Mujtahid*
PADA Tahun 2007 yang lalu, ada sebuah terbitan buku yang sangat lugas, detail dan berani mengungkap kekejaman dan kedhaliman Israel atas negeri Palestina. Buku itu berjudul “Tears of Heaven“. Karya ini merupakan kisah nyata yang dialami oleh dr Ang Swee Chai di Kamp pengungsian Palestina. Ang Swee Chai mengisahkan secara rapi dan teliti pengalaman yang ia rekam atas kekejaman Israil terhadap rakyat palestina selama 20 tahun yang silam. Karya itu sempat saya baca, dan rasanya jiwa ini ikut merasakan betapa pedih dan pahitnya penderitaan yang dialami rakyat Palestina.
Sebuah karya yang sangat berani dan menantang terhadap arus hegemoni kekuasaan yang kini masih dikendalikan negeri adikuasa Amerika Serikat. Israil sebagai negeri super kisruh telah semakin merajalela karena dapat dukungan dan sokongan dari negeri super-power tersebut. Dengan terbitnya buku semacam itu sesungguhnya telah membuka aib dan kesalahan yang pernah dilakukan oleh Israil maupun Amerika Serikat atas Palestina. Sehingga buntutnya, pencetakan dan penerbitan karya yang monumental itu sempat dihentikan, tapi setahun kemudian barulah dapat terbit.
Dr. Ang Swee Chai adalah seorang dokter perempuan kelahiran Malaysia yang dibesarkan di Singapura. Sejak 1977, ia bersama suaminya Francis Khoo tinggal di Inggris. Ia bekerja di St. Bartholomew’s Hospital dan The Royal London Hospital. Ia adalah perempuan pertama yang menjabat sebagai Orthopaedic Colsultant setelah beberapa abad kedua rumah sakit itu berdiri.
Untuk membela rakyat yang tak berdosa, dr. Ang dan beberapa rekannya membentuk badan amal Medical Aid for Palestinians (MAP), setelah terjadinya pembantaian Sabra-Shatila 1982. Ia pernah mendapat penghargaan tertinggi “Star of Palestine” dari pemimpin PLO Yasir Arafat tahun 1987 sebagai pengabdian kepada rakyat Palestina.
Pengalaman yang tertuang dalam buku ini sangat menggetarkan hati. Pembantaian anak-anak, wanita, orangtua, dan orang-orang lemah yang tak bersenjata sungguh menyentakkan hati sukarelawan dokter bedah ini. Ia merasa sangat gusar karena harus menemukan kebenaran tentang orang-orang yang berani murah hati melalui kematian mereka.
Sebagai seorang fundamintalis Kristen, dulu ia mendukung Israil, membenci orang-orang Arab, dan menentang PLO sebagai teroris yang harus dikutuk dan ditakuti. Tetapi setelah datang dan menyaksikannya sendiri di Sabra-Shatila, membuatnya sadar bahwa orang Palestina adalah manusia yang harus dibela. Upaya pihak-pihak adikuasa yang berkonspirasi untuk menjelek-jelekkan mereka, pupus sudah. Bagaimana mungkin mereka adalah jahat, jika mereka adalah korban ketidakadilan yang amat besar? Seperti orang-orang lain, dr. Ang menghadapi kenyataan yang pahit, dan menjadikannya bertobat akibat kebodohan dan prasangkanya telah membutakan mata dari penderitaan bangsa Palestina.
Perjuangan dr. Ang melalui MAP telah membuahkan hasil dengan menyeru masyarakat Inggris dan masyarakat lainnya untuk menyumbangkan dukungan materi berupa obat-obatan bagi institusi- institusi kesehatan Palestina yang tengah terkepung.
Usaha perlawanan (intifada) terhadap ketidakadilan ini juga ditunjukkan dengan bentuk “protes” dihadapan rakyat Amerika. Orang-orang Barat harus tahu tentang pembantaian tersebut, mereka harus mengakui bahwa rakyat Palestina adalah korban ketidakadilan yang sangat besar.
Di tengah kesibukannya merawat para korban di kamp, dr. Ang menyaksikan langsung atas perjuang anak-anak Palestina yang tak bersenjata melawan keganasan tentara Israil. Itu adalah perang batu melawan tank-tank yang tak seimbang sama sekali.
Akibatnya, sungguh tak sebanding kata dr. Ang, ratusan warga Palestina gugur, ribuan terluka, penawanan besar-besaran, pemberlakuan tahanan rumah serta jam malam terhadap seluruh penduduk, penghancuran rumah-rumah secara sewenang-wenang, penutupan sekolah-sekolah, penggeledahan rumah sakit-rumah sakit. Kekejaman yang dilakukan demi menumpas gerakan perlawanan telah menlanggar hukum internasional, dilakukan di wilayah pendudukan, dan sebenarnya pendudukan itu sendiri ilegal.
Saat dr. Ang bertugas di rumah sakit al-Ahl di Gaza sebagai konsultan dokter bedah PBB dan merawat banyak dari mereka yang terluka. Bangunan rumah sakit itu sering diserang dari udara oleh para tentara yang memburu para pemuda, ibu-ibu hamil diserbu tentara Israil yang bersenjata lengkap. Ini suatu penghinaan terhadap ibu-ibu yang tengah melahirkan. Para pasien yang terbaring di meja-meja orasi dr. Ang juga sempat diancam.
Upaya perdamaian yang dipelopori PBB seringkali dilanggar Israil. Bagi Palestina maupun Lebanon jangan pernah optimis bakal terwujud sebuah perdamaian kalau negeri Israil itu masih ada. Sebab Israil tak pernah berhenti untuk melawan Palestina maupun Lebanon.
Kekejaman yang dialami Palestina maupun Lebanon terus bertambah. Pada tahun 2002, Amnesti Internasional mempublikasikan hasil-hasil penyelidikannya dan menuduh Israil telah melakukan pembunuhan ilegal, penyiksaan, serta penggunaan rakyat Paletina sebagai tameng manusia. Di antara pelanggaran-pelanggaran berat terhadap hukum internasional adalah perlakuan buruk terhadap para tahanan, penghancuran tanpa dasar rumah-rumah penduduk, serta pemblokiran bantuan medis para korban.
Kehancuran besar-besaran yang dialami rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat sangat tidak manusiawi dan tidak berperadaban. Rumah-rumah di bom dan dilindas dengan boldoser, mobil-mobil ambulans yang mengangkut para pasien dalam kondisi kritis ditembaki, sekolah-sekolah juga di bom.
Rasa traumatis dan derita yang dialami rakyat Palestina hingga kini masih terus berlangsung. Ketentraman dan kedamain bagi rakyat Palestina maupun Lebanon telah dicabik-cabik Israil. Perang tak berkesudahan dan harus dibayar dengan kematian jiwa para rakyat yang tak berdosa.
*) Mujtahid, Dosen Tarbiyah UIN Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar