Oleh Mujtahid
DEWASA ini, pendidikan kita tengah dihadapkan dengan tuntutan pokok dan krusial. Sampai saat ini saja kita masih belum bisa memenuhi kebutuhan yang seharusnya kita sediakan yakni tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memadahi. Padahal kita tidak dapat menghindarkan diri dari pembangunan sumber daya manusia (Human Resources Development).
Tidak dapat dipungkiri bahwa pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal ini semakin terbukti bahwa sumber daya alam saja tidaklah cukup untuk merealisasikan tatanan kehidupan masyarakat yang adil, bahagia dan sejahtera. Sehingga yang paling penting berperan adalah tersedianya manusia dengan kualitas yang tinggi atau pelaku yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang lebih sekedar memadahi.
Sejalan dengan dinamika kehidupan yang berkembang dan kemajuan zaman yang begitu cepat, maka pendidikan selalu menempati posisi yang sangat penting pada era global ini. Peran pendidikan pada era tersebut adalah menyiapkan sumber daya manusia dalam rangka memenuhi tantangan modernitas. Dari sisi inilah pendidikan akan dapat dinilai sebagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, manakala mampu mengadakan suatu perubahan yang berarti bagi kehidupan masyarakat. Dengan demikian, maka pendidikan harus memiliki orientasi yang jauh kedepan dan mempunyai visi yang sesuai dengan dinamika perkembangan dan tuntutan zaman.
Dalam proses perkembangan sejarah pendidikan, manusia menciptakan bentuk-bentuk peradaban kehidupan yang bersifat dinamis. Oleh karena itu, pada satu sisi antara pendidikan dan masyarakat terjadi proses saling pengaruh mempengaruhi (interaktif), dan pada sisi lain, pendidikan sebagai pendobrak terhadap keterbelakangan cita-cita masyarakat.
Muslim Abdurrahman dalam salah satu tulisannya mengemukanan bahwa pada dasarnya pendidikan adalah kerja budaya. Pengertian ini adalah untuk menyadarkan bahwa pendidikan tidak identik dengan penyelenggara belajar-mengajar di sekolah. Sebagai kerja kebudayaan, pendidikan mencakup semua ruang lingkup belajar yang luas, yaitu bagaimana peserta didik melakukan reproduksi kebudayaannya dalam proses zaman yang berubah. Dalam kaitan ini peserta didik adalah aktor dan subyek (agency) yang melakukan akulturasi dan inkulturasi kebudayaannya.
Sebagai subyek kebudayaan, peserta didik tidak hanya berusaha mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan masyarakat (sharing of values) tapi juga dalam proses itu adakalanya mempertanyakan, meragukan dan bahkan kalau perlu memberontak terhadap kemapanan. Itulah sebab mengapa kebudayaan kelompok masyarakat selalu berubah. Selalu diciptakan terus menerus (invented and contructed) oleh para pendukungnya, terutama generasinya sendiri.
Dalam membentuk kesiapan peserta didik, suatu hal yang harus dilakukan adalah mengajak untuk mengenal keadaan masyarakat sekitarnya serta memikirkan dan menghayati keunikan dan sumber potensi yang terkandung di dalamnya. Sistem pendidikan seperti ini jarang dilakukan oleh pengelola pendidikan, padahal generasi yang nantinya akan menggantikan dan mewarisi segala sesuatu yang berkenaaan dengan budaya tersebut.
Jadi upaya pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan SDM menempati pada posisi utama dan pertama. Saat sekarang ini dan pasca abad 20 nanti kita akan dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah. Era informasi dan kemajuan iptek tidak bisa dielakkan dan dibendung lagi dari hapan kita. Semua manusia dituntut menguasai iptek dan informasi sebanyak-banyaknya. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka kita akan digilas dan diperlakukan semena-mena oleh orang-orang yang mempunyai informasi dan iptek yang jauh lebih tinggi dari kita.
Selanjutnya setelah iptek dan informasi kita kuasai, orientasi pendidikan harus menjurus dan tidak melupakan etika sebagai control terhadap iptek dan informasi yang tidak disalah gunakan. Karena itu, pendidikan tidak hanya semata-mata kegiatan “transfer of knowledge” melainkan juga menekankan pada kegiatan “attitude” sebagai besic atau power yang ampuh dalam mengendalikan iptek, sehingga keseimbangan dan kelestarian tetap terjaga dengan baik.
Visi pendidikan sebenarnya untuk mengembangkan budaya “humanisme-etic” yang selalu menjadi cita-cita setiap orang dan pandangan dunia (world views). Oleh karena itu, orientasi kurikulum pendidikan sudah waktunya untuk dibuka dengan orientasi kemanusiaan dan etis yang lebih terbuka. Visi pendidikan masa depan harus senantiasa tetap menjaga keharmonisan antara iptek dan etika yang keduanya merupakan menempati pada wilayah praksis. Etika global yang sekarang yang kita rasakan ini merupakan sinyal yang patut kita sambut untuk mewujudkan dalam kehidupan ini. Sebab pendidikan memiliki fungsi yang serba ganda, yakni mampu menciptakan mobilisasi masyarakat. Era industri yang sekarang berkembang ini tidak lain adalah kerja pendidikan yang salah satunya untuk meningkatkan taraf hidup manusia.
Kemajuan iptek akan selalu diikuti dengan dampak positif dan negatif. Satu sisi iptek menghantarkan manusia dalam meningkatkan kesejahteraan materiilnya, tetapi pada sisi lain, paradigma iptek yang “netral etika” akan menyeret manusia pada jurang kehancuran. Penyikapan demikian ini, akan dikombinasikan dengan nilai-nilai budaya dan kemanusiaan. Pendidikan yang hendak kitaa dibangun harus tetap berparadigma visi kemanusiaan.
Sebab antara visi pendidikan dan visi kemanusiaan merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan, konsep pendidikan sendiri adalah proses memanusiakan manusia. Artinya tugas pendidikan tidak lain adalah membentuk dan mengarahkan menuju manusia seutuhnya. Kesejahteraan manusia tidak hanya terletak pada fisiknya atau bentuk materiilnya melainkan juga pada batin atau jiwanya, yang keduanya merupakan komponen atau unsur manusia yang utuh. Seperti halnya dalam komponen pendidikan yang apabila salah satunya “cacat” maka tidak akan dapat berjalan dengan baik.
Pendidikan yang tidak terikat dengan nilai-nilai, norma-norma akan mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi baru yang akan menambah problematika kemanusiaan. Karena itu, dalam tranformasi nilai yang amat krusial itu orientasi pendidikan memegang peranan penting sebagai suatu harapan dalam mengatasi atau meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pranata sosial, personal yang berkenaan dengan persepsi ilmu dan implementasinya dalam kehidupan praksis. Jalan keluar dalam upaya “memanusiakan manusia” berarti menekankan harmonisasi hubungan, baik dengan sesama maupun dengan lingkungan alamnya.
Jadi untuk menelusuri hakikat manusia melalui pendidikan tidak bisa dari satu sudut saja, melainkan melalui pendekatan yang multi dimensional. Artinya manusia memang makhluk yang serba “dikhotomik”, yakni dwiganda yang selalu melekat pada diri manusia. Aspek spiritual dan material manjadi suatu bagian yang utuh dan senantiasa berkembang. Dan pendidikanlah satu-satunya “mediator” yang mampu mengarahkan dua aspek di atas, supaya dapat berkembang dan tumbuh sesuai dengan fitrahnya. Mudah-mudahan melaui tulisan ini dapat memberikan gambaran bagaimana keadaan yang akan terjadi di millenium ini dan mulai dini kita mempertajam visi pendidikan supaya dalam menghadapi perubahan dan tantangan tersebut dapat beradaptasi dengan baik.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Rabu, 24 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar