Mujtahid*
DALAM bahasa Arab, kurikulum dikenal dengan istilah manhaj yang berarti seperangkat perencanaan dan media untuk menghantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan (al-Khuly, tt:103). Suatu kegiatan ilmiah membutuhkan sebuah rekayasa yang ekstra keras dalam rangka mencapai suatu perubahan yang baik secara maksimal. Karena hasil yang baik secara maksimal tidak mungkin datang dengan sendirinya tanpa sebelumnya ada upaya atau rekayasa terlebih dahulu. Seperti dijelaskan dalam sebuah ayat al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasip suatu komunitas sebelum mereka merubahnya sendiri” (al-Ra’du:11). Hal ini berarti bahwa jika ingin ada suatu perubahan dalam pendidikan maka membutuhkan sikap proaktif untuk membuat rancangan atau program kurikulum (manhaj).
Secara spesifik, defenisi kurikulum memeng sulit diartikan dengan satu pengertian, bahkan kalau boleh defenisi tersebut memiliki banyak arti. Namun dari sekian banyak definisi yang ada, terdapat satu kata akhir sebagai kata kunci yaitu tercapainya tujuan tertentu dalam pendidikan.
Istilah kurikulum biasa dipergunakan dalam dunia atletik curere yang berarti “berlari”. Istilah ini erat hubungannya dengan kata curier atau kurir yang berari penghubung atau seseorang yang bertugas menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Seorang kurir harus menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian diartikan orang sebagai suatu jarak yang harus ditempuh (Nasution, 1980:5).
Dalam penyusunan program kurikulum pada hakikatnya mempertimbangkan beberapa asas, nilai, dan ladasan teoritis yang berkaitan dengan tujuan, sifat dan penggunaan pengetahuan serta konsep tentang belajar. Ketiga unsur tersebut saling berkaiatan satu sama lain, sebab hal itu dipakai untuk memberikan orientasi kepada staf pengajar dengan menyediakan suatu dasar yang rasional kepada program.
Bagi menajer pendidikan/sekolah dalam hal ini bagian kurikulum paling tidak akan menghadapi dua kekuatan yang berlawanan: kebutuhan untuk memasukkan materi baru ke dalam kurikulum, dan perlawanan untuk mengeluarkan hal-hal yang ketinggalan zaman. Berdasar dua tantangan itu, manajer sekolah harus menilai kembali kurikulumnya dan memberi struktur baru kepadanya (Sutisna, 1983: 47-48).
Dalam melakukan perencanaan kurikulum pendidikan Islam seharusnya memilih pengalaman belajar yang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pihak siswa, masyarakat maupun sekolah itu sendiri. Setelah tujuan kurikulum ditetapkan dan kebijaksanaan umum dan operasional tentang penyelenggaraanya diformulasikan, pekerjaan selanjutnya menetapkan pengalaman-pengalaman belajar yang harus tersedia, karena melalui pengalaman ini bahwa akan terjadi dan tujuan-tujuan kurikulum pendidikan Islam akan dicapai.
Terkait dengan pemilihan pengalaman belajar ini, menurut Ralph W. Tyler ada beberapa prinsip umum: 1) bagi tercapainya suatu tujuan tertentu siswa harus memperoleh pengalaman yang memberikan padanya kesempatan untuk mempraktekkan jenis perilaku yang disarankan oleh tujuan itu. Jadi, apabila salah satu tujuannya adalah untuk mengembangkan ketrampilan dalam memecahkan masalah, ini tidak bisa dicapai kecuali jika pengalaman belajar itu memberi siswa cukup banyak kesempatan untuk memecahkan macam-macammasalah. 2) pengalaman belajar itu harus begitu rupa sehingga murid memperoleh kepuasan dari melanjutkan jenis perilaku yang disarankan oleh tujuan itu. Untuk masalah ini guru harus memiliki informasi yang cukup tentang minat dan kebutuhan siswa. 3) reaksi-reaksi yang dikehendaki dalam pengalaman itu hendaknya di dalam batas-batas kemungkinan bagi murid-murid yang terlibat, dengan kata lain, pengalaman itu hendaknya sesuai dengan kesanggupan murid.
Dari ketiga prinsip pengalaman belajar di atas, diharapkan memberikan ketrampilan bagi siswa dalam menghadapi kenyataan yang riil di lapangan. Dalam hal ini ada sebuah pepatah arab: Barang siapa yang membiasakan sesuatu (di hari mudanya) maka ia akan terbiasa olehnya (di hari tuanya). Jadi pemilihan pengalaman belajar dimaksudkan sebagai pembentukan watak, terlebih dalam pendidikan Islam. Kekuatan dan kedalaman sebuah kurikulum harus mempunyai jangkaun masa depan yang panjang (futuritisk) sehingga produk pendidikan tidak canggung lagi menghadapi alam yang mungkin mengalami prubahan dari waktu ke waktu. Umar Ibn Khathab menyatakan: “sesungguhnya anak-anakmu dijadikan untuk generasi yang lain dari generasimu, dan zaman yang lain dari zamanu”. Sekali lagi, kurikulum menekankan bagaimana siswa dapat mengkonstruksikan ilmu pengetahuan, aktivitas kurikulum, pemecahan masalah yang sebenarnya pada epistemologi rekonstruksi. Dengan demikian. Kurikulum yang dirancang sedemikian rupa agar memberikan kepuasan pada diri anak didik untuk memiliki nilai-nilai yang diperlukan mereka, supaya hidup dengan baik, sekaligus menghindarkan nilai-nilai yang tidak diinginkan.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar