Mujtahid
SETIAP penulis pemula, sedikit banyak pasti pernah merasakan rasa minder dan tidak percaya diri. Apalagi, ketika tulisan dibaca banyak orang. Hal ini wajar saja. Namanya juga pemula, segala sesuatu serba amatir, namun setelah lama kelamaan juga akan terbiasa. Bahkan, akhirnya bisa menilai kadar kualitas tulisannya sendiri. Dulu ketika mengawali menulis, saya juga merasakan begitu. Tetapi setelah belajar dan melakukannya terus menerus akhirnya rasa itu mulai berkurang. Yang penting dijaga dalam menekuni menulis adalah bagaimana cara membangkitkan ruh menulis itu.
Hampir setiap penulis, pasti pernah mengalami saat-saat menghadapi keletihan atau kevacuman. Apalagi tulisannya sering tertolak terus oleh media, bagi yang memang tulisannya untuk publikasi media. Nah, yang seperti ini kalau tidak didorong ileh roh menulis yang kuat, bisa-bisa kita berhenti menulis, akhirnya jadi “mantan penulis’.
Pengalaman ditolak media adalah hal biasa yang dialami oleh penulis. Ditolak ataupun diterima oleh media massa merupakan konsekuensi logis yang harus tetap disyukuri, karena kita telah melalukan refleksi otak yang itu justru menyehatkan ruhani dan menunda kepikunan. Yang terpenting adalah membangun motivasi diri agar tetap meluangkan kesempatan menulis untuk menyalurkan ide/gagasan agar menyumbangkan jalan pemecahan untuk orang lain. Karena itu janganlah sampai berhenti menulis, sebab menulis itu bagian dari aktivitas hidup.
Lalu mengapa kita terus-terusan ngotot menulis, sedangkan beberapa tulisan sebelumnya tidak dimuat media. Alasannya yaitu kita harus menerima kegagalan, tetapi butuh keyakinan kuat akan bisa dan tanpa takut. Jadilah diri Anda seperti Napoleon Hill, Patih Gajah Mada, Mbah Surip, Mbah Marijan, mereka ini tergolong orang yang ngotot dan akhirnya sukses menyulap sesuatu yang tidak nyata menjadi kenyataan. Artinya, bekal keyakinan kuat dan dibarengi usaha kreatif itu sangat penting.
Dalam setiap diri sebenarnya sudah ada roh menulis. Tapi roh itu perlu terlebih dahulu dibangunkan, dikelola dan diperkuat. Membangunkan, mengelola dan memperkuat roh menulis memang butuh rangsangan untuk membangkitkan motivasi yang tinggi. Yaitu dengan cara membaca tulisan orang lain, mengunjungi pameran atau toko-toko buku, terlibat pada diskusi-diskusi/seminar.
Banyak keuntungan yang diperoleh jadi penulis. Kalau jadi penulis berarti tergolong manusia langka. Bukan persoalan bakat,-seperti yang sering diomongkan orang- tetapi menulis merupakan aktivitas langka dan unik. Artinya, tidak semua orang bisa melakukannya, bukan karena sulit tetapi lebih disebabkan kebiasan dan keberanian saja. Dalam pandangan psikologis, masalah bakat atau minat hanya sepuluh persen saja, selebihnya adalah usaha berlatih dan kerja keras.
Keuntungan lainnya adalah pekerjaan menulis sama halnya dengan investasi atau menabung. Berbeda dengan menabung di bank, menabung tulisan akan jauh lebih besar manfaatnya. Selain yang ditabung berupa pengetahuan dan keahlian, menulis sebenarnya sama dengan menabung uang. Semakin kita produktif menulis, berati semakin berpeluang saldo tabungan kita bertambah besar. Pengalaman ini sudah pernah saya buktikan bertahun-tahun dan memang buktinya sangat riil.
Selain keuntungan tersebut, bahwa menulis merupakan sarana berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada orang lain. Semangat berbagi merupakan ajaran mulia Islam. Bahkan, wahyu yang turun pertama kali memerintahkan agar kita membaca. Maknanya adalah kita diperintah untuk membaca gelaja sosial/alam, yang itu merupakan anugerah ilahi untuk dieksplorasi melalui penelitian atau tulisan. Melalui kerja menulis inilah transformasi peradaban dan kebudayaan ini dapat berkembang secara cepat.
*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Maliki Malang
Kamis, 27 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar