Mujtahid*
MANSUR al-Hallaj[1] adalah seorang sufi besar yang memperkenalkan paham al-Hulul. Ia belajar tasawuf dari Amr al-Makki dan kemudian memperdalamnya melalui al-Junaid. Akan tetapi setalah ia kembali dari menunaikan ibadah haji, paham tasawufnya berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru-gurunya itu.[2] Paham al-hulul seperti yang diperkenalkan oleh al-Hallaj, sesungguhnya perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad Abu Yazid al-Bustami sebagaimana dikemukakan di atas.
Konsep al-Hulul menurut Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma seperti’ yang dikutip Nasutian, adalah paham yang mengatakan bahwa Allah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Menurut al-Hallaj, pada diri Tuhan terdapat dua sifat dasar, yakni lahut dan nasut.
Ketika Tuhan hendak menciptakan makhluk, Ia terlebih dahulu melihat dirinya (tajalli al-haq li al-nafs). Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antar Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang dalamnya tak terdapat kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggalan zat-Nya. Allah melihat kepada melihat kepada zat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dansebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada (min al-‘Adam, ex nihilo) bentuk (copy) dari-Nya (shurah min nafsihi) yang mempunyai segala sifat dan nama-Nya. Bentuk (copy) itu adalah Adam. Setelah menjadikan Adam memuliakan dan menggungkan Adam. Ia cinta pada Adam (ikhtarahu li nafsihi). Pada diri Adamlah Allah muncul dalam bentuk-Nya.
Teori ini lebih jelas, kelihatan dalam syair’nya yang berikut:
“Maha suci zat yang sifat kemanusian-Nya membukukan rasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.”
Menurut al-Hallaj Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimania menjelma dalam diri Isa a.s. Dalam kesimpulan al-Hallaj, dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian, persatuan antara manusia dan Tuhan bisa terjadi, dan persatuan ini dalam falsafat al-Hallaj mengambil bentul Hulul (mengambil tempat). Supaya dapat bersatu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan fana’. Kalau sifat-sifat kemanusiaan ini telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, disitulah baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika ruh Tuhan dan ruh manusia bersatu dltubuh manusia, sebagai nyatadari sya’ir berikut:
“Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air.”
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.”
“Aku adalah Dia yang kucintai danDia adalah yang kucintai adalah aku.
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam datu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat dia.
Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.
Dengan cara inilah menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Dalam persatuan ini diri al-Hallaj kehitannya hilang, sebagai halnya dengan diri Abu Yazid al-Bustami dalam ittihad. Dalam ittihad diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam paham al-Hallaj; dirinya tak hancur, sebagaimana terlihat dari syair di atas.
Sama halnya seperti Abu Yazid, al-Hallaj juga mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan (ana al-haq). Namun kata itu bukanlah ruh al-Hallaj yang mengucapkan, tetapi ruh Tuhanlah yang mengambil tempat dalam dirinya.
Sedangkan konsep wahdat al-wujud adalah paham tasawuf diperkenalkan oleh Ibn ‘Arabi[3]. Ia adalah seorang sufi besar yang tidak kalah reputasinya jika dibanding dengan para sufi lainnya, sampai ia mempunyai gelar “Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al-Syaykh al-Akbar (Syaikh terbesar).”[4]
Dalam padangan Ibn Arabi wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud, unity of exixtence. Paham ini adalah lanjutan dari faham al-hulul, sebagaimana paham yang dimunculkan oleh al-Hallaj. Dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul dirubah Ibn Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). Khalq dan haq adalah dua aspek bagi setiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebuat haq. Kata-kata khaq dan haq merupakan sinonim dari al-‘Ardl (accident) dan al-Jauhar (substance), dan dari kata al-zahir (lahir, luar) dan al-bathin (batin, dalam).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Apek luar, yang merupakan ‘ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan; dan aspek dalam yang merupakan jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau kahlq.
Dari dua aspek tersebut, yang lebih penting adalah haq yang merupakan batin atau substance dan esence, atau hakikat dari tiap-tiap yang berwujud. Aspek khalq hanya merupakan ‘ard atau accedent, sesuatu yang mendatang. Dengan demikian, alam merupakan cermin Tuhan. Begitu pula dengan benda-benda yang ada dalam alam ini, karena dalam benda itu terdapat sifat Tuhan, Tuhan melihat diri-Nya. Dari sinilah timbul paham kesatuan (wahdat al-wujud).
Yang ada (Tuhan) dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya satu. Hal ini seperti orang yang melihat dirinya dalam beberap cerin yang diletakkan disekilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya; dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya sebenarnya satu. Al-Qashasi dalam Fusus al-Hikam dan Parmedies, seperti yang dikutip Nasution, dijelaskan sebagai berikut:
“Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia jadi banyak.”
Yang satu itu satu, Yang banyak itutak ada.
Yang kelihatan banyak dengan pancaindra adalah ilusi.
Jadi, yang hanya memiliki wujud sesungguhnya hanya Tuhan. Sebagaimana dikatakan Ibn Arabi:
“Sudah menjadi kenyataan bahwa makluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada khaliq yang menjadikannya; karena hanya mempunyai sifat munkin (munkin ada dan munkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain; …….dan sesuatuyg lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang pada esensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya; bahkan ialah yang dalam esensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan…. Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib, tetapi sifat wajib ini bergantung pada suatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri.”
Dalam pengertian lain, bahwa makhluq atau yang dijadikan, wujudnya bergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajid. Tegasnya sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yakni Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan.[5]
Sedangkan konsep insan kamil dalam pandangan Ibn Arabi terbagi menjadi dua bagian, yakni manusia Sempurna tingakt unniversal dan manusia sempurna pada tingkat partikular atau individual. Manusia Sempurna pada tingkat universal, seperti dikatakan W.C. Chittick, adalah model asli yang abadi dan permanen dari manusia Sempurnya individual. Sedangkan manusia Sempurna pada tingkat partikular adalah perwujudan manusia para Nabi dan para Wali Allah.
Dalam padangan al-Arabi setiap makhluk adalah lokus penampakan diri (majla, mazhar) Tuhan dan manusia Sempurna adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Ini berarti gambar Tuhan terlihat secara sempurna pada manusia sempurna karena ia menyerap semua nama dan sifat secara sempurna dan seimbang.
Kesempurnaan terletak pada apa yang disebut “perpaduan”, “percakupan,” atau “sintesis’” (jam’iyyah) atau “paduan,” “cakupan,’ atau “totalitas,” (majmu). “perpaduan” berarti bahwa manusia memadukan atau mecakup dalam dirinya semua dan sifat Tuhandan semua realitas alam.[6]
Perpaduan (jam’iyyah) pada diri manusia berarti pula perpaduan sifat-sifat yang berlawanan sesuai dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang berlawanan, yang termanifestasi pada alam. Ibn Arabi berkata; Ia adalah manusia yang baharu, yang azali; Ia adalah bentuk yang kekal, yang badi, yang memisahkan dan yang memadukan. Manusia adalah baharu (hadits) dari aspek badanianya dan yang azali (azali) dari aspek ilahinya, aspek teomorfisnya. Jasad manusia adalah baharu (hadits) badaniahnya dan ruhnya adalah azali.
Masih dalam hal perpaduan, Ibn Arabi bekata: manusia terdiri dari dua salinan (nukhatani), yaitu salinan yang tampak (nuskhah zahirah) dan salinan dua salinan yang tersembunyi.salinan yang tampak dapat disamakan dengan alam secara keseluruhan …dan salinan yang tersembunyi dapat disamakan dengan kehadiran ilahi.[7]
Perpaduan adalah keutamaan manusia di atas makhluk-makhluk lain yang memberinya kedudukan khilafah (kewakilan) sebagai hak istemewa yang tidak diberikan Allah kepada makhluk-makhluk lain. Perpaduan adalah syarat mutlak untuk memadahi syarat khalifah. Satu-satunya yang memenuhi syarat ini adalah manusia, atau mausia Sempurna.
Sementara manusia sempurna pada tingkat partikular, Ibn Arabi menunjukkan perbedaan antara manusia Sempurna (insan kamil) dan manusia Binatang (al-insan hayawan). Dengan menunjukkan perbedaan itu, ia ingin menegaskan bahwa tidak semua manusia mejadi sempurna; hanya manusia-manusia pilihan khusus tertentu menjadi manusia Sempurna. Manusia-manusia pilihan itu adalah para Nabi dan para Wali Allah. Tentang perbedaan ini, Ibn Arabi berkata:
“Karena manusia Sempurna adalah menurut gambar Sempurna, maka ia berhak menerima khalifah dan kewakilan dari Allah di alam. Mari kita jelaskan pada bagian ini timbulnya khalifah, kedudukannya, dan gambar hakikinya. Kita tidak mengartikan manusia dengan manusia binatang belaka, tetapi dengan manusia dan khalifah. Dengan kemanusiaan dan khilafah, ia berhak menerima gambar dalam kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah khilafah. Menurut pedapat ini manusia binatang benar-benar bukan khilafah.”
Kesempurnaan manusia adalah terletak pada “perpaduan” yang memberinya hak istimewa untuk menjadi khilafah. Bagi Ibn Arabi, manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan (rubat al-kamal) adalah binatang yang lahirnya menyerupai bentuk manusia dan tidak berhak memperoleh jabatan khilafah.
Ibn Arabi tidak setuju manusia dikatakan “binatang berakal” seperti yang dilakukan banyak orang, bahkan pendapat itu suatu kekeliruan besar yang menyesatkan. Kemampuan berfikir bukanlah sifat utama yang mebedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain karena keseluruhan alam mempunyai kemampuan ini pula. Sifat utama yang menjadi ciri khusu manusia, yang membedakan dengan makhluk-makhluk lainnya, adalah “bentuk ilahi”, “bentuk Tuhan”. (al-surah al-Ilahiyah). Teori ini didasarkan atas hadits Imago Dei, yang menyatakan bahwa Allah meciptakan manusia menurut bentuk-Nya.
Bagi Ibn Arabi manusia sempurna tergantug pada ubudiyah, yakni membentuk ketaatan mutlak kepada Allah dengan mengikuti syari’at yang diturunkannya. Manusia diharuskan “berakhlak dengan akhlak Allah” (al-takhulluqu bi akhlaq Allah). Takhalluq adalah perwujudan Allah; ketaatan itu tidak lain dari ubudiyah; dan ubudiyah tidak lain khalifah. Perpaduan sempurna antara ubudiyah dan khilafay terwujud pada Nabi Muhamad Saw manusia yang paling sempurna.
Jadi manusi Sempurna adalah manusia yang mengaktualisasikan ubudiayahnya. Sehingga pada saat yg sama, manusia Sempurna itu adalah manusia yang “meninggi” dalam arti, derajatnya tinggi dan mulia karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan seimbang; ia mengaktualisasikan khilafahnya. Semakin “merendah” manusia dihadapan Tuhan, semakin “tinggi” derajatnya. Demikian gambaran konsep manusia sempurna (insan kamil) bagi Ibn Arabi.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
[1] Nama lengkapnya adalah Abu al-Mugis Husain Ibn Mansur al-Hallaj. Ia lahir di negeri Baida selatan Persi pada tahun 244 H. bertepatan dengan 875 M. Ia kemudian menetap di bagdad,dan meninggal padatahun 922 M, karena dihukum bunuh. Ia tertuduh bahwa telah melakukan hubungan dengan Syi’ah ekstrim, yaitu kaum Qramitah yang banyak menentang pemerintahan Bani Abbas.
[2] Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Rajawali Press, Jakarta, hal. 179.
[3] Ibn ‘Arabi nama lengpnya adalah Muhamad Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn Abd Allah Ibn al-Arabi al-Tayy al-Hatimi. Ia dilahirkan di Mursia, Spanyol bagian Tenggara pada tahun 650 H bertepatan dengan 1165 M. Ia banyak melakukan pengembaran dari daerah ke daerah. Waktu ia di Makkah, ia banyak mempergunakannya untuk belajar dan menulis. Pada masa itu, ia muali menulis karya ensiklopedi menimentalnya al-Futuhhat al-makkiyah. Di samping itu, ia juga menyelesaikan empat karyanya yang lebih pendek: Myskat al-Anwar, Hilyat al-Abdal, Taj al-Rasa’il dan Ruh al-Quds.
[4] Noer, Ibn al-Arabi Wahdat al-wujud Dalam Perdebatan, Paramadina, Jakarta, 1995, hal. 17.
[5] Nasution, Op. Cit. hal. 92-94.
[6] Noer, Op. Cit. hal. 128.
[7] Noer, Op. Cit. hal. 130.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar