Oleh: Mujtahid
MENCERMATI aksi massa pada akhir-akhir ini, menunjukkan kepada kita bahwa seperti halnya gelombang air laut yang pasang surut. Issu-issu yang sering muncul kepermukaan adalah seputar persoalan perburuhan atau ketenagakerjaan yang menyangkut mengenai kenaikan gaji, peningkatan kesejahteran dan menuntut perlindungan hak-haknya. Aksi massa yang dilakukan sebagian besar kaum buruh atau pekerja tersebut biasanya diwujudkan melalui bentuk unjuk rasa, mogok kerja dan demontrasi. Aksi demikian ini selain banyak memicu berbagai elemen yang ada pada pemerintahan, sekaligus juga di lingkungan masyarakat. Dan barangkali cara inilah bagi mereka untuk menyampaikan tuntutan dan aspirasinya.
Dalam berbagai event, kaum buruh dan pekerja memilih jalur dengan unjuk rasa, mogok kerja dan demonstrasi merupakan salah satu media yang tepat untuk menyalurkan tuntutannya supaya langsung didengar dan dirasakan oleh atasannya, baik dihadapan pemerintah maupun lembaga atau perusahaan di mana mereka kerja. Hampir setiap ada unjuk rasa atau mogok kerja, yang dituntut adalah kenaikan upah dan hak-haknya yang kurang dipenuhi. Seperti yang pernah dilakukan oleh Marsinah pada pada tahun 1993 lalu, ia memperjuangkan hak-hak buruh supaya diperhatikan oleh perusahaannya. Marsinah merupakan tonggak sejarah yang memperoleh penghargaan internasional, dalam keberaniaannya mengungkapkan segala bentuk kebrobrokan kaum buruh dialami.
Selama ini, kaum buruh atau pekerja kurang diperhatikan secara serius. Apa yang menjadi tanggung jawab pemerintah, ternyata secara riil tidak mampu mengangkat kesejahteraan para kaum buruh. Hal terbukti bahwa para konglomerat gaya hidupannya semakin melangit dan berfoya-foya, sementara para buruh semakin tertindas dan memperhatinkan. Kesenjangan ini sebagai salah indikator yang menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat bawah masih sangat memprihatinkan. Harusnya pemerintah banyak memperhatikan dan memihak kepada kelompok bawah, ketimbang kelompok menengah ke atas yang hidupnya sudah mewah itu. Mengurangi tingkat kesenjangan antara kelompok buruh dan kelompok elit tidak ada cara lain kecuali mengangkat garis derajatnya.
Seharusnya pemerintah dalam mengambil kebijakan, yang perlu didahulukan adalah kepentingan kaum pinggiran, tertindas oleh deru mesin pembangunan. Jadi kebijakan tersebut harus menguntungkan bagi kelompok kelas bawah. Selain tidak mengurangi dan melanggar hak-hak kelompok atas. Dengan cara inilah kaum buruh akan merasa tersentuh dan tergugah bahwa dirinya telah diperjuangkan.
Masalah perburuhan memang sangat memprihatinkan. Dalam skala macro, penduduk Indonesia adalah kaum buruh. Jika kita lihat Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ada di luar negeri, mereka adalah buruh. Mereka adalah salah satu korban dari sistem pemerintah yang kurang bisa menyediakan lapangan kerja baginya. Tingkat perkembangan ekonomi rakyat juga ditentukan oleh para TKI yang ke luar negeri. Mereka bisa membangun rumah, melengkapi kebutuhan skunder dan sampai barang yang serba mewah, lantaran telah memperoleh kesempatan kerja ke luar negeri.
Jadi image buruh dalam masyarakat, menilai bahwa kesuksesan baginya adalah menjadi buruh negara lain. Kalau hanya mengandalkan menjadi buruh negara sendiri, sangat sulit untuk bisa membangun. Sehingga standar hidup mereka adalah mengandalkan hasil menjadi buruh di negara orang lain. Di samping tingkat persaingan sangat ketat, di negara sendiri kurang menjamin kelayakan hidup yang memuaskan. Mereka banyak mengeluh yang karena salah satunya adalah rendahnya gaji yang diterima dan lebih-lebih harga dirinya yang selalu diabaikan.
Padahal, kita tahu bahwa cita-cita negara ini dibagun, perekonomian bangsa diatur oleh pemerintah berdasarkan azas kekuluargaan, bukan personal dan kelompok. Tetapi dalam prakteknya perekonomian yang terjadi, hanya dikuasai oleh segelintir dan sekelompok orang. Proses persaingan ekonomi menunjukkan gejala yang kurang sehat di tingkat masyarakat. Sehingga kemajuan perekonomian yang dicapai oleh Indonesia bukan pada tataran kualitas, tetapi hanya pada tataran kuantitas, yang biasa dihitung dengan material atau fisik.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah, meskipun dengan cara utang ke luar negeri untuk membangun Indonesia tetapi yang dihasilkan hanya terlihat secara fisik dalam bentuk gedung dan fasilitas saja. Sedangkan bangunan non materi (kualitas pemberdayaan SDM) misalnya, kurang diperhatikan. Oleh karena itu, hasilnya tidak sebanding dengan semangat utangnya yang dipinjam dari luar negeri itu.
Dari sisi inilah kita bisa menilai bahwa kauh buruh kurang diberdayakan secara baik. Mereka hanya dipasok untuk menemani tenaga mesim. Sedang upaya untuk menambah wawasan, kesejahteraan, serta hal-hal yang berhubungan dengan keselamatan jiwa tidak menjadi satu agenda kerja.
Bukan hal aneh lagi terdengar di telinga kita, bahwa persoalan perburuhan memang mengundang perbincangan ditingkat ketenagakerjaan ditingkat atas. Hasil dari beberapa pembicaran yang ditelorkan nampaknya belum cukup untuk menyelesaikan isu santer yang muncul belakangan kemudian. Sehingga persoalan satu dengan persoalan lain, menumpuk menjadi satu tak terpecahkan.
Memang, dalam tataran dunia kerja terlihat ada sebuah keterikatan antara atasan (majikan) dengan buruh. Namun nampaknya kedua pasangan ini selalu ada pihak yang selalu dikalahkan, yakni kaum buruh. Padahal dalam sudut pandangan apapun mereka adalah satu mitra untuk saling bekerja sama dan saling membutuhkan. Jika sikap atasan kurang menghormati kepada karyawannya dengan baik, maka tindakan buruh pun akan berakibat buruk kepada atasannya.
Sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan, pihak buruh selalu dalam keadaan yang serba dilematis. Apalagi dalam percaturan dunia global sekarang ini. Dunia kerja di era informasi jauh lebih berat saingannya dibandingkan dengan dunia kerja pada masa lalu. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh kaum buruh adalah kemampuan dan daya ketrampilannya. Dalam pasaran kerja, pihak produsen pasti secara langsung atau tidak, melihat dari sisi kualitas kinerja para karyawan itu. Sehingga perekrutannya juga didasarkan pada sisi kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya. Nilai jual karyawan semata-mata diukur dengan daya kemampuan (skill) bukan pada fisik.
Sebagai salah satu proyek yang sulit dilupakan adalah banyaknya para karyawan yang kurang memiliki keahlian khusus. Sehingga hal ini sangat mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan oleh perusahaan atau institusi yang lain. Pengembangan bidang keahlian saat ini menjadi sorotang bagi para pekerja yang hendak memasuki dunia kerja.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar