Oleh: Mujtahid
GENAP lima tahun sudah Nurcholish Madjid meninggalkan kita semua, sejak 29 Agustus 2005 yang lalu. Sebagai seorang Intelektual Muslim yang dibesarkan oleh pendidikan Barat, beliau tetap sangat mencintai, menghargai dan menjunjung tinggi tradisi, budaya, dan nilai-nilai sosial dan kultur keagamaan Indonesia.
Tak sulit bagi kaum intelektual muslim mengenal sosok Nurcholish Madjid, yang biasa akrap di sapa dengan sebutan “Cak Nur”. Kepulangannya lima tahun silam telah menggetarkan bagi bangsa ini, karena beliau adalah seorang pemikir muslim yang tetap konsisten terhadap gagasan dan ide-idenya sejak tahun 70-an. Cak Nur termasuk putra bangsa yang paling banyak menghiasi khazanah pemikiran keislaman, terutama lewat karya-karya monumentalnya.
Pemikiran Cak Nur yang khas, ikut mewarnai belatika ragam wacana yang melintasi batas-batas pemikiran keislaman pada umumnya. Hal inilah yang menjadi titik “keberanian” yang dimiliki sosok Cak Nur. Dia berani menerima “hujatan” atau tanggapan yang pedas, miring dan sporadis dari lawan-lawan pemikirnya dengan penuh kejernihan jiwa dan kematangan intelektual yang mapan.
Dalam tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa betapa ”besar pengaruhnya” pemikiran Cak Nur dalam belantikan pemikiran Islam abad ke-20 itu. Banyak kolega, kawan, lawan diskusi dan beberapa tokoh ternama, telah menulis tentang biografi beliau secara lengkap, yang tak sedikit yang dipublikasikan melalui buku, jurnal dan majalah, bahkan media massa. Yang perlu digarisbawahi adalah beliau merupakan sosok yang kukuh dalam mengembangkan kajian keislaman; yang mampu merambah Islam kemodernan yang akomodatif, dan penggerak moralitas publik.
Secara metodologis, kecenderungan kuat wacana Cak Nur adalah saikapnya terhadap modernisasi Barat. Pengamatan kualitatif ini menunjukkan bahwa sejak awal inspirasi modernisasi Barat ini begitu nyata dalam wacana pemikiran Cak Nur. Bahkan, dari gebrakan pembaharuan sampai gagasan pluralismenya juga disemangati oleh pencerahan wacana peradaban Barat. Pada Cak Nur, hasrat mempersambungkan Islam dengan tradisi setempat atau "Islam lokal" tampak dominan.
Cak Nur menyadari bahwa ancaman serius bagi setiap pemikiran keagamaan adalah kemandekan, kebuntuan, dan ketiadaan semangat inovasi. Kondisi semacam itu akan menyebabkan agama kehilangan relevansinya dengan zaman dan masyarakat yang terus berubah. Pemikiran keagamaan dalam bentuk tafsir, teologi, dan lebih-lebih hukum (fiqih), bagaimanapun merupakan hasil interaksi dengan semangat zamannya.
Maka, mandeknya pemikiran keagamaan akan berdampak langsung pada irelevansi agama dan akhirnya peminggiran agama dari denyut nadi kehidupan manusia. Itulah sebabnya, di setiap kurun waktu selalu ada orang atau kelompok yang gelisah bahwa agama mereka akan kehilangan elan vital untuk menyesuaikan diri dengan-atau menjawab-tantangan zaman. Mereka berusaha mempelopori perubahan dan melampaui pemikiran status quo. Namun, gerakan semacam itu tidak selalu berjalan mulus karena akan ditantang oleh mereka yang juga "cemas" dengan kemurnian iman mereka apabila perubahan dilakukan di wilayah-wilayah keagamaan.
Sejarah kemunculan gerakan-gerakan keagamaan (Islam) di Tanah Air dengan jelas menunjukkan hasrat kepada perubahan di satu kutub, dan pada saat bersamaan muncul perlawanan dari kutub lain yang mencoba mempertahankan apa yang mereka anggap "kebenaran mutlak" yang tidak bisa diganggu gugat. Cak Nur juga tidak ketinggalan, ketika pada dekade 1970-an, ia dan teman-temannya mendeklarasikan perlunya kelompok pembaru yang liberal, yang menjangkau kawasan lebih luas.
Melalui berbagai ceramah dan tulisannya, Cak Nur mengajak umat Islam untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendalam supaya dapat mengikuti perkembangan zaman. Ia mengajukan argumen bahwa organisasi-organisasi Islam yang selama ini mengklaim sebagai pembaru telah berhenti sebagai pembaru, karena mereka tidak sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progresivitas. Lebih jauh, menurut dia, ide-ide dan pemikiran Islam yang diwadahi dan hendak diperjuangkan oleh partai-partai Islam ketika itu sudah memfosil, usang, kehilangan dinamika, sehingga tidak menarik lagi. Karena itu, kemudian ia mengajukan tesis: Islam Yes, Partai Islam No!
Mantan ketua umum PB HMI dua periode itu juga mengkritik ide Negara Islam yang menurutnya hanya merupakan suatu apologi, yaitu apologi terhadap ideologi-ideologi Barat modern seperti demokrasi, sosialisme,dan komunisme. Sebagai apologi, ujarnya, pikiran-pikiran itu hanya mempunyai efektivitas yang berumur pendek.
Dua tesis itulah (Islam Yes Partai Islam No, dan Tidak Ada Negara Islam), yang menyulut kontroversi berkepanjangan. Tetapi, ia juga banyak diakui telah menyegarkan kembali pemahaman Islam yang dianggap telah lama membeku, dan seraya itu memberikan "rasa aman teologis" bagi kaum Muslim tanpa harus bergabung dengan partai Islam atau mendirikan negara Islam.
Kalau akhir-akhir ini lahir kelompok JIL (Jaringan Islam Liberal) yang kebanyakan dipelopori oleh anakanak muda NU, yang inspirasinya hampir tak jauh beda dengan Cak Nur, sesungguhnya tidaklah begitu membuat sesuatu yang baru dan eksplosif sebagaimana Cak Nur. Cak Nur dengan segala kearifannya masih kental dengan nuansa Islamnya seperti penggunaan istilah masyarakat madani, sementara JIL memakai istilah lain, seperti masyarakat sipil (civil Society). Sehingga keberadaan JIL, tak sebesar dan sedalam ide-ide Cak Nur.
Dari catatan di atas, apa yang telah dibangun dan digagas Cak Nur melalui gerakan pemikiran Islam modern, yang dimulai 1970-an bukanlah untuk menegaskan supremasi dan prestise. Karena sesuai informasi hadits, dalam setiap generasi, atau seratus tahun (seabad) akan muncul seorang pembaharu (mujaddid). Nah, untuk konteks Indonesia, gerakan pembaruan Cak Nur digulirkan pada masa transisi masyarakat dan bangsa dari era Orde Lama ke era Orde Baru, yang menyebabkan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang perlu diberikan jawabannya.
*) Mujtahid, Dosen Fak. Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar