Minggu, 07 Februari 2010

TQM Dalam Pendidikan Islam

Mujtahid*
A. Pendahuluan

TQM atau Total Quality Management (manajemen kualitas menyeluruh) adalah strategi manajemen yang ditujukan untuk menanamkan kesadaran kualitas pada semua proses dalam organisasi. Sesuai dengan definisi dari ISO, TQM adalah "suatu pendekatan manajemen untuk suatu organisasi yang terpusat pada kualitas, berdasarkan partisipasi semua anggotanya dan bertujuan untuk kesuksesan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan serta memberi keuntungan untuk semua anggota dalam organisasi serta masyarakat."[1]
Dalam bidang pendidikan Islam, khususnya pada konteks Indonesia, penggunaan TQM memang terlihat belum familiar dan masih jarang yang menerapkan konsep tersebut. Hal ini karena di Indonesia, TQM pertama kali diperkenalkan mulai pada tahun 1980-an dan baru sekarang ini konsep tersebut cukup populer di sektor swasta khususnya dengan adanya program ISO 9000. Diawali penerapannya pada perusahaan-perusahaan terkemuka dan perusahaan milik negara, TQM diadopsi sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan daya kompetitif, baik di tingkat nasional mupun internasional.
Meski demikian, TQM kurang begitu dikenal di sektor publik, khususnya bidang pendidikan. Akan tetapi sejak ada perubahan dari era sentralisasi menuju desentralisasi, memungkinkan sektor publik keadaannya ikut berubah, termasuk sektor pendidikan mulai beradaptasi dengan konsep ini, sebagai langkah strategis guna meningkatkan pelayanan yang optimal pada pelanggannya.
Menurut hemat penulis, TQM harusnya diterapkan pada setiap satuan pendidikan Islam guna mendorong kualitas pelayanan prima kepada stakeholders. Sebab, dalam dunia persaingan global yang tajam saat ini, orang banyak berbicara tentang “mutu” terutama berhubungan dengan pekerjaan yang menghasilkan produk dan/atau jasa. Suatu hasil dibuat karena ada yang membutuhkan, dan kebutuhan tersebut berkembang seiring dengan tuntutan mutu penggunanya.
B. Konsep TQM
Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Menyeluruh adalah suatu konsep manajemen yang telah dikembangkan sejak lima puluh tahun lalu dari berbagai praktek manajemen serta usaha peningkatan dan pengembangan produktivitas. Di masa lampau, literatur manajemen berfokus pada fungsi-fungsi kontrol kelembagaan, termasuk perencanaan, pengorganisasian, perekrutan staf, pemberian arahan, penugasan, strukturisasi dan penyusunan anggaran. Konsep manajemen ini membuka jalan menuju paradigma berpikir baru yang memberi penekanan pada kepuasan pelanggan, inovasi dan peningkatan mutu pelayanan secara berkesinambungan. Faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya "perubahan paradigma" adalah menajamnya persaingan, ketidak-puasan pelanggan terhadap mutu pelayanan dan produk, pemotongan anggaran serta krisis ekonomi. Meskipun akar TQM berasal dari model-model perusahaan dan industri, namun kini penggunaannya telah merambah sturuktur manajemen, baik di lembaga pemerintah maupun lembaga nirlaba.
TQM memperkenalkan pengembangan proses, produk dan pelayanan sebuah organisasi secara sistematik dan berkesinambungan. Pendekatan ini berusaha untuk melibatkan semua pihak terkait dan memastikan bahwa pengalaman dan ide-ide mereka memiliki sumbangan dalam pengembangan mutu. Ada beberapa prinsip-prinsip fundamental yang mendasari pendekatan semacam itu, seperti mempromosikan lingkungan yang berfokus pada mutu; - dimana terdapat komunikasi terbuka dan rasa kepemilikan pegawai - sistem penghargaan dan pengakuan; pelatihan dn pendidikan terus menerus, dan pemberdayaan pegawai.
Menurut Salis,[2] TQM adalah sebagai suatu filosofi dan suatu metodologi untuk membantu mengelola perubahan, dan inti dari TQM adalah perubahan budaya dari pelakunya. Sedangkan menurut Slamet,[3] menegaskan bahwa TQM adalah suatu prosedur dimana setiap orang berusaha keras secara terus menerus memperbaiki jalan menuju sukses. TQM bukanlah seperangkat peraturan dan ketentuan yang kaku, tetapi merupakan proses-proses dan prosedur-prosedur untuk memperbaiki kinerja. TQM juga menselaraskan usaha-usaha orang banyak sedemikian rupa sehingga orang-orang tersebut menghadapi tugasnya dengan penuh semangat dan berpartisipasi dalam perbaikan pelaksanaan pekerjaan.
Oleh karena TQM menselaraskan usaha-usaha orang banyak dan agar mereka bersemangat dan berpartisipasi dalam perbaikan pelaksanaan pekerjaan, maka menuntut adanya perubahan sifat hubungan antara yang mengelola (pimpinan) dan yang melaksanakan pekerjaan (staf atau karyawan). Perintah dari atasan diubah menjadi inisiatif dari bawah, dan tugas pimpinan bukanlah memberi perintah tetapi mendorong dan memfasilitasi perbaikan mutu pekerjaan.
Pendapat yang serupa juga diungkap Tjiptono,[4] TQM adalah salah satu pola manajerial yang berusaha merespon perubahan yang serba cepat dan terus menerus dalam kehidupan masyarakat. Konsep manajemen mi menawarkan pendekatan baru dalam mengelola perusahaan, keutuhan dalam manajemen menjadi ciri utama TQM. Dalam TQM tidak dikenal system pemisahan secara kaku antara. think (yang dilakukan pihak manajemen) dan act (yang diemban oleh karyawan.
Lebih lanjut, Tjiptono mengungkapkan bahwa TQM merupakan proses perkembangan dari konsep kualitas/mutu. Awalnya, konsep kualitas/mutu adalah dengan menggunakan nama yang diakhiri ing seperti reengineering, rightsizing, restructuring, downsizing, delayering, reinventing, benchmarking dan lain sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya konsep kualitas/mutu kemudian menggunakan akronim tiga huruf, seperti TQM (Total Quality Management), BPR (Business Process Reengineering), ABC/ABM (Activity-Based CostinglActivity-Based Management), EVA (Economic Value Added), JIT (just-In-Time), SCM (Strategic Cost Management), QFD (Quality Function Deployment), lan lain sebagainya.
Nama TQM dikenalkan pertama kali oleh Nancy Warren, seorang behavioral scientist di Universitas States Navy. Sekalipun banyak konsep bermunculan berkenaan dengan kualitas/mutu, namun tidak banyak yang dapat bertahan dan mendapat respon dari masyarakat. Sehingga banyak konsep yang pada awal kemunculannya membuat heboh, tetapi tidak lama kemudian hilang tertelan waktu. Lain dengan TQM konsep ini termasuk diantara sedikit konsep yang banyak menyita perhatian para akademisi dan praktisi dari berbagai belahan duia pada dua decade terakhir.
Manajemen Mutu dan TQM
Mutu adalah sifat dari benda dan jasa. Menurut Arcaro,[5] mutu merupakan sebuah proses terstruktur untuk memperbaiki keluaran yang dihasilkan. Mutu didasarkan pada akal sehat. Di bidang pendidikan, mutu menciptakan lingkungan baik pendidik, orangtua, pejabat pemerintah, wakil masyarakat dan pebisnis, untuk bekerjasama guna memberikan peluang dan harapan masa depan peserta didik.
Setiap orang selalu mengharapkan bahkan menuntut mutu dari orang lain, sebaliknya orang lain juga selalu mengharapkan dan menuntut mutu dari diri kita. Ini artinya, mutu bukanlah sesuatu yang baru, karena mutu adalah naluri manusia. Benda dan jasa sebagai produk dituntut mutunya, sehingga orang lain yang menggunakan puas karenanya. Dengan demikian, mutu adalah paduan sifatsifat dari barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat.
Benda dan jasa sebagai hasil kegiatan manusia yang secara sadar dilakukannya disebut “kinerja”. Kinerja itulah yang dituntut mutunya, sehingga muncul istilah “mutu kinerja manusia”. Suatu kinerja disebut bermutu jika dapat menemuhi atau melebihi kebutuhan dan harapan pelanggannya. Oleh karena itu, maka suatu produk atau jasa sebagai kinerja harus dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya.
Dalam pembicaraan tentang mutu, terdapat unsur-unsur yang terkait, yaitu: produk dan jasa, penghasil produk/jasa, pelanggan, kebutuhan dan harapan, produk/jasa yang bermutu dan kepuasan.
Produk dan jasa adalah hasil yang diproduksi karena ada yang memerlukan. Orang yang membuat produk atau jasa disebut penghasil produk/jasa, sedangkan orang yang memerlukan produk/jasa itu disebut pelanggan. Adapun kebutuhan dan harapan adalah cerminan dari apa saja yang diharapkan atau dibutuhkan oleh pelanggan dari pihak penghasil3 produk/jasa. Adanya produk/jasa yang disebut bermutu bila dapat memenuhi atau bahkan melebihi dari sekedar kebutuhan dan harapan pelanggan/ penggunanya, yang ditandai dengan kepuasan.
Ciri-ciri manajemen mutu (sebagai bentuk pelayanan pelanggan), sebagaimana yang dikehendaki dalam TQM yaitu ditandai dengan: (1) ketepatan waktu pelayanan, (2) akurasi pelayanan, (3) kesopanan dan keramahan (unsur menyenangkan pelanggan), (4) bertanggung jawab atas segala keluhan (complain) pelanggan, (5) kelengkapan pelayanan, (6) kemudahan mendapatkan pelayanan, (7) variasi layanan, (8) pelayanan pribadi, (9) kenyamanan, (10) dan ketersediaan atribut pendukung.[6] Setiap produk/jasa yang bermutu memberikan pelayanan tepat waktu seperti yang disepakati dengan pelanggan. Kemoloran atau tertundanya waktu dari yang telah disepakati menjadi cacat mutu karena cidera janji.
Akurasi pelayanan atau ketepatan produk/jasa seperti yang diminta atau dipesan oleh pelanggan juga merupakan salah satu dari ciri mutu pelayanan. Kesalahan atau kemelencengan dari apa yang dipesan, menyebabkan produk/jasa tersebut tidak bermanfaat bahkan mendatangkan kerugian bagi pelanggan. Untuk itu menjadi penting melakukan proses pendefisian kebutuhan pelanggan sebelum proses produksi/layanan dilakuan.
Setiap pelayanan yang bermutu harus menyenangkan pelanggan, sehingga kesopanan dan keramah-tamahan dalam berkomunikasi dengan pelanggan menjadi unsur penting untuk menjaga mutu. Ungkapan sehari-hari dalam dunia bisnis: “pembeli adalah raja” maksudnya adalah berusaha menyenangkan pembeli agar kembali lagi untuk membeli di kesempatan lain.
Setiap penghasil produk/jasa harus berani bertanggung jawab atas segala yang telah diperbuatnya, ia harus mempertanggung jawabkan atas segala resiko yang diakibatkan oleh pekerjaan itu. Semua yang menjadi keluhan (complain) pelanggan harus dipertanggung jawabkan, jika produk tidak sesuai dengan yang dipesan/dibutuhkan sesuai janji kesepakatan sebelumnya, maka ia harus bertanggung jawab untuk menggantinya. Sebagai penghasil produk/jasa haruslah selengkap mungkin menyediakan sarana dan kemampuan yang diperlukan oleh pelanggan. Ini artinya, bahwa penghasil produk/jasa haruslah profesional dan kompeten4 dengan bidangnya. Selain itu, sebagai penghasil produk/jasa haruslah memberikan kemudahan kepada pelanggan untuk mendapatkan produk/jasa tersebut, baik yang berhubungan dengan waktu, tempat, atau kemudahan menjangkaunya.
Bentuk pelayanan hendaknya juga bervariasi, sehingga banyak pilihan bagi pelanggan. Inovasi haruslah digalakkan sehingga banyak temuan untuk menunjang variasi layanan tersebut. Sedapat mungkin pelayanan bersifat pribadi lebih ditonjolkan, sehingga tidak terkesan kaku, fleksibel dan terkesan ada penanganan khusus bagi pelanggan. Kenyamanan pelayanan harus pula diciptakan, misalnya berhubungan dengan lokasi/ruangan, fasilitas pelayanan yang memadai seperti petunjuk-petunjuk yang mudah dikenali oleh pelanggan, dan ketersediaian informasi yang dibutuhkan oleh pelanggan.
Peranan atribut pendukung seperti lingkungan yang nyaman, kebersihan yang standar, ruangan ber AC, ruang tunggu dan lain-lain yang bersifat penunjang sangat diperlukan bagi suksesnya pelayanan mutu. Oleh karena itu perlu diperhatikan. Konsep mutu sebenarnya selain bersifat absolut juga bersifat relatif dari pelanggannya. Mutu yang bersifat absolut menunjuk pada suatu produk/ jasa yang standar tertentu, dipatok dengan ukuran tertentu oleh suatu lembaga yang memiliki otonomi untuk itu. Mutu suatu produk/ jasa yang bersifat relatif berarti tergantung pada konsumennya/pelanggannya bagaimana mereka menetapkan standar kebutuhan dan harapannya.
Mengapa produk/ jasa harus bermutu? Dalam persaingan bebas kita seharusnya berorientasi pada kebutuhan dan harapan konsumen atau pelanggan (customers). Jika produk/layanan hasil kinerja kita tidak bermutu, maka customers akan meninggalkan kita, karena ada alternatif lain yang bisa dipilih oleh mereka. Jika penghasil produk/jasa ingin tetap berlangsung usahanya (dipakai oleh customers), maka ia harus menjaga mutu bahkan meningkatkan mutu produk/jasa layanannya seiring dengan tuntutan kebutuhan dan harapan customers.
Adapun sifat-sifat pokok mutu jasa, menurut Slamet adalah mengadung unsur-unsur: (1) keterpercayaan (reliability), (2) keterjaminan5 (assurance), (3) penampilan (tangibility), (4) perhatian (emphaty), dan (5) ketanggapan (responsiveness).[7]
Keterpercayaan dapat dihasilkan dari sikap dan tindakan seperti: jujur, tepat waktu pelayanan, terjaminnya rasa aman dengan produk/jasa yang dipergunakan/diperoleh, dan ketersediaan produk/jasa saat dibutuhkan pelanggan.
Keterjaminan suatu mutu jasa dapat ditimbulkan oleh kondisi misalnya penghasil produk/jasa memang kompeten dalam bidangnya, obyektif dalam pelayanannya, tampil dengan percaya diri dan meyakinkan pelanggannya. Penampilan adalah sosok dari produk/jasa dan hasil karyanya. Misalnya bersih, sehat, teratur dan rapi, enak dipandang, serasi, berpakaian rapi dan harmonis, dan buatannya baik.
Empati adalah berusaha merasakan apa yang dialami oleh pelanggan (“seandainya saya dia”). Cara berempati dapat dinyatakan dengan penuh perhatian terhadap pelanggan, melayani dengan ramh dan memuaskan, memahami keinginan pelanggan, berkomunikasi dengan baik dan benar, dan bersikap penuh simpati.
Adapun ketanggapan adalah ungkapan cepat tanggap dan perhatian terhadap keluhan pelanggan. Ungkapan tersebut dapat dinyatakan dengan cepat memberi respon pada permintaan pelanggan dan cepat memperhatikan dan mengatasi keluhan pelanggan.

C. Nilai-nilai Kepemimpinan Islam dan Nilai-nilai TQM
Menurut Hersey dan Blanchard, seperti yang dikutip Tobroni, bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.[8] Gibson menambahkan bahwa kepemimpinan itu mempengaruhi memotivasi atau kompetensi individu-individu dalam suatu kelompok.
Sedangkan kaitannya dengan TQM, menurut Goetsch dan Davis, bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan untuk membangkitkan semangat orang lain agar bersedia dan memiliki tanggungjawab total terhadap usaha mencapai atau melampau tujuan organisasi.[9]
Baik dalam nilai-nilai kepemimpinan Islam maupun TQM, keduanya memiliki karakteristik sebagai berikut:
Pertama: tanggungjawab yang seimbang. Maksudnya tanggungjawab terhadap pekerjaan yang dilakukan dan tanggungjawab terhadap orang yang harus melaksanakan pekerjaan tersebut. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa, setiap manusia sesungguhnya pemimpin, dan seorang pemimpin tersebut bertanggungjawab apa yang dipimpinnya.
Kedua, memiliki kemampuan yang baik. Maksudnya, pemimpin yang baik adalah seorang yang mempunyai kemampuan dan ide-ide/gagasan yang cemerlang guna meningkatkan kualitas lembaga/organisasi. Dalam sebuah hadits juga disitir, bahwa jika suatu urusan diserahkan pada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Pemimpin dipilih berdasarkan prestasi dan kemampuan khusus tertentu yang sangat dibutuhkan untuk memimpin sebuah lembaga.
Ketiga, memiliki ketrampilan komunikasi yang baik. Pemimpin yang berkualitas harus bisa menyampaikan pikirannya secara jelas dengan menggunakan komunikasi yang tepat dan efektif. Banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung mengenai pentinggnya menggunakan bahasa, tentang qaulan karimah (perkataan yang mulia) qaulan baligha (perkataan yang sampai), dan seterusnya. Pemimpin yang sukses ialah pemimpin yang dapat menggunakan ketrampilan komunikasi dan pengaruhnya untuk meyakinkan orang lain akan sudut pandangnya serta mengarahkan mereka pada tanggungjawab total terhadap pandangannya.
TQM memandang bahwa kepemimpinan bukanlah fungsi dari kharisma. Dengan demikian, nilai-nilai kepemimpinan dapat diukur indikatornya sebagai berikut:
1. Pemimpin menentukan dan mengungkapkan misi organisasi secara jelas.
2. pemimpin menetapkan tujuan, perioritas dan standar
3. pemimpin lebih memandang kepemimpinan sebagai tanggungjawab daripada suatu hak istimewa dari suatu kedudukan.
4. pemimpin bekerja dengan orang-orang yang berpengetahuan dan tangguh, serta memberikan kontribusi kepada organisasi.
5. pemimpin memperoleh kepercayaan, respek dan integritas.
Sementara nilai-nilai kepemimpinan Islam (spiritual) menurut Tobroni, terdapat lima hal yang urgent untuk sikapi, yaitu: pertama, pemimpin merupakan murabbi (pendidik/contoh/suri tauladan). Artinya pemimpin harus peduli dan mampu ”mengemong” orang-orang yang dipimpinnya. Kedua, pemimpin pengilham, artinya seorang yang memberdayakan, mencerahkan, mengkayakan serta mensejahterakan orang yang dipimpin. Ketiga, pemimpin sebagai pemakmur. Artinya seorang yang berlomba-lomba untuk kebajikan, serta bersungguh-sungguh dijalan kebenaran sehingga dapat memakmurkan orang-orang yang dipimpinnya. Keempat, pemimpin sebagai entrepreneur. Seorang pemimpin harus memiliki jiwa inovatif serta mampu mecari peluang-pelung yang dapat memajukan sebuah oraganisasinya. Kelima, pemimpin sebagai pemberdaya. Yaitu seorang pemimpin yang mampu melahirkan regenerasi (leader) untuk kelangsungan sebuah organisasi/lembaga.[10]

D. Implikasi TQM pada Pendidikan Islam
Untuk pengembangan manajemen mutu terpadu, usaha pendidikan Islam tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelanggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut. Yaitu peserta didik yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang bersifat tersier adalah lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari interen lembaga; mereka itu adalah para guru/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para para guru/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas mereka diuntungkan, baik secara kebanggaan maupun finansial.
Seperti disebut di atas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan Islam haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan tersebut. Kepuasan dan kebanggan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan Islam.
Untuk mengaplikasikan konsep TQM ke dalam pendidikan Islam, perlu kita meminjam prinsip-prinsip pencapaian mutu Edward Deming, berikut ini, ialah uraian tentang penerapan prinsip-prinsip tersebut ke dalam Pendidikan Islam:
Pertama, Untuk menjadi lembaga pendidikan Islam yang bermutu perlu kesadaran, niat dan usaha yang sungguh-sungguh dari segenap unsur di dalamnya. Pengakuan orang lain (siswa, sejawat dan masyarakat) bahwa pendidikan Islam adalah bermutu harus diraih.
Kedua, lembaga pendidikan Islam yang bermutu adalah yang secara keseluruhan memberikan kepuasan kepada masyarakat pelanggannya, artinya harapan dan kebutuhan pelanggan terpenuhi dengan jasa yang diberikan oleh lembaga tersebut. Kebutuhan pelanggan adalah berkembangnya SDM yang bermutu dan tersedianya informasi, pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat, karya/produk lembaga pendidikan Islam tersebut. Bentuk kepuasan pelanggan misalnya para lulusannya merasakan manfaat pendidikannya dalam meniti karirnya di lapangan kerja. Selain itu di dalam pendidikan Islam tersebut terjadi proses belajar-mengajar yang teratur dan lancar, guru-gurunya produktif, berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara, dan lulusannya berperestasi cemerlang di masyarakat.
Ketiga, perhatian lembaga pendidikan selalu ditujukan pada kebutuhan dan harapan para pelanggan: siswa, masyarakat, industri, pemerintahan dan lainnya, sehingga mereka puas karenanya.
Keempat, dalam lembaga pendidikan Islam yang bermutu tumbuh dan berkembang kerjasama yang baik antar sesama unsur didalamnya untuk mencapai mutu yang ditetapkan. Sebagai contoh kelompok pengajar bekerjasama menyusun startegi pembelajaran siswa secara efektif dan efisien. Jika hanya satu atau dua saja guru yang mengajar secara baik tidaklah cukup, karena tidak akan menjamin terjadinya mutu siswa yang baik. Untuk itu, maka harus semua guru menjadi pengajar yang baik. Sebaliknya, jika gurunya menjadi pengajar yang baik, maka siswanya haruslah ingin belajar secara efektif. Proses belajar mengajar tidak dapat dikatakan efektif dan efisien jika hanya sepihak, gurunya saja atau siswanya saja yang baik. Interaksi yang baik antar sesama unsur dalam pendidikan Islam harus terjalin secara intensif, agar pencapaian mutu dapat berhasil sesuai harapan. Dalam upaya menggiatkan kerjasama antar unsur dalam pendidikan Islam tersebt perlu dibentuk “tim perbaikan mutu” yang diberi kewenangan untuk mencari upaya agar mutu pendidikan Islam lebih baik. Untuk ini pelatihan kepada tim terutama tentang cara-cara bekerjasama yang efektif dan efisisen dalam tim sangat diperlukan.
Kelima, diperlukan pimpinan yang mampu memotivasi, mengarahkan, dan mempermudah serta mempercepat proses perbaikan mutu. Pimpinan lembaga (kepala sekolah/madrasah, wakil kepala sekolah, hingga kepala bagian-bagian terkait) bertugas sebagai motivator dan fasilitator bagi orang-orang yang bekerja dibawah pengawasannya untuk mencapai mutu. Setiap atasan adalah pemimpin, sehingga ia haruslah memiliki kepemimpinan. Kepemimpinan haruslah yang membuat orang kemudian merasa lebih berdaya, sehingga yang dipimpin mampu melaksanakan tugas pekerjaannya lebih baik dan hasil yang lebih baik pula.
Keenam, semua karya lembaga pendidikan Islam (pengajaran, penelitian, pengabdian, administrasi dll.) selalu diorientasikan pada mutu, karena setiap unsur yang ada didalamnya telah berkomitmen kuat pada mutu. Akibat dari orientasi ini, maka semua karya yang tidak bermutu ditolak atau dihindari.
Ketujuh, Ada upaya perbaikan mutu lembaga pendidikan secara berkelanjutan. Untuk ini standar mutu yang ditetapkan sebelumnya selalu dievaluasi dan diperbaiki sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Kedelapan, segala keputusan untuk perbaikan mutu pelayanan pendidikan/pengajaran selalau didasarkan data dan fakta untuk menghindari adanya kelemahan dan keraguan dalam pelaksananannya.
Kesembilan, penyajian data dan fakta dapat ditunjang dengan berbagai alat dan teknik untuk perbaikan mutu yang bisa dianalisis dan disimpulkan, sehingga tidak menyesatkan.
Kesepuluh, hendaknya pekerjaan di lembaga pendidikan jangan dilihat sebagai pekerjaan rutin yang sama saja dari waktu ke waktu, karena bisa membosankan. Setiap kegiatan di lembaga tersebut harus direncanakan dan dilaksanakan dengan cermat, serta hasilnya dievaluasi dan dibandingkan dengan standar yang ditetapkan. Hendaknya tercipta kondisi pada setiap yang bekerja dilembaga tersebut untuk bersedia belajar sambil bekerja, dan sedapat mungkin diprogramkan baik belajar tentang materi, metode , prosedur dan lain-lain.
Kesebelas, dari waktu ke waktu prosedur kerja yang digunakan di lembaga pendidikan Islam perlu ditinjau apakah mendatangkan hasil yang diharapkan. Jika tidak maka prosedur tersebut perlu diubah dengan yang lebih baik.
Keduabelas, Perlunya pengakuan dan penghargaan bagi yang telah berusaha memperbaiki mutu kerja dan hasilnya. Para guru dan karyawan administrasi mencoba cara-cara kerja baru dan jika mereka berhasil diberikan pengakuan dan penghargaan.
Ketigabelas, Perbaikan prosedur antar fungsi di lembaga pendidikan Islam sebagai bentuk kerjasama harus dijalin hubungan saling membutuhkan satu sama lain. Tidak ada yang lebih penting satu unsur dari unsur yang lain dalam mencapai mutu pendidikan Islam. Misalnya, tenaga administrasi sama pentingnya dengan tenaga pengajar, dan sebaliknya.
Keempatbelas, tradisikan pertemuan antar pengajar dan siswa untuk mereview proses belajar-mengajar dalam rangka memperbaiki pengajaran yang bemutu. Pertemuan dengan orangtua siswa, pertemuan dengan tokoh masyarakat, dengan alumni, pemerintah daerah, pengusaha dan donatur lembaga pendidikan Islam dapat dilakukan oleh penyelenggara lembaga pendidikan Islam. Pendek kata, hendaknya semua unsur yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan Islam dapat berpartisipasi ikut mengembangkan pendidikan Islam mencapai mutu yang baik.
Mendasarkan hal-hal di atas, tampak bahwa sebenarnya mutu pendidikan Islam adalah merupakan akumulasi dari cerminan semua mutu jasa pelayanan yang ada di lembaga pendidikan Islam yang diterima oleh para pelanggannya. Layanan pendidikan Islam adalah suatu proses yang panjang, dan kegiatannya yang satu dipengaruhi oleh kegiatannya yang lain. Bila semua kegiatan dilakukan dengan baik, maka hasil akhir layanan pendidikan tersebut akan mencapai hasil yang baik, berupa “mutu terpadu.”

E. Kesimpulan
TQM merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan kualitas lembaga/oraganisasi, termasuk lembaga pendidikan Islam yang berorietasi pada kualitas hasil. Sehingga berbagai alat dan instrumen dalam TQM dapat dipakai atau diaplikasikan dalam membangun mutu manajemen pendidikan Islam.
Nilai-nilai kepemimpinan dalam Islam dan TQM terdapat keselarasan yang kompatibel. Hal ini karena Kepemimpinan dalam Islam dan TQM sama-sama mengedepankan rasa tanggungjawab, profesionalitas yang tinggi dan proses yang berkualitas.
Aplikasi TQM dalam lembaga pendidikan Islam dapat mengarahkan pada keutuhan, baik keutuhan dari fokus pelanggan, pengembangan proses, dan pelibatan semua elemen seperti kepala sekolah/madrasah, guru, pegawai, dan suplier perlu diperhatikan dengan terus berorientasi pada kualitas.

Daftar Pustaka
Arcaro, Jerome S., 2005. Quality in Education: In Impelmentation Handbook. [Terjemahan]. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bush, Tony, dan Marianne Coleman, Leadership and Strategic Management in Education, [Terjemahan], Yogyakarta: IRCiSoD.
Salis, Edward. 2006. Total Quality Management in Education. [terj]. Yogyakarta: IRCiSoD.
Slamet, Margono.1994. Manajemen Mutu Terpadu dan Perguruan Tinggi Bermutu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana, 2003. Total Quality Management, Yogyakarta: Andi.
Tjiptono, Fandy, 1999. Aplikasi TQM dalam Manajemen Perguruan Tinggi, Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Depdiknas.
Tobroni, 2005. The Spiritual Leadership; Pengefektifan Organisasi Noble Industry Melalui Prinsip-prinsip Spiritual Etis. Malang. UMM Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_kualitas_total.
http://www.deliveri.org/guidelines/policy/pg-6/pg-6summaryi.htm

[1] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen kualitas_total.
[2] Salis, Edward. 2006. Total Quality Management in Education. [terj]. Yogyakarta: IRCiSoD. Hal. 23.
[3] Slamet, Margono.1994. Manajemen Mutu Terpadu dan Perguruan Tinggi Bermutu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 54.
[4] Tjiptono, Fandy, 1999. Aplikasi TQM dalam Manajemen Perguruan Tinggi, Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Depdiknas.
[5] Arcaro, Jerome S., 2005. Quality in Education: In Impelmentation Handbook. [Terjemahan]. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[6] Slamet, Margono.1994. Manajemen Mutu Terpadu dan Perguruan Tinggi Bermutu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 72-74.
[7] Slamet, Margono.1994. Manajemen Mutu Terpadu dan Perguruan Tinggi Bermutu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 89-90.
[8] Tobroni, 2005. The Spiritual Leadership; Pengefektifan Organisasi Noble Industry Melalui Prinsip-prinsip Spiritual Etis. Malang. UMM Press. Hal. 19.
[9] Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana, 2003. Total Quality Management, Yogyakarta: Andi. Hal. 152.
[10] Tobroni, 2005. The Spiritual Leadership; Pengefektifan Organisasi Noble Industri Melalui Prinsip-prinsip Spiritual Etis. Malang. UMM Press. Hal. 158-210.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

3 komentar:

  1. TEORI TENTANG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SANGAT KURANG SEKALI MAS, SEKALI-KALI ITU YANG KITA POSTKAN. JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEBAGAI DISIPLIN ILMU JADI MENGAMBANG TEORINYA.

    BalasHapus
  2. selamat dan bermanfaat

    BalasHapus
  3. kapan2, coba menulis tentang bagaimana rapuhnya kerangka teoritis dari pendidikan agama islam. pendidikan Islam apakah sama denga pendidikan agama Islam, tentu tidak sama teorinya.

    BalasHapus