Oleh: Mujtahid
DEWASA ini, wacana keberagamaan dan etika global merupakan salah satu kajian fundamental yang menarik, dalam kaitannya menyangkut pembentukan pola pola hidup manusia. Sikap dan gaya hidup (life style) manusia sangat ditentukan oleh perubahan yang terjadi pada era sekarang ini. Nampaknya, wacana pluralisme agama dan etika global telah menempati posisi aktual serta memperoleh tanggapan yang menarik dari berbagai kalangan, baik kalangan akademis maupun kalangan praktisi.
Mereka memakai sudut pandang berbeda dalam mendekati dan memecahkan permasalahan yang ada. Sehingga kemampuan dan ketajaman telaah terhadap fenomena keberagamaan merupakan syarat utama guna memperoleh hasil yang optimal dan segar, serta mampu menyentuh akar rumput atau wilayah historis-empiris. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah pluralisme agama selain berimplikasi pada segi positif juga negatif.
Gelombang aksi tentang dialog agama, menjadi event penting dan sebagai bagian integral yang nyaris tidak pernah terlewatkan dan sampai batas final. Fenomena demikian, sering kita saksikan di berbagai lembaga, baik lembaga pendidikan, lembaga kenegaraan, maupun aktivis keagamaan. Namun, hasilnya hanya sebatas wacana konseptual yang masih sangat sulit dan kering terejawantahkan secara baik pada kehidupan umat beragama. Tentu kegiatan dialog agama memerlukan kesadaran untuk saling terbuka dan mengakui kebenaran agamanya dan percaya bahwa agama lain juga mengandung kebenaran. Tingkat kesadaran seperti ini kalau dipupuk dan disosialisasikan kepada umat beragama, maka formulasi dari dialog agama akan membuahkan hasil positif bagi tumbuhnya tingkat toleransi antar umat beragama.
Patut disayangkan, bahwa ternyata seringkali diadakan dialog agama, tetapi juga sering disertai dengan timbulnya konflik antar agama yang pada ujung-ujungnya mengarah kepada kekerasan, anarkhis dan radikal. Hal ini tidak aneh lagi terjadi di negara kita yang notabene memang memiliki kemajemukan (pluralis) agama dan budaya (culture). Pluralisme agama membawa resiko tinggi terhadap munculnya konflik agama dan lebih-lebih mengarah pada tindakan anarkhi serta sebagai jastifikasi. Kalau sudah seperti ini, berarti agama juga modal tumbuhnya koflik dan disintegrasi.
Dalam perspektif agama, dasar untuk hidup bersama, damai merupakan landasan yang harus hendak dibangun berdasarkan cita-cita agama itu dihadirkan di muka bumi ini. Penyebab terjadinya aksi anarkhi, kekerasan, kerusuhan biasanya dimulai oleh suatu gejala sosial yang kemudian menyulut pada wilayah agama. Sehingga pada akhirnya, agama menjadi sasaran utama sebagai biang terjadinya aksi itu. Padahal, kalau ditelusuri secara mendalam konflik tersebut sebenarnya bukan terletak pada agama secara an sich, tetapi pada wilayah historis-empirisnya.
Selama ini, masih banyak pemahaman umat beragama yang masih parsial dan sempit terhadap agama itu sendiri. Karena itu, mengutip Richard C. Martin dalam tulisan Amin Abdullah (1996), dalam studi agama dikenal dua macam pendekatan, yaitu pendekatan seorang believer dan pendekatan historian. Pendekatan seorang “mukmin” (percaya sepenuh hati) dan pendekatan seorang “muarrikh” (ilmuan yang kritis). Bagi seorang agamawan yang baik, sudah barang tentu, pendekatan seorang belivier dianggap paling baik sehingga patut diutamakan. Perbandingan agama menjadi penting, sebagai alternatif untuk mengurangi konflik agama. Karena pada dasarnya bahwa setiap agama memiliki letak perbedaan dan kesamaan. Dari perbadingan agama tersebut diharapkan sebagai penelusuran keimanan (search of faith) terhadap agama lain serta bila perlu membandingkan doktrin suatu agama satu dengan agama lain.
Karena bagaimana mungkin kita mengetahui kesamaan dan perbedaan dalam satu agama dengan agama lain, sementara kita tidak pernah melakukan perbadingan agama. Dengan perbandiangan agama semacam ini, maka akan timbul sebuah interaksi “dialogis” yang terbuka. Keterbukaan (inklusifitas) dan saling menghormati agama satu dengan agama lain merupakan kekuatan yang mampu sebagai perekat persatuan hati dan lebih-lebih menumbuhkan toleransi agama. Jika tidak dilakukan, maka konsekuensi yang bakal ditanggung akan beresiko sangat tinggi.
Untuk melihat lebih jauh, kita harus membedakan antara dimensi ajaran agama dan perilaku umat beragama. perilaku umat beragama selain ditentukan oleh pemahaman “normativitas” ajaran agamanya, juga sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan “sosio-historis” dan politis yang melingkarinya. Ajaran agama yang fundamental hanya bersifat pemberi ”warning” terhadap adanya berbagai macam sekat-sekat historis-politis-ekonomis yang seringkali berlindung pada naungan payung emosional aliran teologis tertentu.
Pembentukan Etika global
Bahasan tentang etika, sebanarnya berbeda sema sekali dengan wilayah agama. Kalau wilayah agama pembahasan yang ditelaah, dikaji bersifat konseptual, sedangkan etika pembahasannya memasuki pada wilayah praktis, sosio historis-empiris. Sehingga kali ini, pembahasan yang dikaji adalah pembentukan etika sebagai ukuran dalam melandasi prilaku dan tidakan seseorang dalam mengahadapi di era global ini.
Dalam pandangan kemanusiaan (antroposentris), atmosfir etika masih dikelilingi oleh bias-bias akar budaya setempat yang menjelma sebagai dasar, pijakan perilaku seseorang. Padahal, sesungguhnya satu negara dengan negara lain memiliki budaya dan etika berdeda. Sehingga secara langsung menuntut adanya perbedaan sebagai parameter dalam menetapkan sebuah kelonggaran bagi tumbuhnya etika gobal itu.
Dalam hal ini, Dr. Amin Abdullah (1997), mengemukakan bahwa pola berpikir yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living tradition) mencakup beberapa faktor yang saling terkait. Menyebut beberapa di antaranya adalah sistem pendidikan dan pengajaran, pengasuhan anak dalam keluarga, pengaruh lingkungan, pemikiran keagamaan, setting sosial, pelatihan intelektual dan sebagainya. Masing-masing berdiri sendiri-sendiri namun saling berkait. Sistem etika, sebenarnya lebih luas cakupannya daripada hanya terfokus pada konsep keagamaan. Oleh karena itu, filsafat moral secara eksplisit atau implisit erat berkait dengan sosiologi.
Dalam globalisasi dunia yang kita rasakan ini dan biasa kita sebut-sebut belakangan ini merupakan salah satu dampak langsung dari keberhasilan revolusi teknologi-komunikasi, setelah didahului oleh dua revolusi dalam kebudayaan manusia, yaitu revolusi pertanian dan revolusi industri. Dan nampaknya, ketiga jenis revolusi di atas, bercampur menjadi satu di dalam “megatrend” pada abad XXI sekarang ini.
Kemajuan era global mendorong pada kemudahan informasi dan tranportasi. Demikian pula mendorong pada pola pikir manusia yang amat mendasar. Dan selanjutnya hal ini tentu mempengaruhi pola pikir umat beragama dalam menatap realitas kehidupan sekaligus menggiring kepada proses shiffing paradigm dalam etika keberagamaan manusia dari pra ke post scientific area. Pada dasarnya, tidak semua manusia menyadari apalagi, menyetujui perlunya perubahan di dalam menatap realitas kehidupan era globalisasi. Masih ada sebagian orang yang tidakpercaya bahwa manusia telah dapat mendarat di bulan, lantaran bulan dan planet-planet yang lain masih dianggap sebagian wilayah yang tidak akan tersentuh oleh teknologi manusia.
Oleh karena itu, kadar ketidak percayaan manusia terhadap arus perubahan yang dibawa serta oleh era global dapat mengambil bentuk sikap yang bermacam-macam. Dari bentuk sikap adaptif, yakni selalu sikap yang menyetujui bahwa pandangan manusia terhadap realitas kehidupan memang telah berubah sehingga perlu diadakan adaptasi seperlunya; ada juga sikap yang bersifat defensif, yakni sikap mempertahankan identitas diri dan memperkokoh konsep-konsep lama seperti sediakal karena dianggap telah berjasa pada zamannya dengan tidak jarang pula mengambil sikap konfontatif terhadap setiap perubahan karena dianggap sebagai bahya yang mengancam eksistensi kehidupan tersebut di atas mengandung unsur positif dan negatif tergantung kepada bagaimana membawakannya.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar