.
Oleh karena itu, harus ada paradigm shift dari sikap beragama yang inhumane kepada yang humane. Paradigma humanis ini adalah paradigma nilai, sikap, norma, dan praktik keberagamaan (religiosity) yang mendukung kehidupan yang tanpa kekerasan dan damai, meningkatkan keadilan masyarakat, menjunjung HAM, memajukan harmoni antarbudaya, dan kelestarian ekologis.
Sikap Moderat
Langkah yang perlu ditempuh untuk melahirkan penafsiran terhadap agama adalah sikap moderasi. Para agamawan ataupun orang awam yang moderat akan cenderung santun dan seimbang. Santun dalam menjalankan agamanya dan interaksi sosial. Seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, individual dan sosial, serta dalam berhubungan dengan Tuhan, manusia, dan lingkungan alam. Mereka yang moderat akan menjunjung keadilan dan kearifan dalam bersikap, tidak gampang terhasut, marah, menuduh, ataupun memaksa (coercive).
Sebagaimana agama-agama mengajarkan bahwa sikap moderasi adalah sikap diajarkan oleh perintah Rasul. Dalam Islam diajarkan, “Tuhan menginginkan kemudahan bagi manusia, bukan kesulitan” dan “Sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah”. Agama mengajarkan pentingnya sikap moderasi dan keseimbangan (balance).
Disinilah apabila tidak moderat, agama gampang dijadikan alat disintegrasi. Banyak kelompok agama memperkuat semata-mata solidaritas keagamaan dan mengabaikan solidaritas ketetanggaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Sikap keprihatinan ditunjukkan hanya kepada kelompok atau umat seagama, sementara kepada sesama tetangga, sewilayah, dan sebangsa, yang ada hanya ketidakpedulian.
Jika dalam penafsiran lama, sikap keagamaan mudah dikotori kemunafikan seperti kebohongan publik dan hipokrasi, maka dalam penafsiran baru, sikap beragama berlandaskan hati nurani, dipenuhi kejujuran dan pemenuhan amanat, sehingga tidak terjadi gap antara kesalehan individual dan kesalehan publik. Dalam perspektif inilah agama, kemanusiaan, dan keberadaban (civility) tidak terpisahkan.
Proaktif
Selama ini, kesalahpahaman yang terlihat adalah agama seringkali berhenti pada tataran pasifisme terhadap isu ketidakadilan. Karena itu, agama harus menggerakkan penganutnya bersikap aktif dan pro-aktif mencegah kezaliman dan segala bentuk yang merusak sistem keadilan.
Tanpa harus menunggu, nilai-nilai agama seharusnya diberdayakan sehingga mampu menjiwai proses pemecahan masalah politik, ekonomi, lingkungan, dan sebagainya. Jadi, agama menjadi faktor problem-solving, bukan problem-making.
Agama harus menjadi pengalaman hidup pribadi (experience) yang kemudian berdampak sosial yang dalam dan luas (consequence) dalam berbagai dimensi kehidupan. Dalam paradigma humanis, agama lebih didekati secara substantif.
Bila agama memasuki wilayah ruang publik, maka yang masuk adalah nilai-nilai etika universal seperti kejujuran, ketulusan, kerja keras, dan sebagainya. Apabila agama didekati secara kualitatif maka ini akan berdampak pada integritas kepribadian.
Demikianlah agama harus ditafsirkan, karena ia memang bukan sesuatu yang paten. Marcela A Boisard dalam L'Humanisme De L'Islam (1979) menyatakan, agama mengajarkan nilai-nilai kesabaran (ketahanan), kegigihan bekerja dan kebesaran jiwa. Tidak hanya Islam saja; agama-agama Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghuchu, lahir untuk memanusiawikan manusia (to humanize human being).
Akhirnya, agama tidak memperkenankan manusia berbuat sesuatu yang berlebihan atau melampaui batas. Keberlebihan juga tidak akan langgeng karena manusia cenderung mengalami kelelahan fisik atau spiritual setelah beberapa saat bersikap ekstrem.
*) Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Setuju. Agama memang semestinya mengajar orang untuk lebih santun.
BalasHapusKita mau berbagi info juga nih:
1. Sarang semut papua
2. Madu alam super
3. Name chemistry
4. Foto jadi kartu lebaran
5. Umroh, haji dan investasi
6. Reklame & percetakan
7. Privat English & sertifikat
8. Freeware - shopping cart
9. Freeware - mesin email
10. Kursus gratis
11. Iklan bonafid
http://sutaryo.net/promosi.htm