Oleh: Mujtahid
JIKA kita sadari, tidak semua bencana di dunia ini mempunyai basis agama. Tetapi, dalam kenyataannya, banyak sekali bencana terjadi atas nama agama. Dari hari-ke hari muncul berita; teror atas nama Islam, pengeboman oleh orang-orang Kristen dan Katolik, pembunuhan oleh pengikut Hindu dan Budha, perang di Afrika; perang antara umat Katolik, ortodoks dan Muslim, penindasan keadilan di Amerika Latin dan lain-lain.
Kenyataan sejarah menunjukkan, eksistensi agama sama sekali memang tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan manusia, sehingga dalam titik-titik tertentu agama kerap kali mengorbankan manusia itu sendiri dengan cara mengatasnamakan agama (Tuhan). Menyadari hal itu semua, agama selain diyakini sebagai media integratif, tetapi juga rentan mendorong terjadinya disintegratif bagi umat manusia. Sehingga jati diri agama sepertinya terkesan paradoks. Karena agama, manusia bisa saling berlomba-lomba berbuat kebajikan, saling mencintai dan menolong satu sama lain. Tetapi, atas nama agama pula, manusia bisa saling berperang, menghancurkan dan bahkan membunuh sesama manusia sendiri.
Setelah melihat kenyataan paradoks demikian itu, lalu di manakah letak kesalahan agama ketika terjadi ketidakseimbangan (equilibrium) antara nilai positif dan negatif. Menurut Charles Kimball, penulis buku yang berjudul “Kala Agama Jadi Bencana” memetakan ada beberapa sebab mengapa agama itu menjadi sumber bencana. Tanda bencana itu di antaranya; pertama, adannya truth claim (pengakuan kebenaran) mutlak yang diyakini hanya pada agamanya sendiri. Bila hal ini terjadi, agama tersebut dapat saja mendorong umatnya untuk berprilaku acuh terhadap agama lain. Artinya, bahwa agama yang diyakininya tidak mungkin salah, dan berpretensi bahwa agama lain justru yang salah. Dengan adanya klaim kebenaran ini akhirnya agama menjadi sempit, tertutup, terisolasi dari agama lain, padahal dalam hal-hal tertentu sesungguhnya kebenaran itu juga bisa ditemukan pada agama lain.
Adanya klaim kebenaran itu lebih-lebih digali dari sumber ajaran kitab suci, yang mengajarkan hanya ada satu kebenaran yang multak, yaitu agama sendiri, di luar itu berarti tidak benar. Di samping itu, ketika kitab suci keliru dintepretasikan, juga bisa menjadi bencana sesama pemeluk agama sendiri, seperti perbedaan pandang antara kaum laki-laki dan perempuan dalam segala aspeknya. Karena kekeliruan interpretasi teks suci, akhirnya agama menjadi sumber bencana.
Lebih lanjut, Charles Kimball juga menengarahi bahwa tanda bencana yang kedua itu adalah kepatuhan atau ketaatan buta. Hampir semua agama terdapat suatu kultus atau sekte yang menyebabkan perbedaan satu sama lain. Setiap sekte memiliki corak dan karakteristik pemahaman yang seolah-olah menjadi sebuah “agama baru”. Lebih-lebih, ketaatan buta itu dinisbatkan pada pemimpin (pencetus) “agama baru” tersebut. Kalaupun tidak menjadi “agama baru”, hal ini bisa berupa gerakan-gerakan kecil yang berbahaya. Kita dapat melihat gerakan semacam ini pada Islam seperti pertentangan mazhab Sunni dan Syi’ah; di Kristen terdapat sekte Ortodoks, Katolik dan Protestan; ada puluhan mazhab Budha Theravada, Mahayana, dan Vajrayana diseluruh dunia; ratusan tradisi keagamaan membentuk apa yang semula agama Hindu di Barat; dan banyak kelompok dapat diidentifikasi dalam cabang Yahudi Ortodoks, Konservatif, dan Reformis.
Tanda bencana agama yang ketiga, adalah pemaksaan terhadap pembentukan “zaman ideal”. Meskipun, zaman ideal itu telah bertentangan dengan zaman sekarang, visi-misi dan otoritatif yang dipahami dari doktrin agama harus terealisasi. Kemauan tersebut biasanya mendorong pengikut agama untuk mendirikan suatu negara-agama, negara teokratis. Hal semacam ini telah terbukti di Afghanistan, dengan berdirinya rezim Taliban yang kejam terhadap warganya sendiri demi ketaatan terhadap syari’at Islam sebagai hukum negara; ide negara (agama) Yahudi juga pernah dicetuskan Rabi Mei Kahena yang konsekwensinya harus mengusir warga Arab di daerah Judea dan Samaria; hal yang serupa juga pernah tercetus Pendeta Pat Robertson kelompok koalisi Kristen Amerika yang berusaha mengubah struktur hukum dan negara dalam cahaya Injil.
Pada saat yang sama, sumber bencana yang keempat, yaitu ketika agama “menghalalkan segala cara”. Praktek nyata yang sering muncul adalah ketika agama mempertahankan “Tempat Suci” mereka masing-masing. Setiap agama hampir mendoktrin bahwa mempertahankan “tempat suci” adalah jihad di jalan Tuhan. Karenanya, setiap pelaku agama berkewajiban menjaga dan apabila terjadi insiden antar pelaku agama, mereka berusaha membenarkan segala cara demi keselamatan tempat suci mereka. Contoh kasus ini banyak terjadi, baik pada agama-agama besar maupun agama kecil. Bahkan, ketegangan masih terus terjadi di Timur Tengah, sebagai sebuah tempat kelahiran mayoritas agama-agama dunia.
Terkait dengan point keempat, sumber bencana yang terakhir, adalah ketika agama menyerukan perang suci (holy war). Agama dipandang sebagai tujuan yang jahat dan korup. Prakteknya, mudah kita temukan pada agama-agama, khususnya pada agama samawi (profetis). Jihad misalnya, sebuah seruan dalam Islam yang mengatasnamakan tujuan Tuhan dengan konsekuensi jaminan mati syahid (mati suci). Padahal, secara etimologis Islam berakar dari kata s-l-m memiliki arti yang penuh “kedamaian, kepasrahan, ketundukan”, kepada Tuhan.
Seruan “perang suci” yang merupakan sumber malapetaka, biasanya lebih mengutamakan kepentingan Tuhan daripada kepentingan manusia. Sehingga apapun cara yang ditempuh harus dapat memenuhi kepentingan Tuhan walaupun harus dengan mengorbankan kepentingan manusia itu sendiri. Jika hal ini menjadi “doktrin agama”, maka agama akan semakin jahat dan korup.
Sebagai modal untuk menghindari itu semua, maka umat beragama harus berani membangun iman inklusif yang berakar pada agama. Sehingga agama tidak hanya dipandang sebagai hubungan teologis (manusia dan Tuhan), tetapi harus melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencapaian asal usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis), bahkan ajaran agama dapat diteliti sejauh mana keterlibatan ajaran etikanya dengan corak pandangan hidup yang memberi dorongan kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomi).
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lalu bagaimana kita membedakan yg baik dan yg buuk di agma ketika di dalam AGAMA, SEMUA TERLIHAT BAIK?
BalasHapus