Mujtahid*
DI antara tokoh pendidikan, John Dewey (1859-1952) merupakan salah seorang pakar yang sangat terkenal dibelantika pendidikan. Dia termasuk filosof yang sangat berpengaruh dari semua filosof Amerika. Karir akademisnya juga luar biasa dan dipercaya mengajar dibeberapa perguruan tinggi terkemuka, termasuk Chicago dan Columbia.
Sebelum meninggal tahun 1952, dia telah memperoleh reputasi internasional untuk pendekatan pragmatisnya dalam bidang filsafat, psikologi dan politik liberal. Bila kita telusuri hasil pemikirannya, setidaknya dapat ditemukanan karya-karyanya yang spektakuler, seperti How We Think (1910), Democracy and Education (1916), Reconstruction in Philosophy (1920), Experience and Natur (1925), dan Logic: The Theory Inquiry (1938).
Selain itu, gagasan-gagasan dan pemikirannya menghiasi sejumlah karya Masterpiece-nya, yang seringkali menjadi sumber rujukan utama oleh banyak tokoh pendidikan (pedagog) belakangan ini. Karya yang berjudul “Experience and Education” ini merupakan karya penutup (ihtitâm) yang mengemukakan visi baru pendidikan progresif dan sekaligus mempertegas soal paham pragmatismenya.
Pendidikan Progresif
Dalam karya yang cukup padat itu, Dewey menegaskan bahwa pengalaman merupakan nilai yang sangat penting agar dijadikan sebagai paradigma untuk membangun pendidikan. Melalui karya inilah dia berusaha melengkapi dan menyempurnakan pondasi filsafat pendidikan, yang sebelumnya masih didominasi karya kaum tradisionalis-konservatif.
Problem mendasar yang dirasakan Dewey terhadap proses pendidikan pada kala itu adalah tidak adanya kesinambungan dan interaksi antara pelajar (siswa) dengan sesuatu yang ia dipelajari (materi). Sehingga sistem pendidikan (sekolah), seringkali mereduksi kenyataan, dan anehnya justru bertentangan dengan kenyataan itu sendiri. Karena itu, supaya tidak terjadi ‘salah didik’, kata Dewey, pendidikan harus berupaya dan bergerak secara progresif untuk mengakomodasi sisi-sisi pengalaman menjadi basis atau sumber pembelajaran yang dapat ditransfer ke dunia pendidikan.
Dalam tafsir (pemahaman) Dewey, bahwa proses pendidikan merupakan metode ilmiah untuk mempelajari dunia, memperoleh pengetahuan tentang makna dan nilai secara kumulatif. Maka dengan menggunakan pisau analisis filsafat pragmatisnya, Dewey ingin mengatakan bahwa pendidikan merupakan instrumen strategis yang betul-betul hidup dalam situasi sosial. Proses pendidikan bukan suatu instrumen kosong, terasing dan akontekstual.
Kritik pedas yang disuguhkan Dewey pada kaum tradisionalis, bahwa pendidikan tak ubahnya gerbong yang berjalan tanpa arah dan tujuan yang pasti. Dia menemukan suatu fenomena menarik yang terjadi di kalangan tradisional, ketika mata pelajaran sebagai standar tingkah laku yang diwarisi dari masa lalu, maka sikap para murid seluruhnya harus merupakan sikap kepatuhan, penerimaan, dan ketaatan buku, terutama teks, menjadi represensati utama dari pengetahuan dan kebijaksanaan masa lampau, sedang guru adalah perangkat yang efektif menghubungkan murid dengan bahan pelajaran. Guru menjadi pelaku yang menyampaikan pengetahuan dan ketrampilan, serta memaksakan peraturan kepada murid-muridnya.
Akibatnya, pelajaran menjadi tidak peka terhadap ide, dan berapa banyak kehilangan dorongan untuk belajar yang mereka alami. Begitu banyak yang menemukan apa yang mereka pelajari ternyata begitu asing dengan situasi kehidupan di luar sekolah, sehingga tidak memberi mereka kekuatan untuk mengendalikan dalam situasi tersebut. Selain itu, sistem pendidikan tradisional lebih memperlihatkan suasana otoritarian dalam proses pengajarannya. Sebuah sistem yang bertolak belakang dengan kebebasan fitrah manusia.
Fenomena di atas terjadi, karena kesalahan pandangan dalam meletakkan dasar dan fondasi filsafat pendidikan. Maka untuk meluruskan dasar filosofis pendidikan, kata Dewey, harus dilakukan pembenahan secara sistematis, dengan cara membangun dasar filosofis yang sistematis, positif dan konstruktif. Oleh karena itu, menurut Dewey, aspek pengalaman adalah nilai penting yang harus menjadi dasar filosofis pendidikan.
Pengalaman tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan, bahkan keduanya saling lengkap-melengkapi. Hubungan antara pengalaman dan pendidikan adalah hubungan yang afirmatif. Suatu hubungan (sinergi) yang saling menguatkan dan mengokohkan satu sama lain. Jadi dengan meletakkan pengalaman sebagai basis pendidikan, kata Dewey, akan memberi kecenderungan positif yang menjadi cita-cita setiap proses pendidikan yang hendak diinginkan. Sejalan dengan teori progresif, proses pendidikan dapat perpihak pada partisipasi aktif dan kontekstual.
Dalam hal ini, Dewey menegaskan bahwa rencana dan proyek pendidikan, yang melihat pendidikan dari segi pengalaman kehidupan, berkewajiban untuk membingkai dan mengadopsi teori yang cerdas, yakni teori filsafat pengalaman. Sebuah kategori kesinambungan, atau rangkaian kesinambungan pengalaman (experiental continuum), Prinsip ini dilibatkan dalam setiap usaha untuk memisahkan antara pengalaman edukatif yang bermanfaat dan yang tidak berguna sama sekali.
Dari uraian inilah pendidikan menjadi proses manusiawi yang menghargai kreatifitas dan kebebasan yang dimiliki setiap subyek didik. Mereka dapat tumbuh dan berkembang selalu dipengaruhi oleh pengalaman, baik perubahan fisik, intelektual maupun moral yang berlangsung secara kontinuitas. Dengan menempatkan pengalaman sebagai bagian dari pendidikan, maka setiap gerak pendidikan merupakan langkah untuk menentukan nasip sebuah generasi di masa depan. Sebab, masa depan generasi sangat ditentukan oleh kondisi pengalaman sebelumnya, dan hal ini dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi edukatif.
Benang Merah
Sebagai penegasan, Dewey menarik “benang merah” bahwa pengalaman sangat compatible dengan sarana dan tujuan pendidikan. Karena, tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan masyarakat. Sebuah tujuan yang didasarkan pada pengalaman kehidupan aktual individu dalam masyarakat. Dengan demikian, potensialitas pendidikan akan ditentukan oleh pengalaman.
Walau gagasan kreatif ini tumbuh dari percikan Barat (Amerika), apa yang digagas Dewey sejatinya merupakan keprihatinan dan sekaligus alternatif agar proses pendidikan itu tidak terasing dengan alam kenyataan. Dan rasanya, kenyataan itu tidak bisa ditutup-tutupi lagi bahwa pendidikan belum sepenuhnya jadi jaminan untuk meretaskan peserta didik mampu hidup mandiri sebagaimana teori dan praktek yang didapat dari bangku pendidikan. Dengan kata lain, unsur pengalaman harus menjadi bagian “senyawa” yang harus ditumbuhkan dalam dunia pendidikan ini.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Jumat, 30 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tetapi untuk ilmu agama (علم) tdk bisa didasarkan pada pengalaman. Utk umat islam sudah ada kitab Ta'limul muta'alim dan At Tibyan.
BalasHapushttp://www.ladangcerita.com/2018/10/cerpen-cinta-gadis-wahabi.html?m=1
Nitip tulisan