Minggu, 02 Mei 2010

Upaya Membenahi Mutu Madrasah

Mujtahid*

SEJAUH ini madrasah masih dipandang sebagai lembaga pendidikan yang diminati masyarakat, khususnya masyarakat yang berlatarbelakang religius. Jika dilihat dari sisi sejarah, eksistensi madrasah memiliki peran yang besar terhadap upaya pencerdasan bangsa. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kini madrasah seolah-olah hanya bagian dari sistem pendidikan nasional yang tak jarang diperlakukan sebagai “anak tiri”.
Kenyataan itu dapat dilihat dari segi minimnya perhatian pemerintah terhadap nasip madrasah. Dalam pengalokasian anggaran misalnya, madrasah dalam naungan Depag hanya dipatok 6,9 triliun, termasuk untuk gaji gurunya, sedangkan anggaran pendidikan di Depdiknas sampai puluhan triliun, dan masih ditambah lagi dengan alokasi dari APBD di daerah-daerah.
Padahal, berdasarkan catatan pemerintah dari segi kuantitas madrasah dari tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah saat ini hampir mencapai 39 ribu buah. Secara kuantitas, jumlah siswa madrasah dengan berbagai tingkatan tersebut diperkirakan mencapai 500 ribu.
Menurut catatan Departemen Agama yang sekarang berubah menjadi Kementeriana Agama tahun 2005, bahwa jumlah madrasah aliyah tercatat 3.772 unit, terdiri atas 577 (15,3%) berstatus negeri dan 3.195 (84,7%) berstatus swasta. Jumlah madrasah tsanawiyah di seluruh Indonesia sebanyak 10.792, meliputi 9.624 (89,2%) madrasah swasta dan hanya 49,7% yang baru terakreditasi. Sementara madrasah ibtidaiyah (MI) berjumlah 22.799, meliputi 1.482 (6,5%) negeri dan 21.317 (93,5%) berstatus swasta. Dari keseluruhan MI swasta yang baru terakreditasi 59 buah, sisanya 8.730 (41%) berstatus terdaftar atau belum terdaftar.
Bila dipahami secara mendasar bahwa data di atas menunjukkan kualitas madrasah masih di bawah standar rata-rata. Ini artinya madrasah masih menghadapi persoalan yang perlu mendapat perhatian serius, terutama pemerintah dan praktisi pendidikan.
Khozin dalam ”Manajemen Pemberdayaan Madrasah” (2006) menawarkan sebuah inisiatif baru bagaimana mencari sebuah peluang-peluang agar mutu atau kualitas madrasah tetap eksis dan berusaha keluar dari kebelengguan yang mematikan itu. Pemberdayaan harus dimaknai dan diawali dengan tekad dan semangat oleh semua elemen yang berkecimpung di madrasah. Setiap pendidik dituntut agar melakukan inovasi yang relevan dengan visi dan misi madrasah serta kebutuhan stakeholders.
Tetapi pada dataran praksisnya, eksistensi madrasah seringkali menghadapi pilihan yang sulit, yaitu antara kebutuhan keagamaan dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu agama.
Dengan mengemban dua tujuan sekaligus di atas, membuat pelaku manajemen madrasah jauh lebih berat dibandingkan dengan sekolah. Sehingga berbicara tentang pemberdayaan mutu madrasah harus dimulai dari manajemennya terlebih dahulu.
Karena selama ini kondisi manajemen madrasah secara umum masih sangat memprihatinkan, baik dari segi kualitas guru, sistem manajemen dan administrasi maupun fasilitas dan dana yang dimilikinya. Kondisi tersebut secara mayoritas lebih banyak dihadapi madrasah swasta lebih besar daripada madrasah negeri, dan secara nasional problem ini menjadi lebih serius, karena sebagian besar madrasah berstatus swasta.
Telah menjadi gejala umum bahwa manajemen dan administrasi madrasah swasta sampai sekarang masih memprihatinkan. Manajemen konvensional misalnya, dengan tiadanya pemisahan yang jelas antara yayasan, pimpinan madrasah, guru dan staf administrasi, serta banyaknya penyelenggaraan administrasi yang tidak sesuai dengan standar membuat madrasah semakin terpuruk, terperangkap konflik dan sebagainya.
Untuk itulah berbicara pemberdayaan madrasah, maka berbicara tentang model-model manajemen yang sesuai dengan nilai-nilai modern. Madrasah dituntut bagaimana menerapkan model kurikulum dan pembelajaran yang efektif, penggunaan media elektronik dan komunikasi yang tepat sasaran, melakukan sistem penilaian dan pengendalian mutu pendidikan, sistem pelatihan dan pengembangan staf (SDM), manajemen pendidikan berbasis sekolah, sistem pendanaan pendidikan, dan inovasi lain yang relevan.
Selain itu, sebagai implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah perubahan struktur organisiasi kepemimpinan dan manajemen pendidikan juga harus diperhatikan. Karena pengelolaan dan pelayanan pendidikan diserahkan sepenuhnya pada lembaga pendidikan. Sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggungjawab kepala madrasah, wali peserta didik, tokoh masyarakat, pemimpin agama, bekerja sama dengan pemerintah.
Menurut hasil riset Khozen dkk., bahwa seputar kelemahan dan kekuatan madrasah adalah semangat kooperatif dan kerjasama yang baik.. Dengan menyadari kelemahan dan kekuatannya, maka peran pemimpin atau kepala madrasah, para pendidik dan semua pihak harus menjalankan roda manajemen madrasah secara kooperatif dan saling kerjasama yang baik.
Usaha-usaha manajemen pemberdayaan madrasah yang secara ideal itu seharusnya dilakukan antara lain dengan menjaga dan meningkatkan kualitas manajemen pelayanan, mempromosikan peningkatan knowledge, skills, dan profesionalisme, mengembangkan, merencanakan, memperbarui, dan memonitor rencana-rencana jangka pendek, menengah dan panjang, serta meningkatkan pencapaian kualitas dan kinerja di seluruh bagian dalam madrasah.

*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Maliki Malang

2 komentar:

  1. Wah.. artikel yg sangat bagus sekali... trm kash atas pencerahannya

    BalasHapus
  2. dikalijambe sragen... MI mengalami masa kebangkitan hingga memunculkan banyak kekhawatiran menyaingi SD N yang lama kelamaan ditinggal masyarakat

    BalasHapus