Mujtahid*
TAMPILNYA filsafat Islam di arena pemikiran merupakan hasil interaksi agama Islam dengan faktor ekstern. Faktor ekstern yang dimaksud adalah budaya dan tradisi non Islam yang sepanjang sejarah diwakili oleh Eropa dibelahan Barat, serta India, Iran, dan Cina di belahan Timur.
Kalau kita lacak dalan khazanah Islam, buku-buku yang menguraikan ihwal filsafat Islam, memang sudah cukup banyak ditulis. Akan tetapi hampir selalu saja terkesan adanya beberapa aspek yang terasa kurang puas. Akhirnya, setiap karya seperti itu memuat daftar panjang istilah-istilah filsafat Islam yang patut di dihargai dan harus apresiasi secara mendalam.
Haidar Bagir tidak mau ketinggalan, ia pernah menghadirkan sebuah karya yang dijuduli “Buku Saku Filsafat Islam” (2005), yang sekalipun dinamai “saku” namun buku tersebut cukup memadahi untuk mengantarkan kita memahami filsafat Islam secara holistik. Islam sebagai sebuah sumber peradaban, dipandang ikut meletakkan “prosesi batu pertama” bangunan budaya dan peradaban modern yang saat ini berkembang pesat di Barat. Di abad pertengahan itulah Islam merupakan juru ‘penyelamat’ bagi peradaban Yunani, Persia dan Romawi dengan cara menerjemahkannya ke dalam bahasa dan tradisi Islam.
Kemajuan Islam era pertengahan tidak saja mewarisi pengetahuan Yunani-Romawi, akan tetapi telah memodifikasi dan menyempurnakan pengetahuan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil usaha kreatif cendikiawan muslim seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi, al-Razi dan setelahnya, selain mengadopsi kekayaan pengetahuan mereka, juga melahirkan teori dan pengetahuan orisinil yang sama sekali baru.
Peradaban Yunani, Persia dan Romawi jelas menyumbangkan peradaban yang sangat berharga bagi Islam. Peradaban Zoroastrian (Sassanian) telah mencapai puncak renaisan kebudayaannya pada abad ke enam, sebelum Islam datang di tanah Arab. Hal ini yang kemudian menjadi pembawa obor bagi peradaban Barat, bersama-sama membawa sebuah sinkronisme kreatif baru pemikiran ilmiah dan filosofis Yunani, Hebrew, India (Hindu), Syirian, dan Zoroaster.
Pusat urat syarafnya berada di akademi terbesar pada masa itu, yaitu Akademi Jundi Shapur, di Persia bagian Tenggara. Bahkan bukan itu saja, setelah lahirnya Islam dan penaklukan Persia oleh orang-orang Arab, perkembangan kebudayaan terpenting dalam Islam, misalnya bidang sains, teknologi, matematika, logika, filsafat, kimia, musik, etika, geografi, bahkan teologi dan sastra, adalah kontribusi pemikir dan cendikiawan Persia yang pada permulaan Abad-abad Islam telah menulis dalam bahasa Arab dan atas nama Islam.
Filsafat Islam memiliki karakteristik sekaligus sebagai keunikan tersendiri. Setidaknya, terdapat tiga karakteristik yang dapat kita diketemukan dalam khazanah ini, yaitu peripatetisme (Masysya’iyyah), iluminasi (Israqiyyah) dan teosofi transenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Ketiga karakteristik tersebut sudah sering dikaji oleh para sarjana muslim.
Filsafat peripatetisme adalah paham kelanjutan dari pengaruh ide-ide Aristotelian yang bersifat diskursif-demontrasional. Corak dari Aristotelian yaitu hylomorfisme, suatu paham yang cenderung bersifat material. Peripatetisme dimulai sejak al-Kindi, yang melewati antara lain, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Thufail dan Ibn Bajjah hingga Ibn Rusyd. Mungkin, hanya Ibn Rusyd saja yang agak berani membersihkan Aristotelianisme dari Neo-Platonisme.
Filsafat iluminasi (Israqiyyah) berbicara mengenai suatu kilatan-mendadak dalam bentuk pemahaman atau ilham sebagai suatu arus cahaya. Asal mulanya, teori ini berakar dari pola-pola Platonik, yang selama periode Hellenistik dan Romawi aliran ini diserap dan tergabungkan dalam pikiran Kristiani dan Yahudi.
Tokoh yang ternama dalam corak filsafat iluminasi yaitu Surawardi. Sebagai pencetus paham iluminasi, dia telah membuka jalan suatu dialog dengan wacana-wacana dan upaya-upaya religius atau mistis dalam dunia ilmiah. Dia juga termasuk filosof yang meyakini adanya perennial wisdom. Sebuah jalan kebenaran yang dijadikan ukuran adalah pengalaman “intuitif” yang kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis-rasional.
Sementara filsafat hikmah di perkenalkan oleh Mulla Shadra. Dia membangun aliran baru filsafat dengan semangat untuk mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum muslim. Yakni tradisi Aristotelian cum Neo platonis yang diwakili figur-figur al-Farabi dan Ibn Sina, filsafat Israqiyyah, pemikiran Irfani Ibn ‘Arabi, serta tradisi kalam (teologi dialektis).
Filsafat hikmah cenderung berbicara masalah esensi (wujud), sehingga sering disebut-sebut sebagai eksistensialisme Islam. Aliran ini mempercayai bahwa pengetahuan diperoleh tidak melalui penalaran rasional, tetapi hanya melalui sejenis intuisi, yakni penyaksian bathin (syuhud, inner witnessing), cita rasa (dzauq, tasting), pencerahan (hudhur, presence).
Menurut Muthahhari, seorang pengagum Mulla Shadra yang juga menulis buku tentang “Filsafat Hikmah; Pengantar Pemikiran Mulla Shadra” mengakui bahwa Filsafat Hikmah (Hikmat Muta`aliyah) berupaya memadukan metode-metode wawasan spiritual dengan metode-metode deduksi filosofis. Untuk mencapai kebenaran yang hakiki, harus melebur metode-metode pencerah (illumination) ruhani dan perenungan intelektual. Seperti yang dikemukakan Baqir dalam buku ini, bahwa Filsafat Hikmah berusaha menyatukan empat aliran yang berbeda-beda. Melalui filsafat hikmat ini menawarkan sebuah jalan keluar yang sangat argumentatif.
Haidar Bagir sebagaimana yang diulas pada karya di atas, id berusaha memotret secara gamblang babakan kronologis sejarah filsafat Islam dan aliran-alirannya. Tak hanya itu, dia juga menghadirkan bahwa filsafat Islam bukanlah “pengetahuan absurd”, tetapi ia memiliki manfaat yang begitu besar bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Filsafat Islam dapat menjadi diagnosis atas ragam persoalan kemanusiaan. Karena hakikat dari filsafat itu adalah menjawab dan memecahkan setiap problem manusiawi yang secara kodrati pasti tidak bisa lepas dari permasalahan.
Kehadiran filsafat, menurut Bagir, berpotensi untuk membantu penyelesaian problem-problem dasar kemanusiaan. Bahkan, dikatakan bahwa filsafat bisa menyelesaikan problem-problem konkret dalam kehidupan manusia. Mengingat, berbagai krisis yang tengah kita hadapi saat ini bermula dari—setidaknya berkorelasi dengan-- krisis persepsi yang terjadi dibenak kita.
Dengan berpijak kembali kepada filsafat Islam, diharapkan bisa meretaskan pengetahuan dan kearifan religus yang bernilai tinggi. Akar-akar persoalan modernitas yang menyeret manusia ke dalam dunia “tanpa wajah” dapat disadarkan lewat penelusuran filsafat Islam. Atas dasar itulah filsafat perlu dihadirkan kembali sebagai sebuah cara pandang dunia di mata umat Islam.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Malili Malang
Jumat, 26 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar