Oleh: Mujtahid*
RAHMAN dalam bukunya yang berjudul “Islam” (1966) memperkenalkan suatu kajian Islam dengan pendekatan substansial dan kontekstual. Rumusan-rumusan pikirannya telah mengguncangkan dunia Islam dan tidak sedikit dari gugusan ide pemikirannya bersebrangan dengan pemikir-pemikir muslim terkemuka, khususnya dari kalangan fundamentalis atau literalis. Salah satu usaha Rahman dalam memahami Islam yang substansi adalah menempatkan ajaran pokok (wahyu) dan daya nalar secara seimbang.
Tulisan ini ingin menyuguhkan usaha awal untuk mencari model pendekatan pemikiran Islam kontemporer. Berdasarkan khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat, Islam akan semakin dapat bergelut dengan dunia pemikiran sepanjang di dalamnya terdapat kecenderungan yang positif kearah sana. Salah satu upaya untuk memenuhi keinginan itu, melalui paparan ini akan menyuguhkan sebuah pemikiran tentang Islam menuju pendekatan “revolusi ilmiah”.
Sumber ajaran Islam yang menjadi pedoman hidup manusia haruslah dimulai dengan proses keyakinan batini dan nalar ilmiah. Mensintesakan kedua potensi manusia tersebut bukanlah hal yang mudah. Karena, selain sumber ajaran yang mutlak (wahyu), ternyata akal merupakan sumber yang sangat “berpotensi” besar dalam membantu untuk merealisaikan pesan moral dan semangat ilmiah dari doktrin kewahyuan maupun kenabian. Tanpa dukungan akal dan semangat ilmiah, perintah-perintah suci ilahiyah yang hanya di terapkan dengan pendekatan parsial dan ad hoc tidak akan memberi solusi terhadap problem-problem masa kini yang sedang dihadapi ummat.
Penekanan demikian ini mendorong seseorang untuk mengusai metodologi dan pendekatan yang baik. Bukan asal menerapkan tanpa tahu sebab-musabab dan asal-usul sumber wahyu tersebut kapan dan di mana ia turun. Karena itu, metodologi dan pendekatan merupakan cara yang sangat penting untuk menjelaskan makna substansi dari doktrin tersebut. Seseorang harus mengkajinya dalam konteks latar belakang sosio-historisnya. Baik secara individual maupun keseluruhan, jika tanpa memahami latar belakang mikro dan makronya secara memadahi, menurut Rahman, besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap terhadap elan dan maksud ayat-ayat ilahiyah serta aktivitas Nabi, baik di Mekkah maupun di Madinah.
Secara jujur, sebenarnya sangat sulit bagi manusia pada umumnya, untuk menyusup ke dasar firman Tuhan, tetapi dengan bantuan akal, manusia dapat menyingkap otoritas perintah dan kehendak Tuhan sekalipun. Dengan begitu, berati todak ada suatu persoalan di dunia ini, yang tidak bisa dipecahkan. Karena akal berpotensi untuk menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun.
Peranan rasio bukan berarti mendorong manusia pada pemikiran sekuler. Tetapi justru sebagai alat untuk memformulasikan ikatan dogmatis yang normatif menjadi nilai-nilai praksis sebagaimana cita-cita Islam sejati. Dengan pemahaman ini kata Cak Nur –sebutan akrab Nurcholish Madjid- Islam tampak sebagai agama yang menyenangkan dan mudah dilakukan oleh pemeluknya. Hal inilah yang menjadi citra Islam bahwa ia adalah agama pembebas. Yang berarti memberikan kemerdekaan bagi manusia untuk beragama, bukan suatu paksaan atau fitrah yang tak berkembang. Dalam masalah ini, sekulerisasi menjadi penting untuk merealisasikan sesuatu yang semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dengan kata lain, pensakralan (pemutlakan transendensi) hanya kepada Tuhan dan proses penduniawiaan terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar bersifat ilahiyah (transedental) yakni dunia ini. Jadi kita tidak perlu takut terhadap anggapan sebagian ilmuan bahwa berfikir sekuler akan melindas fungsi agama karena datangnya kekuatan rasional. Pandangan ini jelas merupakan pandangan yang meremehkan Islam.
Sekulerisasi terhadap ajaran Islam tidaklah cukup, tetapi harus di imbangi dengan liberalisasi. Liberalisasi-kata Cak Nur- sebagai sebuah upaya untuk melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Kalau liberasi tidak dilakukan, maka berakibat yang cukup parah, yakni Islam menjadi senilai dengan tradisi, membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi, dan menjadi islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis. Karena membela Islam menjadi sama dengan membela tradisi, maka timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner, yang tidak sanggup mengadakan respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini.
Sudah menjadi keharusan, bahwa liberasi membuka peluang adanya intellectual freedom (kebebasan berfikir), idea of progress, dan sikap terbuka bagi ummat Islam. Kebebasan berfikir berarti kemerdekaan untuk menyatakan segala bentuk pikiran dan ide, betapa pun aneh kedengarannya di telinga, karena tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu ternyata kemudian benar.
Selanjutnya, idea of progress adalah ide yang bertitik tolak dari konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan, kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Konsistensi idea of progress ini ialah sikap mental yang terbuka berupa kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja asalkan mengandung kebenaran.
Suatu ranah pemikiran yang lebih bersifat praksis, Moeslim Abdurrahman, menawarkan teologi transformatif. Teologi ini menaruh perhatian tentang persoalan keadilan dan ketimpangan sosial saat ini yang dianggap merupakan struktur yang menjadikan banyak ummat manusia tidak mampu mengekpresikan harkat dan martabat kemanusiaannya. Munculnya pemikiran ini berangkat dari kepentingan sosial-ekonomi karena adanya struktur yang tidak adil. “Orang jauh dari agama”, kata Moeslim, antara lain disebabkan faktor adanya jarak sosial-ekonomi yang cukup jauh antara mereka yang dhuafa’ dengan pusat-pusat ortodoksi agama. Secara fisik, jarak antara masjid dan pasar itu sangat dekat, tetapi secara ekonomis tidak jarang banyak ‘bakul gendongan’ tidak bisa berteduh di situ karena rasa malu, bahkan maqam-nya bergaul (tokoh-tokoh itu hanya) dengan orang-orang “saleh” berkecukupan hidupnya.
Berbeda dengan pandangan Cak Nur dan Moeslim, Kunto-sapaan akrab Kuntowijoyo- menawarkan paradigma baru yang dikenal dengan sebutan ilmu sosial profetik. Meskipun substansi di antara pemikiran mereka tidak jauh berbeda, namun Kunto memaparkan gagasannya jauh lebih elaboratif dan didukung dengan landasan normatif yang kuat, yakni surat Ali Imran ayat 110. Kata Kunto, ayat tersebut mengandung tiga muatan dan menjadi landasan bagi perubahan masyarakat Islam. Muatan itu adalah adanya cita-cita humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga muatan inilah yang mengkarakterisasikan ilmu sosial profetik.
Selanjutnya, dengan kandungan nilai di atas, ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan. Dengan ilmu sosial profetik, kata Kunto, kita juga akan melakukan reorientasi terhadap epistemologi, yaitu reorientasi terhadap Mode of Thought dan Mode of Inquiry, bahwa pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan emperis, tetapi juga wahyu. Dengan ilmu sosial profetik ini bukan berarti harus menutup diri dari khazanah ilmu Barat maupun Timur. Tetapi justru harus terbuka; bersedia menerima khazanah ilmu dari mana pun, karena kita merupakan pewaris tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban manusia. Akan tetapi, penerimaan itu, tetap dipandang sebagai proses theory-building –yakni Islam itu merupakan alternatif.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Cerdas dan bernas. Salam hormat (QZ)
BalasHapus