Mujtahid*
MASIH banyak anggapan bahwa anak adalah komunitas kelas bawah, yang merupakan pribadi-pribadi kecil dan lemah yang seolah sepenuhnya harus berada dibawah kendali kekuasaan orang dewasa, sehingga berakibat orangtua pun merasa berhak melakukan apa saja terhadap anak.
Paradigma yang keliru tersebut kini terus berkembang, sehingga baik di rumah maupun di sekolah banyak diajarkan bahwa anak-anak harus menurut sepenuhnya kepada orang tua, guru, atau orang dewasa yang lain. Sikap anak tidak boleh membantah, mengkritik, apalagi melawan tanpa adanya penjelasan secara terperinci dalam situasi bagaimana hal itu seharusnya dilakukan.
Alfie Kohn (2006) menemukan banyak kasus terjadinya tindak kekerasan, penindasan, dan perlakuan diskriminatif terhadap anak. Anehnya, sikap perlakuan tersebut dianggap sebagai suatu hal yang wajar bahwa seolah-olah mendidik anak memang harus dilakukan dengan kekerasan. Padahal mengasuh anak merupakan tugas yang teramat mulia, karena anak adalah anugerah ilahi dan amanah yang patut kita jaga.
Cara pandang yang keliru tersebut harus diubah sesuai paradigma baru dengan pola pengasuhan anak yang benar. Apabila orangtua menginginkan munculnya pribadi-pribadi unggul di masa depan, diharuskan kepada orang tua dan pendidik untuk menghentikan berbagai kekerasan terhadap anak atas nama pendidikan. Sebab pendidikan tidak identik dengan kekerasan dan tidak sekedar memberikan instruksi atau komando, melainkan harus memberikan hati dan jiwa kedewasaan yang sarat dengan cinta dan kasih sayang.
Sebagai seorang psikolog terkemuka Amerika Serikat, Alfie Kohn memaparkan bagaimana cara mencintai anak. Karena apa yang mereka lakukan (cinta bersyarat) atau mencintai anak karena siapa mereka (cinta tidak bersyarat). Cinta bersyarat artinya, anak-anak harus mendapatkannya dengan bertindak dalam cara-cara yang kita anggap tepat atau melakukan sesuatu dengan standar kita. Cinta tidak bersyarat, dalam hal ini cinta tidak bergantung pada bagaimana mereka bertindak, apakah mereka berhasil atau bersikap baik atau yang lainnya.
Mencintai anak tanpa syarat akan menghasilkan pengaruh positif dan bukan hanya sesuatu yang benar untuk dilakukan secara moral, tetapi juga merupakan sesuatu yang cerdas dan mendidik. Anak-anak perlu dicintai sebagaimana mereka apa adanya dan karena siapa mereka. Karena apabila hal itu terjadi, maka mereka dapat menerima diri sendiri secara mendasar sebagai orang baik, bahkan ketika mereka membuat kesalahan atau gagal. Karena cinta tanpa syarat ini adalah apa yang diperlukan anak-anak untuk berkembang.
Apabila orangtua menggunakan hukuman, penghargaan dan strategi lainnya untuk memanipulasi perilaku anak, mereka mungkin merasa disayang hanya jika mereka menuruti permintaannya. Pengasuhan bersyarat dapat menjadi konsekuensi dari pengontrolan, sebaliknya pengontrolan dapat membantu menjelaskan pengaruh merusak dari pengasuhan bersyarat, namun pengontrolan yang berlebihan secara umum terbukti jelas menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan mental anak dan keberhasilan mereka di sekolah..
Dalam pola pengasuhan anak yang “otoriter”, orang tua yang seperti itu lebih sering menuntut daripada menerima dan memotivasi. Orangtua jarang memberi penjelasan atas aturan yang diterapkan. Orangtua seringkali mengharapkan kepatuhan mutlak dan menggunakan hukuman sesukanya, daripada memberi kebebasan kepada anak untuk berpikir sendiri.
Saatnya kita mengajak kepada semua orangtua agar mengubur dalam-dalam tujuan ambisius dan menuruti keinginannya dengan memakai cara pemaksaan dan kekerasan. Sebagai solusinya yaitu orangtua harus membangun hubungan yang hangat dan kuat dengan anak, serta memperlakukannya dengan hormat, meminimalkan pengontrolan dengan paksa, dan bila perlu memberi penjelasan yang mendidik.
Mengasuh anak dengan paksa maupun memberi hukuman tidak akan membuahkan hasil positif, karena ada beberapa dugaan dan alasan yang rasional berikut. Pertama, konsekuensi hukuman seringkali membuat marah siapapun yang menerima hukuman. Kedua, hukuman merupakan contoh penggunaan kekuasaan, misal hukuman fisik yang diberikan kepada anak-anak adalah kekejaman yaitu penggunaan kekuatan untuk menyelesaikan masalah.
Ketiga, hukuman pada akhirnya tidak efektif. Seperti yang ditunjukkan Thomas Gardon, “Akibat yang tidak dapat dihindari dari penggunaan kekuasaan yang terus menerus untuk mengontrol anak-anak ketika mereka masih kecil adalah bahwa Anda tidak pernah belajar bagaimana cara mempengaruhi, semakin anda bergantung pada hukuman, maka semakin sedikit pengaruh nyata yang akan Anda miliki dalam kehidupan mereka”.
Keempat, hukuman mengikis hubungan orangtua dengan anak-anak. Karena dengan menghukum, penghukum dianggap sebagai musuh, dan membuat anak-anak kesulitan untuk menganggap orangtua sebagai kawan yang penuh perhatian, yang sangat penting bagi perkembangan anak yang sehat. Kelima, hukuman mengalihkan perhatian anak-anak dari persoalan yang sebenarnya dan membuat anak-anak menjadi lebih egois.
Dari kelima model hukuman tersebut di atas, penting menjadi pelajaran bagi semua orangtua, guru dan siapa saja yang terlibat dalam mengasuh dan membimbing anak. Dengan begitu, diharapkan kekerasan pada anak tidak terjadi lagi, karena salah proses pengasuhan.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mas, bisa kasih saya judul2 buku Alfie Kohn yg sudah diterjemahkan ke b. Indonesia?
BalasHapusMas, bisa kasih saya judul2 buku Alfie Kohn yg sudah diterjemahkan ke b. Indonesia?
BalasHapus