Oleh Mujtahid*
BANYAK sarjana percaya bahwa Islam berseteru dengan Barat dan secara inheren bermusuhan dengan zaman modern tempat kita hidup sekarang. Statemen ini mudah kita dapat dari sumber tulisan-tulisan pemikir seperti; Armesto 1995, Fukumaya 1998, Huntington 1993 & 1996, dan Kapel 2002.
Dalam pandangan mereka, bahwa apa yang terjadi adalah masyarakat-masyarakat muslim, seperti kebudayaan-kebudayaan dunia lainnya yang dipengaruhi oleh agama-agama tradisional, bereaksi terhadap perubahan-perubahan global yang sedang terjadi. Reaksi ini merupakan campuran antara kemarahan, ketidakpahaman, dan kebencian dengan kekerasan. Ada juga orang-orang yang terpesona dengan modernitas Barat sehingga mereka larut di dalamnya. Sesungguhnya, hubungan antara Islam dan modernitas jauh lebih kmpleks daripada apa yang dijelaskan oleh teori-teori benturan peradaban yang simplistis.
Gagasan tentang benturan peradaban, yang memandang kaum Muslim sebagai musuh utama Barat, adalah lanjutan dari ide-ide kuno tentang Islam sebagai sebuah peradaban Barbar yang mengancam Barat. lawan dari ide benturan peradaban adalah dialog peradaban, yang diperkenalkan oleh Presiden Iran, Muhammad Khatami, dalam Sidang Umum PBB yang didukung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan. Meskipun ide ini tidak sama sekali baru, pernyataan Khatami tersebut mempunyai imbas yang dramatis karena diasosiasikan sebagai terorisme dan ekstremisme oleh Barat.
Contoh paling heboh misalnya, peristiwa 11 September menjadi sebuah katalis yang menyingkap pandangan-pandangan individual banyak orang. Peristiwa ini menyebabkan kaum Muslim merasa teramcam dan sulit untuk membicarakan dialog peradaban secara mantap.
Perasaan terancam di antara kaum Muslim ini, bahkan juga non muslim, tidak terjadi secara seketika begitu peristiwa 11 September meletus. Selama beberapa dekade terakhir, perubahan-perubahan politik, kultural, dan teknologi yang berasal dari Barat dalam skala luas telah menguncangkan kehidupan masyarakat-masyarakat tradisional. Mereka merasakan perubahan yang sangat besar dalam ruang yang sangat luas.
Untuk mengambarkan zaman tempat kita hidup sekarang ini, menurut para komentator, seperti Mestrovic, 1996, memakai istilah “globalisasi”, “postmodernisme” “posemosionalisme”; Fukumaya, 2002 & 1998, memilih istilah “pascamanusia” dan “zaman kejayaan kapitalisme”.
Perangai dan watak globalisasi sekarang ini, menurut definisi, menunjukkan bahwa bagian-bagiannya saling terkait; alur komunikasi global, media, efektifitas perusahaan-perusahaan multinasional, perjalanan, pariwisata, dan kesadaran umum bahwa arus barang dan modal yang mengalir bebas mensyaratkan adanya hukum dan ketertiban; dan juga anggapan bahwa dunia ini sedang bergerak menuju zaman keadilan, persmaan, dan kesejahteraan. Namun, pada sisi yang lain bahwa globalisasi adalah sebagian berupa janji, sebagian berupa realitas, dan sebagian lagi berupa imajinasi.
Dalam pengamatan Akbar S. Ahmed, seperti yang terungkap dalam karyanya berjudul Islam Under Seige: Living Dangerously in a Post-Honor World, mengemukakan bahwa benturan peradaban dalam arus globalisasi itu bukanlah disebabkan oleh paham ajaran teologisnya, melainkan sebab lain di luar itu. Seperti dampak globalisasi, perubahan sosial dan ketidakadilan.
Namun, image Islam terlanjur teropini demikian. Bahkan, kata Ahmed, kini Islam bermusuhan dengan seluruh agama besar; Yahudi di Timur Tengah, Kristen di Balkan, Chechnya, Nigeria, Sudan, dan secara sporadis di Filipina; Hinduisme di Asia Selatan; dan sesudah Taliban menghancurkan patung-patung di Bumiyan, Budhisme. Cina-yang kebudayaannya merupakan kolaborasi dari filsafat Konfusius, Tao, dan Ideologi Komunis- juga berbenturan dengan Islam di provinsi Cina bagian barat. Jadi, abad 21 adalah titik awal peperangan antara Islam dan peradaban-peradaban dunia lainnya.
Setelah Amerika melakukan invasi ke beberapa negara muslim, ternyata hasilnya semakin tidak jelas dan motifnya semakin terlihat bahwa Islam menjadi sasaran utamanya. Amerika yang menginvasi kedaulatan Irak dan Afghanistan juga tidak menemukan titik terang. Jadi semakin terbuka kemungkinan bahwa peperangan terjadi bukan lagi mengatasnamakan agama, melainkan kepentingan-kepentingan politik masa depan negara Barat. Keinginan itu sudah tercium oleh negara-negara Muslim yang menjadi sasaran kepungan dari dunia Barat.
Ahmed menangkap pesan bahwa “peperangan terhadap terorisme” lebih tampak sebagai sebuah ekspresi kekerasan dari mesin imperialisme Amerika yang serakah, tak pernah puas, dan menebar ancaman. Kebencian dan prasangka menggatikan pemikiran dan analisis yang cenderung salah. Ilmu-ilmu sosial semestinya dapat memberikan penjelasan mengenai itu. Padahal, ada teori Emile Durkheim, yang mengulas tentang mengapa orang berani bunuh diri. Orang bunuh diri menurut Durkheim, bukan saja disebabkan gangguan mental-psikis, kelompok-ras, atau iklim, melainkan ada konsekuensi dari terganggunya tatanan sosial yang tidak menentu.
Durkheim juga sependapat dengan Ibn Khaldun mengenai teori “Ashabiyah” yaitu bentuk “loyalitas kelompok”, “kohesi sosial”, atau “solidaritas sosial”. Dengan kedua perspektif tersebut, Ahmed berpandangan bahwa ketidak-harmonisan Islam dan Barat itu disebabkan karena berubahnya tatanan sosial, ambruknya tatanan sosial, dan perasaan kehilangan harkat (honor) dan martabat (dignity).
Peperangan bukan lagi persoalan ajaran dan doktrin agama, tetapi masalah ketidakseimbangan arus tatanan sosial yang ada. Terlebih lagi, kehidupan kita sedang melewati babakan alternatif pascamodernisme (postmodernism), pascaemosionalisme (postemotionalism), dan pascamanusia (posthuman). Dan saatnya sekarang, memasuki sebuah dunia “pascaharkat” (post-honor). Dengan konsep ini, maka mengurai konflik Islam dan Barat harus dijelaskan dengan ide-ide tentang ‘Ashabiyyah, loyalitas, kohesi, atau solidaritas sosial.
Jadi, kekerasan bukan lagi didorong oleh doktrin agama, melainkan adanya perubahan harkat (honor). Dalam hal ini, Ahmed berpendapat bahwa perubahan harkat merupakan konsekuensi dari jenis baru ‘ashabiyyah yang obsesif terhadap kelompok, yang biasa diekspresikan permusuhan, dan seringkali, kekerasan terhadap kelompok lain. Ahmed menyebutnya sebagai “hiper-‘ashabiyyah”. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa perkembangan global telah merampas kehormatan (honor) banyak orang yang memicu terjadinya aksi kekerasan.
Osama bin Laden adalah contoh paling mudah dibaca dan dicerna. Banyak orang menafsirkan harkat sebagai aksi kekerasan dan bagaimana mereka mengimplementasikan penafsiran ini untuk meraih harkat kembali. Hiper-‘ashabiyyah mendorong timbulnya penafsiran yang mutatif, ngawur, dan kaku terhadap konsep harkat, juga menciptakan kondisi-kondisi bagi terbentuknya masyarakat pascaharkat.
Dengan demikian, istilah-istilah fundamentalis, teroris, ekstrimis dapat dikatakan tidak bermakna lagi bagi kita sekarang ini. Penggunaan istilah tersebut hanyalah menambah kebingungan. Begitu pula istilah “inklusif” dan “eksklusif”, karena keduanya mengandung makna simplistik. Memang, menjelaskan persoalan kekerasan harus berhati-hati dalam memakai istilah-istilah. Karena istilah, orang bisa bersatu-padu, tetapi atas nama istilah pula orang bisa baku hantam.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar