Mujtahid*
SEBAGAI bangsa yang menganut sistem demokrasi tentu sistem feodalisme tidak akan pernah memperoleh ruang gerak atau “atmosfir” untuk tumbuh dan berkembang. Masa lalu yang terkenalnya dengan feodalisnya tak lagi diperkenankan terulang di era reformasi sekarang ini. Karena dalam “kaca mata” apapun yang namanya feodalisme sangat bertentangan dengan kemerdekan dan kebebasan manusia. Apalagi sampai hidup pada suatu bangsa yang “berdaulat” dan “merdeka”, seperti Indonesia ini.
Kegagalan masa lalu sudah sepatutnya menjadi pelajaran penting saat ini, dinding demokrasi telah terbuka lebar bagi semua orang yang mau mengikis dan mengubur sistem feodalisme itu. Semua orang dapat mengekspresikan pendapat dan idenya di depan siapapun termasuk penguasa. Ketakutan dan kesakralan penguasa tidak lagi saatnya menjadi dewa yang harus disembah, melainkan harus segera didekonstruksi sedemikian rupa sehingga memudahkan komunikasi antara penguasa dan rakyat. Jarak antara rakyat dengan penguasa ibarat struktur dalam kelurga.
Demokrasi adalah lawan dari bentuk feodalisme yang mengekang kebebasan seseorang untuk menyampaikan kritik dan gagasan cemerlangnya di depan umum. Demokrasi lahir untuk memberantas semua bentuk sakralisasi kekuasaan dan sistem otoriter. Karena dalam negara demokrasi, sistem otoriter saangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar kemanusian. Manusia di depan manusia derajatnya adalah sama, artinya siapapun orangnya ia memiliki kesamaan derajat.
Penindasan dan perebutan hak-hak sipil merupakan pengingkaran derajat manusia didepan manusia. Terlebih lagi dihadapan Tuhan semesta alam. Tumbuhnya feodalisme menjadikan pemerintahan tidak sehat dan mudah meletus perpecahan-perpecahan, sebab semua bukan didasarkan pada kebersamaan dan sikap terbuka (tranparan). Negara kita memiliki ideologi yang sangat ampuh dan sentral untuk menjaga supaya tidak munculnya budaya feodal ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Namun hal ini tergantung orang dan pelakunya yang mampu memahami dan melaksanakan ideologi itu. Rendahnya pemahaman seseorang dalam menggali makna ideologi itu dapat menunjukkan tipisnya formulasi dan terapi yang dilakukan.
Barangkali fenomena yang sempat terjadi pada rejim lalu merupakan bukti nyata, yakni dangkalnya pemahaman mereka terhadap artikulasi terhadap ideologi tersebut. Sehingga sistem kekuasaan yang dibangun malah melahirkan beban-beban kultural yang sangat sulit untuk disembuhkan, kalaupun bisa membutuhkan waktu yang cukup panjang. Inilah resiko yang harus diterima bagi bangsa ini yang sempat terjajah berpuluh-puluh tahun lamanya. Penjajahnya adalah orang dalam dan bukan orang asing, imperialisme demikian tentu mewariskan budaya riskan yang harus dibayar dengan ukuran generasi. Generasi muda harus segera menggantikan generasi lama yang tidak lagi bisa survive ditengah percaturan global.
Popularisme kekuasaan yang berlebihan dapat menjerumuskan penguasa lupa diri dan anti kritik. Akibatnya, kekuasan bisa menjadi kekuasaan pribadi, otoriter dan bukan kekuasaan sistem. Kekuasan sistem merupakan tandingan bagi kekuasan pribadi yang biasanya disertai dengan sifat “angkuh” sebagai simbol yang mencolok dan sakral. Kekuasaan pribadi sangat sulit untuk menumbuhkan daya kreatifitas masyarakat. Melainkan melahirkan pengecilan dan tidak memberikan ruang gerak munculnya kritik dari bawah. Dalam Budaya feodal seseorang yang dianggap “vokal” dan “Kritis” tidak lagi diperkenankan untuk bisa bergerak lebih leluasa. Sifat ini tentu tidak dapat kompromikan dengan bentuk apapun.
Dalam konteks politik, sistem feodalisme segera harus diakhiri dan digantikan dengan sebuah sistem baru yang lebih kondusif terhadap perkembangan dan tatanan masyarakat. Kemajemukan dan keanekaragaman budaya merupakan “kekayaan dan potensi” yang dapat membuahkan hasil positif dan juga negatif. Semua tergantung pada penguasa dan partisipasi masyarakat yang memberikan control bagi setiap langkah pemerintah. Pemerintah harus bisa bergerak lintas sektoral, lintas budaya dan lintas kelompok yang ada.
Sebagai bahan perbandingan, Louis Altthusser, seorang Marxis pernah mencoba melakukan penelitihan bahwa relasi dominasi dalam sebuah negara bukanlah akibat adanya pertentangan kelas antara borjois versus ploretarian sebagaimana dikatakan Marx, melainkan disebabkan oleh adanya dua kelompok ideologi yang membentuk sebuah negara. Dalam bukunya Essays on Ideologi, Althusser menyebut dua kelompok ideologi dengan istiah “Aparat Negara Represif” dan “Aparat Negara Ideologis”. Kelompok ideologi pertama berupaya mempertahankan dominasi kekuasaan lewat cara-cara represif, sementara kelompok kedua, berupaya memperjuangkan dominasi lewat ide-ide.
Dari kedua ideologi tersebut diatas, nampaknya ideologi “Aparat Negara Idologis” sealur dan seirama dengan budaya demokrasi di Indonesia. Karena bangsa yang majemuk (pluralis) tidak bisa lahir dengan sendirinya tanpa adanyaide-ide konstruktif yang tumbuh dari bawah. Dan indikasi seperti ini agaknya sudah terlihat pada bergulirnya era reformasi yang kemudian dikenal dengan era keterbukaan (inklusif). Sementara ketertutupan (eklusifitas) merefleksikan pada rapuhnya suatu sistem yang bibangun.
Sampai kapan pun feodalisme tidak akan bisa berkembang pada tatanan negara-bangsa (nation-state) yang menganut paham demokrasi. Feodalisme dalam konteks Indonesia, (Yasraf Amir Piliang, 1999), mempunyai beberapa ciri yang dapat dikemukakan. Feodalisme sebagai sebuah ideologi adalah sebentuk “pemberangusan”. Meskipun definisi ini agak janggal didengar.
Yasraf Amir mengemukakan bahwa setidak-tidaknya ada tiga hal yang “diberangus” dalam feodalisme, yaitu 1) daya kritis, 2) daya kreatif, dan 3) sikap fundamentalisme. Dengan tidak berkembangnya dalam masyarakat, rakyat akan selalu “meminta petunjuk” dari atas. Kenyataan ini bisa kita ingat ketika pada rejim Soeharto masih berkuasa, semua pasti datang dari atas ibarat “wahyu” sehingga Harmoko yang menjabat mentri pada waktu itu berkali-kali mengucapkan kalimat ”menurut petunjuk presiden”.
Dengan tidak berkembangnya daya kritis, maka tidak berkembang pula daya kreatif. Masyarakat diselimuti ketakutan untuk menyampaikan ide-ide baru. Ide-ide itu justru ditentukan dari atas. Jelas hal ini bertentangan dengan semboyan yang sering dilontarkan oleh pemerintah bahwa segala sesuatu adalah untuk mencerdaskan bangsa. Dalam kaca mata apapun, feodalisme tetap tidak bisa diberikan ruang hidup.
Dengan berbagai alasan, ternyata feodalisme telah merusak dan mematikan tatanan yang sebenarnya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Apalagi biasanya dengan alasan “pertumbuhan ekonomi” tetapi pada kenyataannya semakin memperpuruk ekonomi itu sendiri, karena landasan yang dipakai sebagai pegangan kurang kokoh.
Untuk mengakhiri uraian ini, langkah yang harus dilakukan pemerintah adalah pertama, mengadakan desakralisasi kakuasaan. Kekuasaan bukan milik pribadi (presiden) melainkan miliki rakyat serata kekuasaan tidak berasal dari sumber-sumber yang ghaib, mistik dan magis, tetapi berasal dari rakyat.
Kedua, kekuasaaan perseorangan harus digantikan oleh kekuasaan sistem, dan pandangan dunia dewa-raja harus digantikan oleh pandangan dunia rule of law. Hukumlah yang mendefinisikan, mengatur, dan membatasi kekuasaaan, serta tidak memberikan peluang pada perbuatan-perbuatan yang menyimpang darinya.
Ketiga, melaksanakan reformasi total sebagaimana kita inginkan bersama. Kekuasaaan harus didasarkan pada amanat rakyat serta amanat konstitusi yang berlaku. Penguasa apabila bersalah dapat ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak pandang siapa orangnya.
*) Mujtahid, Dosen UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
feodalisme sangat berbahaya. bahkan feodalisme, kapitalisme, imperialisme, liberalisme masih satu rumpun keluarga besar. ini sangat membahayakan negeri ini. objek yang diserang pertama-tama adalah kedaulatan.
BalasHapus