Jumat, 12 Maret 2010

Reformulasi Pemikiran Hukum Islam dalam Perspektif Mahmud Syaltut

Oleh: Mujtahid
MAHMUD Syaltut adalah seorang pakar di bidang hukum Islam Mesir yang pernah menerima gelar kehormatan akademis (Doktor Honoris Causa) dari Indonesia tahun 1961, yang diberikan oleh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sosok dan cakrawala pemikirannya telah benar-benar memancarkan kedalaman pengetahuan dan kearifan dalam menangkap makna sekaligus pesan ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah) ketika mengahadapi perubahan dan perkembangan zaman, terutama di bidang hukum Islam.
Reformulasi pemikiran hukum Islam yang dilakukan Syaltut merupakan langkah yang dinanti sejak lama dan sangat dibutuhkan umat Islam untuk memberikan solusi hukum terhadap masalah-masalah kontemporer yang selalu berkembang, selaras dengan perkembangan karakter budaya dan ilmu pengetahuan.
Sejak periode awalnya, hukum Islam merupakan suatu kajian yang dinamis dan kreatif. Ia tumbuh dan berkembang sebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sesuai dengan struktur dan konteks perkembangan masyarakat saat itu, merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi di mana ia tumbuh dan berkembang.
Berbicara masalah reformulasi pemikiran hukum Islam, Mahmud Syaltut adalah satu di antara sekian pemikir Muslim yang radikal dan liberal dalam memahami konteks hukum Islam. Pokok-pokok pandangannya tentang hukum Islam, sudah terlihat jelas bahwa hasil produk pemikirannya telah merubah pandangan lama (tradisonalis) yang selama ini berkembang dan mengakar serta mendarah-daging di kalangan umat Islam. Dengan penuh resiko yang pasti menimpa dirinya, Syaltut berusaha memberanikan diri untuk merubah pola pandangan lama itu dengan pendekatan kontekstual (sosio-historis). Bagi Syaltut, hukum Islam sejatinya mengatur kemaslahatan manusia dalam komunitas masyarakat. Sehingga dengan pendekatan kontekstual (sosio-historis), akan mudah ditemukan kemaslahatannya, sekalipun harus bententangan dengan teks (nash) yang tertera dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan pendekatan sosio-historis berarti mengandung arti modernisasi pemikiran, dalam usaha merubah paham-paham lama, adat istiadat dan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Tulisan ini ingin menyuguhkan gagasan Mahmud Syaltut yang berhubungan dengan reformulasi pemikiran hukum Islam. Sebuah usaha awal untuk mencari model pendekatan dalam memahami hukum Islam. Sekalipun sesungguhnya telah banyak pemikir Muslim melakukan pembaruan, tetapi suhu dan gelombangnya belum signifikan jika dibandingkan dengan khazanah ilmu keislaman lainnya, misalnya teologi Islam, filsafat Islam, ilmu tasawuf, ilmu tafsir dan seterusnya. Sudah barang tentu diketahui bahwa Islam akan semakin dapat bergelut dengan kehidupan modern sepanjang wilayah pemikiran Islam dapat tempat yang positif ke arah sana. Dan salah satu upaya untuk memenuhi keinginan itu, melalui paparan ini akan menyuguhkan sebuah reformulasi pemikiran hukum Islam versi Mahmud Syaltut.
Biografi Mahmud Syaltut
Mahmud Syaltut merupakan salah seorang putra terbaik Mesir yang lahir pada tanggal 23 April 1993. Ia memiliki tradisi yang sangat kental dalam memegangi sumber ajaran Islam, terutama dalam “memelihara” bacaan al-Qur’an. Sejak usia 13 tahun, ia sudah dikenal sebagai hafidz, dan sekaligus merupakan langkah awal dalam memasuki jenjang dan karir pendidikannya. Setelah itu, ia masuk pada Lembaga Pendidikan Agama di Iskandariyah yaitu al-Ma’had al-Dini, suatu lembaga yang satu atap dan berafiliasi pada Universitas al-Azhar Mesir.
Semasa menjalani studinya di al-Ma’had al- Dini, Mahmud Syaltut tergolong murid yang banyak dikagumi oleh para guru-gurunya, karena beberapa ide dan gagasan yang cerdas dan menonjol. Bahkan, setiap jenjang studinya, prestasi Mahmud Syaltut selalu mecapai pringkat yang pertama, termasuk dalam menyelesaikan studinya di Universitas al-Azhar tahun 1918 M dengan meraih predikat Syahadah al-‘Alimiyyah al-Nizamiyah, suatu penghargaan tertinggi dari al-Azhar atas prestasi yang dicapainya selama studi (al-Bayumi1995:19).
Setelah tamat studinya di al-Azhar, ia meniti karir sebagai pengajar atau dosen di almamaternya, di samping sebagai da’i. Ia juga aktif menulis di majalah dan jurnal yang diterbitkan oleh al-Azhar. Selama 25 tahun, ia aktif mempelopori Jama’ah al-Taqrib baina al-madzahib, suatu organisasi non-madzhab atau lembaga netral yang berusaha untuk mempertemukan antara kelompok ulama Sunni dan Syi’ah, dengan demikian ia berusaha keras ingin melepaskan atau menghilangkan “fanatisme madzhab” dalam bidang hukum Islam.
Semasa karirnya, Mahmud Syaltut banyak menghabiskan waktunya untuk mengisi kegiatan-kegiatan ilmiah, membuka konsultan hukum, menulis di berbagai masmedia, dan selebihnya sebagai guru besar al-Azhar. Sisi lain yang menarik dari Mahmud Syaltut adalah sikapnya yang “radikal” dalam memahami sumber hukum Islam. Ketika dipercaya sebagai dosen di al-Azhar, ia sering terjadi ‘kontra’ sama teman-teman sejawatnya yang mereka lebih dulu mengabdi. Sebagai dosen muda, ia punya cita-cita untuk membuka “kegelapan” sebagaimana yang diyakini bahwa stagnasi pemikiran Islam selama ini menyelimuti al-Azhar, terutama dalam menatap masalah hukum Islam. Upaya serupa juga nampak pada diri al-Maraghi, yang keduanya sama-sama menentang keras terhadap kalangan tradisional ulama fiqh. Akhirnya, al-Maraghi ditendang dari jabatan Syaikh al-Azhar dan diganti Muhammad al-Ahmad al-Zahiri (Nabil, 1995:36). Dalam tempo yang tidak terlalu lama, nasip serupa juga menimpa pada diri Mahmud Syaltut, bahkan lebih kejam lagi.
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
Sepanjang yang penulis ketahui, banyak pemikiran hukum Islam yang telah digagas oleh Mahmud Syaltut. Akan tetapi, dalam tulisan ini, penulis batasi hanya empat persoalan saja, yaitu persoalan kesaksian, bidang muamalah, persoalan perkawinan beda agama (laki-laki Muslim dengan ahl Kitab) dan seputar hukum pidana.
1. Persoalan Kesaksian
Kontekstualisasi penafsiran Syaltut terhadap ayat al-Qur’an telah memperlihatkan kemajuan berpikir yang begitu spektakuler. Menurut logika Syaltut, tidak ada sebuah ayat yang tidak berlatar belakang sosiologis, terutama ayat-ayat yang berbicara seputar hukum. Maka sudah semestinya menjadi tugas para cendekiawan Muslim, untuk mengubah pandangan klasik, tradisional yang argumen-argumennya cenderung irasional itu, supaya kembali kepada jiwa dan semangat al-Qur’an yang sesungguhnya.
Secara brilian, Syaltut berusaha merombak argumen-argumen tafsir atas sejumlah ayat sosiologis yang telah dipatenkan menjadi ayat-ayat “teologis” yang bersifat absolut (memuat kandungan aqidah dan ibadah) itu menjadi ayat-ayat sosiologis yang bersifat kontekstual (Arief, 2003: 190). Penafsiran itu misalnya, ayat 282 surat al-Baqarah, bahwa kesaksian “satu orang laki-laki dan dua orang perempuan”, secara sosiologis pada waktu itu memang banyak para perempuan yang tidak terjun dalam dunia perniagaan, sehingga ingatannya dikhawatirkan agak lemah dibandingkan dengan kaum laki-laki yang saat itu menekuninya.
Sementara menurut jumhur ulama, dalam memehami ayat di astas, seringkali justru mengarah ketidaksetaraan (inequality) antara laki-laki dan perempuan, bahwa perempuan itu lebih rendah dari laki-laki, oleh karena itu kesaksian seorang perempuan bernilai separuh dari kesaksian laki-laki. Para fuqaha’ dalam menetapkan masalah kesaksian perempuan selalu dengan perbandingan dua orang saksi perempuan sama nilainya dengan kesaksian seorang laki-laki (al-Zuhaili, 1989:570}.
Menurut Syaltut, latar belakang sosiologis ayat itu turun, adalah ketika kaum perempuan tidak aktif dalam berbagai transaksi finansial dan kurang akrap dengan masalah perniagaan dibanding dengan kaum laki-laki, oleh karenanya ingatan kaum perempuan dalam urusan keuangan lemah, sebaliknya dalam urusan rumah tangga perempuan lebih unggul daripada laki-laki. Lebih lanjut, kata Syaltut, memang sudah menjadi sifat manusia pada umumnya, bahwa ingatannya itu kuat dalam persoalan yang ia menekuninya, berkonsentrasi dan terlibat di dalamnya (Syaltut, 1980:240). Dengan demikian, “jika kaum perempuan itu berada dalam posisi dan tradisi ikut terlibat dalam urusan perdagangan, keuangan dan traksasksi hutang piutang, maka tentu saja mereka berhak mensejajarkan diri untuk mendapatkan kepercayaan dalam kesaksian sebagaimana kepercayaan yang diperoleh seorang laki-laki”.
Singkatnya, Syaltut berpandangan bahwa “persaksian perempuan” sejajar dengan persaksian laki-laki. Ia menyelami bahwa hikmah atau asbab alnuzul dari ayat 282 surat al-Baqarah itu adalah bukan berkaitan dengan masalah saksi dalam persoalan peradilan. Tetapi sekarang, telah terjadi perubahan yang cukup berarti dalam kehidupan perempuan pada umumnya. Perempuan saat ini telah banyak pengalaman dalam berbagai macam bidang kehidupan, karena mereka telah diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mengembangkan pribadinya. Dengan adanya perubahan kondisi perempuan yang disebabkan adanya perubahan kondisi sosial yang ada, maka kaum perempuan untuk bertindak sebagai saksi dapat sejajar dengan pria.
Dalam masalah kesaksian ini, Syaltut tetap berpegang pada prinsip yang selalu ia tegakkan, yakni persamaan hak atas nama keadilan dan kemanusiaan. Dalam bukunya “Al-Islam Aqidah wa Syari’ah”, ia menyatakan sebagai berikut:
“Dan pertimbangan dua orang perempuan memperoleh kepercayaan sama dengan laki-laki, itu bukanlah kelemahan akal perempuan yang mengurangi nilai kemanusiaannya dan berpengaruh untuk memperoleh kepercayaan. Dan yang demikian itu, karena sesungguhnya perempuan tidak lazim saat itu berkecimpung dalam transaksi keuangan. Dan manakala mereka yang berkecimpung dalam bidang bisnis, yang dalam kebiasaannya itu melibatkan perempuan yang aktif dalam bidangnya, dan kaum perempuan itu juga aktif mengunjungi sentral-sentral transaksi keuangan (seperti hutang-piutang), maka mereka berhak pula menetapkan kepercayaan kesaksian seorang perempuan, sebagaimana kepercayaan kesaksian kepada seorang laki-laki. Dan inilah keadilan Islam dalam membagi hak-hak umum antara laki-laki dan perempuan, suatu keadilan yang benar-benar membuktikan, bahwa keduanya itu sederajat dalam nilai kemanusiaan.”
Dengan demikian, jika kemajuan antara laki-laki dengan perempuan itu seimbang dalam berbagai bidang, sudah seharusnya tidak ada lagi diskriminasi antara keduanya dalam berbagai persoalan, termasuk hak menjadi saksi dan persamaan hak di hadapan hukum. Syaltut memahami ayat 82 surat al-Baqarah secara kontekstual dengan melihat sosiologis saat turunnya ayat tersebut.
Masih mengenai kesaksian, Syaltut juga berpandangan bahwa kesaksian non Islam terhadap orang Islam adalah sah (tidak diharamkan) baik dalam masalah muamalah atau jinayah (perdata dan pidana). Pendapat ini tentu bertentangan secara diametral dengan pendapat yang berkembang di kalangan ulama fuqaha selama ini. Para fuqaha, seperti yang diungkap Wahbah al-Zuhaili, dalam “al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, berpendapat bahwa tidak bisa diterima kesaksian orang non Islam terhadap orang Islam. Mazhab Hanafi dan Hambali memperbolehkan, tetapi sebatas soal wasiat dalam perjalanan saja, dengan mendasarkan pada surat al-Maidah ayat 106. Memang sebagian besar mazahab sepakat tidak memperbolehkan saksi dari kalangan non Islam dalam kasus-kasus pidana atas orang Islam, pendapat ini tampak jelas dalam kitab “Bidayah al-Mujtahid” karya Ibnu Rusyd.
Bertolak dari pendapat mayoritas fuqaha, Syaltut merusaha mencari terobosan baru untuk mereformulasikan hukum Islam dengan tidak mendiskriminasikan orang non Islam. Dalam sebuah bukunya yang berjudul “Muqarah al- Mazahib fi al-Fiqh” ia mengungkapkan dengan tegas; “bila diteliti lebih mendalam mengenai hal itu (pelarangan orang non Islam menjadi saksi terhadap orang Islam), sesungguhnya tidak ada argumentasi yang melarang diterimanya kesaksian orang Islam terhadap orang Islam mengenai hal-hal yang berlaku di antara mereka, baik dalam persoalan muamalah atau jinayah”. Syaltut berusaha menegakkan persamaan hak di hadapan hukum atas nama keadilan dan kemanusiaan tanpa ada diskriminasi.
Menurut Syaltut, kesaksian non Islam itu boleh, karena atas dasar beberapa hal; di antaranya pertama, bahwa orang Islam diperbolehkan bergaul dengan orang non Islam, bahkan diperbolehkan memakan makanan mereka. Kedua, nash al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 141 yang redaksinya berbunyi “ Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menghinakan orang-orang yang beriman”, ayat ini, kata Syaltut, tidak berkaitan dengan masalah persaksian dan peradilan, tetapi berkaitan dengan masalah kemulyaan, kekuasaan dan kemenangan. Ketiga, untuk memutuskan sebuah perkara, pasti memerlukan bukti-bukti yang mampu menyingkapkan suatu kebenaran, sehingga terbukti bagi peleku kejahatan. Ini tergantung dengan kebenaran yang diungkapkan saksi, dan bukan berkaitan dengan siapa saksi itu.
Adapun metode ijtihad yang dipakai Syaltut dalam masalah persaksian non Islam (syahadah ghair al-Muslim) ini, adalah dengan langsung memahami teks nash yang tertera pada surat al-Baqarah ayat 282. Menurut Syaltut, dalam persoalan kesaksian, secara implisit maupun eksplisit tidak terdapat suatu larangan mengenai persaksian non Muslim dalam ayat tersebut. Bahkan, kata Syaltut, sesungguhnya tidak ada dalil sebagai bukti yang melarang kesaksian orang non Muslim terhadap orang Islam, baik dalam masalah perdata maupun pidana.
Dengan demikian, orang non Muslim dapat memberikan kesaksiannya terhadap orang Islam, sepanjang kesaksian itu mengandung kebenaran yang dapat diterima oleh akal sehat. Lebih-lebih, dalam masyarakat yang majemuk, untuk menghindari diskriminasi hukum harus ada upaya untuk membangun kebersamaan, kesetaraan dan persamaan hak dalam menjalin kehidupan yang berkeadaban dan kearifan.

2. Bidang Muamalah
Dalam bidang muamalah, Syaltut terlihat secara fleksibel. Menurutnya, prinsip syari’at Islam dalam bidang mu’amalah adalah terpenuhinya maslahah dan terlindungi hak-hak serta meningkatnya taraf hidup (Syaltut, 1980:391). Apalagi jika suatu masalah itu tidak ada larangan dalam nash, maka hal itu menurutnya diperbolehkan. Dengan mengutip pendapat Jalaluddin Suyuti, Syaltut berpandangan bahwa “hukum yang asal (dasar) atas segala sesuatu itu boleh sehingga ada dalil yang mengharamkannya”. Pendekatan maslahah yang digunakan Syaltut dibidang muamalah ini mengantarkan kepada suatu pendapat bahwa keuntungan dari Bank Tabungan Kantor Pos itu boleh (tidak haram) dan aktivitas obligasi itu tidak bertentangan dengan syari’at Islam (Arief, 2003: 194). Menurut Syaltut, terwujudnya suatu maslahah itu sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada, saat suatu masalah itu terjadi, sehingga mendorong seorang mujtahid untuk melakukan ijtihad. Dalam sebuah tesisnya, ia mengatakan bahwa “perbedaan adanya suatu maslahah dalam suatu perkara itu tergantung pada berubahnya masa (situasi kondisi), tempat dan individu, dari sini kemudian muncul ijtihad” (Syaltut, 1979:33).
Menurut Syaltut, keuntungan yang diberikan oleh Bank Tabungan Kantor Pos adalah halal, karena uang yang dititipkan oleh pemiliknya di Bank Tabungan Kantor Pos bukan merupakan hutang Bank Tabungan Kantor Pos, melainkan merupakan modal pemilik uang untuk “kemasalahatan” Bank Tabungan Kantor Pos. Dengan demikian, secara logis Bank Tabungan Kantor Pos dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat dan lebih mempercepat terbentuknya jaringan Kontor Pos lebih luas lagi.
Pandangan demikian ini berbeda dengan pendapat kalangan ulama Mesir saat itu yang menyatakan secara tegas bahwa keuntungan yang diberikan Bank Tabungan Kantor Pos adalah haram. Akibat dari pendapat dari pendapat ini, lebih dari tiga ribu penabung menolak menerima keuntungannya, karena keyakinan agama mereka. Perbedaan pendapat ini, karena berakar dari cara melihat dan memahami riba, suatu pelarangan yang disebut dalam al-Qur’an. Kata riba dalam al-Qur’an sering diulang-ulang, dan sampai pada kesimpulan bahwa katagori yang disebut “riba” sesungguhnya adalah “riba” yang bersyarat adh’afa-mudha’afa, seperti yang tertera pada surat al-Baqarah ayat 275-278. Rasyid Ridha dan al-Maraghi menafsirkan bahwa “riba” bersyarat itu tidak diperbolehkan, karena benar-benar telah mencekik dan berlaku yang tidak wajar, dengan cara melipatgandakan secara berlebihan.
Sementara Syaltut menanggapi fatwa larangan mengambil keuntungan Bank Tabungan Kantor Pos karena diduga mengandung unsur riba-seperti fatwa yang dikeluarkan Mufti Mesir tanggal 13 Agustus 1989- merupakan fatwa tidak berdasar. Karena tidak ditemukan unsur riba bersyarat tadi. Bahkah, dengan adanya Bank Tabungan Kantor Pos justru menjamin kesejahteraan anggotanya dan bisa untuk memecahkan kesulitan bersama.
Syaltut mengemukakan argumentasinya dengan cara mengqiyaskan antara Bank Tabungan Kantor Pos dengan aktivitas Syrikah, dalam menghimpun modal usaha. Lebih tepat lagi sebagai syrikah al-mudharabah, yaitu penabung uang di Bank Tabungan Kantor Pos sebagai sahib al-mal dan Bank Tabungan Kantor Pos sebagai mudarib (yang menjalankan usaha) yaitu bertindak sebagai pemegang kepercayaan dario pemilik modal.
Menurut Syaltut, metode qiyas harus perlu digunakan untuk menyelesaikan persoalan ini. Sehingga mengambil keuntungan Metode Bank Tabungan Kantor Pos adalah aktivitas yang dipandang boleh, sebagaimana sistem syirkah mudharabah. Syaltut melihat bahwa ada kesamaan illat, yakni “penyetoran modal usaha”. Bank Tabungan Kantor Pos tidak terdapat praktek saling eksploitasi yang merugikan terhadap pihak-pihak yang melakukan transaksi yang dalam Islam sangat dilarang. Bahkan yang ada dalam aktivitas Bank Tabungan Kantor Pos itu adalah terpenuhinya maslahah. Dengan demikian, kemaslahatan bersama dalam bidang pos terpenuhi.
Ketetapan hukum digunakan Syaltut dalam masalah ini, yaitu dengan menggunakan al-hajah, dan al-dharurah. Sejalan dengan kaidah; “Kebutuhan itu dapat menempati posisi dharurat baik bersifat umum maupun khusus”. Sementara dalam al-Qur’an juga ditegaskan; “Dan Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang telah diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya’. Dari keterangan ini, Syaltut beralasan bahwa dalam keadaan terpaksa karena dharurat, suatu obligasi itu dapat dijalankan, walaupun seandainya ada elemen yang tidak dibolehkan oleh agama. Argumen ini sesuai dengan suatu kaidah “Kemadharatan (keadaan dahrurat) itu membolehkan suatu larangan.
3. Bidang Perkawinan
Manusia diciptakan oleh Allah untuk saling berpasang-pasangan. Dengan hidup berpasang-pasangan itulah maka manusia dapat meneruskan keturunan. Islam mengajarkan supaya terjadi reproduksi, manusia diwajibkan untuk nikah atau kawin. Perkawinan merupakan pintu sahnya “pergaulan” lawan jenis yang sebelumnya di haramkan.
Syaltut menggarisbawahi bahwa perkawinan merupakan tonggak yang menentukan kualitas pembangunan bangsa. Karena kualitas bangsa dapat diukur dari masing-masing kualitas keluarga. Jika dalam keluarga rapuh, maka bangsa juga ikut menjadi rapuh. Sehingga soal perkawinan, harus dipandang penting oleh siapa pun, terutama umat Islam. Syaltut punya perhatian besar pada masalah ini. Sekalipun persoalan ini telah sejak lama menjadi pembicaraan, misalnya sejak masa Umar Ibn Khatthab.
Menurut Syaltut, seperti yang terungkap dalam kitabnya “al-Fatawa”, menyatakan bahwa kawin beda agama (laki-laki Muslim kawin dengan perempuan ahl kitab) adalah hubungan yang sebaiknya tidak perlu dilakukan, alias haram, sekalipun ayat al-Qur’an memberikan rambu-rambu boleh, sebagaimana terdapat pada surat al-Maidah ayat 5. Sebelum membahas pikiran Syaltut, ada baiknya kita lihat beberapa pendapat yang telah lahir sebelumnya. Ada tiga pendapat yang berkembang di kalangan ulama dalam menafsirkan ayat di atas, yaitu mengenai laki-laki Muslim mengawini perempuan ahl kitab. Pendapat pertama menyatakan, bahwa laki-laki Muslim haram menikahi perempuan ahl kitab. Pendapat ini seperti dikemukakan oleh Abdullah Ibn Umar, dengan menggunakan argumentasi ayat 221 surat al-Baqarah, “Dan jangan kamu mengawini perempuan-perempuan musyrik, sehingga mereka beriman”. Abdullah Ibn Umar berpendapat, perempuan musyrik dari kalangan Nasrani dan Yahudi termasuk katagori musyrik. Karena termasuk musyrik, maka tidak halal untuk dikawini (al-Razi, 1985;150, Ibn Katsir, 189;22). Pendapat kedua menyatakan, bahwa mengawini perempuan ahl kitab adalah rukhsah, karena saat itu perempuan Muslimah sangat sedikit. Sedang sekarang perempuan Muslimah banyak, oleh karenanya mengawini perempuan ahl kitab tidak diperlukan lagi dan otomatis hilanglah rukhsah untuk mengawininya. Pendapat ini dikemukakan oleh Atha’ (Ibid). Pendapat ketiga, dikemukakan jumhur ulama yang membolehkan mengawini perempuan ahl kitab dengan dasar sumber ayat tersebut di atas (al-Razi, 1985:151).
Syaltut berfatwa bahwa perkawinan beda agama adalah haram. Larangan Muslim mengawini perempuan ahl kitab, karena kecenderungan yang amat sangat membahayakan keluarga, terutama kasus di Mesir. Menurutnya, suami-suami Muslim yang kawin dengan perempuan kitabiyah itu, telah terpengaruh oleh budaya dan adat istiadat istrinya, sehingga anak-anaknya dididik oleh istrinya menurut agamanya dan adat-istiadatnya. Dengan demikian, suami membiarkan anak-anaknya dan keluarganya terlepas dari ajaran Islam, akibat dari pengaruh istrinya yang begitu dominan, sehingga dikhawatirkan keturunannya beralih aqidah agamanya (Arief, 2003:128).
Argumentasi Syaltut cukup beralasan ketika melihat kondisi dan kasus sedemikian merugikan umat Islam. Apalagi, penglihatan Syaltut terhadap proses perkawinan menjadi tumpuan generasi yang harus dijaga dan junjung tinggi umat Islam. Ia sangat memperhatikan keberadaan rumahtangga Muslim sebagai penyangga keberadaan masyarakat Islam. Lebih lanjut, Syaltut mengemukakan bahwa salah satu tujuan perkawinan, seperti yang dikehendaki al-Qur’an adalah mencari ketenangan, dan ketenangan itu diperoleh jika terdapat kesamaan emosional, termasuk dalam katagori ini adalah kesamaan agama antara suami dan istri. Perkawinan dalam persepsi Islam bukan sekedar penyaluran seksual belaka, tetapi merupakan embrional menuju terwujudnya masyarakat yang shaleh. Atas dasar hakikat dari tujuan perkawinan itu, perkawinan dengan non Muslimah tidak hanya akan menimbulkan kesenjangan emosional spiritual dari kedua belah pihak suami istri, akan tetapi pada gilirannya juga akan mereduksi nilai-nilai agama yang mereka yakini (Arief, 2003:129).
Metode yang digunakan Syaltut dalam melihat persoalan di atas yaitu sadd al-dzari’ah. Dalam pandangan Syaltut, perkawinan beda agama tersebut mengandung mafsadah (kerusakan), bahkan mafsadah itu pasti akan terjadi. Oleh karenanya, perkawinan beda agama harus dicegah atau dihindari. Sebagai salah satu jalan untuk mencegah datangnya mafsadah, kata Syaltut, ialah dengan cara melarang mengawini perempuan ahl kitab, walaupun nash sendiri tidak melarangnya.
4. Bidang Pidana
Hakikat berlakunya hukum pidana adalah untuk menjaga kestabilan masyarakat. Pelaksanaan hukum pidana tidak bisa dimonopoli oleh segelintir orang atau kelompok, tetapi harus berlaku bagi komunitas yang berada di tempat itu. Namun dalam implementasinya, sering terjadi ketimpangan, diskriminasi dan ketidakadilan. Karena hukum telah dijadikan oleh penguasa untuk menjamin status quo dan menindas setiap tindakan menyimpang yang normanya ditentukan oleh mereka. Kasus ini pernah terjadi pada pra Islam, ketika hukum pidana hanya untuk menghukumi hamba sahaya, kaum papa secara semena-mena.
Lalu, kehadiran Islam membawa ajaran yang menekankan keadilan, seperti yang terungkap pada surat al-Maidah ayat 8, “Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa”. Berpijak atas rasa keadilan dan persamaan hak di muka hukum, Syaltut berpendapat bahwa seorang Muslim yang melakukan pembunuhan terhadap seorang non Muslim dengan sengaja harus dikenakan qisas, bila keluarga terbunuh tidak memaafkan. Berbeda dengan pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa orang Muslim yang membunuh orang non Muslim hanya dikenakan hukuman ta’zir, yaitu suatu hukuman yang kualitas dan kuantitasnya relatif lebih ringan dibanding dengan hukuman qisas (al- Jahiri, 1985:282-283).
Menurut Syaltut, hukum pidana harus berlaku sama, tidak ada pembedaan atas nama agama. Sehingga ta’zir seperti yang menjadi kesepakatan jumhur ulama harus ditentang dan perlu diluruskan demi menjaga keutuhan hukum itu sendiri. Syaltut memahami surat al-Baqarah ayat 178; “Kutiba alaikum al-qisas” adalah persamaan dalam melakukan pembalasan. Dari sinilah dapat dilihat, bahwa Syaltut ingin meletakkan nilai kemanusiaan sebagai prinsip kehidupan yang harus dihargai, dan dipandangnya selaras dengan prinsip al-mashalih al-khamsah yang salah satunya ialah hifdz al-Nafs. Di lain pihak, sesungguhnya hakikat dasar kemanusiaan ialah termasuk di dalamnya menegakkan keadilan tanpa memandang status sosialnya dan atribut-atribut lain. Karena keadilan ditegaskan dalam al-Qur’an harus dijalankan dengan tegas, sekalipun kerabatnya sendiri, dan janganlah kebencian kepada suatu golongan itu membuat orang tidak mampu menegakkan keadilan.
Syaltut juga berpendapat bahwa seorang ayah yang membunuh anaknya, akan tetap dikenakan qisas secara mutlak (Syaltut, 1980:372). Pandangan ini berbeda dengan jumhur ulama, yang menyatakan bahwa ayah yang membunuh anaknya tidak dikenakan hukuman qisas, tetapi cukup dengan ta’zir.

Penutup
Reformulasi Pemikiran hukum Islam merupakan bagian dari kreasi manusia dalam menangkap perubahan makna (konteks) zaman. Sebagai pemikir hukum Islam, Mahmud Syaltut telah berusaha menafsirkan ulang ketetapan-ketetapan hukum terdahulu ke dalam situasi dan kondisi yang baru. Dengan logika yang cerdas, Syaltut mengurai satu persatu persoalan hukum yang ia rasa tidak sepenuhnya dapat menjawab permasalahan dan tantangan kehidupan. Reformulasi hukum Islam seperti yang dikemukakan Syaltut, merupakan hukum yang digali dari nilai-nilai normatif dengan cara mentafsirkan secara sosiologis.
Keempat pemikiran hukum di atas, merupakan kontribusi dan pengembangan pembaruan hukum Islam yang diberikan Syaltut. Ia telah meletakkan prinsip persamaan hak dihadapan hukum demi keadilan dan nilai kemanusiaan di atas sekat-sekat sosiala agama, sosial kemasyarakatan dan perbedaan jender. Keadilan dan nilai kemanusiaan tidak boleh dipraktekkan hanya secara sepihak. Karena itu, keadilan harus berlaku dihadapan orang Islam dan non Islam, laki-laki dan perempuan, orang merdeka dan hamba sahaya dan seterusnya. Dari uraian di atas, dapat simpulkan bahwa Mahmud Syaltut dalam melakukan ijtihad, dasar yang dijadikan rujukan adalah al-Qur’an, al-sunnah dan al-ra’yu.

Daftar Pustaka
Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1985. al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Bairut: Dar Fikr.
Al-Razi, 1985. Tafsir al-Fakhr al-Razi al-Musytahar bi Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Bairut: Dar al-Fikr.
Arief, Abd Salam, 2003. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam; Antara Fakta dan Realita, Yogyakarta: LESFI.
Bayumi, Abd al-Rahman, 1968. Hayat al-Imam al-Sayyid al-Fadilah al-Ustadz al-Syaikh Mahmud Syaltut, Bairut: Dar al-Qalam.
Ibn Katsir, 1989. Tafsir al-Qur’an al-Azim, Bairut: Dar Falah
Nabil, Abd Fatah, 1995. Al-Halah al-Diniyah fi Misra, Mesir: Markaz Maktabah al-Dirasah .
Syaltut, Mahmud, 1979. Tafsir al-Qur’an al-Karim, Kairo: Dar al-Syuruq.
---------, 1980. Al-Islam ‘Aqidah wa al-Syari’ah, Kairo: Dar al-Syuruq.
Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar