Selasa, 16 Februari 2010

Problema Penulisan Hadits

Oleh: Mujtahid

Pendahuluan
Sebagaimana informasi yang sering kita serap dari studi hadits, hampir semua mazhab mengakui bahwa hadits memiliki peranan penting dalam berbagai disiplin ajaran Islam-termasuk tafsir, fiqh dan akhlaq- yang merupakan satu kesatuan dari sumber ajaran Islam. Meskipun al-Qur’an menjadi sumber utama, namun hadits tetap dibutuhkan, yakni sebagai penjabaran dari ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Makalah ini akan menyajikan tentang problema penulisan hadits dan sejarahnya. Seperti yang banyak kita jumpai bahwa dari sekian kitab sunnah yang ada sekarang ini merupakan hasil kerja keras dari proses seleksi yang cukup panjang. Tak pelak lagi, bahwa dalam sejarah pengumpulan dan penulisan selalu diwarnai perdebatan panjang dalam rangka menentukan keotentikan hadits.
Sebagian orang berpendapat bahwa pada masa Rasulullah, periwayatan hadits umumnya hanya dilakukan melalui hafalan dari satu sahabat ke sahabat lain, bukan melalui tulisan. Pertimbangannya hanya sederhana, yakni dikhawatirkan akan tercampur dengan ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun al-Qur’an sendiri pada awalnya juga sama bukan untuk dibukukan. Tetapi secara tegas, Rasulullah memberikan lampu hijau kepada para sahabat supaya mencatatnya dengan alat tulis. Sehingga pengumpulan dan penulisan ayat-ayat al-Qur’an lebih mudah di bandingkan dengan kondisi hadits.
Sementara pendapat lain mengatakan bahwa pada diri hadits belum ada ketegasan tentang perintah yang jelas mengenai penulisannya. Bahkan ada sebuah riwayat yang mengatakan sebaliknya, bahwa para sahabat dilarang menulis. Atas dasar inilah kemudian tidak semua hadits dapat diterima dengan serta-merta. Sehingga satu hal yang membuktikan ketidakotentikan hadits yang dianggap berasal dari Nabi tentang pelarangan penulisan hadits adalah pernyataan Umar, berkenaan dengan maksud penghimpunan hadits. Umar diriwayatkan berkata: “saya bermaksud menuliskan hadits Nabi. Tetapi niat itu segera kusadari bahwa umat terdahulu menulis kitab-kitab tertentu dan mereka mengabaikan kitab suci. Demi Allah, saya tidak akan membiarkan sesuatu pun yang dapat mengubah Kitab Allah. ”
Riwayat di atas mengungkapkan bahwa khalifah kedualah yang untuk pertama kali, berniat menulis hadits. Dalam sebagian versi dari riwayat penulisan ini disebutkan bahwa Umar berembuk dengan para sahabat yang lain tentang perkara ini dan mereka pun menyetujuinya; tetapi pendiriannya lalu berubah karena alasan yang telah ia nyatakan, dan bukan berdasarkan larangan Nabi.
Hal lain yang dapat dikutip sebagai bukti ketidakotentikan hadits mengenai larangan penulisan hadits ialah pernyataan Nabi pada hari Selasa menjelang akhir hayatnya. Pada hari itu, ketika para sahabat berkumpul mengelilingi tempat wafatnya, Nabi bersabda kepada mereka: “Bawakan kepadaku kertas dan tinta, sehingga dapat aku tuliskan sesuatu untuk kalian, yang tidak akan menyebabkan kalian terjerumus ke dalam kekeliruan.” Ada sebagian orang di bawah pimpinan Umar yang menentangnya dengan mengatakan, “Cukup bagi kita Kitab Allah.” Riwayat ini menunjukkan kepada kita bahwa penulisan apa pun selain al-Qur’an bukan saja tidak dilarang, tetapi penulisan itu bahkan penting menurut pertimbangan Nabi agar ummah tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesesatan.

Sekitar Penulisan Hadits
Mengkaji tentang seputar penulisan hadits, setidaknya akan kita jumpai dua perspektif yang berbeda. Perspektif yang pertama melarang penulisan hadits dengan memakai dasar kepada hadits yang diyakini dari Rasul. Sementara perspektif kedua, mengatakan bahwa penulisan hadits pada masa Nabi diperbolehkan, dengan bersumber pula pada hadits Nabi.
Al-Nawawi dalam bukunya yang berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, menjelaskan bahwa ada beberapa riwayat tentang pelarangan menulis hadits pada masa Rasulullah saw. Salah satu hadits yang diyakini dari Rasulullah diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri.
"Jangan kamu sekalian menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya."

Sejalan dengan hadits di atas, Masjfuk Zuhdi menambahkan bahwa larangan penulisan ini ada hikmahnya. Pertama, berhubungan pada waktu itu sahabat-sahabat Nabi masih banyak yang Ummi (tidak bisa baca tulis), sedang waktu itu wahyu Ilahi masih turun Qur’an, jadi Nabi mengkhawatirkan kalau-kalau mereka tidak dapat membedakan qur’an dan hadits, sehingga terjadi percampuran antara keduanya.
Kedua, Nabi percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan kemampuannya mereka untuk memelihara semua ajarannya tanpa catatan/tulisan dan ini berarti secara tidak langsung mendidik mereka untuk percaya pada kemampuan sendiri.
Masih menanggapi hadits Abu Sa’id al-Khudri, menurut Ja’farian hadits tersebut tidak dapat diterima keshahihannya dengan alasan berikut; Pertama, kalau kita menerima hadits itu, berarti kita tidak dapat membatasi penerapannya pada masa tertentu saja. Jika penulisan hadits tidak diperbolehkan dan haram, maka haramnya itu harus untuk setiap saat. Tetapi para perawi hadits tidak berpegang kepadanya dan pada akhirnya mereka menulis serta menghimpun berbagai hadits.
Kedua, perawi initelah meriwatkan juga hadits yang lain yang menunjukkan boleh menulishadits,dan kalu kita menganggap kedua rangkaian hadits ini sama kuat, kita harus menolak kedua-duanya karena bertentangan. Dalam hal ini keduanya kehilangan kredibilitasnya, walaupun misalnya, kita tidak dapat membuktikan kelemahan hadits dengan cara lain.
Ketiga, Abu Sa’id al-Khudri yang meriwayatkan juga hadits ini, telah menyampaikan pernyataan lain yang bertentangan dengan ini. Ia berkata; “pada masa iti, kita tidak menuliskan apa pun kecuali al-Qur’an dan Tasahhud”. Dari pernyataan ini ada dua hal yang dapat disimpulkan; pertama, Abu Sa’id al-Khudri tidak berkata bahwa mereka menuliskan hadits atas perintahNabi, kerana seandainya demikian, ia harus menunjukkannya, kecuali kalau penjelasan tersebut bukanlah yang ia maksudkan. Kedua, ditambahkannya kata tasahhud dalam pernyataanitu tidak sesuai dengan maksud pelarangan penulisan apa pun kecuali al-Qur’an. Perlu diperhatikan bahwa dalam hadits lain yang semua dari Ibn Mas’ud, istikharah disebut bersama tasahhud. Dan masih banyak alasan lain yang berkenaan dengan riwayat Abu Sa’id al-Khudri tersebut.
Sebaliknya, di samping ada riwayat yang melarang penulisan hadits, ada juga yang membolehkannya. Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam bukunta Fath al- Bari Syarh al-Bukhari dikatakanbahwa riwayat yang membolehkan itu berasal dari Abu Hurairah. Periwayatan ini, berkaiatn dengan terjadinya “fath al-Makkah”. Pada waktu itu, Rasulullah berdiri untuk menyampaikan khutbahkepada penduduk Makkah, ketika dalam penyampaian ada seorang dari Yaman berdiri bernama Abu Syah, tiba-tiba berkata; ya Rasulullah!, tuliskan (khutbah tersebut) untukku, maka Rasulullah berkata kepada para sahabat; tuliskan khutbah ini untuknya!
Penjelasan lain yang diungkapkan oleh Hasbi al-Shidiqi, merujuk kepada kitab “al-Madkhal” yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah;
ãóÇãöäú Ãó ÍóÏò ãöäú ÃóÕúÍóÇÈö ÇáäøóÈöíö Õ ã¡ ÃóßúËóÑó ÍóÏöíúËðÇ Úóäúåõ ãöäøöíú ÅöáÇøó ãóÇßóÇäó ÚöäúÏó ÚóÈúÏö Çááåö Èúäö ÚóãúÑöæÈúäö ÇáÚóÇÕö ÝóÅöäøóåõ ßóÇäó íóßúÊõÈõ æóáÇó ÃóäóÇ ÃóßúÊõÈõ
Artinya: Tidak seorang dari sahabat nabi yang demikian banyak (lebih mengetahui) hadits rasul daripadaku, selain Abdullah ibn Amr ibn Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.
Masih dalam penjelasan al-Shidiqi, bahwa ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum diyat yang diberatkan kepada keluarga, dan lain-lain. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa menurut sebuah riwayat, Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan.
Penjelasan yang hampir senada juga dikemukakan Zuhdi, bahwa sebuah riwayat dari Nabi;
ÇõßúÊõÈú Úóäøöíú¡ ÝóæóÇáøóÐöí äóÝúÓöì ÈöíóÏöåö ãóÇÎóÑóÌó ãöäú Ýóãøöíú ÅöáÇøó ÍóÞøñ
Artinya: Tulislah dariku, demi dzat (Tuhan) yang jiwaku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang benar (haq).

Hadits tersebut, merupakan sebuah jawaban terhadap pertanyaan Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash tentang penulisan sunah-sunah. Sementara al-Shidiqi, menjelaskan riwayat tersebut bahwa selain Nabi sendiri pernah mengirim surat kepada sebagain pegawainya menerangkan kadar-kadar zakat Unta dan Kambing. Dan pernah dengan tegas Nabi memerintahkan sahabat menulis hadits.
Secara dhahir, dua versi riwayat di atas betul-betul bertentangan, karena itu para ulama mengambil suatu pendekatan untuk mengkompromikan atau mendamaikan (al-jam’u) antara keduanya. Salah satu cara untuk mengambil jalan tengah dari versi yang berbeda tersebut adalah dengan cara tarjih, yakni mengambil salah satu riwayat yang terkuat dari kedua riwayat tersebut.
Pendekatan pertama, seperti yang tertera dalam Kitab Ibn Hajar bahwa langkah yang harus ditempuh adalah dengan cara mengkritisi sanad/rawinya. Sedangkan riwayat yang berkenaan dengan larangan penulisan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri merupakan salahsatu hadits yang sanadnya mauquf, yakni terhenti sampai Abu Sa’id al-Khudri.
Pendekatan kedua, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Ushul al-Hadits bahwa perlu dilakukan sebuah langka pendamaian hadits yang bertentangan. Hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri, sebetulnya ditujukan kepada mereka yang menulis hadits dan al-Qur’an dalam satu shahifah, sebab selain mereka mendengar ayat yang diturunkan, juga mendengarkan penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, sehingga kalau ditulis dalam satu shahifah akan tercampur.
Pendekatan ketiga, dalam Ushul al-Hadits dikatakan bahwa larangan penulisan hadits ditujukan kepada mereka yang mempunyai hafalan yang luar biasa, sehingga kalau dibolehkan menulis hadits, dikhawatirkan selalu bergantung pada tulisan, sehingga keringanan (rukshah)menulis hadits, hanya ditujukan kepada mereka yang lemah hafalannya.
Dari ketiga pendekatan yang dilakukan oleh para ulama tersebut, al-Khatib mengambil sebuah konklusi bahwa pendekatan pertama tidak dapat diterima. Penolakan al-Khatib terhadap hadits itu beralasan bahwa sanad haditsnya masih belum jelas, bahkan sebagian imam hadits mengatakan mauquf. Sehingga al-Khatib berpendirian bahwa larangan tersebut berlaku kepada mereka yang menulis al-Qur’an dan hadits dalam satu shahifah seperti pada pendekatan kedua. Larangan Rasulullah itu beralasan bahwa hanya dikhawatirkan para shahabat akan sibuk dengan hadits, sementara penulisan al-Qur’an ditinggalkan. Begitu pula dengan keringanan (rukhshah), itu bersifat umum (‘am) dan larangan bersifat khusus (khas).
Dengan demikian, menurut Muhammad ‘Ijaj al-Khatib dan Abd Rahim ibn al-Husein al-Iraqi yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan di atas, maka sebenarnya tidak terjadi pertentangan makna yang berarti, karena keduanya bisa dipadukan dengan alternatif-alternatif di atas, yang intinya bahwa Rasulullah menginzinkan penulisan hadits.
Hadits Masa Rasulullah
Al-Zahrani dalam bukunya “Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah” menyatakan bahwa penulisan hadits sebenarnya telah di mulai sejak masa Rasulullah. Dengan adanya hadits-hadits yang mengandung perintah untuk menulis, berarti hadits tersebut ada sejak masa Rasulullah.
Sementara itu, hadits-hadits yang menyatakan rukshah, seperti pendapat di atas, juga didukung beberapa ungkapan para sahabat itu sendiri. Salah satunya adalah Abu Hurairah, yang menyatakan bahwa hafalannya tidak ada yang melindungi kecuali ‘Abdullah ibn ‘Amr, karena ia tidak menulis sedangkan Ibnu ‘Amr menulis hadits.
Bukti lain yang serupa adalah bentuk shahifah. Misalnya ada shahifah Abu Bakr, Shahifah ‘Ali ibn Abi Tahlib, dan shahifah ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash, semua itu merupakan bukti yang ada pada diri yang telah banyak membukukan hadits pada masa Rasulullah.
Hadits Masa Shahabat dan Tabi’in
Akram Dhiya’ al-‘Umari sebagai penulis buku Buhuts fi Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah, menyadari bahwa terjadinya sebuah kontradiksi yang sangat keras di kalangan sahabat itu diakibatkan pandangan yang masih bersifat generik. Sebagian yang tidak setuju menulis hadits menolaknya mentah-mentah dan bahkan sampai ada yang membakarnya. Ada sebagian yang lain memahami larangan itu sudah di nasakh, ada pula yang menggunakan dua pendapat dalam waktu berbeda; kadang melarangnya dan kadang membolehkannya.
Kalau begitu, sesungguhnya telah ada sebuah perhatian yang sangat besar ditunjukkan para sahabat kepada hadits tersebut. Dan ini merupakan dasar bagi penulisan hadits serta lebih-lebih untuk menjaga kemurnian dan penyebarannya kepada umat Islam. Ada beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan para sahabat dalam menjaga kelestarian al-Sunnah al-Nabawiyah, sebagai berikut;
Ett. Menganjurkan untuk menghafal dengan disertai mengkritisi teks-teks hadits secara cermat dan tegas. Begitu pula mereka menyuruh para santrinya manulis teks-teks supaya mudah dalam menghafalnya. Setelah dirasa hafalnnya sudah mantap, tulisan tersebut dihapus agar tidak tergantung kepada tulisan dan mengurangi minat menghafal.
Två. Saling mengirim tulisan hadits di antara mereka. Sebagaimana yang di riwayatkan Imam Muslim, yang menyatakan bahwa Jabir ibn Samurah menuliskan sebagian hadits Rasulullah, kemudian di kirimkan kepada ‘Amr ibn Said Abi Waqash karena permintaannya.
Tre. Membukukan hadits dalam bentuk shuhuf dan melalui bentuk shuhuf inilah akhirnya kegiatan penulisan dan pengumpulan hadits pada masa-masa berikutnya.
Adapun hadits pada masa tabi’in, tidak jauh berbeda dengan hadits di masa sahabat. Di sana juga masih ada perbedaan mengenai hukum menulis hadits Rasulullah. Meskipun demikian, pada masa ini lahir beberapa ulama dengan perhatian yang sangat besar terhadap penulisan hadits. Tidak hanya itu, mereka menjaganya dengan bentuk shahifah. Ulama yang terlibat dalam penulisan ini, seperti Abi al-Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Tadrus al-Asadi, yang menulis beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Jabir ibn ‘Abdillah dan dari yang lainnya.
Pada masa tabi’in, kegiatan tulis-menulis semakin berkembang pesat. Mereka ramai-ramai menyerbu halaqah al-‘Ilm, bahkan di antara mereka ada yang sangat memperhatikan terhadap penulisan ilmu yang mereka terima. Dengan semangat yang tinggi, mereka menyadari bahwa menulis ilmu merupakan kebutuhan, dan kondisi demikian telah membentuk sikap mereka untuk menulis dalam setiap halaqah al-‘Ilm.
Menyadari akan pentingnya penulisan ‘ilm (hadits) mereka berusaha untuk menjaganya. Sehingga berkembangnya penulisan ini juga atas pertimbangan banyak hal, misalnya 1) meluasnya periwayatan, disertai dengan sanad yang panjang, yang mencantumkan nama-nama perawi, julukan dan nasabnya, 2) para sahabat dan tabi’in tua yang terkenal kuat hafalannya, banyak yang telah meninggal dunia, tentu akan semakin besar kemungkinan hadits yang hilang, kalau tidak segera dibukukan, 3) kekuatan hafalan yang dimiliki oleh para ummat Islam pada waktu itu semakin lemah, karena makin banyak ilmu pengetahuan yang membutuhkan pemikiran juga, dan 4) munculnya gerakan-gerakan bid’ah, dan banyaknya orang-orang yang membuat hadits palsu.
Masa Umar ibn ‘Abd Aziz
Setelah melalui beberapa periode, Umar ibn ‘Abd Aziz termasuk orang yang mempunyai hasrat besar terhadap pembukuan hadits. Menurut sejarahnya, semula yang ingin membukukan adalah ayahnya (‘Abd Aziz ibn Marwan), ketika menjabat sebagai gubernur di Mesir. Pada waktu itu, ia menulis permohonan kepada Kathir ibn Murrah al-Khadlrami, seorang tabi’in yang pernah bertemu dengan 70 ahli badr, untuk menulis apa-apa yang pernah didengar dari hadits-hadits Rasulullah. Namun hasil akhirnya belum dapat diketahui secara jelas.
Akhirnya, Umar ibn ‘Abd Aziz meneruskan usaha tersebut, dan segera menulis surat kepada Abu Bakr ibn Hazm, yang intinya meminta kepadanya untuk menulis hadits-hadits Rasulullah dari Umrah binti ‘Abd al-Rahman al-Anshariyah dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Selain itu, Umar juga meminta kepada ulama yang ada diseluruh wilayah Islam. Sebelum selesai penulisan, Abu Bakr ibn Hazm meninggal dunia. Setelah itu, usaha yang maksimal baru dikerjakan oleh Imam Muhammad ibn Syihab al-Zuhri. Ia di tugasi Umar untuk mengumpulkan seluruh hadits-hadits Rasulullah, yang kemudian dijadikan sebuah buku. Al-Zuhri termasuk orang pertama kali yang dapat membukukan hadits secara resmi dan menyeluruh.

Hadits Masa Abad Kedua dan Ketiga Hijrah
Pada abad kedua hijrah terdapat dua generasi, yaitu generasi shighar al-tabi’in dan generasi atba’u al-tabi’in. Generasi pertama, mereka yang hidup sampai setelah tahun 140 hijrah. Sedangkan generasi kedua, mereka yang hidup setelah periode sahabat dan tabi’in, dalam tingkatan periwayatan hadits dan penyebaran agama Islam kepada umat, generasi ini mempunyai peranan sangat besar dalam menghadapi ahl al-bida’ wa al-ahwa’, dan berusaha sekuat tenaga dalam menghalau segala bentuk kebohongan hadits (al-wadl’u fi al-hadits) yang dipelopori oleh kelompok al-Zanadiyah. Umumnya, mereka sangat berhati-hati ketika melakukan seleksi hadits untuk dibukukan dan sekaligus disusunnya dalam bentuk susunan bab. Selain itu, keberhasilan mereka adalah menyusu ilm al-rijal, yang ditandai dengan adanya buku-buku yang ditulis oleh al-Laits ibn Sa’ad, Ibn al-Mubarak, Dlamrah ibn Rabi’ah dan lain-lain.
Selain itu, abad kedua juga terkenal dengan banyaknya ulama yang muncul. Mereka sangat faham tetang kronologis periwayatan hadits, mereka itu adalah Imam Malik, imam Syafi’I, imam al-Tsauri, Imam al-Auza’I dan lain-lain. Semua itu adalah figur pertama yang menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.
Adapun pada abad ketiga hijrah, kondisinya jauh berbeda dengan abad sebelumnya. Abad ini sampai dikenal dengan the golden age bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam, terutama yang berkaitan dengan Hadits. Perkembangan semacam itu akibat tumbuhnya semangat untuk mengadakan rihlah ilmiah dalam rangka mencari hadits, dan sebgai kelanjutannya menulis sebuah ilm al-rijal yang banyak beredar buku-buku kumpulan hadits seperti, al-Kutub al-Sittah, dan al-Masanid, yang sampai sekarang menjadi rujukan dalam bidang hadits. Semua buku tersebut merupakan sumbangan besar dalam perkembangan ilmu hadits dari ulama yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Ali ibn al-Madini, al-Bukhari, Imam Muslim, Ishaq ibn Rahwaih dan lain-lain.
Satu hal lagi, bahwa dari perkembangan yang sangat pesat itu, telah menjadi tonggak sejarah penulisan dan penyusunan hadits. Dan pada abad ini pula merupakan batas yang membedakan antara muta’akhirin dan mutaqaddimin, karena ulama-ulama setelah itu tidak menghasilkan karya seperti abad sebelumnya. Mereka mungkin hanya berusaha untuk memperbaiki susunannya, mengadakan tahdzib dan seterusnya.

Sebuah Catatan Akhir
Dari beberapa riwayat dan argumentasi yang dikemukakan para ulama di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya kegiatan tulis menulis sudah dimulai sejak masa Rasulullah. Problema yang terjadi pada penulisan hadits hanya di dasarkan pada kekhawatiran belaka. Padahal jika kita cermati secara mendalam, alasan kekhawatiran tersebut sangat lemah. Sebagaimana penolakan yang ditunjukkan oleh Abu Ruyyah dalam kitabnya “Adwa’ ala Sunnah Muhammadiyah” yang dikutip Rasul Ja’farian dalam al-Hikmah dikatakan sebagai berikut:
“Alasan demikian mungkin tampak meyakinkan bagi orang awam, tetapi tidak dapat diterima oleh para peneliti. Sebab, itu berarti manyamakan keindahan bahasa al-Qur’an setingkat dengan hadits”.
Kekhawatiran tercampurnya hadits dengan al-Qur’an mustakhil akan terjadi, karena salah satu letak kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan bahasa. Dan jika kekhawatiran tersebut diyakini, maka berarti mengingkari keistimewaan (mukzizat) al-Qur’an.
Lebih lanjut, Ruyyah menyatakan bahwa meyakini adanya kemungkinan bercampuraduknya al-Qur’an dengan hadits berarti meyakini adanya kemungkinan pengurangan ayat dalam al-Qur’an. Keyakinan ini tidak dibenarkan karena keaslian al-Qur’an sudah dijamin oleh Allah.
Sungguh, telah Kami turunkan al-Qur’an (pemberi peringatan). Dan Kamijualah memeliharanya (Q.S. 15:9).

Lebih lanjut, Ja’farian menggugat bahwa alasan lain yang diberikan dalam soal penulisan hadits, kemudian orang akan mengabaikan al-Qur’an karena memberikan seluruh perhatiannya kepada hadits. Argumen ini tidak dapat diterima, sebab hal yang sama dapat terjadi terhadap al-Qur’an dan hadits ygdisampaikan secara lisan. Memang benar bahwa perhatian ekslusif terhadap hadits merupakan penyimpangan yang bagi mereka memiliki kecenderungan ke sana, sehingga harus diperingatkan dan diminta untuk memberikan perhatian yang sama terhadap al-Qur’an. Tetapi larangan terhadap penulisan hadits, yang menimbulkan kerusakan yang sulit diperbaiki pada kebudayaan Islam, bukanlah cara yang tepat untuk mendapatkan hasil semacam itu.

Daftar Pustaka
Al-Khatib, Muhammad ‘Ijaj, 1989, Ushul al-hadits; Ulumuhu wa Musththalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Shidiqi, Muhammad Hasbi, 1998, cet.II, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Al-Zahrani, Muhammad ibn Mathr, 1412 H., Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah” Thaif: Maktabah al- Shadiq.
Rasul Ja’farian, AL-HIKMAH, No. 1, Sya’ban-Dzu al-qa’dah 1410 H.
Zuhdi, Masjfuk, 1976, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: Pustaka Progressif.
Al-Nawawi, Muhyidin, 1995, Al-Minhaj Syar Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Azami, Muhammad Musthafa, 1980, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi, Beirut: al-Maktab al-Islami, dialibahasakan oleh Ali Mustafa Yaqub dengan judul Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, cet. II, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.
Al-Umari, Akram Dhiya’, 1984, Buhuth fi Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah, Beirut: Bitsah.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar