Selasa, 13 April 2010

Tauhid dan Gerakan Transformasi Sosial

Oleh: Mujtahid


TAUHID dalam pandangan agama merupakan akar yang melandasi setiap perbuatan manusia. Kekokohan dan tegaknya tauhid mencerminkan luasnya pandangan, timbulnya semangat beramal dan lahirnya sikap optimistik. Sehingga tauhid dapat digambarkan sebagai sumber segala perbuatan (amal shaleh) manusia.
Secara etimologis, kalimat tauhid berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan yang berarti tunggal (satu) atau esa. Sedangkan secara termenologis, tauhid adalah mengesakan Tuhan (Allah) dari segala sesuatu. Yang artinya, dalam kalimat ini mengandung dua hal, yaitu afirmasi dan negasi. Afirmasi berarti peneguhan, pemutlakan dan meyakini Allah yang Maha Esa. Sedangkan Negasi adalah meniadakan, menisbikan selain Allah Yang Maha Esa dan segala petunjuk yang datang kecuali dari otoritas-Nya. Dalam hal ini tauhid disebut sebagai pembebas “membebaskan manusia dari penyembahan manusia atas manusia kembali kepada penyembahan kepada Allah”. Tauhid merupakan komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus segala hormat, rasa syukur dan sebagai satu-satunya sumber nilai.”
Kalimat tauhid adalah la ilaha illa allah atau biasa disebut dengan kalimat thayyibah, menyimbulkan bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Formulasi pendek dari kalimat ini adalah berani menyatakan tidak kepada setiap sesembahan lain dan kebathilan serta ketidakbenaran. Bertauhid berarti meniadakan segala sesuatu yang datang dari selain Allah. Maka kalimat tauhid adalah mengimani (faith) kepada Allah secara totalitas. Tauhid juga menuntut dideklarasikannya dalam muara kehidupan yang lebih nyata (historis-empiris).
Istilah Tauhid
Kalimat tauhid mempunyai persamaan-persamaan (sinonim) yang sejenis. Ada beberapa kalimat seperti Ilmu Kalam, Ushuluddin, dan Aqidah. Ilmu Kalam merupakan ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan, atau sebuah ucapan (sabda) atau kata-kata manusia dalam mempertautkan pendapat, bersilat dengan kata-kata (diplomatis). Ilmu kalam sebenarnya membicarakan tentang sabda Tuhan. Atau tepatnya kalimat itu mengandung unsur otoritas wahyu sebagai syari’ah, tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia.
Sedangkan kalimat Ushuluddin berakar dari ushul (dasar-dasar atau pokok-pokok) dan din (agama), yakni ilmu yang mempelajari tentang dasar-dasar agama. Kalimat ini membicarakan mengenai keyakinan terhadap agama sebagai dasar dan pegangan hidup manusia pula. Adapun Aqidah berasal dari kata aqada yang artinya ikatan dua utus tali dalam satu buhul sehingga menjadi tersambung. Aqad berarti pula janji, karena janji merupakan ikatan kesepakatan antara dua orang yang mengadakan perjanjian. Aqidah berarti membenarkannya, yang membuat jiwa tenang dan menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan.

Perspektif Umat Islam
Dalam kalangan Islam, tauhid menjadi perdebatan yang cukup serius. Perdebatan itu berkisar pada tataran semantik. Kalau kita lihat, terdapat dua kelompok yang saling bersilang pendapat dalam memahami tentang tauhid (teologi). Mereka yang berlatar belakang tradisionalis memandang bahwa teologi sebagai ilmu kalam, yaitu suatu ilmu yang disiplin yang mempelajari tentang ilmu ketuhanan, bersifat abstrak, normatif, dan skolastik. Sementara mereka yang terlatih dalam tradisi Barat, katakanlah Cendekiawan Muslim yang tidak mempelajari Islam dari studi-studi formal, lebih melihat teologi sebagai realitas dalam perspektif ketuhanan, jadi merupakan refleksi-refleksi empiris.
Kalangan pertama lebih menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normatif dalam pelbagai karya kalam klasik, sementara kalangan kedua cenderung menekankan perlunya reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris. Jadi, pihak pertama mengajak pada upaya untuk melakukan reflektif-normatif, pihak kedua lebih pada reflektif aktual dan empiris. Karena itu, dewasa ini yang paling menarik adalah pihak kedua, yang berarti harus merumuskan suatu teologi baru yang lebih aktual atau disebut Teologi Transformatif.

Tauhid sebagai Pilar Ilmu Sosial Profetik
Sebetulnya formulasi tauhid adalah terletak pada realitas sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas historis-empiris. Ajaran agama harus diberi tafsir baru yang lebih konstektual dan elaboratif sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Tauhid harusnya dapat menjawab semua problematika kehidupan modernitas, dan merupakan senjata pamungkas yang mampu memberikan alternatif yang lebih anggun dan segar.
Tujuan tauhid adalah memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi merupakan tantangan tauhid yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu sosial profetik berusaha memberikan jalan untuk mengubah berdasarkan cita-cita profetik etik. Jadi, tujuannya adalah memberikan perubahan terhadap masyarakatnya. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis sebagaimana tertera dalam surat Ali Imran ayat 110, Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah.
Kontowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat tersebut di atas sebagai karakteristik ilmu sosial profetik, yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujunnya supaya diarahkan untuk merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.
Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan humanisasi adalah memanusiakan manuasia. Menurutnya, era sekarang ini banyak mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial ini menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Apalagi di tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesein pasar. Sementara ilmu teknologi juga berkecenderungan reduksionistik yang melihat manusia secara parsial. Tujuan liberatif adalah liberalisasi bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergususr oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu yang kita bangun sendiri. Adapun tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.
Tauhid; Semangat Perjuangan
Ketika tauhid dipahami sebagai pandangan hidup, maka salah satu konsekuensinya adalah tauhid menjadi sumber semangat ilmiah. Pemahaman ini tentu tidak sekedar didasarkan pada pengetahuan tauhid sebagai landasan dan pijakan semata-mata, melainkan lebih jauh lagi bahwa tauhid menjadi titik sentral yang melahirkan semangat perjuangan.
Dalam konteks perjuangan, tauhid merupakan kekuatan yang menopang segala aktifitas yang akan kita lakukan. Tauhid sebagai semangat ilmiah, maka dapat didekati dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan teologis dan pendekatan filosofis. Pendekatan teologis berarti kita dituntut untuk memiliki commitment personal (keterpanggilan pribadi), loyalitas (kesetiaan) dan sebagai actor sekaligus spectator. Sementara pendekatan filosofis berarti kita dituntut untuk peka terhadap issu sosial keagamaan, dan sekaligus meresponsnya melalui aksi nyata.
Dua pandekatan tersebut di atas adalah bagaimana kita mendasarkan tauhid sebagai sumber cita-cita dan semangat perjuangan. Setiap perjuangan yang akan dilakukan harus mendatangkan sebuah kemaslahatan bukan sebuah kemadharatan. Visi tauhid adalah membentuk masyarakat yang mengejar nilai-nilai utama dan mengusahakan keadilan, yang pada gilirannya memberikan inspirasi manusia-tauhid untuk mengubah dunia sekelilingnya agar sesuai kehendak Allah. Sedangkan misi tauhid adalah membentuk serangkaian tindakan agar kehendak Allah tersebut terwujud menjadi kenyataan dan ini merupakan bagian integral dari komitmen itu. Sehingga menjadi wajib bagi kita untuk menegakkan suatu orde sosial yang adil dan etis, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Akhirnya cita-cita tauhid adalah terbentuknya keseimbangan dunia dan akhirat.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum ..

    saya melihat pernyataan berikut :
    ".... yang berarti harus merumuskan suatu teologi baru yang lebih aktual atau disebut Teologi Transformatif."
    sebagai sebuah bentuk "ketidak percayaan" manusia kepada wahyu.

    berdasarkan wahyu, al maidah ayat 5, bahwasanya 'Islam Telah sempurna' untuk manusia, Teologi baru tidak diperlukan sama sekali.

    BalasHapus