Selasa, 23 Maret 2010

Kisah Pendaki Menuju Puncak Everest

Mujtahid

EVEREST merupakan salah satu gunung bersejarah yang beberapa kali pernah menggemparkan dunia. Gempar, karena gunung yang hingga ratusan tahun sulit tertaklukkan para pendaki, akhirnya bisa dicapai. Selain itu, gempar karena gunung tersebut telah merenggut puluhan jiwa pendaki yang mencoba menaklukannya. Gunung yang memiliki ketinggian hingga 29.028 kaki dengan cuaca yang mematikan dapat ditaklukkan oleh berbagai tim ekspedisi, tak terkecuali oleh tim Jon Krakauer.
Everest terletak di perbatasan Nepal dan Tibet, yang menjulang bagaikan piramid tiga sisi terbetuk dari es yang mengilat dan batu berwarna gelap yang carut-marut. Puncak XV-begitulah nama sebelumnya-, menjadi sesuatu yang sangat penting. Hampir setiap musim, para pendaki dari berbagai benua ingin mencoba menaklukkannya. Nama Everest diambil dari nama seorang gubernur pengukuran untuk wilayah India, yakni Sir George Everest. Setelah Everest dinobatkan sebagai gunung tertinggi di bumi, orang-orang memutuskan bahwa Everest layak didaki.
Setelah penjelajah Amerika, Robert Peary, menaklukkan Kutub Utara pada 1909 dan Ronald Amundsen memimpin para penjelajah Norwergia menaklukkan Kutub Selatan pada 1911, Everest –yang dijuluki Kutup Ketiga- menjadi objek yang paling menarik dalam dunia penjelajahan. Mencapai puncaknya, kata Gunther O Dyrenfurth-seorang pendaki ternama dan pencatat sejarah pendakian Himalaya- seperti yang dikutip Krakauer, menyatakan “merupakan upaya manusia yang bersifat mendunia, sebuah sasaran yang layak diraih, apapun risiko dan kerugian yang harus dihadapi”.
Dari data himpuan Sikhdar pada tahun 1852, Everest telah merenggut 24 orang korban, dari 15 tim ekspedisi, dan rentang 101 tahun, sebelum akhirnya Everest berhasil ditaklukkan. Menurut pakar geologi, Everest sebenarnya bukanlah gunung yang indah. Namun keanggunan arsitektural yang dimiliki Everest itu diimbangi dengan massanya yang besar dan menakjubkan.
Pada 1924, Everest-kurang 900 kaki dari puncak- dapat ditaklukkan tim ekspedisi dari Inggris, Edward Felix Norton. Prestasi itu benar-benar menakjubkan dan mungkin tak tertandingi hingga dua puluh sembilan tahun kemudian. Namun, tak lama kemudian, mereka berusaha kembali menuju puncak. Hingga akhirnya Mallory-tokoh utama di balik tim ekspedisi pertama- yang menaklukkan Everest, bahkan namanya sering dikaitkan dengan Everest. Pada fase ini, setiap pendaki yang ingin menuju puncak Everest hanya diperkenankan dari Tibet wilayah jalur Utara.
Setelah itu, mulai 1949 hingga sekarang, jalur Selatan (Nepal) mulai dibuka. Para pencinta pendaki mulai mengalihkan perhatian mereka ke jalur selatan puncak Himalaya itu. Pada musim semi 1953, sebuah tim ekspedisi besar dari Inggris, menjadi tim ekspedisi ketiga yang berusaha menaklukkan Everest dari wilayah Nepal dalam waktu selama dua setengah bulan. Hillary dan Tenzing adalah menjadi orang pertama ygberdiri dipuncak gunung Everest pada 1953.
Dengan jalur berbeda sebelumnya, puncak Everest kembali ditaklukkan pada 1963, oleh Tom Horbein, seorang dokter dari Missouri, dan Willi Unsoeld, seorang profesor teologi dari Oregon, melalui wilayah tepi Barat gunung. Jalur ini disinyalir sebagai jalur yang paling berat dilalui, dan dinobatkan sebagai prestasi terbesar dalam dunia pendakian gunung.
Everest di mata pendaki, merupakan tantangan sekaligus kehormatan. Karena tak semua pendaki dapat melakukannya, bahkan tergolong pendaki elit saja yang mampu mengukir prestasi ke sana. Pendaki yang sampai puncak Everest termasuk pendaki yang elit dan cenderung dikomersialkan. Hal inilah yang menyedot perhatian Krakauer untuk mencobanya. Ia ingin menjadi pendaki elit seperti orang-orang sebelumnya. Inspirasinya itu baru terwujud pada 1996.
Ajang komersial pendaki gunung Everest menjadi tak terelekkan. Karena disamping biaya perizinan yang cukup mahal, juga perlu ada jaminan khusus yang menyengkut persedian bahan dan keselamatan yang relatif tinggi. Mendaki Everest tidak hanya mengandalkan “bonek” (modal nekat) dan khayalan belaka, seperti yang terbenak para pendaki tradisional.

*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar