Oleh: Mujtahid *
TASAWUF dalam kajian Islam telah menyedot perhatian kalangan luas. Tak hanya umat Islam sebagai tempat khazanah tersebut, kaum sarjana non Islam pun menempatkan tasawuf sebagai lokus studi penelitian, bahkan ada yang sampai jatuh cinta dan “memeluk”nya. Sampai kapan pun, akar-akar sejarah dan praktek tasawuf yang demikian besar itu masih memungkinkan memberi kesempatan bagi siapa saja untuk mengapresiasi dan menelusurinya.
Kini, ada sebuah gejala positif bahwa kehadiran tasawuf tidak lagi dikesankan sebagai sesuatu yang identik asketis, meninggalkan profanitas, akan tetapi ia menjadi kebutuhan pemeluk agama di mana pun berada. Istilah sufi kota, misalnya, adalah gejala modern yang memandang bahwa manusia modern ternyata membutuhkan sebuah keseimbangan spiritualitas dengan berusaha mengisi dan menyegarkan kembali kesadaran jiwa. Tak hanya itu, di Barat pun pada dekade terakhir ini terjadi polarisasi yang demikian antusias terhadap pemenuhan daya spiritual.
Dari laporan CNN, 10 Mei 2000, tahun ini merupakan tahun pelancong spiritual (the year of the spiritual traveller). Ribuan orang memenuhi panggilan mistik (mystic) dan mitis (mythic) untuk meninggalkan rumah guna mengunjungi tempat-tempat suci. Di mulai sejak tahun 1970-an tasawuf pun mulai berkembang di Amerika Serikat. Banyak tokoh tasawuf yang muncul di negeri ini, diantaranya tokoh dari India yang bernama Bawa Muhayyidin. Kemudian ada Syaikh Fadhlullah Haeri, seorang sufi dari Iran yang mempunyai banyak pengikut.
Menurut Haidar Bagir, dalam buku Saku Tasawuf (2005), menegaskan bahwa terlepas dari stigma pejoratif, bahwa tasawuf memiliki kegunaan yang sangat berharga untuk meningkatkan keberagamaan manusia. Semakin tinggi kemajuan duniawi tidak kemudian menggeser posisi ataupun mengubur tasawuf. Tetapi, justru ia menjadi modal dan jalan utama untuk mengabdi kepada Tuhan.
Tasawuf sebagai cara penghayatan agama akan selalu bersentuhan dengan dunia luar. Bahkan, tasawuf bukan lagi dipandang sebagai corak eksesif, dengan diperkenalkan praktik-praktik pemujaan wali, promosi cara hidup miskin, lari dari hiruk pikuk sosial, yang selama ini terkesan sedemikian rupa. Namun, tasawuf harus dipandang sebagai sarana guna menemukan kepekaan bathiniyah dan lahiriyah.
Dalam dunia modern, tasawuf harus dimaknai kembali dengan melihat realitas yang masa lalu, kini dan mendatang. Tasawuf di era modern ini, ditempatkan sebagai cara pandang yang rasional sesuai dengan nalar normatif dan nalar humanis-sosiologis. Kepekaan sosial, lingkungan (alam) dan berbagai bidang kehidupan lainnya adalah bagian yang menjadi ukuran bahwa tasawuf modern atau progresif itu tidak sekedar pemenuhan spiritual, akan tetapi lebih dari itu yaitu mampu membuahkan hasil (pragmatis) bagi yang ada di muka bumi ini.
Bagir menempatkan bahwa tasawuf itu bukan barang mati. Sebab tasawuf merupakan produk sejarah yang seharusnya dikondisikan sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman. Karena itu, tasawuf perlu direkayasa ulang dengan memperhatikan semangat dan kebutuhan kekinian. Caranya yaitu merekonstruksi atas paradigma lama ke dalam bentuk paradigma baru yang progresif.
Penghayatan tasawuf bukan untuk diri sendiri, seperti yang kita temui di masa silam. Tasawuf progresif adalah alternatif yang mempertemukan jurang kesenjangan antara dimensi vertikal (ilahiyah) dengan deimensi horizontal (profan). Banyak orang yang secara normatif (kesalehan individu) telah menjalankan dengan sempurna, tetapi secara empiris (kesalehan sosial) belum kadang-kadang tanpak ada. Dengan demikian, lahirnya tasawuf progesif diharapkan menjadikan tatanan kehidupan manusia semakin lebih baik.
Setidaknya, ada enam persoalan yang menjadi urat nadi tasawuf. Keenam persoalan itu adalah masalah konsep/makna tasawuf, manfaat/kegunaan tasawuf, sejarah dan aliran-alirannya, perbedaan tasawuf positif dan tasawuf negatif atau eksesif, tasawuf dan rasionalitas.
Dari keenam paparan itu, dapat kita pastikan bahwa tasawuf memiliki ruh yang kuat dan mendasar. Dan bila Anda menikmati buku ini, sudah barang tentu akan memperoleh pencerahan spiritual, bathiniyah, dan kesadaran sejarah yang menyegarkan otak dan jiwa.
*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Maliki Malang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar