Mujtahid*
GURU bintang adalah sosok guru yang memiliki ilmu yang luas, dalam dan mumpuni. Seorang guru yang memancarkan aura keteladanan, kewibawaan dan bersahaja. Kedalaman ilmunya seperti ‘mata air’ dan pengajarannya seperti ‘bintang’. Menjadi sosok guru bintang perlu kesungguhan dan usaha yang serius dan smart.
Seiring dengan perkembangan zaman, sosok guru masih sangat di hargai dan sebagai panutan bagi putra-putri anak negeri. Seorang guru yang mampu menjadi tumpuan harapan yang tidak hanya bagi siswa-siswi, melainkan juga para orangtua dan warga masyarakat. Itulah mengapa seorang guru harus berjiwa ”bintang” karena selalu menerangi kegelapan peradaban umat manusia.
Menyadari tugasnya yang demikian, maka seorang guru yang berjiwa bintang tidak pernah menyerah atas problema tantangan yang kian kompleks. Sebagai seorang bintang tidak pernah ada kata menyerah sebelum perjuangan dan usaha yang dilakukan menuai hasil. Barangkali untuk mencapai keberhasilan itu butuh sebuah “suntikan energi” yang mampu mengatasi segala kekurangan dan kelemahan yang dihadapinya sebagai pendidik selama ini, yaitu dengan mengasah ilmunya lebih dalam lagi, improvisasi pembelajaran yang menarik dan berkualitas, melakukan penelitian, perenungan dan refleksi atas tantangan dan peluang yang ada.
Sering kita membaca buku, majalah atau media massa, yang mengungkapkan bahwa guru adalah sosok yang “digugu” dan “ditiru”, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, guru merupakan sosok manusia yang sederhana dari sisi penampilan luarnya, dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan senada yang penuh makna itu.
Fakta ungkapan di atas pada konteks dewasa ini tak sebanding lurus dengan kenyataan sesungguhnya. Tidak sedikit dari para guru mulai pudar jati dirinya, yaitu karena sebagian tampilan ulah guru nakal, tindak asusila yang diperbuat, dan ditambah lagi rendahnya kualitas (profesionalitas).
Berkaca dari kenyataan di atas, bahwa konteks keadaan guru era saat ini memang jauh berbeda dengan zaman dulu. Yaitu kondisi dan perilaku sosial yang serba mendahulukan sikap transaksional daripada sikap perjuangan dan pengorbanan. Hubungan sebab akibat yang sifatnya ekonomis atau material menjadi sangat kelihatan dalam mempengaruhi pola pikir seorang guru. Hal ini berbeda dengan zaman dulu yang lebih menekankan perjuangan dan pengorbanan daripada imbalan yang serba kecukupan/mewah.
Kalau seperti itu berarti persoalan guru adalah persoalan kualitas sumber daya manusia (SDM). Di saat bangsa ini menghadapi perubahan teknologi informasi, seni dan budaya para guru belum siap menghadapinya. Seorang guru berjiwa bintang harusnya memiliki kepercayaan diri yang kuat, meningkatkan keahlian dan ketrampilan diri yang sesuai bidang ilmu yang diajarkan, memupuk diri dengan kekuatan moral dan spiritual yang anggun. Barangkali inilah usaha yang dapat ditempuh untuk mengembalikan citra guru yang sebenarnya, yakni menjadi guru bintang.
Memasuki era modern yang ditandai dengan akselerasi teknologi informasi seperti saat ini, menjadi guru bintang bukanlah harapan yang berlebihan, karena tugas guru saat ini memang semakin kompleks. Dikatakan kompleks karena selain sebagai pendamping peserta didik di kelas (sekolah), guru juga dituntut menjadi tauladan di mana pun ia berada. Guru sebagai agent of change untuk menangkal dekadensi moral, dan membangun kekuatan spiritual dan intelektual.
Melalui kesadaran seperti itu diharapkan guru berhati bintang bukanlah sekedar mentransfer ilmu, melainkan bagaimana ia berinteraksi dengan peserta didiknya yang mampu memberikan pencerahan pada akal (pola pikirnya), hati (perasaan dan emosinya) serta perilaku atau tindakannya. Guru bintang harus menciptakan suasana sekolah atau kelas menjadi lebih bermakna bagi siapa saja yang belajar. Keberadaannya harus memiliki cahaya yang kuat bagi orang lain. Dengan mengubah gaya pembelajaran yang demikian maka suasana pembelajaran akan lebih kondusif, familier dan harmonis.
Model pembelajaran di atas membutuhkan seorang guru berhati bintang. Sebuah hati yang diisi dengan nilai-nilai spiritualitas yang bersumber dari kondisi hati yang baik, ruh yang hidup, nafsu yang tenang dan akal yang berfungsi sebagai sumber instuisi. Jika kemampuan ini sudah dimiliki, maka kemampuan untuk menyampaikan ilmu dan interaksi edukatifnya akan mengesankan dan membuahkan makna bagi kehidupan siswa.
Menyandang guru bintang juga harus diawali dengan perubahan paradigma dari sabar menjadi syukur. Karena dengan mentalitas “syukur”, pintu hati seorang guru akan terbuka, cahaya hati dapat menyala dan tidak ada lagi kabut sebagai penghalang. Guru seperti ini memerlukan dua kekuatan, yaitu ilmu dan spiritual. Paradigma holistik semacam ini perlu dimiliki setiap guru agar interaksi edukatif yang dilakukan memiliki makna yang utuh.
Untuk memulai langkah dan usaha tersebut kiranya kita perlu memperhatikan pintu kecerdasan manusia. Ada empat pintu utama menuju kecerdasan, yaitu pancaindera, otak kiri, otak kanan, dan hati. Keempat pintu tersebut adalah anugerah Tuhan yang paling mulia yang diberikan kepada manusia.
Fungsi pancaindera adalah pintu untuk menyerap segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dicium, dirasa, dan diraba. Ia berfungsi penuh untuk hal-hal yang tampak, jelas, nyata, dan faktual. Otak kiri sebagai sumber logika manusia, merupakan pasangan yang tepat bagi pintu kedua menuju kesempurnaan berfikir manusia. Melalui dukungan data dan fakta pancaindera, otak kiri akan memecahkan sesuatu masalah dengan logika yang kuat. Cara seseorang memasukkan informasi dalam otaknya dapat dikelompokkan dalam dua cara, yakni sensing perseption dan intuiting perseption. Kekuatan tersebut sangat didukung oleh dua kekuatan kecerdasan manusia yaitu pancaindera dan otak kanan.
Sensing perseption, merupakan fungsi dari kekuatan kecerdasan yang bersumber dari penggunaan pancaindera, yakni menyerap segala sesuatu yang bersifat melihat, mendengar, merasa, membau, dan menyentuh. Seseorang yang memiliki sensing perseption senang terhadap suatu ilmu, hal-hal yang menjurus pada aktivitas yang praktis dan realistik, serta menjadikan ‘data’ dan ’fakta’ sebagai sumber bagi pengambilan sikap dan tindakannya. Intuiting perseption, merupakan fungsi dari kekuatan kecerdasan yang bersumber dari penggunaan instuisi (non pancaindera). Instuisi adalah jalan untuk membawa informasi kepada sumber kecerdasan manusia. Cara ini merupakan proses yang digerakkan dari alam bawah sadar.
Kecerdasan hati adalah kecerdasan emosi, sikap dan rasa empati manusia. Kecerdasan ini mengasah kemampuan manusia untuk saling menolong, berbagi antara sesama serta menumbuhkan tali solidaritas kemanusiaan. Hidup ini akan terasa indah dan bahagia kalau setiap perbuatan manusia muncul dari lubuk hati.
Melalui cara tersebut seorang guru harus bisa membuka pintu kecerdasan yang mampu melahirkan kecerdasan tanpa batas. Melalui kecerdasan ini guru akan dapat menyerap sumber ilmu yang paling dalam sekalipun. Karena dengan ilmu yang luas manusia akan mendapat derajat kemuliaan, baik di sisi Tuhan maupun di muka bumi (komunitas) di mana ia berada.
Mengakhiri tulisan ini, marilah kita renungkan ungkapan dari seorang futurolog Naisbitt; ”orang sukses itu adalah orang yang mengusai banyak informasi dan trampil mengolahnya.” Pesan moralnya adalah sosok guru tidak boleh puas diri dengan kemampuan ilmu yang dimilikinya, melainkan harus selalu menambah perbendaharaan ilmu.
*) Mujtahid, Dosen fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Maliki Malang
Rabu, 12 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar