Mujtahid
“ISLAM adalah agama yang memiliki sense sejarah yang sangat kuat”, demikianlah kata Bernard Lewis dalam bukunya, Historians of the Middle East. Agama Islam diakui sebagai inti yang pokok dari kepribadian dan harga diri setiap muslim. Maka pengetahuan tentang agama Islam, mutlak diperlukan untuk memberikan penilaian terhadap krisis sejarah Muslim, yang mempengaruhi peta sejarah politik umat Islam belakangan ini.
Sejarah Islam merupakan hasil interpretasi dan rekonstruksi masa lalu yang bersumber pada fakta dan memiliki makna atau arti. Sehingga mengulas sejarah harus pandai mengkait-kaitkan antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Namun dari masing-masing dimensi tersebut harus terdapat keterkaitan erat dan saling menguatkan satu sama lain.
Kini, hadir kembali sebuah interpretasi baru tentang sejarah Islam. M. Ayoub dalam bukunya yang berjudul “The Crisis of Muslim History” (2004) menyuguhkan fakta mengenai krisis sejarah Muslim. Terutama dalam perdebatan apakah Nabi itu seorang kepala negara atau bukan, ketika berada di Madinah. Begitu pula dengan sistem kekhilafahan yang dianggap sebagai sistem “semi otokrasi”. Masalah ini sempat menjadi perdebatan pro-kontra yang begitu panjang dan melelahkan, seperti gagasan Al-Maududi bertolak belakang dengan Ali Abdur Razik.
Tetapi, modal utama yang penting adalah mereka sama-sama berpegang teguh pada landasan al-Qur’an dan Sunnah. Jadi jelas bahwa ada dua interpretasi mengenai sistem sosio politik dalam sejarah Muslim, bahwa pada satu pihak, ia mengarahkan tatanan sistem politik itu berakar pada sumber wahyu, sementara di lain pihak, ia menghendaki bahwa sistem politik itu bukan terkait dengan masalah wahyu.
Memang, agak aneh kiranya kalau dikatakan, bahwa dalam Islam persoalan-pertama-tama timbul adalah soal politik dan bukan soal teologi. Ketika Nabi wafat 623 M, sama sekali beliau tidak mengisyaratkan mengenai bentuk dan model pemerintahan. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah waktu itu, sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara, ketimbang harus mengubur jenazah Nabi. Di sinilah format pertama bentukan kaum Muslim sendiri ketika menggantikan tugas Nabi sebagai pemimpin negara waktu itu, dengan sebutan khilafah. Tugas sebagai Nabi atau Rasul, Nabi tentu tidak dapat digantikan.
Melihat kenyataan di atas, M. Ayoub berusaha mengkritisi kembali sejarah Muslim seperti yang dibangun oleh sejarawan Muslim masa silam. Sebab mempelajari pengetahuan sejarah bukan saja penting, tetapi keharusan bagi ummat Islam untuk mengetahui esensi dan eksistensi kepribadian Muslim itu sendiri. Perbedaan-perbedaan interpretasi sejarah itu adalah hal wajar yang justru menjadikan Islam dapat berkembang secara dinamis.
Meski karya sejarah Muslim telah banyak bertebaran, tapi karya M. Ayoub ini lebih terfokus pada masalah hubungan antara agama dan politik, terutama masa-masa pembentukan dalam sejarah Muslim. Melalui karya ini, Ayoub memberikan konstribusi bagi umat Islam dalam melihat krisis politik dan sosio keagamaan pasca wafatnya Nabi. Seperti yang terpaparkan dalam sejarah munculnya teologi/ilmu kalam, bahwa perpecahan terjadi ketika masa khalifah Usman ibn Affan hingga masa Ali Ibn Abi Thalib. Di sinilah letak krisis sejarah Muslim itu.
Pertimbangan dalam mengusung calon pemimpin lebih dikaitkan dengan simbol-simbol indentitas, seperti faktor keturunan atau suku, kesenioran, dan kedekatan dengan Nabi dan lain sebagainya. Sementara pertimbangan “profesional” belum tampak mengemuka waktu itu. Hal ini terlihat secara nyata pada keempat masa khalifah memimpin masyarakat Madinah.
Jadi, catatan kritis yang dikemukakan M. Ayoub adalah bukan hal yang mengada-ada, tetapi justru menambahkan informasi yang belum terpaparkan secara terbuka oleh sejarawan sebelumnya, dan memang, menulis sejarah tidak bisa sekali jadi, tetapi tetap membuka selebar-lebarnya peluang koreksi secara terus menerus supaya lebih sempurna.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Senin, 22 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar