Oleh: Mujtahid
Pendahuluan
PENAFSIRAN mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah Rasul selalu akan melahirkan pemahaman yang komprehensif, baik itu secara teoritis maupun praktis. Ayat-ayat yang berhubungan dengan konsep pendidikan telah banyak dibicarakan dan dipahami oleh para cendekiawan Muslim (pedagog Muslim), sekalipun mereka menyampaikannya secara terpisah.
Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" yang hal itu berasal dari lafad bahasa Arab (al-Qur'an). Misalnya dijumpai kata tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Dalam pembahasan berikut ini akan disajikan ketiga konsep yakni tarbiyah dan ta’lim.
Pemaparan ketiga istilah (lafad) tersebut merujuk pada kata-kata (kalimat) dalam al-Qur'an, dan Hadits khususnya bagi konsep ta’dib. Serta tidak melupakan analisis semantik yang akan mengantarkan gambaran pembahasan ini tentang konsep pendidikan dalam multi-perspektif. Dan hal itu sedikit-banyak telah dikupas para pedagog Muslim yang saat ini telah menjadi sumber referensi dalam mengkaji makna pendidikan.
Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’an
1. Tarbiyah
Istilah tarbiyah diambil dari akar kata (rabba, yarubbu, tarbiyah ) yang artinya memperbaiki, menguasai, menutun, menjaga, memelihara. Imam al-Baidhawi mengartikan tarbiyah adalah menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit sehingga sempurna. Tarbiyah juga berasal dari akar kata (rabiya, yarba) yang berarti menjadikan sesuatu itu menjadi besar. Selanjutnya kata tarbiyah juga berasal dari kata (raba, yarbu) yang artinya bertambah, bertumbuh, atau berkembang sebagamana kita jumpai pada ayat al-Qur'an (Q.S. 30:39).
Semua arti itu sejalan dengan lafad yang digunakan oleh al-Qur'an untuk menunjukkan proses pertumbuhan dan pekembangan kekuatan baik itu kekuatan fisik, akal maupun akhlak.
Bertolak dari ketiga term/lafad tersebut 'Abd Rahman al-Nahlawi menyimpulkan bahwa tarbiyah mengandung empat unsur pokok, yaitu: pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa; kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan; dan keempat, dilaksanakan secara tertahap.
Adapun ayat-ayat yang berhubungan dengan konsep tabiyah misalnya:
Artinya: Fir'aun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kecil dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu (Q.S. al-Syu'ara':18)
Artinya: Dan katakanlah wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana berdua mendidik aku waktu kecil (al-Isra':24).
Kedua ayat tersebut, menunjukkan bahwa tarbiyah adalah proses pengasuhan pada fase permulaan pertumbuhan manusia. dalam pengertian ini pendidikan merupakan upaya untuk menyempurnakan proses penciptaan manusia dalam pertumbuhannya, sehingga menjadi sempurna.
Menurut al-Razi dalam karya monumentalnya (Tafsir al-Kabir) lafad tarbiyah berarti pertumbuhan atau pengembangan (tanmiyah). dalam penjelasannya dikatakan bahwa pengaharan tidak hanya terbatas pada berbuat baik kepada kedua orangtua dalam bentuk perkataan, akan tetapi lebih dari itu, pengajaran itu ditunjukkan untuk tindakan atau perbuatan supaya seorang anak sudi mendo'akan orang tuanya supaya diberi rahmat.
Hal senada juga dijelaskan dalam tafsir al-Thabathaba'i (al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an) bahwa seorang anak supaya selalu mengingat pengasuhan (pembinaan dalam rangka mendidik, tarbiyah) yang dilakukan oleh kedua orang tuanya ketika kecilnya. oleh karena itu, seorang anak harus berdo’a supaya Allah memberikan rahmat kepada keduanya sebagaimana mereka berdua memberikan belas asuhan dan mendidiknya diwaktu kecil.
Al-Qurtubi dalam tafsirnya (tafsir al-Qurtubi) dijelaskan bahwa makna al-rabb dalah pemilik, tuan, Yang Maha Mengatur, Yang Maha Menambah dan Yang Maha Menunaikan. Sementara Sayyid Qutub, dalam kitabnya (tafsir fi dlila li al Qur’an) mengartikan kata rabbiyun sebagai pemeliharaan anak serta menumbuhkan kematangan sikap mentalnya.
Al-Maraghi dalam tafsirnya (Tafsir al-Maraghi) memberikan arti tarbiyah dengan dua bagian. Pertama, Tarbiyah Khalqiyah yakni pembinaan dan pengembangan jasad, jiwa dan akal dengan berbagai petunjuk. Kedua, Tarbiyah Diniyah Tahdhibiyah, yakni pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa.
Dari kedua pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa al-tarbiyah adalah proses pembinaan dan pengembangan potensi manusia melalui pemberian petunjuk yang dijiwai oleh wahyu ilahi. Hal ini akan menyebabkan potensi manusia dapat tumbuh dengan produktif dan kreatif tanpa menghilangkan etika ilahi yang telah ditetapkan dalam wahyu-Nya.
Dalan surat ali Imran ayat 79 disebutkan istilah (rabbaniyin) yaitu:
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang “rabbani”, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajari (Q.S. al- Imran: 79).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn Abbas telah ditemukan lafad yang sama;
“Jadilah kamu para pendidik yang penyantun, ahli fiqh, dan berilmu pengetahuan. Dan dikatakan predikat “rabbani” apabila seseorang telah mendidik manusia dengan ilmu pengetahuan, dari sekecil-kecilnya samapi menuju pada yang tinggi.”
Kalau dikaji secara semantik, hadits dan ayat di atas memiliki hubungan (munasabah) yang sama dalam maknanya. Sehingga kata tarbiyah (sebagai panadan dari rabbani) adalah proses tranformasi ilmu pengetahuan dari tingkat dasar menuju tingkat selanjutnya dengan didasari semanat tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya sehingga ketaqwaan, budi pekerti dan pribadi yang luhur.
Jadi, lafad tarbiyah dalam al-Qur'an juga dimaksudkan sebagai proses pendidikan. namun makna pendidikan (tarbiyah) dalam al-Qur'an tidak terbatas pada aspek kognitif berupa pengetahuan untuk selalu berbuat bai kepada orangtua, misalnya; akan tetapi pendidikan itu meliputi juga aspek afektif yang direalisasikan sebagai apresiasi atau sikap respek terhadap keduanya dengan cara menghormati mereka. lebih dari itu, konsep tarbiyah itu meliputi juga tindakan untuk berbakti bahkan sampai kepedulian untuk mendo'akannya supaya mereka mendapatkan limpahan rahmat dari Tuhan yang Mahakuasa. term pendidikan dalam al-Qur'an tidak sekedar merupakan upaya pendidikan pada umumnya, namun konsep pendidikan (tarbiyah) menembus pada aspek etika religius.
2. Ta'lim
Istilah ta'lim memiliki dua pola atau bentuk jamak (plural. perbedaan bentuk jamak itu mengakibatkan sedikit perbedaan arti, meskipun tidak begitu signifikan untuk dibedakan. Pertama, ta'lim dengan pola jamak ta'lim mempunyai sembilan arti, yakni informasion (berita), advice (nasehat), instruction (perintah); direction (petunjuk); teaching (pengajaran); tranining (latihan); shooling (pendidikan di sekolah); education (pendidikan); apprenticeship (bekerja sambil belajar).
Kedua, ta’lim dalam pola jamak ta’limat hanya berarti dua macam, Yakni directives (petunjuk) dan announcement (pengumuman).
Ta’lim berasal dari kata (‘allama, yu’allimu, ta’lim), yang berarti berarti megajar (memberi informasi). Lafad tersebut dalam al-Qur’an disebut banyak sekali. Ayat yang oleh para ahli dijadikan dasar rujukan proses pengajaran (pendidikan) diantaranya:
Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepda malikat lalu berfirman: “sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jikakamu memang orang-orang yang benar (al-Baqarah: 30).
Mereka menjawab: “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana (al-Baqarah: 32).
Ayat tersebut menunjukkan terjadinya proses pengajaran (ta’lim) kepada Adam sekaligus menunjukkan kelebihannya karena ilmu yang dimilikinya tidak diberikan kepada para makhluk lainnya. Maka proses ta’lim hanya bisa terjadi pada makhluk berakal.
Berdasarkan dua ayat di atas, lafad ta’lim (dari term ‘allama) itu cenderung pada aspek pemberian informasi. Karena pengetahuan yang dimiliki itu semata-mata karena akibat dari pemberitahuan. Sehingga dalam istilah ta’lim itu menempatkan peserta didik sebagai yang pasif adanya. Untuk itu, dalam ayat yang lain dinyatakan, Allah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui.
Artinya: Dia mengajakan manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. al-‘Alaq: 5)
Al-Thabataba’i (al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, juz 20) menafsirkan bahwa Allah mengajarkan baca tulis itu dengan perantaraan pena (alat tulis, atau kalam, al-qalam). Pengajaran itu berupa hal-hal yang tidak diketahui. Interpretasi ini sesuai dengan tafsir Departemen Agama. Namun Al-Thabataba’i menambahkan lebih tegas bahwa meskipun Nabi Muhammad yang diberi wahyu itu bersifatummi, Allah itu telah Maha Kuasa mengajarkan mebaca dan menulis (Ibid).
Dengan demikian, lafad ta’lim yang dipergunakan al-Qur’a untuk menunjukkan proses pemberian informasi kepada peserta didik itu adalah makhluk berakal. Namun, proses ta’lim juga menjadi indikator kelebihan manusia sebagai peserta didik karena kepemilikan akal pada dirinya, sehingga melalui proses ta’lim itu, pesan-pesan Allah Swt. Kepada Nabi Adam sebagai khalifahnya di muka bumi untuk mengelola dan memakmurkan serta memanfaatkan hasil budi daya bumi untuk keperluan menuju kebahagiaan dan kemakmuran hidupnya.
Jadi, potensi akal manusia itu tidak terbatas untuk menerima informasi belaka, namun juga dimaksudkan untuk memberdayakan potensi akal tersebut sebagai bekal dalam menerima tugas sebagai khalifah.
Menurut Abd Fattah Jalal dalambukunya (Minal Ushul al-Tarbiyah al-Islam wa Asalibuha) berdasarkan ayat-ayat di atas, diketahui bahwa proses ta’lim lebih bersifat universal. Sebab ketika mengajarkan al-Qur’an kepada kaum Muslimin, Rasul tidak terbatas pada dapat membaca, tetapi membaca dengan merenungkan yang berisi pemahaman. Selanjutnya, dari proses ini Rasul membawa mereka kepada tazkiyah (penyucian diri) dan menjadikan diri itu dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima hikmah serta mempelajari segala sesuatu yang bermanfaat untuk diketahui.
Sementara Rasyid Ridha dalam tafsirnya (Tafsir al-Manar) menta’rifka kata ta’lim dengan proses tranformasi berbagai ilmupengetahuan pada jiwa manusia tanpa adanya batas-batas dan ketentuan tertentu. Pengertian ini berpijak pada ayat al-Baqarah ayat 31 tentang allama Tuhan kepada Nabi Adam, sedangkan proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaiman Nabi Adam menyaksikan dan mengalisis asma-asma yang diajarkan oleh Allah kepadanya.
Karena itulah, proses ta’lim tidak berhenti hanya pada pengetahuan yang lahiriyah. Ta’lim mecakup pula pengetahuan teoritis, mengkaji secara lisan, dan menyuruh melaksanakan pengetahuan itu. Ta’lim mencakup pula aspek-aspek pengetahuan lainnya serta ketrampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan serta pedoman berperilaku. Dalam pengertian ini, menurut Jalal, pengertian ta’lim lebih luas daripada pengertian tarbiyah.
3. Ta’dib
Lafal ta’dib setidaknya mempunyai lima macam arti; education (pendidikan), disipline (ketertiban), punishment,chastisement (hukuman), disciplinary-punishment (hukuman demi ketertiban). Nampaknya lafal ini lebih mengarah pada perbaikan tingkah laku (Ismail, dkk., 2001:61).
Dalam al-Qur’an lafal ta’dib memang tidak ditemukan, tapi lafal itu diambil dari sebuah hadits Nabi yang berbunyi;
“Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku.”
Istilah ini dimunculkan oleh al-Attas dalam menjelaskan pengertian bahwa ta’dib merupakan alternatif untuk konsep pendidikan Islam. Dalam pandangan al-Attas, menggunakan istilah (lafad) ta’dib, merupakan alternatif yang jauh lebih tepat daripada istilah-istilah lainnya. Pemilihan istilah ta’dib, merupakan hasil analisa tersendiri bagi al-Attas dengan menganalisis dari sisi semantik dan kandungan yang disesuaikan dengan pesan-pesan moralnya.
Imam Bukhari –seorang ahli perawi sekaligus kolektor hadits – mengklasifikasikan hadits tersebut di atas ke dalam bab tafsir al-Qur’an. Dalam klasifikasinya, Ia memasukkan hadits tersebut sebagai interpretasi terhadp QS. Al-Tahrim/66:6. Menurut Ibn Hajar, sebagi proses pendidikan yang memerintahkan anggota keluarga untuk bertaqwa dan taat menjalankan perintah Allah dan menjahui larangannya. Karena hadits ini muncul sebagai perincian atau penjelasan dari QS. Al-Tahrim/66:6, maka esensinya jelas sebagai upaya pendidikan. Selain,
Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim telah mengakar dan mempopuler, al-Attas menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.
Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ (Ismail SM, dalam Abdul Kholiq, dkk., 1999: 275)
Al-Attas melihat bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan dengan umatnya. Dengan menggunakan term adab tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabdanya: “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik (HR. Ibn Hibban).
Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah wahana penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktivitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.
Al-Attas membantah istilah tarbiyah, sebagaimana yang digunakan oleh beberapa pakar pedagogis dalam konsep pendidikan Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi al-Attas (1990:64-66) konsep itu masih bersifat generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan sekalipun ikut terkafer di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Karena itu, di luar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu pakai.
Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini, al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah sabyek yang dapat dididik, disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq, 1999: 280-281).
Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping, tujuan pendidikan Islam yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga mengharapkan pembentukan masyarakat yang idel tidak terabaikan. Seperti dalam ucapannya, ...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar diantaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Saw.
Dengan harapan yang tinggi, al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalitas dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat kumpulan dari individu-individu.
Catatan Akhir
Bertolak pada ketiga konsep tersebut, pendidikan Islam mempunyai cakupan yang sangat luas. Cakupan itu dapat mengandung unsur aktivitas dan sekaligus fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas, berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok oprang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap dan ketrampilna hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial. Sementara pendidikan sebagai fenomena, adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap dan ketrampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak (Muhaimin, dkk., 2002: 37).
Dalam konteks pendidikan Islam, pandangan menyeluruh tersebut dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Sebagaimana konsep yang dikemukakan al-Attas, bahwa pendidikan Islam bermaksud untuk mewujudkan manusia sempurna secara universal. Dengan begitu, berarti sistem pendidikan Islam harus memahami seperangkat bagian-bagian yang terkait satu sama lain dalam sistem pendidikan.
Al-Attas berpandangan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga terbagi dua katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu ilahi), dan ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset manusia).
Al-Attas membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia, adalah berian Allah (God Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra ruhaniyah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah.
Menurut al-Attas, bahwa akal merupakan mata rantai yang menghubungkan antara yang jasmani dan yang ruhani, karena akal pada hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama merupakan kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri manusia.
Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam tingkat (rendah, menengah, dan tinggi) ilmu fardlu ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat menengah dan tingkat universitas. Karena universitas menurut al-Attas merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus di dahulukan. Seperti yang dijelaskan al-Attas (1991: 41) ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit secara berurutan ketingkat yang lebih rendah mengingat tingkat universitas mencerminkan perumusan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan.
Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa kata-kata (kalimat) dalam al-Qur’an ternyata mengandung makna yang sangat luas. Kata tarbiyah misalnya, setelah dikaji secara mendalam banyak melahirkan pengertian yang beraneka macam. Namun semua makna itu tetap dalam kerangka makna konsep pendidikan. Begitu juga dengan kata ta’lim, meski para pengkaji berbeda dalam menafsirkan lafad itu, tetapi justru penafsirannya itu memperkaya makna terhadap lafad ta’lim sendiri. Pengertian yang sama pula juga terjadi pada pengistilahan ta’dib, meski secara gramatikal tidak termaktub di dalam al-Qur’an.***
Daftar Pustaka
Al-Maraghi, Musthafa, t.t.Tafsir al-Maraghi, Bairut: Dar al-Fikr.
Al-Asqalani, Ibn hajar, 1981. Fath al-Bahri bi Syarh Shahih al-Bukhari, Juz v, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Nahlawi, Abdurrahman. 1989. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro.
-------------, 1979. Ushul al-Tarbiyah al-Islam wa Asalibuha, Bairut: Dar al-Fikr.
Al-Qurtubi, Ibn Adullah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari, Tafsir al-Qurtubi, Juz I, Kairo: Barus Sya’bi.
Al-Thabataba’i, t.t. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Bairut: Mu’assasah al-‘Alam li al-Mabu’at.
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib, 1994. Konsep Pendidikan Dalam Islam Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Mizan.
Ismail SM. dkk. [ed.]. 2001. Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalal, ‘Abd Fatah, 1977. Minal Ushul al-Tarbawiyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub Missriyah.
Muhaimin, dkk., 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung: Trigenda Karya.
------------, dkk., 2001: Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Rosdakarya
Qutub, Sayyid, t.t. Tafsil fi Dlila li al-Qur’an, Juz XV, Bairut: Ahyal.
Minggu, 25 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar