Mujtahid *
SUDAH menjadi gejala umum, bahwa abad modern yang ditandai dengan berkembanganya ilmu pengetahuan dan teknologi selain mendorong perubahan yang positif, juga telah berdampak negatif bagi kehidupan manusia. Salah satu segi negatif itu adalah hilangnya keseimbangan jiwa manusia. Tidak sedikit manusia yang tengah menghadapi kegelisahan batin, jiwa bahkan hampir bisa mengakibatkan prustasi dalam hidupnya.
Belakangan ini, banyak jama’ah dzikir yang lahir. Trand semacam itu berusaha memberikan solusi bagi para jama’ah yang tengah mengalami kegelisahan jiwa. Sekalipun saat ini telah berkembang psikologi sebagai disiplin ilmu yang menangani problem-problem psikis manusia, ternyata disiplin ilmu tersebut tidak membuahkan hasil secara memadahi. Sementara di sisi lain, terdapat mutiara terpendam yang senantiasa diamalkan oleh banyak kaum beragama, dan dampaknya luar biasa cemerlang dalam memberikan solusi-solusi problema manusia, yakni dengan cara berdzikir.
Sepintas istilah dzikir lebih dikenal dalam dunia tasawuf, bahkan menjadi salah satu tahapan untuk mencapai derajat sufi. Seseorang belum bisa dikatakan sebagai sufi, kalau hatinya masih diwarnai kegalaun, kegelisahan yang dirasakan dalam jiwanya. Di lihat dari sejarahnya, para sufi-sufi besar, mereka tergolong orang berkecukupan dalam hal materi, sebut saja misalnya, Imam al-Ghazali (seorang yang punya pabrik tekstil, kalau dalam istilah sekarang). Sehingga penempatan makna “dzikir” tidak selalu identik dengan pemahaman selama ini yaitu monopoli bagi “kalangan pinggiran” yang membutuhkan kemurahan Tuhan.
Penghayatan dzikir tidak berarti ditempuh dengan cara uzlah (memisahkan dari kehidupan sosial), tetapi justru aktif melibatkan diri dalam aktivitas duniawi. Model seperti ini kemudian dikenal dengan istilah neo-sufisme, yakni sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Tawaran konsep tersebut agaknya mencuat dan mendapat respons positif, khususnya bagi kalangan perkotaan, yang akhirnya di sebut tasawuf atau sufi kota.
Jadi dzikir menempatkan manusia sebagai manusia. Banyak manusia yang prustasi bukan karena tidak punya harta. Tetapi justru karena godaan harta manusia kehilangan keseimbangan jiwa. Jika hal ini benar, maka basis perkotaan merupakan tempat yang strategis untuk tumbuhnya amalan-amalan dzikir. Perubahan dan persaingan Masyarakat kota jauh lebih keras dibanding dengan masyarakat desa yglebih relatif homogen. Sehingga tingkat depresi di masyarakat kota lebih memungkinkan ketimbang yang terjadi di pedesaan.
Makna Dzikir
Secara etimologis, dzikir berarti mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti. Dari pengertian ini dzikir berarti cocok untuk ditempatkan di mana pun dan kapan pun berada, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Bahkan, sangat mungkin lebih fungsional manakala menempati ruang di perkotaan. Sebab, kehidupan kota lebih dikenal keras, heterogen, metropolitan dibandingkan dengan kehidupan di desa. Dari sinilah dapat dipahami bahwa dzikir merupakan cara untuk mencapai konsentrasi spiritual seseorang. Dzikir juga bersifat implementatif dalam pelbagai variasi yang aktif dan kreatif.
Implikasi dari dzikir adalah timbulnya suatu kesadaran jiwa yang memperhatikan, mengingat kehadiran Tuhan dalam dirinya sebagai keutuhan hidup. Dalam kehidupan sehari-hari, dzikir diharapkan dapat memancar kesegenap aspek kehidupan. Sebab, kondisi keseimbangan jiwa dan iman manusia selalu mengalami fluktuatif yang tidak berjalan secara konstan. Jiwa bergerak bagaikan grafik, yang kadang-kadang menunjukkan kurva menaik dan kadang turun.
Salah satu cara untuk menjaga konstanitas dan menambah keseimbangan jiwa dan iman perlu dilakukan dengan dzikir. Pengaruh yang ditimbulkan dari berdzikir secara konstan ini, akan mampu mengontrol kehidupan sehari-hari. Seorang melupakan dzikir, akan berakibat melupanan jiwanya, Tuhannya, bahkan cenderung berbuat yang tercela.
Menurut M. Afif Anshori (2003), dalam sebuah penelitiannya, dikatakan bahwa timbulnya gangguan kejiwaan, sesungguhnya berpangkal pada ketidaksadaran diri, bahwa dirinya itu tidak mampu mengejar apa yang dicita-citakan. Mereka tetap memforsir segala potensi akal budinya sehingga kelelahan. Menurut anggapannya, segala keinginan jika diusahakan dengan pengerahan segenap potensi tenaga dan pikiran, mesti akan tercapai. Tidak disadari bahwa kemampuan manusia itu terbatas dan ada kelemahannya, terjadilah shock, stress, depresi, prustasi, dan pelbagai macam kekalutan mental lainnya.
Di sinilah pentingnya dzikir dalam membentuk kepribadian manusia. Dengan senantiasa berdzikir, maka akan mengenal dirinya sendiri dan Tuhannya, seperti dalam sebuah ungkapan “man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu”. Secara psikologis, mudzakir (orang yang berdzikir) adalah orang yang terjauh dari ambivalen (goncangan jiwa) akibat derita ataupun kecukupan. Hal ini bisa dikaitkan dengan teori kepribadian Sigmund Freud, bahwa orang yang tidak dzikir, semua gerak dan irama hidupnya selalu dalam pengaruh ID (DasEs). Ego (das Ich) manusia akan senantiasa mengikuti pengaruh alam bawa sadar (ID) tadi.
Dengan banyak dzikir superego yang terdapat pada diri manusia akan berfungsi sebagai alat kontrol bagi perilaku secara baik. Dengan berdzikir manusia akan sejahtera jiwanya, sehingga sejahtera pula tingkah laku individu dan sosialnya. Mereka akan mampu menerima kenyataan yang ada, dan dapat meletakkan hakikat kemanusiaan yang betul-betul insani. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sesungguhnya mengatasi segala problem psikologis yang dihadapi oleh manusia hanya dapat dilakukan melalui dzikir. Sebab dzikir ternyata mampu dijadikan alat penyeimbang (equilibrium) bagi jiwa dan rohani manusia.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar