Mujtahid*
Landasan Profesi Guru
PERAN guru sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan peserta didik. Karena itu, di pundak guru terdapat tanggungjawab yang melekat secara terus menerus sampai akhir hayat. Tugas dan tanggungjawab guru tersebut ternyata tidak mudah, karena harus melalui proses yang panjang, penuh dengan persyaratan dan berbagai tuntutan.
Sebuah ungkapan tentang “guru tanpa tanda jasa” dan “guru di gugu dan ditiru” telah melekat pada kehidupan guru. Identitas klasik ini intinya adalah membawa konsekuensi terhadap sepak terjangnya dalam kehidupan bermasyarakat.[1] Sedemikian besar kepercayaan masyarakat terhadap guru akhirnya mendorong mereka supaya menyadari eksistensinya. Namun akhir-akhir ini seringkali muncul tuntutan dari masyarakat terhadap guru yang menyoroti kapabilitasnya sebagai guru.
Sosok guru menjadi sesuatu yang tidak “sakral” seperti yang terkandung dalam ungkapan di atas. Hal ini karena keberadaan guru sebagai penjual jasa sebagaian ada yang tidak layak masuk kategori sebagai tenaga pendidik. Menjadi guru memerlukan upaya dari “dalam diri” yang mampu memenuhi kualitas sebagai pendidik.
Jabatan guru memiliki banyak tugas baik di dalam maupun di luar sekolah. Bahkan tugas itu tidak hanya sebagai profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan yang berkaitan dengan profesionalitasnya meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Konsekuensi logis dari tugas tersebut adalah guru harus mempunyai banyak peran di antaranya; sebagai korektor, inspirator, informator, fasilitator, pembimbing, mediator, supervisor dan sebagainya.
Menyadari peran tersebut, maka pertumbuhan pribadi (personal growth) maupun pertumbuhan profesi (professional growth) guru harus terus menerus mengembangkan serta mengikuti atau membaca informasi yang baru, dan mengembangkan ide-ide yang kreatif.[2] Hal ini dimaksudkan agar eksistensi guru tidak ketinggalan zaman. Dengan selalu memperhatikan setiap perubahan informasi, guru memperoleh bekal baru yang dapat menjadi semangat dan motivasi untuk menciptakan situasi proses belajar mengajar yang lebih menyenangkan bagi siswa.
Dalam pandangan Langeveld (1950), seperti yang dikutip Piet A. Sahertian,[3] guru adalah penceramah zaman. Landasan dari profesi guru seharusnya punya visi masa depan. Ketajaman visi mendorong para guru untuk mampu mengembangkan visinya. Untuk mewujudkan visi tersebut, guru harus belajar terus menerus menjadi guru yang profesional. Guru yang profesional memiliki kualifikasi sebagai berikut; a) Memiliki keahlian (expert) dalam bidang yang diajarkan. b) Memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi, dan c) Memiliki rasa kesejawatan dan kode etik serta memandang tugasnya sebagai karier hidup.
Kode Etik Guru
Istilah etik (ethica) mengandung makna nilai-nilai yang mendasari perilaku manusia. Term etik berasal dari bahasa filsafat, bahkan menjadi salah satu cabangnya. Etik juga disepadankan dengan istilah adab, moral, atau pun akhlaq.
Etik berasal dari perkataan ethos, yang berarti watak. Sementara adab adalah keluhuran budi; yang berarti menimbulkan kahalusan budi atau kesusilaan, baik yang menyangkut bathin maupun yang lahir.[4]
Maksud dari kode etik guru di sini adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationship) antar guru dengan lembaga pendidikan (sekolah); guru dengan sesama guru; guru dengan peserta didik; dan guru dengan lingkungannya. Sebagai sebuah jabatan pekerjaan, profesi guru memerlukan kode etik khusus untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut.[5]
Fungsi adanya kode etik adalah untuk menjaga kredibilitas dan nama baik guru dalam menyandang status pendidik. Dengan demikian, adanya kode etik tersebut diharapkan para guru tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap kewajibannya. Jadi substansi diberlakukannya kode etik kepada guru sebenarnya untuk menambah kewibawaan dan memelihara image profesi guru tetap baik.
Menyadari pentingnya fungsi kode etik tersebut, berati guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara jujur, komitmen dan penuh dedikasi. Hubungan-hubungan sebagaimana di maksud di atas, juga harus dipatuhi demi menjaga kemajuan dan solidaritas yang tinggi.
[1] Siti Fatimah Soenaryo, Landasan dan Profesionalisme Dosen di Perguruan Tinggi, dalam Materi Pembekalan Kemampuan Dasar Mengajar Bagi Calon Dosen Kontrak, pada tanggal. 14 Pebruari 2001, di Univ. Muhammadiyah Malang.
[2] Piet A. Sahertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Reneka Cipta, 2000), hal. 3.
[3] Ibid., hal 11.
[4] Tim IKIP Surabaya, Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, (Jakarta: Rajawali, 1987), Cet. III, hal. 16.
[5] Ibid., hal. 17- 21.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Selasa, 26 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar